tag:blogger.com,1999:blog-9948594571575124372024-03-13T07:29:41.394-07:00IN’AM (ILMU, NIDZAM dan AMAL)Bersama Allah Kita BisaH. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.comBlogger78125tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-1535363216604087542008-12-15T20:33:00.000-08:002008-12-15T20:34:14.314-08:00ETIKA POLITIK & AKHLAK POLITIKUSETIKA POLITIK & AKHLAK POLITIKUS<br />Dr. H. ARTANI HASBI<br />Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama<br />Provinsi Kalimantan Selatan<br /><br />Disampaikan pada :<br />“ Forum Ilmiah Studium General Dalam Rangka Wisuda Sarjana ke XV Sekolah Tinggi Agama Islam Rasyidiyah Khalidiyah ( STAI RAKHA ) Amuntai Kalimantan Selatan<br /><br /><br />“Berbicara etika politik itu, seperti berteriak di padang gurun”. “Etika politik itu nonsense”. “Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan”. “Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tundung kepada yang seharusnya”. “Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara”. “Dalam konteks ini, bagaimana etika bisa berbicara”… Pandangan ini dikemukakan oleh Haryatmoko, dosen Filsafat Pascasajana Universitas Indonesia, dalam tulisannya di harian Kompas 29 Maret 2001.<br />Cesdekiawan muslim Nurchalis Madjid menguraikan tentang etika politik dalam arti implimentasi dari keadilan, dan ini adalah prinsip akhlak mulia.<br />Sebelum masuk pada pembahasan judul di atas, lebih dahulu dikemukakan urgensi dan akhlak dalam perspektif diskursus etemologis-filosofis-teologis.<br />I<br />Urgensi etika dan akhlak dalam logika politik dan logika agama dapat dikaji dalam Encyclopedia Britanica ; etika dinyatakan dengan tegas sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sisematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya. Sehingga oleh Lillie1, etika digolongkan sebagai ilmu pengetahuan normatif yang bertugas memberikan pertimbangan perilaku manusia dalam mansyarakat apakah baik atau buruk, benar, atau salah.<br />Pendapat Lillie di atas, berbeda dengan uraian yang dikemukakan oleh Austin Fogothey2, dan William Frankena3. Kalau Fogothey memberikan definisi bahwa etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat, yang meliputi antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu hukum. Perbedaannya terletak pada aspek keharusannya (ought). Berbeda dengan teologi moral, karena tidak bersandarkan pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi terbatas pada pengetahuan yang dilahirkan tenaga manusia sendiri. sedangkan Frankena menjelaskan bahwa etika sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran kefilsafatan tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral. Istilah moral dan etika sering dipadankan (disamakan) dengan kebenaran (right), kebaikan (good) yang berlawanan dengan kata ‘tidak bermoral’ (immoral) dan ‘tidak beretika’ (unethical).<br />Untuk lebih mempertajam pemahaman tentang etika, dapat dikemukakan istilah yang dekat, yaitu etiket (sopan santun). Dua kata ini (etika dan etiket) dalam bahasa Inggris “ethics” dan “itiquette” di samping terdapat perbedaan, ada persamaan yang mendasar, antara lain : keduanya menyangkut perilaku dan perbuatan manusia dan mengatur perilaku tersebut secara normatif, dan pada gilirannya dapat menentukan apa yang harus dan boleh dilakukan, atau apa yang tidak boleh dilakukan. Sedang perbedaannya minimal ada 4 (empat) macam, seperti yang diuraikan Achmad Charris Zubair dosen Filsafat UGM Yogyakarta, antara lain ;<br />Pertama, etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Di antara beberapa cara mungkin, etiket menunjukkan cara yang tepat, artinya, cara yang diharapkan dapat dibenarkan dalam suatu kalangan tertentu. Misalnya, jika menyerahkan seseuatu kepada atasan, harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Dianggap melanggar etika, bila seseorang menyerahkannya dengan tangan kiri. Tetapi etika tidak tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan. Etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. etika menyangkut bahasan apakah suatu perbuatan boleh dilakukan, ya atau tidak. Contoh ; mengambil barang milik orang lain tanpa izin, tidak pernah dibenarkan/diperbolehkan. “jangan mencuri adalah merupakan suatu norma etika”. Apakah mencuri dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri (it self).<br />Kedua, etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya, ada banyak peraturan etiket yang mengatur cara makan. Dianggap melanggar etiket, bila kita makan sambil berbunyi atau meletakkan kaki di atas kursi, dan sebagainya. Tapi kalau makan seorang diri, tidak melanggar etiket, bila makan dengan cara demikian. Sebaliknya, etikat selalu berlaku dalam setiap keadaan, walaupun tidak ada saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Larangan untuk mencuri selalu berlaku, dengan kesadaran ada orang lain, hadir melihat atau tidak. Begitu pula jika meminjam suatu barang kepunyaan orang lain, terdapat kesadaran untuk mengembalikan, walaupun pemiliknya sudah lupa.<br />Ketiga, etiket bersifatrelatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu tempat atau kebudayaan, bisa saja dianggap sopan pada tempat dan kebudayaan yang lain. Contohnya, makan dengan mempergunakan sendok atau makan hanya menggunakan tangan tanpa sendok ; lain halnya dengan etika. Terdapat sesuatu yang lebih dalam dan bersifat absolut. Contoh, “jangan mencuri” “jangan membunuh”, “jangan memfitnah”.<br />Keempat, etiket hanya memandang dari segi lahirnya saja, sedang etika menyangkut sesuatu yang mendalam. Kalau dengan etiket, bisa saja seseorang bagaikan “musang berbulu ayam”. Apa yang terlihat, terdengar dan tergambar, terkesan sangat sopan dan halus, tapi di dalamnya tersimpan suatu yang penuh dengan kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahatnya, justru meyakinkan orang lain. Bagi etiket terkadang mampu untuk bersatu (menyatu) dengan kemunafikan, tapi bagi etika adalah sangat tidak mungkin hal itu terjadi. Orang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh melakukan yang benar dan baik.<br />Pengertian benar, secara objektif adalah satu, tidak ada dua benar yang bertentangan. Apabila ada dua hal yang bertentangan, mungkin salah satunya saja yang benar atau kedua-duanya salah, yang benar adalah yang belum disebut. Apabila benar itu kriterianya peraturan, maka adalah wajar, kita menemukan benar yang berlainan di dunia ini. Bahkan mungkin bertentangan antara benar menurut suatu waktu dengan benar menurut waktu yang lain, atau benar menurut suatu golongan/kelompok dengan benar menurut golongan/kelompok yang lain, sebab peraturannya berlain-lainan. Apalagi apabila peraturannya bertentangan antara suatu tempat dengan yang lain atau suatu waktu dinamakan ‘benar’ (right). Kerena itu, kebenaran di dunia ini apabila hanya didasarkan peraturan yang dibuat oleh manusia adalah relatif, dan secara objektif, bahkan peraturan itu hanya satu dan tidak mungkin mengandung perlawanana di dalamnya ; hakekatnya yang benar itu adalah pasti dan hanya satu.<br />Kebenaran yang objektif, yang merupakan kebenaran yang pasti dan satu itu adalah kebenaran yang didasarkan kepada peraturan yang dibuat oleh Yang Maha Satu, Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, Yang Maha Benar. Karena itu satu-satunya kebenaran yang objektif adalah kebenaran yang dibuat oleh Yang Maha Satu, Yang Maha Benar itu. Sehingga peraturan yang buat manusia bersifat relatif itu menjadi benar apabila tidak bertentangan dengan peraturan yang objektif yang dibuat Yang Maha Satu, Yang Maha Benar; yaitu peraturan yang tidak bertentangan dengan wahyu, karena kebenaran mutlak adalah kebenaran dari Yang Maha Benar; sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya : <br />ﻦﻳﺮﺗﻣﻤ ﻦﻧﻮﮑﺗ ﻼﻔ ﻚﺑﺮ ﻦﻣ ﻕﺣﻟﺍ<br />Artinya : “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Q.S. al-Baqarah 2: 147).<br /><br />Peraturan-peraturan dari Tuhan ini disampaikan kepada para utusn-Nya melalui wahyu; dan inilah yang menjadi dasar kebenaran dalam sikap perilaku orang yang beragama. Oleh itu, benar yang objektif adalah benar yang didasarkan atas peraturan yang dibuat oleh Tuhan. Sedangkan peraturan yang dibuat manusia, akan dijamin kebenarannya apabila peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan peraturan yang dibuat Tuhan. Peraturan yang dibuat Tuhan bersifat universal dan fleksibel, sehingga dapat memberikan kemudahan bagi makhluk-Nya untuk menerapkannya di tempat manapun, dan dalam kondisi atau waktu kapanpun.<br />Etika dalam ajaran Islam selalu disebut dengan ‘akhlak’ (etika Islam). Dalam hal ini disebabkan karena ‘akhlak’ diambil dari bahasa Arab dari akar kata khuluk yang berarti budi pekerti4.<br />Kata akhlak mengandung segi-segi persesuaian dengan khalqun dan erat hubungannya dengan khaliq dan makhluq. Setiap perbuatan dan perilakumanusia (makhluq), apakah secara individu maupun interaksi sosial tidak bisa terlepas dari pengawasan khaliq (Tuhan Maha Pencipta). Baik dan buruk, benar dan salah, bagaimana melaksanakan dan mencapai tujuan yang seharusnya, dapat dijelaskan dengan memahami pengertiaan akhlak, ini dikemukankan oleh Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlaq5.<br />Begitu pula Ibnu Maskawih6 mengemukakan bahwa akhlak dapat berubah dengan kebiasaan dan latihan serta pelajaran yang baik. Manusia dapat diperbaiki akhlaknya dengan mengosongkan dirinya dari segala sifat tercela dan menghisinya dengan sifat-sifat terpuji dan luhur.<br />Sedangkan Imam al-Ghazali7 menegaskan bahwa akhlak suatu sifat yang tetap pada jiwa seseorang, dari jiwa tersebut timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dan tidak membutuhkan pemikiran. Dari pemikiran ketiga tokoh Muslim (Ibnu Maskawih, al-Ghazali dan Ahmad Amin) di atas, perlu dijelaskan kembali bahwa apa yang dimaksud dengan kebiasaan tersebut merupakan perbuatan yang harus diulang-ulang, dan mempunyai syarat-syarat antara lain :<br />Pertama, ada kecenderungan (keinginan) hati untuk mengerjakannya. Kedua, ada pengulangan yang cukup banyak sehingga menjadi bagian dari budaya pribadi dan dengan demikian secara mudah mengerjakannya tanpa memerlukan pikiran lagi. Ketiga, menangnya keinginan manusia dengan menetapkan suatu putusan atau pilihan setelah dia bimbang. Hal ini merupakan suatu proses dari sejumlah keinginan terhadap ada stimulan-stimulan melalui indera. Kemudian timbul kebimbangan, mana yang harus dengan kata lain, mana yang harus didahulukan, karna tidak mungkin mengerjakan semua keinginan dalam waktu yang sama.<br />Dari beberapa pengertian tentang etika dan akhlak di atas, diharapkan dapat digunakan dalam pembahasan “etika dan logika berpolitik”.<br />II<br />Akhir-akhir ini manuver politik yang dilakukan elite-elite politik (politikus) makin menambah semarak dinamikapolitik nasional. Manuver politik ini layak dicermati, mengingat dampaknya yang sangat luas pada instabilitas politik, sosial, ekonomi dan keamanan.<br />Konflik elite merupakan hal yang wajar dalam negara demokrasi. Konflik elite bisa terjadi dalam berbagai strata, baik secara horizontal di antara elite politik itu sendiri. yang paling parah jika konflik itu terjadi serentak; vertikal dan horizontal.<br />Namun demikian, banyak cendekiawan dan pakar ilmu politik menyatakan bahwa konflik elite pada satu sisi dapat membawa kepada perubahan yang produktif. Konflik yang serius, rasional, sungguh-sungguh objektif, maka penguasa negara otoriter menjadi rapuh dan jatuh. Tetapi di sisi lain konflik elite rentan pada sesuatu yang sangat berbahaya. Jika konflik elite terus berlanjut dalam waktu yang lama, negara dalam keadaan kritis multi dimensional dan keamanan tidak stabil, terjadilah kerusuhan, anarki, kekerasan dan hakim sendiri.<br />Menurut M.G. Button pakar ilmu politik kebangsaan Inggris menyebutkan bahwa konflik elite dapat dapat dicermati dari berbagai sisi, terutama dalam hubungannya dengan transisi menuju demokrasi. Ada tiga teori yang mewarnai wacana konflik elite dimaksud. Pertama, elite yang bersatu secara edeologi. Kedua, elite yang berkonflik. Ketiga, elite yang berkompetisi dalam prosedur demokrasi.<br />Dalam situasi konflik elite yang ketiga inilah urgensi etika politik sesuatu yang niscaya. Menciptakan kompetisi yang sehat, prosedural dan konstitusional bukankah suatu upaya mewujudkan etika politik ? Betapa kasar dan tidak santunnya suatu rekayasa politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma dan nilai hukum atau peraturan perundang-undangan. Di sini letak celah elite politik bisa berbicara dari dengan otoritasnya yang menjanjikan.<br />Elite politik berbicara dari sisi objek yang menjadi korban politik. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban, baik individu maupun kelompok. Korban akan bereaksi dan berupaya untuk membangkitkan simpati, yang disebut indegnation (terusik dan protes terhadap ketidak adilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar dan tidak santun. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik.<br />Konflik elite dan pertarungan kekuasaan/kepentingan yang berlarut-larut, akan membangkitkan kesadaran yang mendesak dan tuntutan keadilan. Penyelesaian tidak akan terwujud bila tidak mengacu dan perpedoman pada etika politik. Sering terangkat luntaran pernyataan “perubahan harus konstitusional”, “mengikuti prosedur dan tata tertib”, hal ini menunjukan betapa pentingnya implementasi etika politik secara konkrit.<br />Tujuan utama etika politik adalah mengarakan ke hidup yang benar dan baik secara bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif dan struktur-struktur yang ada di tengah komunitas yang plural. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekedar etika individual yang kerdil dan penuh rekayasa sebagai penonjolan perilaku individu yang syarat dengan tendensi kesenangan temporer.<br />Tujuan utama etika politik di atas, pernah dikemukakan oleh Paul Ricoeur (1913) seorang antropolog terkenal yang menekankan tiga persyaratan mutlak yaitu, Pertama, upaya hidup baik dan benar secara bersama dan untuk orang lain …, Kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan …, Ketiga, membangun institusi-institusi yang adil.<br />Tiga persyaratan itu saling terkait. “hidup baik dan benar secara bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin terwujud, kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup yang baik dan benar adalah cita edeal kebibasan, kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang bertanggung jawab dengan menghindarkan setiap warga negara (individu atau kelompok) dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap keritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir kali yang dimaksud adalah syarat mutlak secara fisik, sosial dan politik yang perlu dipenuhi demi pelaksanaan konkret sebuah kebebasan yang bertanggung jawab.<br />Etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual, tetapi terkait dengan tindakan koliktef (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pendapat tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan individu. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pendapatnya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif. Hubungan antara pandangan atau pendapat seseorang dengan tindakan kolektif tidak secara langsung membutuhkan perantara. Tetapi ada perantara yang menjabatani pandangan peribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol merupakan nilai-nilai.<br />Menurut Frans Magnis Soseno; simbol-simbol dan nilai-nilai- itu, bisa simbol agama, kepercayaan, ediologi, demokrasi, nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan dan sebagainya; dinamakan dengan “symbolic universi of meaning”. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin agar menerima pandangan atau pendapanya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Di sinilah letaknya seni dalam berpolitik, karena kebutuhan kemampuan atau meyakinkan lewat bicara retorika dan persuasi; bukan manipulasi, kebohongan, paksaan dan kekerasan.<br />Etika politik akan sangat cermat terhadap manipulasi atau penyalahgunaan simbol dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif, dan … Last but not lest … di sinilah letak pentingnya akhlak politikus.<br />III<br />Kalau ditegaskan persyaratan pertama etika politik “hidup baik dan benar secara bersama dan untuk orang lain”, maka etika politik dipahami sebagai wujud dan sikap perilaku seorang politikus yang jujur, santun, memiliki integritas meyakinkan, menghargai dan menghormati orang lain, menerima pluralitas, peka terhadap ketidak adilan, berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan tidak mementingkan golongannya saja. Jadi, politikus yang menghayati dan menjalankan perilaku politiknya seperti di atas adalah tercatat sebagai negarawan yang berakhlak mulia (akhlaq al-karimah).<br />Perilaku politik elite hendaknya didasari oleh penghayatan seni berpolitik yang mengandung kesatuan. Kesatuan politik diukur oleh beberapa dalam kesadaran terhadap keutamaan akhlak mulia. Kesantunan itu sering tampak apabila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para perilaku politik. Tetapi pemahaman seperti ini akan menggeser arti dan hakikat etika politik yang berdasar akhlak mulia tersebut. Contoh sederhana misalnya suatu pernyataan menyatakan bahwa : “Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur”. Dari sudut koherensi, pernyataan itu benar, dan tidak terbantahkan. Tetapi jika dilihat dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan ( hipotesis irealis).<br />Etika politik yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, akan gagal membawa kepada kesejahteraan umum, bahkan terkesan memaksakan kehendak untuk mencapai suatu tujuan kesuksesan, kemenangan dan memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Seorang Filosof Italia, Machiavelli menegaskan doktrin politiknya dalam hubungan antara kekuasaan dengan pertarungan kekuatan. Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subjek hukum, tetapi terdiri dari kelompok kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang benar adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apapun caranya. Segala cara dihalalkan. Tidak ada hukum, kecuali kekuatan yang memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak direkayasa untuk melegitimasi kekuatan itu, demi mencapai tujuan.<br />Gambaran Machiavelli ini seakan menyadarkan kita pada konflik elite bangsa Indonesia saat ini. Politik dan akhlak menjadi dua dunia yang sangat berbeda. Etika politik seakan relevan dan menjadi barang antik yang mahal harganya. Dan hanya dapat dibeli oleh politikus yang mampu merekayasa demi kepentingan politiknya.<br />Tetapi dalam teori ilmu politik, bahwa politikus itu bukanlah sebagai aktor pasif. Elite politik adalah individu-individu yang diharapkan mampu independen untuk dapat menjinakkan kekuatan-kekuatan yang saling berbeda kepentingan. Dan pada gilirannya etika politik yang didasiri akhlak mulia dari pada politikus secara bersama membangun institusi-instutisi yang lebih adil.<br />Membangun institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama secara bersama dan memiliki komitmen yang kuat terhadap penetapan prosedur yang adil. Adalah tidak mungkin terbangun institusi yang adil jika tidak ada keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang, dan kesadaran akhlak. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya seorang harus membagi kue tart secara adil kepada sembilan orang (termasuk sipembagi sendiri). maka menurut peraturan menetapkan “yang membagi harus mengambil pada giliran terakhir” ini merupakan prosedur yang adil dan berorieantasi pada akhlak mulia. Dengan ketentuan itu, bila sipembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, maka tanpa harus diperintah oleh orang lain, dengan kesadaran akhlak, dia akan berusaha seadil-adilnya membagi kue itu secara transparan menjadi sama besarnya. Dengan demikian, walaupun ia mendapat giliran terakhir, secara kasat mata tidak akan dirugikan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik, karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalah gunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada kehebatan rekayasa politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik dan benar, sehingga keadilan distributif, komonikatif, dan keadilan sosial bisa terjamin secara faktual.<br />Sistem hukum yang baik dan benar, juga akan menghindarkan praktek busuk politikus. Sering terjadi, meski hukum sudah adil. Seorang koroptor divonis bebas oleh hakim karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, antara lain ; tidak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan ; dan penyelesaiannya harus mengacu pada prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil). Dalam logika agama hanya Allah yang menetapkan hukum dengan prosedur yang seadil-adilnya.<br />IV<br />Setiap individu yang beriman kepada Allah diharapkan mampu menjadi khalifah Allah di muka bumi untuk menerapkan norma-norma dan nilai-nilai keadilan.<br />Cendekiawan muslim Nurcholis Madjid menguraikan kata “keadilan” ditinjau dari segi kebahasaan. Dalam kitab suci al-Qur’an disebutkan perkataan “adil (‘ad’l), untuk makna keadilan dan berbagai nuansanya. Adapula perkataan “qisth”, “wasth”, dan “mizan”. Semua pengertian berbagai kata itu bertemu dalam suatu ide umum sikap tengah yang berkesinambungan dan jujur. Kalau diteliti lagi secara etimologis bahasa Arab, bahwa “wasith” terambil “wasth”. Dalam bahasa Indonesia disebut “wasit” artinya “penengah” atau orang yang berdiri di tengah, yang mengisyaratkan keadilan. Begitu pula “’ad’l” sinonim dengan kata “inshaf” (berasal dari “nishf” yang artinya “setengah”), dan orang yang adil disebut “munshif”. (dari “inshaf” itulah timbul kata “insaf” dalam bahasa Indonesia yang berarti “sadar”, karena memang orang yang adil, yang sanggup berdiri di tengah tanpa secara apriori memihak, dan menyadari persoalan yang dihadapi membutuhkan sikap tengah untuk memutuskan sesuatu menjadi tepat dan benar).<br />Menurut Murtadla al- Muthahari, terdapat empat pengertian pokok tentang adil dan keadilan : <br />Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan seimbang (mawzun, balance), tidak pincang. Dalam suatu kesatuan secara bersama-sama menuju tujuan yang sama, dengan persyaratan yang sama, mempunyai ukuran yamg tepat, dan diharapkan mampu untuk mempertahankan diri sesuai dengan fungsinya, sehingga bagian-bagian dari kesatuan tersebut hanyalah sebagai alat. Muthahhari menegaskan, bahwa keadilan dalam makna keseimbangan itu berlaku terutama untuk kesatuan bagian wujud fisik, termasuk alam raya. Seperti firman Allah menyatakan : “Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, Dia meletakkan keseimbangan (mizan)”8. maka keadilan dengan makna keseimbangan adalah lawan dar kekacauan atua ketidakserasian. Begitu juga keserasian sosial, harmonisasi kehidupan bermasyarakat, dalam arti, keamanan, ketertiban, kemantapan serta keberhasilan mencapai tujuan dan sebagainya, bisa terwujud melalui sistem politik yang adil. <br />Kedua, keadilan mengandung makna persamaan. Tetapi bukan persamaan mutlak terhadap semua orang, dalam arti yang sempit. Muthahhari menjelaskan, bahwa keadilan dalam persamaan bukan memberlakukan semua sama tanpa memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, tugas dan fungsi seseorang. Misalnya seorang pemimpin diberlakukan persis sama dengan seorang pesuruh. Hal ini bukan keadilan tetapi kezaliman. Pengertian keadilan dalam persamaan ialah memberlakukan sama kepada mereka yang mempunyai hak yang sama (karena kemampuan, tugas dan fungsi yang sama). <br />Ketiga, keadilan dalam perhatian kepada hak-hak pribadi, dan memberikan haknya karena dia yang mempunyai hak tersebut. (“I’tha kull dzi haqq haqqahu”). Apabila tidak demikain berarti kezaliman, yaitu perampasan hak bagi orang yang berhak dan pelanggaran hak-hak oleh orang yang tidak berhak. Menurut Muthahhari, ada dua hal yang harus dijelaskan ; (1) Masalah hak dan pemilikan (al-huquq wa al-uluwiyyat, rights and properties) Hak dan pemilikan seseorang sesuai dengan usaha dan hasil usahanya. Begitu juga hak pemilikan yang bersifat alami, misalanya hak bayi untuk mendapatkan susu. Adalah suatu yang zalim seorang ibu apabila tidak memeberi susu terhadap bayinya. (Kalau si bayi “hanya” setuju minum ASI). (2) Masalah kekhususan hakiki manusia, yaitu kualitas manusiawi trtentu yang harus dipenuhi oleh dirinya dan diakui oleh orang lain untuk dapat mencapai tujuan hidupnya yang lebih tinggi ( mencapai prestasi atau karier). Menghalangi adalah kezaliman.<br />Keempat, Keadilan Tuhan (al- ‘ad’l al-Ilahi), berupa kemurahan Allah dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada sesuatu atau etingkat dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya sendiri atau pertumbuhan danperkembangan ke arah kesempurnaan.9<br />Prinsip keadilan menurut logika agama, akan mempertajam pemahaman terhadap diskursus etika politik yang mau tidak mau, setuju atau tidak setuju membutuhkan kesadaran akhlak mulia.<br />Wallahu a’lam bi al-shawab<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Ahmad Amin, Al- Akhlak, (Kairo, Dar al- Kutub al- Mishriyah, t.t.)<br />Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta, Rajawali Pers, 1987)<br />Austin Fogothey, Right and Reason, (St. Louis, USA : Press of the V.C. Mosby, 1976)<br />Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, ( Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994)<br />Encyclopdia Britanica, Vol.III, (London, Inc.1972)<br />Frans Von Magnis, Etika Umum, (Yogyakarta, Yayasan kanisius, 1975)<br />Ibnu Miskawaih, Tahdhib al- Akhlaq, ( Berut : Dar al- Kutb al- Ilmiah, 1985)<br />Imam al- Ghazali, Ihya ‘Ulum al- Din, jilid III. (Kairo, Dar al- Sya’b, t.t)<br />Johannes, Richard L, Etika Komunikasi, (Bandung, Remaja Rosdakarya< 1992)<br />Nurcholish Madjid, Islam Doktren dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992)<br />William Frankena, Ethics, (New Jersey : Prentice Hall, 1973)<br />William Lillie, An Introduction to Ethics, (New York : Barnes Noble, 1957)<br />w. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung, Remajakarja, 1986)<br /><br /> <br /><br /> <br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR KUTIPAN<br /><br />1 “the normative science of the conduct of human beings living in societeis is a scince which judge this conduct to be right or wrong, to be good or bad, or in some similar way. Thisdefinition says, first of all, that athiccs is a science,and a science may be definned as a systematic and more or less complete body of knomledge about a particular set of related events or objects” (william Lillie, An Introduction to Ethics (New York : Barnes Noble, !957), hal. 1-2.<br />2 Austi Fogethey, Right and Reason ( St. Louis, USA : Press of the V.C. Mosby, 976), hal.3-4.<br />3 William Frankena, Ethics (New Jersey: Prentice Hall, 1973) hal. 5-6.<br />4 kata budi peketi dalam bahasa Indonesia, merupakan kata majemuk dari kata ‘budi’ dan ‘pekerti’. Kata budi berasal dari bahasa Sansekerta, bentuk isim-fa’il ( subjek) atau alat, yang berarti ‘yang sadar’ atau ‘yang menyadarkan’ atau ‘alat kesadaran’. Bentuk masdarnya budh yang berarti ‘kesadaran’. Sedang bentuk maf’ulnya (objek) adalah budha artinya ‘yang disadarkan’. Pekerti, berasal dari bahasa Indonesia yang berarti ‘kelakuan’. Menurut terminologi : kata ‘budi pekerti’ yang terdiri budi dan pekerti; dapat dijelaskan bahwa ‘budi’ ialah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio, disebut caracter. Jadi, budi pekerti adalah merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia. <br />5 Ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang harus dilaksanakan oleh sebagian manusia terhadap sebagiannya, menjelaskan tujuan yang hendaknya dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan yang lurus yang harus diperbuat. Amin, Al-Akhlak, (Kairo, Dar al-Kutub al- Mishriyah, t.t.), hal.12<br />6 Ibnu Miskawaih, Tahdib al- Akhlaq, (Beirut: Dar al-Kutb al- Ilmiah, 1985), hal.14<br />7 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al- Din, Jilid III ( Kairo, Dar al- Sya’b, t.t), hal.52<br />8 Surat al- Rahman, 55: 9.<br />9 Nurcholish Madjid, Islam, Doktren dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992), hal.513-517.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-20354730818162250952008-12-15T20:25:00.001-08:002008-12-15T20:25:43.668-08:00ASPEK PENILAIAN PRAKTEK MENGAJARASPEK PENILAIAN PRAKTEK MENGAJAR<br />I. PERSIAPAN<br />1. Program Satuan Pelajaran<br />a. Rumusan Tujuan Pembelajaran <br />b. Perumusan Tujuan Pembelajaran Khusus<br />c. Penjabaran Materi<br />d. Alat/Bahan Pelajaran<br />e. Langkah-Langkah Proses Belajar Mengajar<br />2. Absen Tatap Muka<br />II. KEG.IATAN BELAJAR MENGAJAR<br />A. Pendahuluan<br />1. Penampilan Guru<br />2. Appersepsi / Motivasi<br />3. Penguasaan B.Indonesia Yang Baik dan Benar<br />B. Pengembangan<br />1. Penguasaan Materi<br />2. Penyajian Sesuai dengan Urutan Materi<br />3. Metode / Pendekatan<br />4. Penggunaan Alat Bantu<br />5. Partisipasi Siswa<br />6. Bimbingan Terhadap Siswa Yang Mengalami Kesulitan Belajar<br />7. Teknis Bertanya<br />III. PENERAPAN DAN PENUTUP<br />1. Tes Proses Belajar<br />2. Daya Serap<br />3. Resume<br />4. Tugas Siswa<br />5. Pelaksanaan Sesuai Dengan Alokasi Waktu<br />6. Mengakhiri Pelajaran Dengan Baik.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-26333087735731287692008-12-15T20:24:00.001-08:002008-12-15T20:24:38.769-08:00CONTOH PROSEDUR MENGAJARCONTOH PROSEDUR MENGAJAR<br />Hal yang perlu dilakukan sebelum memulai KBM :<br />- Salam<br />- Menulis tanggal<br />- Menuliskan Mata Pelajaran & Judul Bahasan<br />- Mengabsen siswa atau menanyakan yang tidak hadir<br />- ( Khusus SD/MI ) membagi papan tulis dalam beberapa bagian<br />- mengecek tugas-tugas dan kesiapan siswa<br />- berdo’a<br />A. MEMULAI PELAJARAN <br />1 Menyampaikan bahan pengait/ appersepsi atau pre tes <br />2 Memotivasi siswa untuk melibatkan diri dalam Kegiatan Belajar Mengajar <br />B MENGELOLA KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR (KBM) <br />1 Menyampaikan bahan <br />2 Memberi contoh <br />3 Menggunakan alat/ media pengajaran <br />4 Memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif <br />5 Memberi penguatan <br />C MENGORGANISASIKAN WAKTU, SISWA DAN FASILITAS BELAJAR <br />1 Mengatur penggunaan waktu <br />2 Mengorganisasi peserta didik <br />3 Mengatur dan memanfaatkan fasilitas belajar <br />D MELAKSANAKAN PENILAIAN PROSES DAN HASIL BELAJAR <br />1 Melaksanakan penilaian selama KBM berlangsung <br />2 Melaksanakan penilaian pada akhir pelajaran <br />E MENGAKHIRI PELAJARAN <br />1 Menyimpulkan pelajaran <br />2 Memberikan tindak lanjutH. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-90206682282124045882008-12-15T20:22:00.000-08:002008-12-15T20:23:05.799-08:00KINERJA GURUKINERJA GURU<br />1. Mengelola ruang dan fasilitas pembelajaran <br />1.1 Menyiapkan alat, media, dan sumber belajar<br />Yang perlu diperhatikan dalam menyiapkan alat, media, dan sumber belajar sebagai berikut berikut.<br />a. Media pembelajaran yang diperlukan tersedia.<br />b. Media pembelajaran mudah dimanfaatkan.<br />c. Sumber belajar yang diperlukan tersedia.<br />d. Sumber belajar mudah dimanfaatkan<br />1.2 Melaksanakan tugas harian kelas <br />Tugas-tugas harian kelas mungkin berhubungan atau tidak berhubungan langsung dengan pembelajaran. Pelaksanaan tugas harian kelas yang efektif dan efisien sangat menunjang proses pembelajaran. <br />Untuk menilai butir ini perlu diperhatikan apakah guru memeriksa dan menindaklanjuti hal-hal berikut.<br />a. Ketersediaan alat tulis (kapur, spidol) dan penghapus.<br />b. Pengecekan kehadiran siswa.<br />c. Kebersihan dan kerapian papan tulis, pakaian siswa, dan perabotan kelas.<br />d. Kesiapan alat-alat pelajaran siswa serta kesiapan siswa mengikuti pelajaran.<br />2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran <br />2.1 Memulai kegiatan pembelajaran<br />Kegiatan memulai pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam rangka menyiapkan fisik dan mental siswa untuk mulai belajar.<br />Memulai pembelajaran dapat dilakukan dengan cara :<br />a. Memotivasi siswa dengan mengajukan pertanyaan yang menantang atau menceritakan peristiwa yang sedang hangat.<br />b. Mengaitkan materi pembelajaran dengan pengalaman siswa ( apersepsi ).<br />c. Memberikan acuan dengan cara mengambarkan garis besar materi dan kegiatan.<br />d. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang harus dicapai.<br />2.2 Melaksanakan jenis kegiatan yang sesuai dengan tujuan, siswa, situasi, dan lingkungan<br />Segi ini menunjukkan tingkat kesesuaian antara jenis kegiatan pembelajaran dengan tujuan pembelajaran, kebutuhan siswa, perubahan situasi yang dihadapi, dan lingkungan.<br />Hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut.<br />a. Kegiatan pembelajaran sesuai dengan tujuan dan hakikat materi pembelajaran.<br />b. Kegiatan pembelajaran sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan iswa.<br />c. Kegiatan pembelajaran terkoordinasi dengan baik (guru dapat engendalikan pelajaran, perhatian siswa terfokus pada pelajaran, disiplin kelas terpelihara).<br />d. Kegiatan pembelajaran bersifat kontekstual (sesuai tuntutan situasi dan lingkungan).<br />2.3 Menggunakan alat bantu (media) pembelajaran yang sesuai dengan tujuan, siswa, situasi, dan lingkungan<br />Segi ini memusatkan perhatian kepada penggunaan media pembelajaran yang dipergunakan guru dalam kelas, semakain variatif semakin bagus<br />2.4 Melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam urutan yang logis<br />Segi ini digunakan untuk menentukan apakah guru dapat memilih dan mengatur secara logis kegiatan pembelajaran sehingga kegiatan satu dengan dengan yang lain merupakan tatanan yang runtun.<br /> Untuk menilai butir ini perlu diperhatikan deskriptor berikut.<br />a. Kegiatan disajikan dari mudah ke sukar.<br />b. Kegiatan yang disajikan berkaitan satu dengan yang lain.<br />c. Kegiatan bermuara pada kesimpulan.<br />d. Ada tindak lanjut yang dapat berupa pertanyaan, tugas-tugas atau PR pada akhir pelajaran.<br />2.5 Melaksanakan kegiatan pembelajaran Secara individual, kelompok, atau klasikal<br />Dalam pembelajaran, variasi kegiatan yang bersifat individual, kelompok atau klasikal sangat penting dilakukan untuk memenuhi perbedaan individual siswa dan/atau membentuk dampak pengiring. <br />Untuk menilai butir ini perlu diperhatikan deskriptor sebagai berikut.<br />a. Pelaksanaan kegiatan klasikal, kelompok atau individual, sesuai dengan tujuan/ materi/ kebutuhan siswa.<br />b. Pelaksanaan kegiatan klasikal, kelompok atau individual sesuai dengan waktu dan fasilitas pembelajaran.<br />c. Perubahan dari kegiatan individual ke kegiatan kelompok, klasikal ke kelompok atau sebaliknya berlangsung dengan lancar.<br />d. Peran guru sesuai dengan jenis kegiatan (klasikal, kelompok atau individual) yang sedang dikelola.<br />e. Dalam setiap kegiatan (klasikal, kelompok atau individual) siswa terlibat secara optimal.<br />f. Guru melakukan perubahan kegiatan sesuai kebutuhan supaya tidak terjadi stagnasi.<br />2.6 Mengelola waktu pembelajaran secara efisien<br />Segi ini mengacu kepada pemanfaatan secara optimal waktu pembelajaran yang telah dialokasikan.<br />Untuk menilai butir ini perlu diperhatikan descriptor berikut.<br />a. Pembelajaran dimulai tepat waktu.<br />b. Pembelajaran diakhiri tepat waktu <br />c. Pembelajaran dilaksanakan sesuai perincian waktu yang ditentukan.<br />d. Pembelajaran dilaksanakan sampai habis waktu yang telah dialokasikan.<br />e. Tidak terjadi penundaan kegiatan selama pembelajaran.<br />f. Tidak terjadi penyimpangan waktu selama pembelajaran.<br />3. Mengelola interaksi kelas <br />3.1 Memberi petunjuk dan penjelasan yang berkaitan dengan isi pembelajaran<br />guru harus menjelaskan secara efektif konsep, ide, dan prosedur yang bertalian dengan isi pembelajaran, apakah Petunjuk dan penjelasan sulit dimengerti dan tidak ada usaha guru untuk mengurangi kebingungan siswa, atau Petunjuk dan penjelasan guru sulit dimengerti dan ada usaha guru untuk mengurangi tetapi tidak efektif, atau Petunjuk dan penjelasan guru sulit dimengerti, ada usaha guru untuk mengurangi kebingungan siswa dan efektif., atau Petunjuk dan penjelasan guru sudh jelas dan mudah dipahami siswa.<br />3.2 Menanggapi pertanyaan dan respon siswa<br />Guru harus menangani pertanyaan dan komentar siswa., dimana guru idealnya meminta siswa lain untuk merespon pertanyaan temannya atau menampung respons dan perta-nyaan siswa untuk kegiatan selanjutnya, atau paling tidak menggali respons atau pertanyaan siswa selama pembelajaran berlangsung dan memberikan balikan kepada siswa.<br />3.3 Menggunakan ekspresi lisan, tulisan, isyarat dan gerakan badan<br />Guru harus mampu dalam berkomunikasi dengan bahasa lisan, tulisan, dan isyarat termasuk gerakan badan.<br /> Kemampuan bidang ini adalah sebagai berikut.<br /> a. Pembicaraan lancar.<br /> b. Pembicaraan dapat dimengerti.<br /> c. Materi yang tertulis di papan tulis atau di kertas manila (berupa tulisan dan atau gambar) dan lembar kerja dapat dibaca dengan jelas.<br /> d. Isyarat termasuk gerakan badan tepat. <br />3.4 Memicu dan mengelola keterlibatan Siswa<br />Hal ini dimaksudkan memusatkan perhatian pada prosedur dan cara yang digunakan guru dalam mempersiapkan, menarik minat, dan mendorong siswa untuk berpartisipasi dalam pembelajaran.<br />Untuk menilai butir ini perlu diperhatikan apakah guru melakukan hal-hal berikut.<br />a. Membantu siswa mengingat kembali pengalaman atau pengetahuan yang sudah diperolehnya.<br />b. Mendorong siswa yang pasif untuk berpartisipasi.<br />c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka yang mampu menggali reaksi siswa.<br />d. Merespons/menanggapi secara positif siswa yang berpartisipasi.<br />3.5 Memantapkan penguasaan materi pembelajaran<br />Kemampuan guru dalam bidang ini dimaksudkan bahwa guru harus memantapkan penguasaan materi pembelajaran dengan cara merangkum, meringkas, mereviu (meninjau ulang), dan sebagainya. Kegiatan ini dapat terjadi beberapa kali selama proses pembelajaran.<br />4. Bersikap terbuka dan luwes serta membantu mengembangkan sikap positif siswa terhadap belajar <br />4.1 Menunjukkan sikap ramah,hangat, luwes, terbuka, penuh pengertian, dan sabar kepada siswa<br />Hal-hal yang harus diperhatikan sebagai berikut.<br />a. Menampilkan sikap bersahabat kepada siswa. <br />b. mengendalikan diri pada waktu menghadapi siswa yang berperilaku kurang sopan/negatif <br />c. Menggunakan kata-kata atau isyarat yang sopan dalam menegur siswa. <br />d. Menghargai setiap perbedaan pendapat, baik antar siswa, maupun antara guru dengan siswa. <br />4.2 Menunjukkan antusiasme mengajar<br />Segiini mengukur tingkat kegairahan mengajar. kegairahan ini dapat diperhatikan melalui wajah, nada, suara, gerakan, isyarat, dan sebagainya.<br />Untuk Segi ini perlu diperhatikan apakah guru menunjukkan kesungguhan dengan:<br />a. Pandangan mata dan ekspresi wajah.<br />b. Nada suara pada bagian pelajaran penting.<br />c. Cara mendekati siswa dan memperhatikan hal yang sedang dikerjakan.<br />d. Gerakan atau isyarat pada bagian pelajaran yang penting.<br />4.3 Mengembangkan hubungan antarpribadi yang sehat dan serasi<br />Segiini mengacu kepada sikap mental guru terhadap hal-hal yang dirasakan dan dialami siswa ketika mereka mengahapi kesulitan.<br />4.4 Membantu siswa menyadari kelebihan dan kekurangannya<br />Segiini mengacu kepada sikap dan tindakan guru dalam menerima kenyataan tentang kelebihan dan kekurangan setiap siswa.<br />Untuk segir ini perlu diperhatikan deskriptor sebagai berikut.<br />a. Menghargai perbedaan individual setiap siswa.<br />b. Memberikan perhatian kepada siswa yang menampakkan penyimpangan (misalnya cacat fisik, pemalu, agresif, pembohong).<br />c. Memberikan tugas tambahan kepada siswa yang memiliki kelebihan dalam belajar atau membantu siswa yang lambat belajar.<br />d. Mendorong kerja sama antar siswa yang lambat dan yang cepat dalam belajar.<br />4.5 Membantu siswa menumbuhkan kepercayaan diri<br />Segi ini mengacu kepada usaha guru membantu siswa menumbuhkan rasa percaya diri.<br />Untuk menilai butir ini perlu diperhatikan deskriptor berikut.<br />a. Mendorong siswa agar berani mengemukakan pendapat sendiri.<br />b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk memberikan alasan tentang pendapatnya.<br />c. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk memimpin.<br />d. Memberi pujian kepada siswa yang berhasil atau memberi semangat kepada siswa yang belum berhasil.<br />5. Mendemonstrasikan kemampuan khusus dalam pembelajaran mata pelajaran <br />Contohnya : <br />Materi pembelajaran Bahasa/sastra Indonesia meliputi 4 aspek, yaitu:<br />a. kebahasaan/kesastraan.<br />b. pemahaman/reseptif: membaca/mendengarkan.<br />c. penggunaan/produktif: berbicara/menulis, dan<br />d. apresiasi bahasa/sastra.<br />6. Melaksanakan evaluasi proses dan hasil belajar <br />6.1 Melaksanakan penilaian selama proses pembelajaran<br />Penilaian dalam proses pembelajaran bertujuan mendapatkan balikan mengenai tingkat pencapaian tujuan selama proses pembelajaran.<br />6.2 Melaksanakan penilaian pada akhir pembelajaran<br />Penilaian pada akhir proses pembelajaran bertujuan mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran.<br />7. Kesan umum kinerja guru <br />7.1 Keefektifan proses pembelajaran<br />Segi ini mengacu kepada tingkat keberhasilan guru dalam mengelola pembelajaran sesuai dengan perkembangan proses pembelajaran.<br />Untuk menilai butir ini perlu diperhatikan deskriptor berikut.<br />a. Pembelajaran lancar.<br />b. Suasana kelas terkendali sesuai dengan rencana.<br />c. Suasana kelas terkendali melalui penyesuaian.<br />d. Mengarah kepada terbentuknya dampak pengiring (misalnya ada kesempatan bagi siswa untuk dapat bekerja sama, bertanggung jawab, tenggang rasa).<br />7.2 Penggunaan bahasa Indonesia tepat<br />Segi ini mengacu kepada kemampuan guru dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.<br />Untuk menilai butir ini perlu diperhatikan deskriptor berikut.<br />a. Ucapan jelas dan mudah dimengerti.<br />b. Pembicaraan lancar (tidak tersendat-sendat).<br />c. Menggunakan kata-kata baku (membatasi penggunaan kata-kata daerah atau asing).<br />d. Berbicara dengan menggunakan tata bahasa yang benar.<br />7.3 Peka terhadap kesalahan berbahasa siswa<br />Guru perlu menunjukkan rasa peka terhadap kesalahan berbahasa, agar siswa terbiasa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Rasa peka dapat ditunjukkan dengan berbagai cara seperti menegur, menyuruh, memperbaiki atau menanyakan kembali.<br />7.4 Penampilan guru dalam pembelajaran<br />Segi ini mengacu kepada penampilan guru secara keseluruhan dalam mengelola pembelajaran (fisik, gaya mengajar, dan ketegasan).<br />Untuk menilai butir ini perlu diperhatikan deskriptor berikut.<br />a. Berbusana rapi dan sopan.<br />b. Suara dapat didengar oleh seluruh siswa dalam kleas yang bersangkutan.<br />c. Posisi bervariasi (tidak terpaku pada satu tempat).<br />d. Tegas dalam mengambil keputusan.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-10730696492552905832008-12-15T20:17:00.000-08:002008-12-15T20:18:09.309-08:00KONSEP SABAR DALAM AL-QUR’AN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN KELUARGAKONSEP SABAR DALAM AL-QUR’AN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN KELUARGA<br />A. Tafsir Tentang Ayat Sabar (Surah Al-Baqarah Ayat 153, 154 & 155) dan Penjelasannya<br />Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 153, 154 & 155, Allah Swt menegaskan semua rahasia pemecahan problematika kehidupan kita 1 :<br /> • . . • . (البقراة : ۱۵۳ - ۱۵۵ )<br /><br />Dalam hal ini ada beberapa penafsiran atau penjelasan mufassir mengenai ayat 153, 154 & 155 surah Al-Baqarah ini yang penulis kemukakan antara lain :<br />1. Penafsiran menurut Syeikh Muhammad As-Sya’rawi<br />Syeikh Muhammad As-Sya’rawi menafsirkan ayat ini, yaitu : Allah Swt menuntut kepada kita agar menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjalankan syari’at-Nya, karena sabar merupakan upaya menahan diri dari keluh kesah / resah terhadap sesuatu yang terjadi dan sabar itu bermacam-macam bentuk sesuai dengan tingkatan manusia dalam beribadah.<br />Saidina Ali Ra. ditanya tentang hak jiran. Beliau menjawab : “Kalian tahukan bahwa kalian tidak boleh manyakitinya ? ... mereka menjawab : Ya. Beliau berkata : Dan kalian harus bersabar terhadap perlakuan jahat darinya. Seakan-akan kalian bukan hanya dituntut untuk tidak menyakiti jiran tetapi juga dituntut bersabar terhadap perlakuan jahat darinya pada diri kalian. Dan sifat sabarlah yang dapat membantumu bisa mengerjakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.<br />Allah SWT melarang kamu dari keinginan-keinginan hawa nafsu dan memerintahkan perkara-perkara yang di dalamnya terdapat kesulitan-kesulitan, yang semuanya ini tentunya memerlukan kesabaran. Andaikan kamu jadikan manhaj Allah SWT itu sebagai ibadah, maka kamu akan terbiasa melakukannya. Seorang shaleh berkata dalam do’anya : ”Ya Allah, aku mohon agar Engkau tidak menyerahkan urusanku pada diriku. Ya Tuhanku, aku khawatir Engkau tidak memberiku pahala amal taatku. Ya Tuhanku, karena aku menginginkannya. Maha Suci Engkau. Engkau perintahkan kami untuk memerangi keinginan-keinginan nafsu kami”.<br />Perhatikan, ketaatan yang datang dari rasa cinta mendalam, menjadi disenangi dan dicintai oleh jiwa. Rasulullah Saw Berkata kepada Bilal disaat sedang mengumandangkan adzan ” أرحنابها يابلال ” Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat”. Beliau tidak mengatakan sebagaimana yang dikatakan sebagai orang “ أرحنامنها “ Kami istirahat mengerjakan shalat. Ada sebagian orang mengatakan bahwa shalat di atas pundakku bagaikan gunung dan aku istirahat mengerjakannya. Kita katakan padanya, ”Dengan shalat justru engkau bisa lapang, jangan tinggalkan sholat, karena kamu bersama dengan Allah, manusia selama ia bersama dengan Tuhannya, maka setiap perkara yang sulit akan menjadi mudah.<br />Firman Allah SWT “ إن الله مع الصابرين “ di sini, Allah menuntun kita agar menghadapi kehidupan ini harus beserta Allah. Engkau jika menghadapi kesulitan-kesulitan ini bersama orang yang kamu yakini mempunyai kekuatan, tentu kamu hadapi masalah itu dengan penuh keberanian. Bagaimana jika kamu bersama Allah yang setiap sesuatu tunduk patuh kepada-Nya ?... Apakah sesuatu itu berani berhadapan dengan kamu sedang kamu bersama-sama Allah ?...<br />Peristiwa yang terjadi tidak akan membuat makhluk gelisah dan keluh-kesah kecuali pada saat jauh dari pemeliharaan Tuhannya. Orang yang hidup dalam pemeliharaan Tuhannya, membuat syaitan tidak berani mengganggunya, syaitan khannas dibuatnya. Apa maksud khannas ? ... apabila kamu lupa mengingat Allah, ia berani mengganggumu dan apabila kamu mengingat-Nya (Allah), ia khannas dan lemah, tidak ada daya upaya / kekuatan baginya. Ia tidak mau masuk berperang melawan Allah tapi ia hanya masuk melawan makhluk Allah yang melupakan-Nya dan menjauhkan diri dari-Nya. Allah berfirman :<br /> • • . . ( ص : ۸۲ - ۸۳) <br /><br />Selama Allah bersama orang-orang sabar, tentu kita merindukan kesabaran. Bagaimana tidak, sabar yang membuat Allah SWT senantiasa menyertai kita.<br />Allah SWT mengetahui betul bahwa peristiwa keamanan dan permusuhannya senantiasa menimpa kaum muslimin dengan cara kekerasan tidak hanya mengancam harta mereka, namun juga diri mereka. Allah SWT ingin memberikan kekuatan pada kaum muslimin untuk melawan semua kejadian ini dan mewasiatkan untuk bersabar dan mengerjakan shalat, menghadapi kejadian-kejadian yang menggoncangkan jiwa mereka lewat kekerasan, dan allah katakan pada mereka masalah ini sampai kepada pembunuhan, mati syahid di jalan Allah. Dan Allah ingin mereka bisa tenteram dengan mengetahui bahwa mati syahid, setinggi-tingginya martabat iman, dimana seorang mukmin mampu mencapainya di dunia ini. Allah berfirman :<br /> . (البقراة : ۱۵٤ )<br />Kematian adalah peristiwa paling berat yang terjadi pada diri manusia. Anda boleh terkena musibah yang menimpa pada harta anda, anak anda, rezeki anda dan pada kesehatan anda, tapi apabila musibah ini menimpa pada diri anda dan anda dibunuh, maka ini adalah musibah yang sangat besar.<br /> . (البقراة : ۱۵٤ )<br /><br />Kita tahu bahwa sekedar mendapatkan cobaan bukanlah satu kesalahan, tapi yang dinamakan kesalahan itu adalah gagal dalam menghadapi cobaan itu. Cobaan merupakan ujian dan tidak seorangpun mengatakan ujian itu satu kesalahan. Ia menjadi satu kesalahan bagi mereka yang tidak mampu memikul beratnya usaha menggapai keberhasilan. Adapun mereka yang mencurahkan semua kemampuannya dan berhasil meraih peringkat pertama, maka uian baginya adalah satu kebaikan. Oleh karenanya maksud firman Allah ”ولنبلو نكم ” yaitu Kami akan mengadakan ujian untuk memilih prajurit / pahlawan mengemban akidah baru ini.<br />Pada ayat sebelumnya Allah SWT Menyebutkan puncak dari cobaan yaitu bahwa manusia bisa mencapai derajat mati syahid di jalan Allah dan pahal syahid berupa berupa kekal hidup di sisi Tuhannya. Yang demikian itu mengawali cobaan-cobaan yang ringan. Menurut pandangan kita puncak dari cobaan adalah kehilangan hidup / kematian. Allah SWT ingin memberikan kekuatan pada kaum mukmin dalam menghadapi cobaan-cobaan di bawah itu, kekuatan menghadapi rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Setiap sesuatu selain kematian adalah adalah masalah sepele jika dibandingkan dengan kehilangan hidup itu sendiri. Siapa yang tidak merasakan kehilangan nyawa, maka ia akan mendapatkan cobaan di bawah ini, yaitu cobaan berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan kekurangan saudara-saudara mukmin, demikian pula kekurangan buah-buahan. Isi semua perkara yang disenangi manusia. Kemudian datang perintah menuntut seorang mukmin meninggalkan sebagian dari yang ia senangi itu. Allah berfirman :<br /> • . (البقراة : ۱۵۵ ) 2<br /><br />2. Penafsiran menurut Syeikh Sa’id Hawwa<br />Syeikh Sa’id Hawwa menafsirkan : adalah setelah menerangkan perintah bersyukur, Allah kembali menerangkan tentang sikap sabar dan memberikan bimbingan untuk menuju kesempurnaannya, yaitu mengenal Allah, mengenal janji-janji Allah untuk para syuhada dan orang-orang sabar.<br />Pada ayat ini Allah memerintahkan untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong, karena keduanyalah yang sangat membantu menerima semua musibah. Dalam sebuah hadits diriwayatkan , “Bahwa Rasulullah apabila ditimpa satu perkara, beliau bersegera melakukan shalat”.<br />Sabar terbagi dua, sabar meninggalkan perbuatan haram dan dosa, sabar melaksanakan taat dan ibadah. Dan sabar yang kedua ini lebih besar pahalanya dari sabar yang pertama, karena inilah yang dimaksudkan. Adapun sabar yang ketiga yaitu sabar terhadap musibah yang menimpanya. Inipun hukumnya wajib seperti halnya minta maaf atas kesalahan. Dan puasa tergolong bagian bagian dari perintah menjadikan sabar sebagai penolong, karena puasa sebagian dari sabar. Sebagaimana membaca Al-Fatihah dan do’a termasuk bagian dari perintah menjadikan shalat sebagai penolong karena membaca Al-Fatihah dan do’a bagian dari shalat. Akan tetapi maksud pokok dari sabar di sini adalah bersabar / bersikap sabar. Apabila ini sudah jelas, maka kami katakan :<br /> <br />Karena dengan sabar anda akan meraih semua kenikmatan. ” والصلاة ”karena shalat mencegah dari segala perbuatan hina dan shalat juga memberikan ketenangan bagi orang yang mengerjakannya. ” إن الله مع الصابرين ”<br />Allah SWT beserta orang-orang sabar dengan memberikan pertolongan dan kemenangan. Rasulullah Saw bersabda :<br />عن صهيب بن سنان عن رسول الله قال : عجبا للمؤمن لا يقضى له الله قضاء إلا كان خيرا له. إن أصابته سرّاء فشكر كان خيرا له. وإن اصابته ضراء فصبر كان خيرا له. (رواه مسلم)<br /><br />”Sungguh menakjubkan kehidupan seorang mukmin. Allah SWT tidaklah memutuskan satu perkara untuknya melainkan kebaikan baginya. Apabila dia diterpa musibah dia bersabar, dan yang demikian itu baik baginya. Dan apabila dia memperoleh nikmat, dia bersyukur dan yang demikian itu baik baginya.<br /> . (البقراة : ۱۵٤ )<br /><br />"Allah SWT memberitahukan keadaan para syuhada di alam barzakh, bahwa mereka hidup serta diberi rezeki. Dalam ayat ini terdapat larangan mengatakan mati bagi orang-orang yang gugur di jalan Allah, karena mereka hidup dalam kehidupan yang kita tidak mengetahuinya, karena kehidupan para syuhada tidak bisa diketahui melalui panca indera".<br /> • . (البقراة : ۱۵۵ )<br /><br />Pada ayat pertama Allah memerintahkan untuk menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong dan Allah menjanjikan memberikan pertolongan-Nya dan kemenangan atas kesabaran. Setelah itu Allah menyebutkan hal-hal yang bisa membantu bersikap sabar terhadap musibah-musibah besar yang menimpanya di jalan Allah yaitu kematian, dengan memberitahukan keadaan para syuhada di sisi Allah. Kemudian ia jelaskan juga keadaan orang-orang yang sabar, hakekat sabar dan ganjarannya serta apa yang akan terjadi. Dengan demikian sempurnalah hakekat sabar sebagai penyempurna sikap syukur. Ajaran Islam tidak lain adalah sabar dan syukur. 3<br /><br />3. Penafsiran menurut Imam Muhammad Jamaluddin Al Qasimi<br />Pada ayat sebelumnya Allah SWT memerintahkan untuk bersyukur dan pada ayat ini Allah memberikan bimbingan menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong. Karena seorang hamba tidak terlepas dari dua keadaan. Keadaan mendapatkan nikmat, maka ia harus bersyukur. Dan keadaan mendapat musibah, maka ia harus bersabar menghadapinya. Sebagaimana sabda Rasul :<br />عن صهيب بن سنان عن رسول الله قال : عجبا للمؤمن لا يقضى له الله قضاء إلا كان خيرا له. إن أصابته سرّاء فشكر كان خيرا له. وإن اصابته ضراء فصبر كان خيرا له. (رواه مسلم)<br />Artinya :<br />"Sungguh menakjubkan kehidupan seorang mukmin, Allah SWT tidaklah memutuskan satu perkara untuknya melainkan kebaikan baginya. Apabila ia ditimpa musibah ia bersabar dan yang demikian itu baik baginya. Dan apabila ia memperoleh nikmat, dia bersyukur dan yang demikian itu baik baginya".<br /><br />Allah menjelaskan bahwa yang sangat membantu sekali bagi seseorang dalam menghadapi musibah di jalan Allah adalah sabar dan shalat. Diriwayatkan sebuah hadits :<br />عن حذيفة رصى الله عنه قال : أن رسول الله كان إذا حزبه أمر صلى. (رواه احمد وابو داود )<br />Artinya :<br />“Bahwa Rasul saw apabila ditimpa suatu urusan atau masalah beliau segera shalat”.<br /><br />Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “As Siyasah As Syar’iyah” berkata : Yang paling membantu bagi seorang pemimpin (secara khusus) dan bagi yang lainnya (secara umum) tiga macam :<br /><br />1. Ikhlas karena Allah, bertawakkal kepada-Nya dengan banyak berdo’a dan lainnya.<br />2. Berbuat baik sesama makhluk dengan memberi manfaat dan harta berupa zakat.<br />3. Bersikap sabar atas perlakuan tidak baik dari orang lain dan atas musibah yang menimpa dirinya.<br /><br />Oleh karena itu, banyak kita temukan kata ”sabar” berbarengan dengan kata ”shalat” dalam satu ayat seperti : واستعينوا بالصبر والصلاة<br />Demikian pula kata shalat berbarengan dengan kata ”zakat” begitu banyak. Dengan melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat dan bersikap sabar tentu akan menjadi baik keadaan pemimpin dan rakyat. <br />" إن الله مع الصابرين "<br />Imam Ibnu Taimiyah berkata kata ”ma’iyah” dalam Al-Qur’an mempunyai dua pengertian, pengertian secara umum seperti firman Allah ” وهو معكم أينما كنتم” dan pengertian secara khusus, seperti firman Allah ” إننى معكما أسمع وأرى ” jika yang dimaksudkan adalah zatNya serta tiap-tiap sesuatu, maka bertentanganlah pengertian umum itu dengan pengertian khusus.<br /><br />Tidaklah dimaksudkan kata ”ma’iyah” dalam bahasa Arab dan Al-Qur’an bersatunya zat dengan zat yang lain. Seperti firman Allah SWT ” محمد رسول الله والذين معه ...” dengan demikian mustahil zat Allah menjelma pada zat makhluk.<br />Pada tempat lain beliau paparkan bahwa kata ”ma’iyah” dalam bahasa Arab sekalipun mengandung makna berkumpul, beserta dan bersamaan, tetapi tidak menapikan kehamatinggianNya pada 'arsyNya, apabila Allah beserta hambaNya, maka hukum kebersamaanNya pada tiap-tiap tempat itu sesuai dengan keadaanNya. Yang berarti kebersamaanNya dengan ilmu, kekuasaan, dan kerajaanNya serta Ia tentukan sebagian orang mendapatkan pertolongan dan kemenanganNya.<br /> . (البقراة : ۱۵٤ )<br /><br />Allah SWT melarang hambanya orang-orang mukmin mengatakan bahwa para syuhada itu mati dalam artian tubuh mereka sudah rusak, mereka kehilangan kehidupan, jiwa mereka sudah mati menjadi seperti benda mati dan memerintahkan mereka mengatakan bahwa para syuhada itu karena mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan diberi rezeki.<br />” ولكن لا تشعرون ” Akan tetapi kamu tidak mengetahui kehidupan rohani mereka setelah kematian. Karena tidak nampak sedikit pun tanda-tanda kehidupan mereka pada badan mereka, sekalipun sebagian tubuh mereka ada yang dipelihara dari kerusakan / masih utuh seperti semula. Sebagaimana kalian lihat orang tidur diam tidak bergerak. Tidak ada kemuliaan yang lebih besar dalam dunia ini dari pada itu dan tidak ada kehidupan akhirat yang lebih makmur dari padanya.<br />” ولنبلونكم بشيئ ” Seruan ini ditujukan kepada orang-orang mukmin dan Rasulullah. Dikhususkan untuk mereka padahal mencakup orang-orang selain mereka karena mereka ikut terlibat langsung dalam dakwah dan jihad serta menghadapi serangan. Dan tiap-tiap penegak kebenaran dan orang yang mengajak kepada kebenaran sedikit banyak akan mendapat salah satu cobaan dari cobaan-cobaan ini. Diberitahukan sebelum terjadi, bertujuan untuk mempersiapkan diri mereka untuk menghadapinya, menambah keyakinan mereka ketika menyaksikan langsung sesuai dengan kenyataannya dan agar mereka tahu bahwa yang terjadi itu barulah perkara sepele, baginya kesudahan yang terpuji ” من الخوف ” ketakutan kepada musuh, gemetar berhadapan dengannya. ” والجوع ” kefakiran dikarenakan sibuk berjihad atau kekurangan bekal dalam peperangan. Jihad di jalan Allah kadang berjihad beberapa hari hanya berbekalkan sebutir biji kurma. ” ونقص من الأموال ” Kekurangan harta karena berjihad sehingga terabaikan merawat kebun-kebun mereka atau kehilangan sebagian harta yang dittinggalkan disebabkan hijrah. ” والأنفس ” Kekurangan jiwa dengan terbunuh sebagai syuhada di jalan Allah atau kehilangan sebagian anggota tubuhnya. ” والثمرات ” Kekurangan buah-buahan yaitu tidak bisa memanen hasil hasil kebun-kebunnya karena ia tinggalkan berjihad di jalan Allah dan kehilangan orang yang merawatnya. Bahwasanya khusus ini semua disebabkan karena ia merupakan harta yang paling berharga bagi kaum Anshar, dimana mereka adalah orang-orang yang khusus disebut. Apalagi disaat turunnya ayat-ayat ini awal masa hijrah. Semua ini dan semisalnya tidak lain adalah bagian dari apa yang akan Allah berikan cobaan kepada hamba-Nya seperti firman-Nya :<br /> . ( محمد : ۳۱ )<br />Kemudian setelah itu Allah menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh bagi orang-orang yang sabar di sisi-Nya, sebagaimana firman-Nya :<br />... . (البقراة : ۱۵۵ ) 4<br /><br /><br /><br />4. Penafsiran menurut Syeikh Muhammad Nawawi Al Jawi<br />Menurut Syeikh Muhammad Al Jawi, Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk meminta pertolongan kepada-Nya agar dihapus dosa-dosanya dengan bersabar mengerjakan kewajiban / kefarduan dan meninggalkan maksiat dan terhadap cobaan dan dengan shalat yaitu dengan mempoerbanyak shalat sunnat siang dan malam. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar dengan memberikan pertolongan-Nya.<br />Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang guru di jalan Allah bahwa mereka itu mati sebagaimana orang-orang yang telah mati, bahkan sebenarnya mereka itu hidup seperti kehidupan penghuni surga di dalam surga, diberikan beberapa kenikmatan-kenikmatan yang amat berharga tetapi kamu tidak mengetahui kehidupan dan keadaan mereka.<br />Ibn Abbas berkata ”Ayat yang diturunkan kepada pahlawan Badar yang gugur pada waktu itu sekitar 14 orang dari kalangan kaum muslim, enam orang di antaranya dari Muhajirin dan delapan oran orang dari Anshar. Dimana banyak orang mengatakan bahwa telah mati pulan bin pulan, telah mati pulan bin pulan. Kemudian Allah SWT melarang mengatakan hal yang demikian itu pada diri mereka (syuhada).<br />Sebagian ulama berkata : Bahwasanya orang-orang kafir dan munafik mengatakan bahwa banyak orang yang bunuh diri hanya untuk mendapatkan keridhaan Muhammad tanpa memperoleh faedah (keuntungan), maka turunlah ayat ini.<br />Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu untuk menguji keadaanmu apakah kamu bisa bersabar terhadap bala cobaan dan menerima qadla (keputusan Allah) atau tidak ?... Dengan sedikit ketakutan kepada musuh, kelaparan akibat kemarau panjang, kekurangan harta akibat dimusnahkan. Jiwa akibat dibunuh dan mati dan buah-buahan akibat kekeringan.<br />Imam Syafi’i berkata : ” الخوف ” ketakutan kepada Allah ” الجوع ” puasa bulan Ramadhan ” النقص من الأموال ” zakat dan sedekah. ” النقص من الأنفس” penyakit-penyakit. ” ومن الثمرات ” kematian anak / keturunan.<br /><br />” وبشر الصابرين ” Kabar gembira di sini ditujukan kepada Rasulullah Saw atau tiap-tiap orang yang pantas menerimanya.5<br /><br />5. Penafsiran menurut Imam Jalaluddin Al Mahally dan Imam Jalaluddin As Sayuti<br />Imam Jalaluddin menafsirkan :<br /> • . . • . (البقراة : ۱۵۳ - ۱۵۵ )<br />Artinya :<br />Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah bahwa mereka itu mati, bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah :153 – 155) <br /><br /><br />Lafazh ” استعينوا ” berarti mintalah pertolongan kepada Allah atas urusan-urusan akhirat.” بالصبر ” dengan sabar melakukan taat yaitu menekuni secara kuntinyu berbuat taat ” baik perbuatan yang bersifat harus dikerjakan ataupun yang bersifat harus ditinggalkan dan dalam menghadapi bala/cobaan. ” والصلاة ” dan dengan shalat dan mengagungkannya ” إن الله مع الصابرين ” bahwasanya Allah beserta orang-orang yang sabar dengan memberikan pertolongan-Nya.<br />” احياء ” roh para syuhada pada lumbung burung-burung hijau, bekeliling didalam syurga kemana ia kehendaki.<br />” ولكن لا تشعرون ” kalian tidak mengetahui keadaan mereka didalam syurga ” من الخوف ” demi ketakutan kepada musuh ” الجوع ” panceklik ” ونقص من الأموال ” dibinasakannya harta ” ولأنفس ” dibunuh dan dimatikaan dan di datangkan beberapa penyakit ” والثمرات ” didatangkan bencana yang merusak tanaman-tanaman. Yang demikian itu tidak lain adalah kami hanya menguji, mencoba kalian serta memperhatikan apakah kalian bisa bersabar atau tidak ? ... ” وبشر الصابرين ” kabar gembira bagi orang-orang yang sabar menghadapi cobaan dengan mendapatkan surga sebagai ganjarannya.6<br /><br />B. Tips Bersabar<br />Bersabar itu suatu hal berat dan sulit bagi diri seseorang, Ibn Qayyim menunjukkan kepada kita terapi yang dapat menolong untuk dapat bersabar.<br />Sekalipun sabar itu berat dan pahit bagi orang-orang, namun untuk memperolehnya adalah hal yang mungkin, yaitu terdiri (tergantung) dari dua kata : ilmu dan amal. Dari keduanyalah terbuat semua obat-obatan yang dapat mengobati hati dan badan. Harus ada satu bagian ilmu dan satu bagian amal sebagai ramuan untuk membuat obat yang paling manjur ini. Satu bagian ilmu itu adalah memahami kebaikan, manfaat, kenikmatan dan kesempurnaan yang terkandung dalam setiap perintah dan memahami keburukan, bahaya dan kekurangan yang terkandung di dalam setiap larangan. Apabila telah memahami dua ilmu ini, yang juga hendaknya disertakan pada keduanya adalah kemauan yang teguh, semangat yang tinggi, keberanian dan kebesaran jiwa serta digabungkan bagian yang satu dengan yang lainnya. Bila seseorang melakukan hal itu, ia akan memperoleh kesabaran. Kesulitan-kesulitan menjadi mudah baginya, kepahitan terasa manis dan berbalik penderitaannya menjadi kenikmatan.7<br />Adapun beberapa perangkat penting yang dapat membantu anda untuk bersabar, di antaranya adalah :<br />1. Iman kepada qadhar dan qadha Allah.8<br />Ini merupakan hal yang pasti. Sesungguhnya sesuatu yang menimpanya sekali-kali bukanlah untuk menjatuhkannya ke dalam dosa. Selama itu merupakan malapetaka zaman dan kejadian-kejadian waktu, tidak ada kontribusi manusia di dalamnya, selama dia beriman bahwa takdir Allah berlaku. Tentunya hal itu mempunyai pengaruh bagi jiwa seorang mukmin, yaitu dapat meringankan musibah yang dialaminya. Allah berfirman : <br /> • ( الحديد : ٢٢ )<br /><br />“Tiada suatu bencanapun yang menimpa bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. (QS. Al Hadid : 22).<br />2. Menyadari bahwa anda adalah milik Allah dan kepada-Nya akan kembali.9<br />Dialah yang menciptakannya dari tiada dan memberinya kehidupan, gerak, rasa, pendengaran, penglihatan, hati dan telah mencukupkan nikmat-nikmat-Nya yang banyak berupa harta, isteri, anak, keluarga dan lainnya. Realitas ini ditegaskan dalam firman Allah SWT :<br /> . ( النحل : ۵۳ )<br /><br />“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah lah datangnya”. (QS. An-Nahl : 53).<br />Maka apabila Sang Pemilik Yang Maha Agung mengambil kembali titipan-Nya, mengapa manusia harus marah, sedih dan tersiksa ?. mengapa ia tidak mengucapkan dengan ikhlas seperti yang diajarkan Allah kepadanya, yaitu : “ إنالله وإنا إليه راجعون “ jika ditimpa musibah dan malapetaka ?.<br />Oleh karena itu, iman kepada hakekat dan makna ini dapat membantu kesabaran dan menolong orang yang terkena musibah untuk tabah menanggung derita petaka, selama dia mengetahui bahwa yang mempunyai titipan ini berhak mengambil kembali titipan-Nya kapan saja Dia inginkan.<br />3. Yakin akan adanya kelapangan dari Allah.10<br />Di antara yang dapat menolong seseorang untuk bersabar adalah keyakinannya bahwa kelapangan dari Allah itu dekat dan pertolongan-Nya pasti datang. Suatu hal yang pasti bahwa setelah kesempitan akan datang kelapangan, setelah kesulitan menanti kemudahan, dan sesudah kesengsaraan akan datang kesenangan. Keyakinan ini ditegaskan dalam firman Allah SWT : <br />... . ( الطلاق : ۷ ) <br /> “ ... Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath-Thalaq : 7).<br /><br />Dan terkadang bersamaan datangnya :<br />• •. • . ( الإنشراح :٥-٦ )<br />“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. Al-Insyirah : 5 – 6).<br /><br />Keyakinan seperti itu menjamin akan menolong seseorang dalam kesabarannya, menjamin akan menaburkan harapan pada dirinya. Karena itu ditegaskan janji Allah dan kepastian-Nya, dan Allah tidak pernah menyalahi janji. Dia berfirman :<br /> ... <br />( المؤمن : ٥٥ )<br /><br />“Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar dan mohonlah ampunan untuk dosamu ... ”. (QS. Al-Mukmin : 55).<br /><br />4. Yakin terhadap balasan baik bagi orang-orang yang sabar.11<br />Ini adalah hal terbaik yang dapat menolong seseorang dalam kesabarannya. Abu Thalib Al-Maliki berkata : “Pangkal dari sedikitnya kesabaran adalah lemahnya keyakinan terhadap balasan baik bagi kesabarannya. Karena jika keyakinannya kuat, lamanya batas waktu yang dijanjikan terasa cepat, jika yang menjanjikan kebaikan itu adalah benar, lalu ia memperkokoh kesabarannya.<br />Apabila mereka yakin terhadap bagusnya dan besarnya pahala kesabaran di sisi Allah, maka musibah yang mendera hati dan kegetiran yang dirasakan jiwa akan terasa ringan. Semakin kuat keyakinan di dalam jiwa terhadap balasan baik dari Allah, semakin ringan terasa derita musibah.<br />Semoga petuah dari seorang khalifah terkemuka Amirul Mukminin Umar bbin Khattab berikut ini dapat membantu anda untuk bersabar. Umar Ra. berkata “tidaklah setiap musibah <br /><br />menimpamu, melainkan aku menganggapnya ringan, karena empat perkara :<br />1. Bahwa musibah ini bukanlah musibah yang paling besar. (Maha Suci Allah! Benar, barangkali masih ada lagi musibah yang lebih besar darinya). <br />2. Bahwa musibah ini tidak mengenai agamaku. (Ya, setiap musibah, selagi belum mengenai agama, maka ini masih ringan).<br />3. Bahwa Allah akan menggantinya dengan surga. (Oh, harganya adalah sabar, saya akan bersabar).<br />4. Bahwa aku mengingat musibah yang aku alami ketika berpisah dengan kekasih saya Rasulullah Saw. 12<br /><br />Kalau sudah begitu, setiap musbah yang menimpa anda akan terasa ringan dan mengejutkan bagi anda.<br /><br />C. Sabar dan Korelasinya Dengan Pendidikan<br />Sabar dalam etimologi berarti mengekang. Sifat ini merupakan posisi yang tinggi dan tidak dapat diraih kecuali oleh orang-orang yang berhati mulia dan berjiwa suci.<br />Sedangkan amarah adalah gejolah jiwa yang membuat sang pelakunya buta dan tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sifat ini merupakan tindakan yang tidak terpuji, <br />kecuali kalau marah demi menegakkan agama Allah. Yaitu seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Beliau adalah sosok orang yang tidak pemarah, bahkan ia mampu menundukkan segala hawa nafsu yang bersemayam dalam dirinya. Akan tetapi beliau akan marah jika kehormatan Allah dirusak dan diinjak-injak oleh manusia.13<br />Pendidikan akhlak merupakan tanggung jawab para orang tua dan guru. Untuk mensukseskan pendidikan ini, seorang anak selayaknya menemukan teladan baik di hadapannya, baik di rumah maupun di sekolah. Sehingga teladan tersebut dapat diajadikan sebagai acuan dalam kehidupannya. Oleh karena itu, keluarga dan sekolah memiliki tanggung jawab yang sangat besar terhadap pendidikan moralitas anak.14<br />Korelasi hal tersebut dengan pengajaran / pendidikan ialah seorang guru pasti bergaul dengan anak muridnya, dengan watak dan pemikiran yang berbeda. Ada di antara mereka yang baik dan ada pula yang lemah. Hal itu merupakan suatu kewajaran bagi seorang guru ketika ia hadir dan mengajar mereka sehari-hari. Bersamaan dengan itu, begitu banyak problem yang dipikul oleh murid ataupun hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan guru. Karena itulah seorang guru sangat dituntut untuk bisa bersabar dan bertanggung jawab. Kesabaran tidak gampang diraih, ia butuh kontinuitas hingga bisa terbiasa. Tidak adanya kesabaran bagi seorang guru akan berdampak negatif pada psikologinya. Apabila ketika sedang melakukan rutinitas mengajar, karena pada dasarnya seorang guru harus berhadapan dengan rasio anak murid yang beragam, baik dalam menyerap, menerima ataupun merespon pelajaran.<br />Banyak kasus, ketika seorang guru menyampaikan materi pelajaran dengan waktu yang lama, tiba-tiba ada seorang murid yang mengaku tidak paham sama sekali pelajarannya. Atau ketika seorang guru mendapatkan pertanyaan yang melenceng dari pembahasan, juga ketika ia sedang mengajar, tiba-tiba anak muridnya ada yang tidur. Bahkan yang lebih parah lagi, ketika seorang murid yang mengeluarkan kata-kata yang kasar terhadap guru. Kendatipun watak dan karakter mereka berbeda, namun bukan berarti seorang guru harus menghindar atau menolak perbedaan tersebut.<br />Perlu diketahui, kesanggupan menguasai amarah merupakan tanda kekuatan seorang guru. Apalagi ketika guru mampu mengimplementasikan apa yang ia harapkan. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah Saw ”Kekuatan bukanlah ketika ia mampu menguasai manusia, akan tetapi kekuatan adalah ketika ia mampu menguasai dirinya ketika ia marah”.15<br />عن أبى هريرة رصى الله عنه ان رسول الله قال : ليس الشديد بالصرعة إنما الشديد الذى يملك نفسه عند الغضب. (متفق عليه)<br /><br />Syeikh Abdullah Nasih ’Ulwan dalam kitabnya ”Tarbiyatul Aulad” berkata : ”Di antara sifat-sifat pokok yang membantu keberhasilan pendidik dalam pendidikan dan menjalankan tanggung jawabnya membentuk dan memperbaiki kepribadian anak didiknya adalah sifat keseimbangan dan sifat sabar. Dengan sifat ini, anak akan tumbuh seperti pengaruhnya akan mematuhi perkataan-perkataan / ucapan-ucapan pendidiknya, akan berperangai dengan akhlak terpuji dan akan menjauhi sifat-sifat tercela. Ia bagaikan malaikat yang berjalan di atas bumi, bagai bulan purnama di tengah-tengah manusia.<br />Oleh karena itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul, dimana Islam sangat menganjurkan bersifat dengan sifat sabar. Agar manusia (lebih khusus bagi para pendidik dan da’i) mengetahui bahwa sabar adalah salah satu sifat keutamaan jiwa dan akhlak yang menjadikannya pada puncak kesopanan / tata krama pada puncak kesempurnaan dan pada tingkatan akhlak yang paling tinggi.<br />Ini semua bukan berarti seorang pendidik harus mengambil sikap / cara sabar dan lemah lembut secara monoton, terus menerus dalam mendidik anak dan mempersiapkannya dalam menghadapi kehidupan, tetapi yang dimaksudkan adalah seorang pendidik dituntut menguasai dirinya tanpa menimbulkan sifat marah dan emosi dalam meluruskan dan memperbaiki akhlak. Apabila dia melihat perlu diberikan sanksi kepada anak dengan cara menjelek-jelekkan atau memukul, maka seyogyanya jangan ditunda sanksi itu sampai menjadi baik perkaranya dan lurus akhlaknya.16<br />Cara orang tua mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Hal ini jelas dan dipertegas oleh Sutjipto Wirowidjojo dengn pernyataannya yang menyatakan bahwa keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga yang sehat besar artinya untuk pendidikan dalam ukuran kecil, tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar, yaitu pendidikan bangsa, negara dan dunia. Melihat pernyataan diatas, dapatlah dipahami, betapa pentingnya peranan keluarga didalam pendidikan anaknya. Cara orang tua mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajarnya.<br />Orang tua yang kurang / tidak memperhatikan pendidikan anaknya, misalnya mereka acuh tak acuh terhadadap belajar anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan anaknya dalam belajar, tidak megatur waktu belajarnya, tidak menyediakan / melengkapi alat belajarnya, tidak memperhatikan apakah anak belajar atau tidak, tidak mau tahu bagaimanakah kemajuan belajar anaknya, kesulitan-kesulitan yang dialami dalam belajar dan lain-lain, dapat menyebabkan anak tidak / kurang berhasil dalam belajarnya, mungkin anak sendiri sebetulnya pandai, tetapi karena cara belajarnya tidak teratur, akhirnya kesukaran-kesukaran menumpuk, sehingga mengalami ketinggalan dalam belajarnya dan akhirnya anak malas belajar. Hasil yang didapatkan, nilai/hasil belajarnya tidak memuaskan bahkan mungkin gagal dalam stadinya. Hal ini dapat terjadi pada anak dari keluarga yang kedua orang tuanya terlalu sibuk mengurus pekerjaan mereka atau kedua orang tua memang tidak mencintai anaknya.<br />Mendidik dengan cara memanjakannya adalah cara mendidik yang tidak baik. Orang tua yang terlalu kasihan terhadap anaknya tak sampai hati untuk memaksa anaknya belajar, bahkan membiarkan saja jika anaknya tidak belajar dengan alasan segan, adalah tidak benar, karena jika ha itu dibiarkan berlarut-larut anak menjadi nakal, berbuat seenaknya saja, pastilah belajarnya menjadi kacau. Mendidik anak dengan cara memperlakukannya terlalu keras memaksa dan mengejar-ngejar anakny untuk belajar adalah cara mendidik yang juga salah, dengan demikian anak tersebut diliputi ketakutan dan akhirnya membenci terhadap belajar bahkan jika ketakutan itu semakin serius, anak mengalami gangguan kejiwaan akibat dari tekanan-teknan tersebut. Orang tua yang demikian biasanya menginginkan anaknya mencpai prestasi yang sangat baik, atau mengetahui bahwa anaknya bodoh tetapi tidak tahu apa yang menyebabkan, sehingga anak dikejar-kejar untuk mengatasi/mengejar kekurangannya.<br />Disinilah bimbingan dan penyuluhan memegang peranan yang penting. Anak/siswa yang mengalami kesukaran-kesukaran diatas, dapat ditolong dengan memberikan bimbingan belajar yang sebaik-baiknya. Tentu saja keterlibatan orang tua kan sangat mempengaruhi keberhasilan bimbingan itu.17<br />Seorang ayah ang muslim senantiasa terbuka kedua belah matanya mengawasi anak-anaknya, selalu mengetahui apa yang mereka baca dan mereka tulis. Mengetahui hobby yang mereka pilih untuk diri mereka, mengetahui teman-temannya dan tempat-tempat bermain dalam menghabiskan waktu kosongnya, tanpa mereka sadari pengawsan yang sedang dilakukan. Apabila sang ayah menemukan penyelewengan pada diri anak, bak bacaan yang dibaca, memilih hobby berteman dengan teman yang jahat akhlaknya, bermain ditept-tempat yang tidak jelas atau mempunyai kebiasaan yang membahayakan seperti merokok, dan lain sebagainya, maka dengan segera sang ayah harus berusaha mengembalkan anak itu kepada kebenaran dengan cara lemah lembut dan bijaksana an berupaya meluruskannya kepada kebenaran dengan sungguh-sungguh, cara yang halus yang membuat ia sadar, demikian itu bahwa tiap-tiap anak ilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrasi, atau Majusi, sebagaimana hadits Rasulullah saw.18<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR KUTIPAN BAB III<br /><br />1Amru Khalid, ash-Shabbru wadz Zauq, diterjemahkan oleh Sarwedi M, (Aqwam, 2006M,) Cet.II, h.24<br />2Syeikh Muhammad Mutawalli Sya'rawi, Tafsir as-Sya'rawi, (Mesir,Akhbaru Yaum, 1991M,) Juz.VIII & XI, Cet.I, h. 666-673<br />3Sa'id Hawwa, al-Asas fi at-Tafsir, (Mesir, Darus Salam, 2003M,) Cet.VI, Juz.II, h.329-331<br />4Al-'Allamah Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Tafsir al-Qasimi, (Bairut, Darul Qutub, al-Ilmiyah, 2003M,) Juz.II, Cet.II,h.436-438<br />5Muhammad Nawawi, Murahillabit, (Mesir, Darul Ihya al-Kutub, Al-Arabiyah,) Juz.I, h.40-41<br />6Syeikh Ahmad Showi, ash-Showi alal Jalalain, (Mesir, Darul Ihya al-Kutub, Al-Arabiyah,) Juz.I, h.63-64<br />7Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madariju as-Salikin, diterjemahkan oleh Kathur Suhardi, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998M), Juz.II, Cet.I, h.209<br />8Asma Umar Hasan Fad'aq, As-Shabru fi Dhau' alKitab wa as-Sunnah, diterjemahkan oleh Nasib Musthafa, (PT.Lentera Basritama, 2000M), Cet.II, h.168<br />9Amru Khalid,Op.cit, h.115<br />10Umar Hasan Fad'aq, Op.cit, h.174<br />11Ibid, h.178<br />12Amru Khalid, Op.cit,. h.117-118<br />13Fuad bin Abdul Aziz al-Salhub, Panduan Praktis bagi Para Pendidik (Quantum Teaching), (Bandung, MQS.Publishing, 2007M), Cet.X, h.29<br />14Asy-Syeik Fuhaim Musthafa, Manhaj Pendidikan Anak Muslim, (Jakarta, Pustaka Amani, 1995M), Cet.II, h.16<br /><br /><br />15Fuad bin Abdul Aziz al-Salhub, Op.Cit, h.30<br />16Syeikh Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil Islam, (Cairo Mesir Darus Salam, 1997M), Juz.II, Cet.31, h.581-583<br />17Slameto, Drs., Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta Reneca Cipta, 2003M), Cet.IV, h.60-62<br />18Muhammad Ali aHasyimi, Dr., Syakhsiyatul Muslim, (Bairut, Darul Basair al-Islamiyah, 1993M), Cet.V, h.100H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-50457824608628639442008-12-15T20:16:00.001-08:002008-12-15T20:16:38.747-08:00APA ITU SABAR ?APA ITU SABAR ?<br /><br />A. Pengertian Sabar <br />Dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa pengertian sabar menurut bahasa mempunyai beberapa arti, di antaranya :<br />1. Menahan diri dari keluh-kesah 1, seperti firman Allah SWT :<br /> ... (الكهف : ٢٨ ) <br />2. Sabar dengan arti keteguhan 2, seperti firman Allah SWT:<br /> ... ( البقرة : ٤٥ ) <br />3. Sabar berarti keberanian3, Allah SWT berfirman :<br />... •. ( البقرة : ١٧٥ ) <br />Adapun pengertian sabar menurut istilah syari’at adalah menahan diri dari keluhan dan kemarahan, menahan lidah dari keluh kesah dan menahan anggota badan dari berbuat kekacauan.4<br />Dzun Nun Al Meshri berkata : ”Sabar adalah menghindarkan diri dari pertentangan, tenang pada saat menghadapi deraan bencana dan menampakkan kecukupan dan kelapangan hidup sekalipun dalam keadaan papa”.5<br /><br />Imam Junaid ditanya tentang sabar, maka beliau menjawab : ”Meneguk kepahitan tanpa berkerut mukanya.6<br />Imam Al-Ghazali mendefinisikan bahwa sabar adalah suatu keteguhan motivasi relegius dalam menghadapi dorongan syahwat.7<br /><br />B. Hakekat Sabar<br />Hakekat sabar bisa dilihat dengan jelas melalui definisi-definisinya menurut istilah syari’at. Barangkali bisa kita simpulkan bahwa sabar adalah suatu akhlak luhur dari akhlak-akhlak islami yang wajib disifati, yang mendatangkan bagi seseorang perbuatan baik dan menghindarkan seseorang dari perbuatan yang tidak baik dan tidak sesuai sebagai seorang muslim. Tujuannya adalah mengharap keridhaan Allah SWT8 Sebagaimana firman Allah SWT :<br /> ... <br />Artinya : <br />“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya”. (QS. Ar Ra’d : 22)<br /><br />Syeikh Muhammad Ghazali berkata : Sabar tergantung pada dua hakekat,9 yaitu :<br />1. Tabiat Kehidupan Dunia.<br />Allah SWT tidaklah menjadikan dunia sebagai tempat pembalasan, tetapi ia jadikan sebagai tempat ujian dan cobaan. Masa yang dilalui seseorang adalah masa uji coba yang terus bergulir, keluar dari satu cobaan masuk kepada cobaan yang lain.<br />Nabi Sulaiman As. ketika diberi nikmat yang luar biasa banyaknya, ia menyadari dengan tabiat kehidupan dunia ini serya berkata :<br />… • <br />Artinya : <br />“... Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (QS. An-Naml : 40)<br /> <br />2. Tabiat Iman.<br />Iman adalah hubungan antara manusia (makhluk) dengan Allah (Khalik). Apabila hubungan manusia dengan sesamanya tidak diakui kebenaran dan keberadaannya kecuali apabila teruji sepanjang masa atau perputaran siang dan malam serta berbagai kejadian, maka demikian juga dengan iman, sudah barang tentu melalui beberapa cobaan. Allah SWT Berfirman :<br /> •• • • <br /><br /><br /><br />Artinya : <br />”Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan : ”Kami beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?.. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta”.( Q.S. Al-Ankabut Ayat 2-3).<br /><br />C. Perhatian Al-Qur’an dan Sunnah Terhadap Keutamaan Sabar<br />Al-Qur’an memiliki perhatian yang sangat besar terhadap sikap sabar, karena nilai agung yang dikandungnya, baik dari sisi agama maupun sisi akhlak. Bahkan ia merupakan kebutuhan mendesak dalam agama maupun dunia, lebih khusus dunia pendidikan yang harus terpenuhi bagi manusia, agar dapat hidup sejahtera.<br />Begitu besarnya perhatian Al-Qur’an, maka kata sabar inilah yang paling banyak diulang-ulang sebutannya di dalam Al-Qur’an.<br />Al-’Allamah Ibn Qayyim mengutip perkataan Imam Ahmad, ”Kata sabar dalam Al-Qur’an terdapat pada sekitar sembilan puluh tempat”.10<br />Imam Al-Ghazali berkata : ”Allah SWT menyebutkan kata sabar dalam Al-Qur’an lebih dari tujuh puluh tempat”.11 Dan kita temukan di dalam Al Mu’jam Al Mufahras Li Alfazhi Al-Qur’an, bahwa kata sabar terdapat sekitar delapan puluh tiga kali.12<br />Di sini penulis akan memaparkan beberapa ayat dan hadits yang berkaitan dengan sikap sabar, yaitu :<br /><br />1. Surah Ali Imran ayat 200<br /> • <br /><br />Ayat ini merupakan bimbingan bagi seorang muslim yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw agar selalu bersabar dalam mengajarkan kebenaran (agama Islam) dan lebih sabar dari orang lain (non muslim) dalam hal ini, serta tetap bersiap siaga selalu di wilayah-wilayah perbatasan negeri mereka agar tidak dijajah oleh para penjajah, ini merupakan panggilan bagi kita seorang muslim, apakah kita sudah memenuhi panggilan itu ?13<br />Berkata Hasan Al Basri, ”Mereka diperintahkan untuk bersabar dalam memegang agama yang diridhai Allah SWT yaitu Islam, maka mereka tidak meninggalkannya baik dalam keadaan senang atau keadaan sedih, dalam keadaan lapang maupun keadaan sempit. Juga mereka diperintahkan lebih bersabar dalam menghadapi musuh yang menyembunyikan ajaran agama mereka.14<br />2. Surah As Sajadah ayat 24<br /> <br /><br />Ayat ini menerangkan salah satu fase yang dialami oleh Bani Israil. Yang menjadikan pelajaran dan bukti di sini adalah bahwa Allah SWT menjadikan perolehan tampuk kepemimpinan di dunia dan agama bertumpu kepada dua perkara, yaitu ”sabar” dan ”yakin”.<br />Pertama : Sabar untuk senantiasa berkarya dan berjuang, sabar untuk memperbaiki keadaan dan kondisi suatu negara, sabar untuk melakukan pembinaan terhadap setiap individu yang sadar dan selalu bersikap adil, sabar untuk tetap membangun keluarga yang berdiri di atas pondasi dan harga diri yang terpercaya lagi kokoh.<br />Kedua : Yakin kepada Allah SWT, yaitu keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT akan memberikan jalan keluar dari segala masalah dan menyelesaikan setiap problematika kehidupan.15<br />3. Surah Az Zumar ayat 10<br /> <br /><br />Dalam menafsirkan ayat yang mulia ini, para ulama tafsir mengatakan, ”Berbagai jenis kebaikan akan dicurahkan kepada orang yang bersabar tanpa batas”.16<br />عن الحسين رضى الله عنه قال : سمعت جدى رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول – أد الفرائض تكن من اعبد الناس، وعليك بالقنوع تكن من أغنى الناس، يا بنى إن فى الجنة شجرة يقال لها شجرة البلوى، يؤتى بالبلاء، فلا ينصب لهم ميزان ولا ينشر لهم ديوان، يصب عليهم الأجر صبا " ثم تلا النبى صلى الله عليه وسلم " إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب". <br />Artinya :<br />Dari Husein berkata : ”Saya mendengar kakekku Rasulullah Saw bersabda : Tunaikan kepardhuan, maka kamu menjadi orang yang paling banyak ibadah, bersifatlah qana’ah (cukup dengan ada), kamu akan menjadi orang yang paling kaya. Wahai anakku, bahwasanya terdapat di dalam Surga sebuah pohon disebut ”Syaratul Balwa”, bila didatangkan orang-orang yang ditimpakan bala pada dirinya, maka bagi mereka tidak dilakukan lagi penimbangan amAl-amal mereka dan tidak dibukakan buku catatan amal mereka serta dituangkan kepada mereka pahala-pahal (kesabaran mereka). Kemudian Rasulullah Saw membacakan ayat : إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب17<br /><br />4. Surah Al-Ahkaf ayat 35<br /> • • . (الأحقاف : ۳۵) <br /><br />Ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya Muhammad Saw bersabar dalam menghadapi kaumnya yang mendustakan kerasulannya sebagaimana kesabaran Nabi-nabi Ulul ’Azmi lainnya.<br />عن مشروق قال : قالت لى عائشة رضى الله عنها – ظل رسول الله صائما ثم طواه ثم ظل صائما ثم طواه ثم ظل صائما ثم قال : يا عائشة إن الدنيا لا تنبغى لمحمد ولا لآل محمد يا عائشة. إن الله تعالى لم يرض من اولى العزم من الرسل إلا بالصبر على مكروهها والصبر عن محبوبها ثم لم يرض منى إلا ان يكلفنى ما كلفهم فقال : فاصبر كما صبر اولو العزم من الرسل، وإنى والله لأصبرن كما صبروا جهدى ولا قوة إلا بالله (تفسير القرآن العظيم – اسماعيل بن كثير جز ٤ – ١۷٢)<br />Artinya :<br />”Dari Masruq berkata : Telah berkata kepadaku Aisyah Ra. bahwa Rasulullah Saw senantiasa puasa dan menyembunyikan puasanya (ia katakan tiga kali berturut-turut). Kemudian Rasulullah bersabda : ”Wahai Aisyah bahwa dunia ini tidak layak bagi Nabi Muhammad dan keluarganya, Wahai Aisyah bahwa Allah SWT tidak rela dari Rasul-rasul-Nya Ulul ’Azmi, kecuali mereka sabar atas perkara yang dibenci dan bersabar meninggalkan kesenangannya. Dan Allah juga tidak ridha dari diriku melainkan Allah bebani aku sebagaimana yang dibebankan-Nya kepada mereka. Kemudian beliau membaca ayat ”Bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar. Demi Allah saya akan bersabar sekuat tenagaku seperti kesabaran mereka, dan tidak ada daya / kekuatan melainkan dengan Allah”. (Tafsir Al Qur’an Al Azhim – Ismail bin Katsir, Juz 4 – 172)<br /><br />5. Surah Al-‘Ashr ayat 1-3<br />. • . . (العصر : ١ – ۳ )<br /><br />Surah ini menyimpulkan akibat dari kegiatan manusia semuanya disepanjang masa dan diseluruh tempat. Mereka yang jauh (terputus hubungan) dengan Allah SWT kelak akan menjadi bahan bakar api neraka, sedang mereka yang berpegang teguh dengan iman, amal shaleh, nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran, mereka itulah yang dapat memperoleh kehidupan dunia ini.<br />Empat unsur ini jarang sekali terdapat, masa demi masa berlalu, dimana empat unsur ini menjadi bahan cacian yang merusak. Akan tetapi Allah SWT membatasi orang-orang yang mendapatkan kabar gembira yaitu mereka yang beriman, beramal shaleh.18<br />Sebagaimana Al-Qur’an memberikan perhatiannya yang begitu besar terhadap sabar, demikian pulalah perhatian Sunnah (hadits) terhadap sifat utama ini, di antaranya :<br />۱. عن سعد بن سعيد قال : أخبرنى عمر بن كثير بن افلح قال : سمعت ابن سفينة يحدث أنه سمع أم سلمة زوج النبى صلى الله عليه وسلم تقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ما من عبد تصيبه مصيبة فيقول إنا لله وإنا إليه راجعون، اللهم أجونى فى مصيبتى وأخلف لى خيرا منها إلا أجره الله فى مصيبته وأخلف له خيرا منها. قالت : تو فى ابو سلمة قلت كما أمرنى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخلف الله لى خيرا منه رسول الله صلى الله عليه وسلم. (رواه مسلم)19 <br /><br />Dalam hadits ini, terdapat keterangan mengenai keutamaan membaca ” انا لله وإنا اليه راجعون ”, terkandung pula di dalamnya do’a memohon kesabaran dan ganti yang lebih baik. Bila seseorang bersabar atas musibah yang menimpanya dan menyebut nama Allah, serta memohon kepada-Nya pasti Allah SWT akan memberinya ganjaran yang lebih baik atas kesabarannya dan menggantikan kesedihannya dengan kelapangan.<br />۲. عن أبى يحى صهيب بن سنان رضى الله عنه. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير، وليس ذلك لأحد إلا للمؤمن، إن إصابته سراء شكر فكان خيرا له، وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له. (رواه مسلم) 20 <br /><br />Rasulullah Saw menyatakan bahwa kehidupan seorang mukmin semuanya baik, betapa tidak, seorang yang beriman dikala dia memperoleh nikmat dan karunia dari Allah SWT, dia akan bersujud dan bersyukur kepada Allah, dan dikala dia diterpa musibah dan kesulitan, dia bersabar dan penuh harap dan senantisa berhubungan dengan Allah SWT semata.<br />۳. وعن أبى سعيد وأبى هريرة رضى الله عنهما. عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : ما يصيب المسلم من نصب ولا وصب ولا همّ ولا حزن ولا أذى ولانمم حتى الشوكة يشاكها إلا كفر الله بها من خطاياه. (متفق عليه) 21<br /><br />Dalam hadits ini, Rasulullah Saw menjelaskan balasan bagi orang-orang yang sabar atas kesabarannya menghadapi segala macam bencana dan menganjurkan untuk menerima cobaan dan menangguhkannya dengan sabar. Balasan di sini adalah penghapusan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa, suatu ganjaran yang sangat besar yang tidak dapat diraih oleh semua orang yang ditimpa suatu kesulitan atau kepayahan atau penyakit yang berlangsung lama tanpa ada kesabaran, ketabahan atau kerelaan terhadap qadar.<br />٤. عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. من أبتلى بشيئ من البنات فصبر علبهن كنا له حجابا من النار. أخرجه الترمذى ك البر والضلة. 22 <br /><br />وفى رواية أخرى. عن ابى سعيد الخدرى قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. من كان له ثلاث بنات او ثلاث اخوات، أو إبنتان او أختان فأحسن صحبتهن واتقى الله فيهن فله الجنة. أخره الترمذى. 23<br /><br />Hadits ini menerangkan bahwa pentingnya bersikap sabar dalam mendidik seorang anak, lebih-lebih bila anak perempuan.<br />٥. عن ابى هريرة رضى الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم. ما يزال البلاء بالمؤمن والمؤمنة فى نفسه وولده وماله حتى يلقى الله وما عليه خطيئة. (رواه الترمذى وقال – هذا حديث حسن صحيح) 24 <br /><br />Rasulullah Saw menerangkan bahwa seorang mukmin, laki-laki maupun perempuan selama ia masih hidup dipermukaan bumi ini pasti akan mendapatkan cobaan, ujian dari Allah SWT baik menimpa dirinya, anak-anaknya atau hartanya. Semakin kuat imannya semakin besar cobaan yang akan diterimanya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :<br />عن مصعب ابن سعد عن أبيه قال : قلت - يا رسول الله أى الناس أشد بلاء ؟ ... قال : الأنبياء فلأمثل. يبتلى الرجل على حسب دينه، فإن كان فى دينه صلبا اشتد بلاؤه، وإن كان فى دينه رقة أبتلى على قدر دينه، فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض وما عليها خطيئة. (رواه الترمذى وقال : هذا حديث حسن صحيح) 25<br /><br />D. Pandangan Ulama Tentang Sabar<br />Ali bin Abi Thalib Ra. Berkata : “Sabar adalah binatang tunggangan yang tidak pernah tergelincir.26 seolah-olah sabar merupakan bintang tunggangan seorang hamba yang ia tunggangi menempuh jalan kebenaran yang tidak pernah terpeleset, selama ia mampu memegang kendalinya dan dapat mengarahkannya secara baik”.<br />Abu Ali Addaqqaq Ra. Berkata : “Sungguh beruntung orang-orang yang sabar dengan mendapatkan kemuliaan di dunia dan di akhirat, karena mereka senantiasa beserta Allah SWT Firman Allah : “ إن الله مع الصابرين “ artinya “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang sabar”.27<br />Abdul Kadir Isa berkata : “Begitu pentingnya dan tingginya martabat sabar, maka Allah SWT sebutkan kata sabar ini dalam Al-Qur’an sekitar sembilan puluh tempat. Kadang-kadang Allah perintahkan untuk bersabar seperti firman-Nya : ” إستعينوا بالله واصبروا ”.<br />Kadang-kadang Allah memuji orang-orang sabar seperti Firman Allah SWT dalam Q.S. A-Baqarah Ayat 177 :<br />والصابرين فى البأساء والضراء وحين البأس. اولئك الذين صدقوا واولئك هم المتقون.<br />Pada ayat lain Allah menyatakan cinta kepada orang-orang sabar “ والله يحب الصابرين “. Allah juga menjelaskan bahwa ia senantiasa beserta orang-orang sabar ” إن الله مع الصابرين ”.<br />Pada tempat lain Allah memberitahukan bahwa orang-orang yang sabar akan mendapatkan ganjaran ganjaran yang tak terhitung banyaknya ” انما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب ”, dan lain sebagainya.28<br />Berkata Umar bin Khattab Ra. : ”Kami dapatkan kehidupan kami yang lebih baik dengan sabar”. Dalam riwayat lain ia berkata : ”Sebaik-baik kehidupan kami temukan dengan sabar, dan seandainya sikap sabar ada pada kaum pria, maka ia menjadi orang yang mulia”.29<br /><br />E. Bagian-Bagian Sabar<br />1. Pembagian Sabar Menurut Perbedaan Kuat Lemahnya<br />Kita tahu, di dalam diri terdapat dua motif : motif yang mendorongnya kepada kebaikan dan motif yang mendorong kepada keburukan; motif yang mengarahkan kepada yang hak dan yang mengarahkan kepada yang batil; motif yang menjadikannya adil dan motif yang menjadikannya lalim; motif yang menggerakkannya untuk mengikuti ajaran-ajaran agama dan motif yang memberontak karena mengikuti keinginan dan nafsunya.<br />Kedua motif ini mempunyai tiga keadaan, seperti yang dikatakan Imam Al-Ghazali.<br />a. Keadaan Pertama<br />Motif agama dapat mengalahkan dorongan hawa nafsu, di mana tidak tersisa sedikit pun kekuatan dorongan nafsu dalam perseteruannya sehingga kemenangan dan keberhasilan menjadi milik motivasi agama. Hal ini dapat dicapai dengan kesabaran yang terus menerus. Tidak akan sampai kepada kategori ini kecuali orang-orang yang telah ditetapkan Allah mendapat kemenangan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Yaitu, orang-orang yang tidak menyimpang dari jalan yang lurus. Mereka hanya sebagian kecil dari umat manusia. Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah orang-orang yang benar dan orang-orang yang dekat kepada Allah, yang berkata, ”Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka istiqamah,30 dan orang-orang yang diseru oleh para malaikat ketika hendak meninggal, ”Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. (QS. Fushilat : 30-31) <br />b. Keadaan Kedua<br />Kekuatan dan kemenangan berada dipihak motif hawa nafsu, dimana motif agama gugur dan menyerah kepada bujuk rayu setan. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang lalai dan merekalah golongan yang mayoritas, yang menjadi pemuja nafsu syahwatnya. Sifat tercela telah menguasai mereka, dan setan-setan telah bertengger di hati mereka yang merupakan satu rahasia dari rahasia-rahasia Allah, lalu mereka beli kehidupan di dunia dengan akhirat.31 Ibn Qayyim menjelaskan bahwa orang-orang yang masuk dalam kategori ini ada beberapa macam. Di antaranya orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Is senantiasa membatalkan apa-apa yang dibawa Rasul saw dengan menghalang-halangi dari jalan Allah, dan berupaya dengan segala kemampuannya untuk menyimpangkan dan mengubahnya demi menghalangi manusia darinya.<br />Sebagian dari mereka ada yang berpaling dari ajaran yang dibawa Rasul saw dan tujuannya hanya menuruti selera duniawi semata. Ada pula orang munafik, yaitu manusia yang berwajah dua yang makan dari hasil kekafiran dan keislaman. Di antara mereka ada juga yang tebal muka lagi suka berkelakar, yang menghabiskan usianya dengan gila-gilaan, hibur-hiburan, dan bermain-main. Sebagian mereka apabila diberi nasehat, berkata, ”Alangkah rindunya aku kepada tobat, akan tetapi hal itu mustahil bagiku sehingga tidak ada lagi artinya keinginan ke sana”.32<br />c. Keadaan Ketiga<br />Kemenangan dan kekuatan terkadang berada di pihak motif agama dan terkadang di pihak motif nafsu. Jadi, neraca timbangan selalu bergerak ke atas dan ke bawah. Jika motif hawa nafsu yang melemah, motif agama pun menang dan berkuasa, dan demikianlah sebaliknya. Yang masuk dalam kriteria ini adalah sekelompok orang yang lemah naluri religiusnya. Oleh karenanya ia tidak menunaikan tugasnya secara sempurna. Ia adalah kondisi kebanyakan orang beriman yang mencampur-adukkan amal saleh dengan amal buruk. Semoga Allah menerima tobat mereka.<br />Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa firman Allah, ”Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk ... ”(QS. At-Taubah : 102), turun atas mereka yang tidak mampu menahan sebagian keinginan tanpa sebagian yang lain. Penafsiran Ibn Katsir33 terhadap ayat tersebut juga seperti ini. Imam Al-Ghazali juga berkata : Orang-orang yang meninggalkan jihad melawan hawa nafsunya, tak ubahnya seperti binatang, bahkan jalan mereka lebih sesat. Karena, binatang tidak diberi anugerah pengetahuan dan kemampuan yang bisa digunakan untuk memerangi tuntutan-tuntutan syahwat. Sedangkan manusia diberi hal itu. Maka mengabaikan hal itu benar-benar suatu aib dan berpaling dari keyakinan. Karena itu dikatakan : Aku tidak melihat aib-aib yang ada pada manusia itu suatu aib seperti kekurangan orang-orang yang mampu mencapai kesempurnaan.34<br />2. Pembagian Sabar Ditinjau dari Kaitannya dengan Hukum Yang Lima<br />Imam Ibn Qayyim menyebutkan di dalam Al-Madarij bahwa sabar adalah wajib menurut ijma ulama.35 Secara global hal ini benar. Akan tetapi secar rinci dan dari sisi kaitannya dengan hukum yang lima, sabar terbagi kepada sabar wajib, sabar sunah, sabar mubah, sabar makruh, dan sabar haram.<br />a. Sabar yang Wajib<br />Sabar wajib ada tiga macam :<br />1). Sabar dalam ketaatan dan dalam menunaikan kewajiban.<br />2). Sabar dalam menahan diri dari kemaksiatan dan segala yang diharamkan.<br />3). Sabar terhadap semua bala bencana dan musibah yang ditakdirkan.<br />b. Sabar yang Sunah<br />Sabar yang disunahkan juga ada tiga macam : Sabar dalam menahan diri dari menghadapi perlakuan buruk dengan membalas keburukan pula, sabar menahan hAl-hal yang disunahkan, dan sabar dalam menahan diri dari yang makruh.<br />Contoh sabar dalam menahan diri dari menghadapi perlakuan buruk dengan membalas keburukan pula adalah sebagaimana firman Allah SWT :<br />Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (QS. An-Nahl : 126)<br />Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosapun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hAl-hal yang diutamakan. (QS. Asy-Syura : 41-43)<br />Jika manusia tidak menyukai hak-haknya dilanggar. Apalagi, syariat Rabbani membolehkan manusia untuk membela diri dari penganiayaan, menghadapi keburukan dengan keburukan pula, dan siksa dengan siksa dengan syarat tidak melebihi atau berlaku lalim baik dalam ketentuan jumlah maupun caranya. Seseorang tidak boleh membayar utang satu takaran dengan dua takaran atau satu tamparan dengan dua tamparan yang dituntut dari seorang Muslim. Tetapi yang paling wajar dilakukannya adalah menahan amarahnya, sabar terhadap penderitaan, menutup kejelekan dan memaafkan pelakunya agar mendapat pahala di sisi Allah dan memperoleh ganjaran yang banyak serta pujian yang baik atas perbuatan-perbuatan yang terpuji, sebagaimana disebutkan oleh Ibn Katsir di dalam tafsirnya.36<br />c. Sabar yang Mubah<br />Sabar yang mubah adalah menahan diri dari semua perbuatan yang kedua-duanya sama-sama baik antara melakukan dan meninggalkannya dan bersabar atasnya. Di antara contoh-contohnya adalah suka mengadakan darmawisata atau sabar darinya, atau suka memakan jenis makanan tertentu atau menahan diri darinya. Nafsu itu selalu berkeinginan dan menyukai agar keinginan-keinginannya selalu dituruti dan dipenuhi. Dengan syarat, ia tidak bermaksud mengharamkan apa-apa yang telah dihalalkan Allah SWT. Jika tidak, ia akan berdosa. Misalnya, tidak ada larangan untuk berfikir memakannya atau memalingkan ingatan dari memakannya, keduanya adalah sama. Seolah-olah sabar yang mubah merupakan semacam komitmen yang dengannya seseorang berupaya melatih diri dan mengendalikannya untuk tidak memenuhi semua kebutuhannya secara terus menerus.<br />d. Sabar yang Makruh<br />Ada beberapa contoh sabar yang makruh yang dapat memperjelasnya :<br />Pertama, menahan diri dari kelapangan dalam makanan, minuman, pakaian dan hubungan suami isteri sehingga hal itu membahayakan kesehatan badannya. Hal ini bertentangan dengan apa yang disebutkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya, ”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah : 195)<br />Kedua, menahan diri dari menggauli isterinya ketika isterinya membutuhkan hal itu dan tidak ada mudarat bagi si suami. Karena yang demikian akan memudaratkan bagi isteri dan berarti ia telah mengabaikan salah satu hak bersuami isteri, sementara Islam menganjurkan untuk menjaga hak-hak tersebut dan menggaulinya secara baik, penuh keramahan dalam mencampurinya dan memberikan hak-haknya secara sempurna. Allah SWT berfirman, ”Dan bergaullah dengan mereka secara patut”. <br />Hal ini dimaksudkan agat tata aturan rumah tangga menjadi lurus, dan perkara-perkaranya menjadi baik serta ikatan suami isteri yang suci menjadi langgeng.<br /><br />e. Sabar yang Haram<br />Menyangkut sabar yang diharamkan, Ibn Qayyim berkata, ”Sabar yang diharamkan itu bermacam-macam. Salah satunya ialah bersabar diri dari makan dan minum hingga mati”. Dalam arti menahan diri dan makan dan minum hingga mati, sama ada mudah dalam melakukannya ataupun membutuhkan sedikit jerih payah.37<br />Imam Al-Ghazali merinci hal itu dengan mengatakan, ”Ketahuilah bahwa sabar dilihat dari aspek hukumnya terbagi kepada fardhu, sunah, makruh dan haram. Sabar dalam menahan diri dari semua larangan adalah wajib; sabar menahan diri dari semua yang makruh adalah sunah; dan sabar dalam menerima perlakuan menyakitkan yang dilarang adalah haram. Sabar yang haram ini seperti ada orang yang ingin memotong tangannya atau tangan anaknya dan dia bersabar atasnya dengan tetap diam. Dan juga seperti ada orang yang menginginkan isterinya dengan syahwat yang diharamkan lalu rasa cemburunya bergelora kemudian ia bersabar menahan diri dari menyatakan kecemburuannya itu dan hanya diam saja terhadap apa yang terjadi atas keluarganya maka ini adalah sabar yang diharamkan. Dan sabar yang makruh adalah sabar atas penderitaan yang didapatinya dari sisi yang dimakruhkan dalam syariat. Demikianlah, hendaknya syariat yang menjadi tolok ukur kesabaran. Sabar adalah setengah iman. Tidak seyogyanyalah anda membayangkan semua itu terpuji. Akan tetapi yang terpuji adalah beberapa macam kesabaran yang tertentu.38<br />3. Pembagian Sabar Menurut Tempatnya<br />Sabar itu ada dua macam, bersifat badani dan bersifat rohani. Setiap satu dari keduanya mempunyai dua macam pula, bersifat sukarela dan terpaksa.39 Bagian-bagian yang empat ini adalah sebagai berikut :<br />a. Yang Bersifat Badani Secara Suka Rela<br />Misalnya, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang memberatkan bagi abadan atas pilihan dan kemauan sendiri. Orang yang memilih pekerjaan di kantor tidak seperti orang yang memilih pekerjaan sulit sebagai tukang besi, tukang kayu dan tukang bangunan. Seorang buruh yang bekerja misalnya, menemukan beberapa kesulitan yang tidak ditemui oleh seorang pegawai kantor. Seperti mengangkat beban berat, menahan terik matahari, dan bahaya yang mengancam hidupnya, sementara gajinya relatif kecil jika dibandingkan gaji seorang pegawai. Meskipun demikian, kita lihat dia menjalankan aktivitasnya dengan sabar atas kemauannya sendiri dan sesuai dengan kemampuan tenaga badannya.<br />b. Yang Bersifat Badani Secara terpaksa<br />Seperti sabar dalam merasakan sakitnya pukulan, peyakit, luka-luka, dingin, panas dan lainnya, yang dialami oleh kebanyakan muslimin di masa permulaan Islam. Mereka benar-benar kecil di hadapan berbagai macam kepedihan itu. Bilal, mislanya beliau pernah dilemparkan di kerikil-kerikil padang pasir Mekah yang membara dalam keadaan terlentang, di tengah hari dan di bawah terik matahari yang membakar, kemudian dadanya ditindih dengan batu besar, sedang dia hanya berkata, ”Ahad ... Ahad.”40<br />c. Yang Bersifat Rohani Atas Dasar Suka Rela<br />Seperti kesabaran diri dari melakukan sesuatu yang tidak baik menurut syariat maupun akal. Seperti berfikir untuk mencuri sesuatu pemberian Allah kepada sebagian orang atau yang telah dikumpulkan oleh orang lain dan diperolehnya dengan susah payah, sedang dia mengabaikan hal itu. Dari asfek akal manusia, mencuri adalah suatu perbuatan yang mengerikan karena mengambil barang atau harta maupun yang lainnya milik orang lain tanpa hak. Sedang dari aspek syariat, mencuri adalah tindakan kriminal yang patut dihukum dengan potong tangan apabila pencuri itu nyata-nyata telah sesuai dengan definisinya menurut syariat.<br />d. Yang Bersifat Rohani Atas Dasar Keterpaksaan<br />Seperti kesabaran jiwa karena terpaksa atas orang yang dicintainya, apabila antara keduanya terpisahkan oleh kematian misalnya yang merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia. Atau melalui data-data yang terhimpun yang menetapkan dia telah memusuhi seseorang yang tidak bersalah, lalu diringkus dan dipenjara.Terpisahlah antara dia dan ibunya, yang mana bagi ibunya, semua keluarga dan sanak saudaranya, selain dia sebagai pencari nafkah adalah juga sebagai seorang yang mengurusi urusan-urusan mereka. Atau dengan sebab keIslaman seseorang yang meninggalkan ibunya, isterinya, anak-anaknya, dan semua hartanya, lalu ia bersabar atas terputusnya hubungan itu. Seperti yang terjadi pasa Shuhaib bin Sinan manakala beliau ingin hijrah bersama Rasul SAW, tapi dia terlambat karena jatuh kesalah satu perangkap orang-orang musyrik. Dan ketika telah bebas dari perangkap itu dan berangkat dengan maksud menyusul Rasulullah saw, kelompoknya yang terdiri dari orang-orang Quraisy mengejarnya dan menghadang perjalanannya, lalu ia tunjukkan kepada mereka tempat persembunyian semua harta kekayaannya. Mereka pun segera pergi meninggalkannya dan tidak mempedulikannya.<br />Ya, sesungguhnya Shuhaib telah membeli jiwanya yang beriman dengan semua kekayaannya yang dikumpulkan selama masa mudanya. Dia telah mampu bersabar menahan dirinya dari hal yang dicintai oleh manusia umumnya, yaitu harta.<br />Apalah artinya harta ? apalah artinya emas ? apalah artinya dunia jika imannya telah tetap dan masih ada didalam hatinya kemulian serta masih ada keinginan untuk kembali ketujuan akhir ? 41<br /><br />F. Macam-Macam Sabar<br />Pembagian sabar menurut keterkaitannya dengan hukum yang lima, bahwa sabar yang wajib ada tiga macam, yaitu :<br />1. Sabar dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban.<br /><br />2. Sabar dalam menahan diri dari kemaksiatan dan segala yang diharamkan.<br />3. Sabar atas musibah dan bencana.<br /><br />Jenis Pertama : Sabar dalam Ketaatan<br />Kita tahu, iman adalah penghubung antara manusia dengan Allah SWT. Sebagaimana hubungan persaudaraan dan persahabatan antara manusia tidak dianggap dan tidak berarti apa-apa kecuali setelah terbukti oleh waktu dan telah tersingkap hakikat yang sebenarnya oleh berbagai macam kejadian, demikian pulalah keimanan. Untuk menentukan keimanan pada diri seorang hanba dan agar nyata kebenarannya, hubungan itu harus diuji dengan perintah-perintah, larangan-larangan, dan ketentuan takdir, yang dapat menyingkap kebenaran hubungan tersebut. Karena itu, manusia harus memahami secara sempurna bahwa tujuan diciptakannya makhluk yang dengannya perkara agama dapat mantap adalah mengenal Allah dan mengesakan-Nya dalam ibadah, cinta, taat, tobat kepada-Nya, ridha kepada-Nya dan mengikuti perintah-perintah-Nya secara keseluruhan, serta meninggalkan semua yang dilarangnya.<br />Kalau kita pikirkan secara mendalam rukun-rukun Islam yang wajib, kita akan temukan bahwa untuk menegakkan dan mengamalkannya secara kontinyu, kita membutuhkan ketahanan dan kesabaran dalam penderitaan. Shalat misalnya, sebagaimana kita ketahui merupakan tiang agama dan merupakan hubungan langsung antara manusia yang akan binasa dengan kekuatan yang kekal selamanya. Kedudukan shalat di dalam Islam tidak dapat ditandingi oleh ibadah lain apapun, karena ia ibadah yang dilakukan berulang-ulang dan tidak terikat dengan waktu tertentu sepanjang tahun disertai dengan kesabaran, sekalipun kesabaran diperlukan juga dalam ibadah-ibadah yang lain. Allah berfirman, ” Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah : 153)<br />Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi mengetahui kekuatan besar yang diperlukan manusia untuk dapat tetap istiqamah di atas jalan yang benar. Oleh karenanya Dia mengarahkan umat Islam untuk menjadikan kesabaran dan shalat sebagai penolongnya dalam mengemban peran besar di atas pundak mereka. Yang paling utama adalah mengenal Allah, mengesahkan-Nya, dan mentaati-Nya. Itulah yang paling utama dan membutuhkan kesabaran. Sabar dalam segala jenis ketaatan adalah diharuskan, khususnya shalat, sebagai pujian terhadap kedudukannya (dalam Islam).42<br />Sabar bukan hanya berkaitan dengan pelaksanaan shalat saj, namun secara tidak langsung berkaitan juga dengan dengan zakat, sedekah, kedermawanan dan murah hati. Agama Islam menjadikan pemeluknya mencintai jiwa yang mulia dan tangan yang dermawan, menganjurkan mereka untuk bersegera melakukan kebaikan dan hal yang luhur, serta memuji orang-orang yang berinfak di jalan Allah :<br />Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah : 274)<br />Jenis Kedua : Sabar Terhadap Maksiat<br />Suatu hal yang butuh perhatian adalah bahwa masyarakat sekarang di seluruh penjuru bumi cenderung menjauhi perintah-perintah Allah. Seseorang melakukan kemaksiatan-kemaksiatan tanpa malu dan menghalalkan hal-hal yang diharamkan tanpa membedakan apakah dari agama atau dari makhluk. Dia menganggap bahwa hidup yang dijalaninya hanya di dunia ini saja, dan mengira bahwa kebagiaannya adalah dalam memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang diharamkan. Dia menunjukkan pada dirinya dan orang-orang di sekelilingnya bahwa perbuatan-perbuatannya itulah yang masuk akal, yaitu yang sejalan dengan perkembangan peradaban. Akan tetapi, ketika dia berada seorang diri dan melihat hakikat dirinya, dia memahami bahwa hatinya tidak merasakan kenyamanan dan nuraninya mencela apa yang telah ia perbuat. Ini jika dia seorang yang mempunyai jiwa yang baik. Karena, jiwa yang tidak jelek pada suatu saat pasti akan memahami bahwa kemaksiatan-kemaksiatan, dosa-dosa, dan kesalahan-kesalahan mempunyai pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang jelek dan berbahaya, lalu dia membenci dan menjauhinya. Karena kemaksiatan baik besar atau kecil, nayat atau tersembunyi, adalah diharamkan, maka sabar dalam menahan diri darinya adalah sangat tinggi nilainya dalam kehidupan seseorang maupun masyarakat. Karena, tidaklah sesuatu itu diharamkan kecuali karena mengandung bahaya bagi kesehatan, akal dan amalnya, serta membahayakan bagi masyarakat.43<br />Di dalam pergumulan kita dengan materi, terdapat beberapa tindakan yang pada dasarnya merupakan kemaksiatan dan penyakit yang telah diharamkan oleh Islam atau diperingatkan kepada kita. Telah digambarkan pula kepada kita cara mengatasinya dengan sesuatu yang membawa kemaslahatan, baik pribadi maupun masyarakat. Di antaranya kebakhilan. Sifat tercela ini bermakna kekerasan hati seseorang dan hilangnya kasih sayang dari dirinya, egoisme yang terlalu dan tidak memikirkan orang lain ataupun memperhatikan perasaan dan kebutuhan-kebutuhan mereka, kebencian yang berketerusan antara kaum kafir yang membutuhkan dan orang-orang kaya yang sangat kikir. Oleh karenanya Islam menganggap kebakhilan termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah SWT :<br />Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. (QS. Ali ’Imran : 180)<br />Dan dijelaskan oleh Nabi saw mengenai dosa besar yang diterima oleh orang bakhil, dalam haditsnya, ”Dan orang yang bakhil itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia, dekat dengan neraka.”44<br />Jenis Ketiga : Sabar Atas Bala<br />Allah SWT menjadikan kehidupan dunia diatas kodrat yang berubah-ubah dan silih berganti. Ada sedih dan senang, ada cinta dan benci, serta ada sehat dan sakit. Terkadang sebagian manusia ditakdirkan menderita berbagai macam cobaan. Maka tidak ada jalan lain kecuali sabar dan pasrah. Sabar atas sesuatu yang telah ditakdirkan kepadanya, pasrah dan rela terhadap qadla Allah, itulah jalan yang tepat untuk melalui ujian terbesar, yaitu uji kehidupan. Akan tetapi, manusia selalu bingung menghadapi berbagai kesulitan; bosan terhadap penderitaan-penderitaan ; dan berkeluh kesah dalam menghadapi musibah. Apabila terbentur atau turun atasnya bencana, ia mengeluh dan sempit rasanya bumi dengan segala keluasannya.<br />Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. (QS.Al-Ma’arij: 19-20)<br />Manusia tekah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. (QS. Al-Anbiya : 37)<br />Seseorang misalnya, dilahirkan dalam keadaan cacat atau ia mengalami suatu kecelakaan, di mana dalam kecelakaan itu dia mengalami patah atau terbakar atau luka atau suatu goncangan yang mengakibatkan kehilangan penglihatan – milik paling berharga- lalu dihadapkan pada kemungkinan bisa sembuh atau terus mengalami cacat yang tidak ia sukai, sebagai cobaan.Keduanya membutuhkan kesabaran dan ketabahan. Apabila ia melakukan hal itu dan rela terhadap nasib dan takdir yang ditentukan Allah baginya, maka balasannya sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, Sesungguhnya Allah SWT berkata ’apabila hambaku kutimpakan bala pada sesuatu yang paling dicintainya, lalu ia bersabar, maka aku akan ganti dari keduanya, surga,”45<br />Kesabaran dituntut pula apabila bahaya dan penderitaan atau kematian menjemput orang yang paling dicintainya, yaitu anak. Dari Anas bin Malik diceritakan bahwa Rasulullah saw mendatangi seorang perempuan yang sedang menangisi anaknya. Lalu beliau berkata padanya, ” takutlah kepada Allah dan bersabarlah”. Wanita itu berkata, ”Apa pedulimu terhadap musibahku ?” Manakala beliau saw pergi, ada yang mengatakan pada wanita itu, sesungguhnya dia adalah Rasulullah saw. Maka wanita itu merasa seolah-olah dirinya mati. Kemudian dia mendatangi rumah Rasulullah saw. Dia tidak menemukan penjaga pintu disana, lalu berkata, ” Wahai Rasulullah, aku tidak tahu kalau yang aku ajak bicara tadi adalah engkau.” Maka Rasulullah bersabda, ”Sesungguhnya kesabaran itu hanya pada goncangan yang pertama.”46<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />SUMBER KUTIPAN BAB II<br /><br />1Muhammad bin Abu Bakar Abdul Kadir, Mukhtar Shihah, (Bairut, Maktabah Lubnan, 1989,) Cet. 1, h. 311<br />2Zamaluddin Abi Fadhl Muhammad bin Mukarram, Lisanul Arab, (Bairut, Darul Kutub Al ’Ilmiah, 1424 H. / 2003 M,) Juz. 2 Cet. Pertama, h. 404<br />3Dr. Ibrahim dan Dr. Abdul Halim, Al Mu’jam Al Washit, (Kairo - Mesir, Majma’ul Lughah Al Arabiah, 1392 H / 1972 M,) Cet. Kedua, h. 505<br />4Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madariju as-Salikin, diterjemahkan oleh Kathur Suhardi, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1998,) Juz.II, Cet.I, h.156<br />5Abdul Kadir Isa, Haqaiq An Attasawwuf, (Suria, Darul Irfan, 1421 H / 2001 M,) Cet. Kedua, h. 264<br />6Imam Abi Al Kasim Abdul Karim, Ar Risalah Al Kusyairiyah, (Kairo - Mesir, Darul Kutub Al Haditsah, 1972), Juz. 1, Cet. Pertama,h. 508<br />7Imam Al Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, (Kairo - Mesir, Ihya Al Kutub Al Arabiyah, 1377 H / 1957,) Juz. 4, Cet. Pertama, h. 62<br />8Asma Umar Hasan Fad'aq, As-Shabru fi Dhau' alKitab wa as-Sunnah, diterjemahkan oleh Nasib Musthafa, (PT.Lentera Basritama, 2000 M,) Cet.II, h.51<br />9Syeikh Muhammad Al-Ghazali, Khuluqul Muslim, (Mesir, Akhbarul Jaum, tt,) Juz. 2 Cet. Pertama, h. 18-19<br />10¬Ibnu Qayyim, Op. Cit., hal. 203<br />11Imam Al Ghazali, Op. Cit., hal. 60<br />12Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al Mu’jam Al Mufahras Li Al Fazhil Qur’an, (Mesir, Darul Kutub Al Mishriyyah, 1945 M,) Cet. Pertama, h. <br />13Syeikh Muhammad Ghazali, Nahwu Tafsir Maudhu’i Li Suari Al Qur’an, (Bairut, Darul Syuruq, 1415 H / 1995 M,) Juz. 1 h. 45<br />14Ismail bin Katsir Al Kuraisy, Tafsir Al Qur’anul Adzhim, Juz. 1, h. 404<br /><br />15Amru Khalid, ash-Shabbru wadz Zauq, diterjemahkan oleh Sarwedi M, Aqwam, 2006M, Cet.II, h. 31<br />16Ibid., hal. 29<br />17Dr. Wahbah Az Zuhaili, Tafsir Al Munir, (Beirut, Darul Fikir, 1411 H / 1951 M,) Juz. 23, Cet. Pertama, h. 270<br />18Syeikh Muhammad Ghazali, Op. Cit., Juz. 3, h. 235<br />19Imam Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi, Shahih Muslim Bisyarhi An Nawawi, (Mesir, Darurrayyan Litturats, 1417 H / 1986 M,) Juz. 6, Cet. Pertama, h. 220<br />20Ibid., hal. 125<br />21Muhammad bin ’Ulan As Shiddiqy, Dalilul Falihin, (Mesir, Darurrayyan Litturats, 1417 H / 1986 M), Juz. 1, Cet. Pertama, h. 171<br />22Al-Hafiz Abi Isa Muhammad bin Isa, Sunan At Tirmidzi, (Indonesia, Maktabah Dahlan, tt,) Juz. 3, , Cet. Pertama, h. 213<br />23Ibid.<br />24Muhammad bin ’Ulan As Shiddiqy, Op. Cit., h. 193<br />25Al Hafiz Abi Isa Muhammad bin Isa A. Muri Yusuf, Op. Cit, Juz. 4, h. 28<br />26Imam Abi Al Kasim Abdul Karim, Op. Cit., h. 510<br />27Ibid., h. 511-512<br />28Abdul Kadir Isa, Op. Cit., h. 267-268<br />29Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Mumbiji, Tasliayatu Ahlil Mashaib, (Bairut, Muassasah Iman, 1408 H / 1988 M,) Cet. Ketiga, h. 181-182<br />30Imam Al Ghazali, Op. Cit., Juz.IV, h.66<br />31Ibid<br />32Asma Umar Hasan Fad'aq, Op.Cit, h.73<br />33Ismail bin Katsir Al Kuraisy, Op.Cit, Juz.XI, h.393<br />34Imam al-Gazali, Op.Cit., Juz.IV, h.67<br />35Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Op.Cit, h.203<br />36Ismail bin Katsir Al Kuraisy, Op.Cit., Juz.IV, h.119<br />37Asma Umar Hasan Fad'aq, Op.Cit., h.83<br />38 Imam al-Gazali, Op.Cit., Juz.IV, h.67<br />39Asma Umar Hasan Fad'aq, Op.Cit., h.85<br />40Ibid, h.86<br />41Ibid, h.89<br />42Ibid, h.96<br />43Ibid, h.131<br />44Al-Hafiz Abi Isa Muhammad bin Isa, Op.Cit, Juz.III, h.231<br />45Al-Hafiz Muhammad bin 'Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, (Mesir, Darul Rayyan Litturas, 1986M,) Juz.X, Cet.I, h.120<br />46Ibid., Juz.III, h.177H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-10296419702510438652008-12-15T20:12:00.001-08:002008-12-15T20:12:46.845-08:00PENDIDIKAN AGAMA DI RUMAH TANGGAPENDIDIKAN AGAMA DI RUMAH TANGGA<br /><br />A. Pengertian Pendidikan Agama<br />Secara umum pendidikan ialah usaha atau proses membimbing secara sadar dari si pendidik terhadap anak didik jalam rangka mencapai kedewasaan jasmani dan ruhani. Tetapi bila pengertian pendidikan itu dihubungkan dengan agama Islam, maka pengertiannya akan menjadi lebih luas.<br />Sebelum membicarakan pengertian pendidikan agama, maka terlebih dahulu penulis kemukakan pengertian pendidikan secara etimologi dan terminologi.<br />Secara etimologi, pendidikan berasal dari kata “didik” mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”. Jadi pendidikan adalah “mendidik, memelihara, dan memberi latihan (ajaran, pimpimnan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran”.1) <br />Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pendidikan adalah “proses perubahan sikap dan laku seseorang atau kelompok oraang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses perbuatan cara mendidik”.2)<br />Jadi, pendidikan adalah usaha mempersiapkan anak melalui pemberian pengetahuan dan latihan menuju kedewasaan. Dalam hal pendidikan ini, ada pendidik dan ada anak didiksi terdidik, yang jadi pendidik tentu saja manusia karena manusia punya akal sehingga mampu berpikir bagaimana seharusnya membimbing dan mengarahkan anak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Seperti pendapat H.M Arifin, M. Ed. di mana dia mengatakan bahwa pendidikan adalah “ikhtiar manusia untuk membantu dan mengarahkan fitrah manusia supaya berkembang sampai pada titik maksimal yang dapat dicapai sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan”.3)<br />Dalam pengertian di atas menerangkan bahwa pada diri seorang manusia (anak) sudah ada suatu fitra yang bisa dikembangkan, tinggal lagi bagaimana pendidik memanfaatkannya, memberi tuntunan dan mengarahkan untuk mencapai tujuan yang diciti-citakan di sini adalah terbentuknya kepribadian yang utama. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ahmad D Marimba, bahwa pendidikan adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani maupun rohani si terdidik, dengan tujuaan terbentuknya kepribadian yang utama”.4) <br />Setelah diketahui pengertian pendidikan secara umum, maka akan dihubungkan dengan “agama”. Kata agama berasal dari bahasa sansekerta, yaitu A = tidak, gama = kocar-kacir. Jadi, “agama” yaitu sesuati pedoman yang apabila dianut oleh suatu kaum tidak akan kocar-kacir …”.5) <br />Dan pengertian dari pendidikan itu dikaitkan agama (Islam), yaitu agama yang paling tinggi yang disyariatkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dan nabi-nabi sebelumnya yang di dalamnya berisikan peraturan-peraturan baik berupa perintah maupun larangan yang harus ditaati, maka pengertiannya mempunyai arti tersendiri, yaitu pendidikan yang diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Apabila dengan pendidikan Islam diharapkan dapat terbentuknya kepribadian menurut ukuran-ukuran Islam, sehingga ia benar-benar menjadi dewasa yang berbudi luhur menurut ukuran agama Islam.<br />Sedangkan pengertian pendidikan agama (Islam) adalah suatu aktivitas atau usaha dan bimbingan yang dilakukan secara sadar serta berncana oleh si pendidik terhadap anak didik yang sesuai dengan norma-norma yang ditentukan oleh ajaran agama tersebut, yang kemudian agama itu dijadikan pedoman dalam hidupnya. Sebagai bahan perbandingan, dalam buku Pedoman Guru SD, disebutkan bahwa :<br />Pendidikan agama Islam adalah usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelag menjadi manusia Muslim, bertakwa kepada Allah Swt, berbudi luhur, dan berkepribadian utuh yang memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam dalam kehidupannya. 6) <br /><br />Abdur Rachman Shaleh juga mengemukakan, bahwa :<br /><br />Pendidikan agama Islam adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik/murid agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai way of life (jalan kehidupan). 7) <br />Agama memberikan motivasi hidup dan kehidupan serta merupakan alat pengembangan dan pengendalian diri yang amat penting. Oleh sebab itu, agama perlu diketahui, dipahami, diyakini dan diamalkan oleh seseorang, agama dapat menjadi dasar kepribadian sehingga menjadi manusia yang utuh. Manusia yang dimaksud utuh di sini adalah terbentuknya kepribadian utama yang menurut ukuran-ukuran Islam. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ahmad D Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah “bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum ajaran Islam menurut terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”. 8) <br />Kepribadian utama disebut juga kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih, memutuskan, berbuat secara bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.<br /><br />B. Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam<br />1. Dasar Pendidikan Agama Islam<br />pendidikan agama Islam mempunyai dasar dan pondasi yang kokoh dan kuat untuk menjalin keutuhannya serta kelestariannya, dasar yang dimaksud adalah Al- Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana diterangkan oleh Ahmad D Marimba : … ialah firman Tuhan dan Sunnah Rasulullah Saw, kalau pendidikan agama diibaratkan bangunan, maka isinya Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi fondamennya”. 9) <br />dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan agama Islam berdasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena Al-Qur’an merupakan sumber kebenaran yang tak diragukan lagi keasliannya. Sementara As-Sunnah merupakan ajaeran yang bersumber dari ucapan, sikap dan perbuatan dari Rasulullah Saw yang erat sekali dengan Al-Qur’an dalam fungsi dan peranannya terhadap Al-Qur’an itu sendiri. Jadi Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber pokok bagi penganutnya untuk membawa dan membimbing ke arah keselamatan dunia dan akhirat. Sebagaimana bunyi hadits Rasulullah Saw, di bawah ini :<br /><br /><br />2. Tujuan Pendidikan Agama Islam<br />Segala usaha yang terjadi dalam pendidikan harus diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai, karena suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak mempunyai arti apa-apa. Dalam setiap usaha pendidikan, si pendidik harus selalu membimbing si terdidik kearah tujuan yang ingin dicapai, sebab tujuan merupakan gambaran/sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan, sebagai suatu sistem dan merupakan suatu unsur yang sangat menentukan sistem pendidikan sendiri. Tujuan adalah harapan masyarakat terhadap hasil pendidikan baik dalam arti kuantitatif maupun kuanlitatif. Di samping itu tujuan berfungsi untuk mengarahkan mengontrol dan memudahkan evaluasi terhadap hasil yang ingin dicapai.<br />Sebelum membicarakan tujuan pendidikan agama Islam, terlebih dahulu melihat fungsi dan tujuan pendidikan Nasional menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Yaitu :<br />“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.11)<br /><br />Sedangkan tujuan pendidikan agama Islam dapat dilihat pendapat beberapa para ahli.<br /><br />Mahmud Yunus mengemukakan tujuan pendidikan agama Islam adalah :<br /><br />Mendidik anak-anak, pemuda-pemudi dan orang dewasa, supaya menjadi seorang muslim sejati, beriman tangguh, beramal shaleh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup di atas kaki sendir, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan sesama umat manusia. 12)<br /><br />Kemudian Ahmad D Marimba menyatakan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah “terbentuknya kepribadian muslim”. 13) Sedangkan Sofyani mengemukakan, tujuan pendidikan Islam adalah “agar anak memiliki dan menguasai pengetahuan agama dan kebudayaan Islam, sehingga dapat membentuk pribadinya menjadi hamba Allah untuk mencapai keridhaan-Nya dalam kehidupan dunia dan akhirat”. 14) <br />Dari ketiga pengertian di atas, pada prinsipnya pendidikan agama Islam diarahkan pada terbentuknya manusia yang beriman, pengabdi, dan beradab. Atau dengan kata lain pendidikan Islam diarahkan kepada pembinaan manusia beragama yang mampu melaksanakan ajaran Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tingkah laku atau tindakan dalam seluruh kehidupan dalam mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam surat Az-Zariat ayat 56 yang berbunyi :<br /><br />Pada ayat lain disebutkan, yaitu surat Ali Imran ayat 102 yang berbunyi :<br /><br />Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup seorang muslim, yakni menjadi hamba Allah yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan yang dimaksudkan di sini adalah setiap muslim yang takwa serta berbuat amal shaleh semata-mata hanya karena Allah. Hal ini jelas terwujud sebagai penyerahan diri bagi setiap muslim yang shaleh. Oleh sebab itu maka tujuan tersebut baru akan tercapai bila kepribadian muslim telah terjelma dalam cara berbuat, berfikir, mengeluarkan pendapat, sikap, minat, falsafah hidup serta kepercayaan yang disinari oleh ajaran-ajaran agama Islam. Dengan demikian agar dapat menjalankan funsinya sebagai hamba Allah yang taqwa, karena tunduk dan patuh untuk mengikuti perintah Allah dan meninggaalkan ssegala larangan-Nya sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Dalam ayat lain yakni surat Al-Qashash ayat 77 Allah berfirman :<br /><br />Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang Islam untuk mencapai hidupnya tidaklah hanya mengejaar dunia saja, tetapi juga ada alam lain yang lebih kekal dan abadi yang harus mendapat perhatian. Sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 201 yang berbunyi :<br /><br />Dari beberapa penjelasan aayat tersebut di atas, maka dapatlah penulis mengambil kesimpulan, bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah terbentuknya manusia yang berkepribadian sesuai dengan ajaran Islam, sehingga mendapatkan kebahagiaan hidup, baaik di dunia maupun di akhirat.<br /><br />C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pendidikan Agama di Rumah Tangga. <br /> Setiap kegiatan selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama dalam pelaksanaan pendidikan agama terhadap anak-anak di rumah tangga. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan agama terhadap anak-anak di rumah tangga menurut hemat penulis adalah :<br />1. Latar belakang pendidikan orang tua yang memadai;<br />2. Keadaan ekonomi orang tua yang tidak terlalu rendah;<br />3. Waktu yang tersedia yang bisa digunakan;<br />4. Minat anak untuk belajar yang selalu bisa dipacu;<br />5. Motivasi oraang tua dalam hal-hal yang possitif;<br />6. Lingkungan sosial keagamaan yang orang-orangnya agamis.<br />Demi jelasnya apa yang disebutkan di atas, berikut akan diuraikan satu demi satu.<br />1. Latar belakang pendidikan orang tua yang memadai <br />Seorang pria dan wanita yang berjanji di hadapan Tuhan untuk hidup sebagai suami isteri, berarti di juga bersedia memikul tanggung jawab sebagai seorang ayah dan ibu dari anak-anaknya yang bakal dilahirkan, ini berarti bahwa pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan siap sedia untuk menjadi orang tua yang tak dapat dipindahkan salah satu kewajiban dan hak utama dari orang tua yang tak dapat dipindahkan adalah mendidik anak-anaknya, maka diperlukan adanya beberapa pengetahuan tentang pendidikan, misalnya apakah mendidik itu, apa tujuannya dan bagaimana cara mendidik dan sebagainya. 19)<br /><br />Orang tua yang tahu miniman tentang seluk-beluk pendidikan atau orang tua yang berpendidikan lebih tinggi pada umumnya akan lebih baik jika dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan rendah dalam hal melaksanakan kewajiban terhadap anak-anaknya, sebab orang tua yang lebih tinggi pendidikannya lebih banyak pula pengalaman dan lebih luas pula pengetahuan serta pandangan lebih maju dalam menilai sesuatu. Apalagi sejak kecil sudah memiliki pendidikan agama yang kuat, maka setelah berkeluarga akan lebih mudah menerapkannya terhadap anaknya sendiri.<br />Sebagian orang tua semacam inilah yang menganggap bahwa pendidikan itu sangat penting artinya bagi si anak, sehingga mereka betul-betul melaksanakan dan memperbaiki serta memperhatikan terhadap pendidikan anak-anaknya sebab mereka telah mengalami dan merasakan hasilnya. Sebaliknya orang tua yang rendah pendidikannya akan menganggap bahwa pendidikan itu kurang begitu penting, sehingga mereka kurang memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Bahkan ada pula orang tua yang senang melihat anaknya sejak kecil sudah bisa berusaha mendapatkan uang demi kepentingan kehidupan sehari-hari tanpa menghiraukan kepentingan si anak, sehingga anak tidak mendapatkan bimbingan dan pendidikan dari orang tuanya yang pada akhirnya kehidupan anak berakibat fatal.<br />Walaupun demikian masih ada orang tua yang mempunyai pandangan seperti orang tua yang berpendidikan lebih tinggi, hal ini makin saja disebabkan oleh faktor lain yang mempengaruhi cara berfikir mereka. <br />Satu hal yang perlu diingat bahwa orang tua dalam melaksanakan pembinaan dan pendidikan pada anak-anaknya itu terlebih dahulu mengetahui sifat-sifat atau karakteristik masing-masing anak, di samping itu juga perlu mengenal fase-fase pertumbuhan dan perkembangan anak, juga tidak kalah pentingnya kondisi orang tua pada waktu itu. Jadi tugas orang tua di samping mengenal kepribadian anak juga harus tahu keadaan pribadi disri sendiri pada saat melaksanakan pembinaan dan pendidikan agama pada anak.<br />2. Keadaan ekonomi orang tua yang tidak terlalu rendah;<br />Persoalan ekonomi adalah persoalan penting bagi setiap orang, lebih-lebih bagi orang tua, karena orang tua mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga. orang tua yang mempunyai ekonomi cukup atau lebih dari cukup, mereka akan mampu membiayai pendidikan anak-anaknya dengan setinggi-tingginya, karena mereka tidak mempunyai kesulitan dalam membiayai keluarga dan anak-anaknya.<br />Anak yang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokok, misalnyanya makanan, pakaian, perlindungan, kesehatan, dan lain-lain. Juga kebutuhan fasilitas belajar, hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai uang untuk itu. Jadi keluarga yang ekonominya ccukup, hubungan antara orang tua dengan anak akan lebih baik, sebab orang tua tidak ditekan di dalam mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, sehingga pengertiannya dapat dicurahkan kepada anak-anaknya. Sebaliknya bagi orang tua yang mempunyai tingkat ekonomi yang terlalu rendah, mereka tidak dapat memandang lebih jauh dalam hal memberikan pendidikan kepada anak-anaknya dan mereka tidak pernah meramalkan pendidikan anak mereka yang lebih baik dari mereka, karena mereka sendiri habis disita oleh pekerjaan sehari-hari untuk mencari biaya hidup yang tak pernah berkecukupan.<br />Walaupun tidak dapat dipungkiri tentang adanya kemungkinan anak yang serba kekurangan yang selalu menderita akibat ekonomi yang lemah, justru keadaan yaang begitu menjadi cambuk baginyaa untuk belajar lebih giat dan akhirnya sukses besar. Sebaliknya keluarga yang kaya raya, orang tua sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anak. Anak hanya bersenang-senang dan berfoya-foya, akibatnya anak kurang dapat memusatkan perhatiannya kepada belajar, hal tersebut juga dapat mengganggu belajar anak. 20)<br /><br />3. Waktu yang tersedia yang bisa digunakan<br />Anak merupakan amanah Allah yang diberikan kepada orang tua yang haarus dibimbing dan dididik untuk menjadi anak yang shaleh, yang nanti pada akhirnya para orang tua akan mempertanggung jawabkannya di depat Allah Swt, atas amanah yang diberikan kepada mereka.<br />Anak yang shaleh adalah anak yang prilakunya sesuai dengan ajaran aagama Islam. Sesuai dengan hadits Nabi yaang berbunyi :<br /><br /><br />Untuk menjadikan anak yang shaleh, tentu saja memerlukan bimbingan dan pendidikan, terutama pendidikan dari orang tua. Dan untuk melaksanakan semua itu memerlukan waktu, agar dapat berkumpul dan berkomunikasi antara orang tua dan anak. Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama menciptakan komunikasi antara orang tua dan anak. Sebab dengan adanya waktu bersama, barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan antara keluarga. bagaimanapun juga tak seorangpun dapat menjalin komunikasi dengan anak bila mereka tidak pernah bertemu walaupun bercakap-cakap.<br />Dan yang perlu diingat dalam berkomunikasi seyogianya orang tua bersikap menghormati anak. Hal ini tidak berarti bahwa orang tua harus menuruti kehendak anak, tidak boleh menegur atau memarahinya. Tegur dan dan marahilah anak bila perlu dan berikanlah pengertian mengapa orang tua bersikap demikian. Jangan segan-segan memberikan pujian dan penghargaan bila anak itu pantas menerimanya. Penghargaan dan pujian itu pantas diberikan kepada anak yang telah mencapai prestasi disebabkan oleh usahanya sendiri.<br />Bagi orang tua yang jarang berkumpul dengan keluarga memang mempunyai kesulitan dalah pembagian waktu itu, mereka hampir tida ada kesempatan untuk membimbing dan mendidik anak, karena terus disibuki dengan masalah-masalah yang dihadapi, sehingga kepentingan anak menjadi terabaikan.<br />Seorang babap yang baik betapapun sibuknya dengan kepentingan sendiri dengan pekerjaan, ia pasti akan selalu meyisihkan waktunya untuk membimbing anaknya. Soal pengaturan waktu bukan menjadi persoalan, selain itu komunikasi antara ibu dengan anak, atau lamanya bapak dengan anak, bukalah semata-mata ditentukan oleh lamanya waktu yang dipakai tetapi ditandai dengan ketepatan bentuk cara berkomunikasi tersebut.22) <br /><br />Ada juga orang tua walaupun berada di rumah dan punya waktu banyak, namun tidak bisa memanfaatkannya (waktu) dengan baik untuk memberikan didikan dan bimbingan kepada anaknya. Ini tentu saja merugikan anak, karena itulah ketepatan mengatur waktu luang, walaupun sedikit tetapi dapat dipergunakan dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk berkumpul, becengkrama dengan anggota keluarga. waktu senggang itulah kiranya yang paling tepat bagi orang tua (ayah dan ibu) memberikan didikan dan bimbingan, karena dalam suasana gembira, santai, itu akan lebih mudah masuk ke dalam jiwa anak-anak dibandingkan dengan memberikannya pada waktu tegang.<br />Maka jelaslah bahwa keutuhan keluarga dalam artian kehadiran ayah dan ibu di dalam keluarga sangat berpengaruh pada diri anak-anak. Di samping itu yang tak kalah pentingnya keutuhan interaksi antara keluarga yang satu dengan anggota keluarga lainnya, juga mempengaruhi terhadap diri anak, karena seperti diketahui bahwa keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar berinteraksi sebagai makhluk sosial dan memberikan dasar-dasar pembentukkan tingkah laku, moral, ketentraman dan ilmu pengetahuan pada anak. Pengalaman interaksi positif di dalam keluarga akan menentukan pola tingkah laku anak terhadaap orang lain dalam masyaarakat pada masa yang akan datang.<br />4. Minat anak untuk belajar yang selalu dapat dipacu <br />dalam melaksanakan suatu pekerjaan, perbuatan dan sebagainya akan dapat lancar dan berhasil dengan baik, apabila orang yang melakukannya itu ada minat terhadap pekerjaan tersebut. Demikian juga halnya dengan belajar, pelajaran iti berjalan lancar apabila pada diri anak ada minat.<br />Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat anak, anak tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya, tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu.<br />Minat menurut Slameto adalah :<br />“suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.” 23) <br /><br />Sedangkan menurut Agus Sujanto, minat adalah “suatu pemusatan perhatian yang tidak disengaja yang terlahir dengan penuh kemauannya dan tergantung dari bakat dan lingkungannya”. 24) <br />Sesuatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa anak lebih menyukai suatu hal dari pada yang lain, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Anak yang memiliki terhadap subyek tertentu cederung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subyek tersebut.<br />Jadi walaupun berbagai faktor belajar sudah menunjang, tetapi kalau anak tidak berminat, hasilnya tidaklah dapat mencapai seperti subyek tersebut yang diinginkan.<br />Jika ada anak yang kurang berminat terhadap pelajaran, dapatlah diusahakan agar ia mempunyai minat yang lebih besar dengan cara menjelaskan hal-hal yang menarik dan<br /> berguna bagi kehidupan serta hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita serta kaitannya dengan pelajaran yang dipelajari.<br />Mengingat pentingnya minat dalam belajar, menurut para ahli minat itu perlu dibangkitkan. Nasution mengatakan, bahwa<br /> Minat dibangkitkan dengan cara :<br />a. Bangkitkan suatu kebutuhan (kebutuhan untuk menghargai keindahan untuk mendapatkan penghargaan dan sebagainya).<br />b. Hubungkan dengan pengalaman yang lampau.<br />c. Beri kesempatan untuk mendapat hasil.<br />d. Gunakan berbagai bentuk mengajar seperti diskusi, kerja kelompok, membaca, demonstrasi, dan sebagainya. 25)<br /><br />Namun perlu didasari bahwa minat seyogianya sesuai dengan kemampuan yang ada, sebab bila minat dan kemampuan tidak seimbang salah-salah anak menjadi sinting.<br />5. Motivasi orang tua dalam hal-hal yang positif.<br />Motif berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Dalam psikologi motif berarti rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku.<br />Motovasi merupakan istilah yang lebih umum dari pada motif, yang menncakup seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan atau akhir dari pada gerakan atau perbuatan. Menurut Drs. J.T. Lobby Loekmono, motivasi adalah “merupakan dorongan dari dalam yang menimbulkan kekuatan individu untuk bertindak atau bertingkah laku guna memenuhi kebutuhannya”.26) <br />Dalam belajar memerlukan adanya motivasi, makin tepat motivasi yang diberikan makin berhasil pelajaran itu. Motivasi merupakan intensitas usaha anak dalam belajar. Anak yang mempunyai intelegensi yang tinggi mungkin gagal dalam belajar, karena kekurangan motivasi. Karena itu hasil yang baik akan tercapai dengan motivasi yang kuat. Anak yang gagal tidak begitu saja dipersalahkan, mungkin orang tua atau gurulah yang tidak berhasil memberikan motivasi yang dapat membangkitkan kegiatan pada diri anak, karena memberi motivasi bukanlah pekerjaan yang mudah. Motivasi berhasil bagi seseorang atau suatu kelompok mungkin tidak berhasil bagi anak atau kelompok lain.<br />Oleh karena itu, begitu pentingnya motivasi bagi anak dalam belajar, maka bagi para orang tua hendaknya sering-sering memberikan motivasi yang positif kepada anaknya, sehingga apa yang diinginkan tercapai dengan baik. Adapun motivasi mempunyai tiga fungsi:<br />a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai pengerak atau motor yang melepaskan energi. <br />b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.<br />c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dijalankan yang serasi guna mencapai tujuan itu, dengan menyampingkan perbuatan-perbuatan yang tak bermanfaat bagi tujuan itu.27)<br /><br />Motivasi ada dua macam, motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik, motivasi yang bersal dari dalam, sedangakan motivasi ekstrinsik, motivasi yang berasal dari luar, misalnya apa motif atau sebab anak belajar ?<br />a. Ia belajar karena didorong oleh keinginan untuk mengetahuinya.<br />b. Ia belajar karena ingin mendapat angka yang baik, naik kelas, dan mendapat ijazah.28)<br />Pada contoh pertama, anak belajar karena didorong oleh motivasi intrinsik, yakni ia ingin mendapatkan pencapaian tujuan yang terkandung dalam perbuatan belajar itu sendiri. Sebaliknya pada contoh kedua anak belajar didorong oleh motivasi ekstrinsik, yaitu tujuan-tujuan itu terletak di luar perbuatan belajar itu sendiri karena tujuan untuk mencapai penghargaan berupa angka, karena ingin dilihat oleh orang lain, dan sebagainya.<br />6. Lingkungan sosial keagamaan yang orang-orangnya agamis<br />Lingkungan sosial ialah lingkungan yang terdiri dari individu atau sekelompok individu, interaksi antara individu-individu tersebut menimbulkan proses dan bahkan proses itu menyangkut proses sosial yang disebut pergaulan, di mana situasi tersebut berhubungan erat dengan masalah pendidikan. Menurut Zakiyah Daradjat “dalam pergaulan tidak selalu berlangsung pendidikan walaupun di dalamnya terdapat faktor-faktor yang berdaya guna untuk mendidik. Pergaulan merupakan unsur lingkungan yang turut serta mendidik seseorang”.29) <br />Dalam pergaulan itu sendiri terdapat pengaruh yang mempunyai nilai paedagogik dan ada juga terdapat pengaruh yang tidak paedagogik.<br />Apabila anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kedamaian, harmonis, orang-orang yang agamis serta orang tua yang mengasuhnya taat melaksanakan perintah Allah. Kemudian teman pergaulannya terdiri dari orang yang berpendidikan dan berkelakuan baik, keadaan seperti inilah yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak dan pengaruh tersebut tentu saja pengaruh yang baik. Tetapi sebaliknya keadaan lingkungan yang tidak damai, kacau, tidak agamis serta keluarganya berantakan, ditambah lagi teman pergaulannya orang-orang yang tidak baik misalnya suka bergadang, pecandu, rokok, film, minum-minuman keras, dan sebagainya. Ini semua akan berpengaruh tidak baik kepada anak.<br /><br />D. Peranan Orang Tua dalam Pendidikan Agama Di Rumah Tangga<br />Rumah tangga merupakan lembaga pertama, di mana anak-anak menerima pendidikan. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak dan moral anak. Jadi, segala tingkah laku dan perbuatan dalam keluarga terutama orang tua menjadi contoh yang akan ditiru anak. Di samping itu juga, keluarga merupakan pangkal ketentraman dan kebahagian hidup anak.<br />Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.<br />Orang tua atau ibi dan ayah memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak lahir, ibinyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru perangai ibunya, apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik, maka seorang anak akan lebih cinta kepada ibunya. Ibu merupakan orang yang mula-mula dikenal anak, yang mula-mula menjadi temannya dan yang mula-mula dipercayainya. Adapun yang dilakukan ibu dapat dimanfaatkannya, kecuali apabila ia ditinggalkan. Dengan memahami segala sesuatu yang terkandung di dalah hati anaknya, juga jika anak telah mulai besar, disertai kasih sayang, dapatlah ibu mengambil hati anaknya untuk selama-lamanya.<br />Pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula. Di mata anaknya ia seorang yang tertinggi gengsinya dan terpandai di antara orang-orang yang dikenalnya. Cara ayah melakukan pekerjaannya sehari-hari berpengaruh pada pekerjaan anak-anaknya. Ayah merupakan penolong utama, lebih-lebih bagi anak yang agak besar, baik laki-laki maupun perempuan, bila ia mau mendekati dan dapat memahami anaknya.<br />Oleh karena itu, yang mula-mula harus diterapkan orang tua kepada anak-anaknya sejak kecil adalah kebiasaan-kebiasaan yang baik terutama sekali dalam masalah akhlak dan tingkah laku. Kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak tentunya harus sesuai dengan jiwa ajaran Islam, sebab apabila orang tua memberikan contoh dari sikap yang baik dalam kehidupan mereka sehari-hari sejak kecil tentu hal itu akan menjadi dasar pokok dalam pembentukan kepribadian anak di waktu dewasa nanti, begitu pula sebaliknya.<br />Jadi tugas orang tua adalah membiasakan anak-anaknya dengan hal-hal yang baik seperti mengerjakan ajaran agama, terutama dalam ibadah secara konkrit (seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an dan berakhlak mulia). Sebab hal-hal yang baik apalagi dibiasakan tentu akan berakibat baik bagi anak, demikian pula sebaliknya. Dalam hal shalat ini dari segi paedagogik tugas orang tua menurut ajaran Islam, menyuruh anaknya melakukan shalat jika anak sudah berusia 7 tahun, dan dipukul jika anak sudah berusia 10 tahun. Sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi :<br /><br /><br /><br />Anak itu bersih, suci, tinggal lagi bagaimana orang tua mewarnai apa dijadikan putih ataupun hitam. Seperti yang dikemukakan oleh H.M. Arifin :<br />Melatih anak-anak adalah suatu hal yang sangat penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tuanya. Hati anak suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari uliran dan gambaran, ia dapat memberi dan menerima segala yang diukirkan atasnya dan condong kepada apa yang dicondongkan kepadanya. Maka jika ia dibiasakan ke arah kebaikan dan diajarkan kebaikan jadilah ia baik dan berbahagia dunia dan akhirat, sedang ayah serta para pendidik-pendidiknya turut mendapat bagian pahalanya. Tetapi bila dibiasakan jelek atau dibiarkan dalam kejelekan, maka celaka dan rusaklah ia, sedang wali atau pemeliharanya mendapat beban dosanya.31) <br /><br />Oleh karena itu, besarnya peranan orang tua atau keluarga dalam pendidikan khususnya pendidikan agama. Maka orang tua harus tahu berlaku sebagai pendidik dan dituntut pengetahuan dan kesadaran yang tinggi akan tugas dan kewajiban terhadap anak-anak secara penuh dalam rumah tangga.<br /><br />E. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Pendidikan Agama Di Rumah Tangga<br />Dalam melaksanakan tugas pendidikan dalan keluarga orang tua harus sadar dan benar-benar merasa bertanggung jawab agar pendidikan yang berlangsung di rumahnya bisa berjalan lancar dan tercipta suasana yang harmonis, karena pengaruh keluarga sangat besar bagi perkembangan jiwa anak.<br />Tanggung jawab orang tua terhadap anak didasarkan atas motivasi cinta kasih, yang pada hakekatnya juga dijiqai oleh tanggung jawab moral. Secara sadar orang tua mengemban kewajiban untuk memelihara dan membina anaknya sampai ia mampu berdiri sendiri (dewasa) baik secara fisik sosial ekonomi maupun moral.<br />Tanggung jawab pendidikan Islam yang menjadi beban orang tua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam rangka :<br />1. Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.<br />2. Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmaniah maupun rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan penyelewingan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianutnya.<br />3. Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluasnya dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.<br />4. Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.32) <br /><br />Mengenai pelaksanaan kewajiban terhadap keluargan, semuanya akan diminta pertanggung jawaban terhadap keluarga. Oleh karena itu, orang tua yang mempunyai anak diwajibkan menjaga dan memelihara anak mereka agar terhindar dari maksiat dan kemungkaran. Firman Allah dalam surat al-Tahrim yang berbunyi : <br />يا ايها الذين أمنوا قوا انفسكم واهليكم نارا …<br />Memelihara yang dimaksud adalah memelihara seorang anak dalam artian mendidik, menjaga dan membimbing dan mengatur diri sendiri, jangan sampai terjerumus ke jalan yang tidak diridhai Allah Swt.<br />Melatih anak-anak adalah suatu hal yang sangat penting, karena akan merupakan titipan atau amanah dari Allah Swt, yang diserahkan kepada orang tua. Jadi kalau anak dibiasakan dengan hal-hal yang baik-baik seperti melaksanakan ajaran agama terutama ibadah shalat, puasa, membaca al-Qur’an, dan sebagainya, maka ia akan baik, begitu juga sebaliknya, sebab keadaan anak masih suci bagaikan kertas putih tanpa coretan, maka orang tualah yang menentukan ke mana ia mau. Nabi Muhammad Saw bersabda :<br /><br /><br />Dari hadits di atas, tergambar bahwa orang tua baik atau tidak, karena merekalah yang menentukan masa depan anak-anaknya apakah akan dijadikan baik atau buruk, sesuai dengan keinginan orang tua. Jadi orang tua hendaknya selalu mengawasi dan membimbing anak-anaknya, terutama dalam rumah tangga, sebab ayah dan ibu baru akan berhasil dapat membimbing anak jika ia betul-betul mengarahkan dan memberikan perhatian penuh terhadap anak-anaknya. Sehubungan dengan ini Kartini Kartono mengemukakan bahwa ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam membimbing anak dalam belajar, yaitu kesabaran dan kebijaksanaan :<br />1. Kesabaran<br /> Janganlah menyamakan jalan pikiran kita dengan jalan pikiran yang dimiliki anak. Di samping itu perlu diadakan kesadaran, bahwa kecerdasan setiap anak tidaklah sama, walaupun usianya sama. Dengan melalui sifat-sifat yang ada pada anak, akan mempermudah untuk membimbingnya. Dan jangan sekali-kali membentak-bentak pada saat anak belum mengerti tentang apa yang ditanyakan.<br />2. Kebijasanaan<br /> Kita perlu bijaksana untuk mengerti kemampuan yang dimiliki anak (masih sangat terbatas). Sikap kasar justru tidak akan membantu, sebab anak menjadi bertambah gelisah dan takut, sehingga apa yang diperoleh dari bimbingan itu hanya akan merupakan tekanan jiwa dalam dirinya35) <br /><br />Di samping itu orang tua sebagai pemimpin, juga diminta pertanggung jawabannya terhadap apa yang dipimpinnya. Rasulullah Saw bersabda :<br /><br /><br />Sedangkan yang menjadi dasar-dasar dari tanggung jawab keluarga terhadap pendidikan anaknya meliputi :<br />1. Dorongan / motivasi cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua dengan anak. Cinta kasih ini mendorong sikap dan tindakan rela menerima tanggung jawab dan mengabdi hidupnya untuk sang anak.<br />2. Dorongan / motivasi kewajiban moral, sebagai kunsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Tanggung jawab moral ini meliputi nilai-nilai relegius spritual yang dijiwai Ketuhanan Yang Maha Esa dan agama masing-masing di samping didorong oleh kesadaran memelihara martabat dan kehormatan keluarga.<br />3. Tanggung jawa sosial sebagai bagian dari keluarga yang pada gilirannya juga menjadi bagian dari masyarakat, bangsa dan negara, bahkan kemanusiaan. Tanggung jawab sosial ini merupakan perwujudan kesadaran tanggung jawab kekeluargaan yang diikuti oleh darah keturunan dan kesatuan keyakinan.37) <br /><br />Tugas orang tua terutama ayah, di mana dia menjabat sebagai pemimpin yang padanya dipikulkan tanggung jawab yang besar. Dan sebagai umat Islam wajib berusaha agar peraturan-peraturan yang dibawa oleh Rasulullah Saw tersebut dapat berjalan dengan baik, baik di rumah tangga, lingkungan maupun negara.<br />Jadi jelaslah sebagai orang tua diharapkan bisa melakukan tugasnya yang merupakan tanggung jawabnya dengan baik dan benar, sehingga anak-anak mereka kuat, kokoh dan tidak mudah goyah oleh apapun juga.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />SUMBER KUTIPAN BAB II<br /><br />1.WJS. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesi, Cet V, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 250.<br /><br />2.Anton M. Moeliono, et.al., Kamus Besar Bahasa Indosesia, Cet II, Balai Pustaka, 1989, hal. 204.<br /><br />3.Drs. H.M. Arifin M.Ed., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkuan Sekolah dan Keluarga, Cet II, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hal. 12.<br /><br />4.Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet VI, PT. Al- Ma’rif, Bandung, 1986, hal. 19.<br /><br />5.Drs RHMS Soemantri et.al., Buku Pedoman Guru Agama SD, Cet II CV. Dermaga, Jakarta, 1983, hal. 5.<br /><br />6.Ibid., hal. 9.<br /><br />7.Drs. Abd. Rachman Shaleh, Didaktik Pendidikan Agama, Cet VIII, Bulan Buntang, 1976, hal. 19.<br /><br />8. Ahmad D Marimba, Op. Cit., hal. 23.<br /><br />9.Ibid., hal. 42.<br /><br />10.Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet VI, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hal. 40.<br /><br />11. Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentaang Sistem Pendidikan Nasional, Penerbit CV. Mini Jaya Abadi, 2003. hal. 9.<br /> <br />12.Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Cet XII, P.T. Hidakarya, Agung, Jakarta, 1980, hal. 13.<br /><br />13.Ahmad D Marimba, Op. Cit., hal. 46.<br /><br />14.Drs. Sopyani, Ilmu Pendidikan Islam, (Diktat) Fakultas Tarbiyah, IAIN Antasari, Banjarmasin, 1989, hal. 22.<br /><br />15.Depertemen Agana RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Penerbit Gema Risalah Press Bandung, 1989, hal. 862. <br /><br />16.Ibid,. hal. 92.<br /><br />17.Ibid,. hal. 623.<br /><br />18.Ibid,. hal. 49.<br /><br />19.Drs. Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu anak, cet. II, Cv. Rajawali, Jakarta, 1989, hal. 37.<br /><br />20.Drs. Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, cet. I, P.T. Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 66.<br /><br />21.Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, juz 2. Darur Fikri Bairul 1993, hal. 70.<br /><br />22.A. Muri Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Ghalia Indonesia, 1982, hal. 27.<br /><br />23.Drs. Slameto, Op. Cit., hal. 182.<br /><br />24.Drs. Agus Sujanto, Psikologi Umum, cet. VI, PT Aksara Baru, Jakarta, 1986, hal. 92.<br /><br />25.Prof. DR. S. Nasution, M.A., Didaktik Azas-azas Mengajar, cet.V, Jemmars, Bandung, 1983, hal. 85.<br /><br />26.Drs. J.T. Lobby Loekmono, Belajar Bagaimana Belajar, P.T. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal. 42.<br /><br />27. Prof. DR. S. Nasution, M.A., Op. Cit., hal. 79.<br /><br />28.Ibid., hal. 80.<br /><br />29.Dr. Zakiah Dardjat, DKK., Ilmu Pendidikan Islam, cet.II. Bumi Aksara, 1992, hal. 63.<br /><br />30.Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats, Sunan Abu Daud, Juz. I. Bab. Shalat, Hadits no. 495, Darul Fikri, t.th. hal. 133.<br /><br />31.Drs. H.M. Arifin M.Ed., Op. Cit., hal. 75.<br /><br />32.Dr. Zakiah Daradjat, Op. Cit., hal. 38.<br /><br />33.Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hal. 951.<br /><br />34.Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Asy-Syayuti, Al-Jami’ush Shagir, jilid II, Darul Fikri, t.c.,t.th … hal. 287.<br />35.Drs. Kartini Kartono, Op. Cit., hal. 90.<br /><br />36.Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, Jilid I, cet. I, Pustaka Amini – Jakarta, 1994, hal. 315.<br /><br />37.TIM Dosen FIP – IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1976, hal. 17.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-1779882548054993242008-12-15T20:09:00.000-08:002008-12-15T20:10:22.985-08:00SISTEM PENILAIAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAMSISTEM PENILAIAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM<br /><br />A. Aspek-aspek Pendidikan Agama Islam Yang Dinilai.<br /><br />Penilaian Pendidikan Agama Islam disekolah dilakukan terhadap semua aspek. Aspek-aspek pokok penilaian meliputi :<br />1. Pengetahuan agama Islam<br />2. Keterampilan agama Islam<br />3. Penghayatan agama Islam<br />4. Pembiasaan dan pengamalan agama Islam<br /><br />Kelompok pokok Penilaian Agama Islam diatas termasuk dalam tiga Domain yaitu :<br />1. Domain Kognitif<br />2. Domain Psikomotorik<br />3. Domain Afektif<br />Perlu diketahui bahwa semua unsur pokok pendidikan agama Islam mengandung aspek Kognitif, namun pada dasarnya aspek Kognitif ini dominasinya ada pada unsur pokok yaitu, keimanan, syariah dan sejarah. Sedangkan aspek Spikomotorik domonasinya ada pada unsur pokok ibadah dan Al-Qur’an.<br /><br />Nilai aspek atau domain Afektif pada dasarnya dominasinya terdapat pada unsur pokok akhlak. Dengan demikian penilaian pendidikan agama Islam dapat menggunakan rumus berikut :<br />1. 3K + 3A + 4PM <br /> 10<br />2. 4K + 6APM<br /> 20<br /> Catatan :<br /> 1. 3K =<br /> 3A =<br /> 4PM =<br />10 =<br /> 2. 4K =<br /> 6APM =<br />Contoh :<br />Misalkan siswa A memperoleh nilai Kognitif yang diambil dari penilaian harian 6. Aspek Afektif melalui pengamatan guru baik dalam kelas maupundiluar kelas memperoleh 7. Sedangkan aspek Psikomotorik sewaktu dilakukan praktek maka A memperoleh nilai 6, maka nilai A didalam raport apabila menggunakan rumus satu adalah sebagai berikut :<br /><br />3K + 3A + 4PM = 18 + 21 + 24<br />10 10 <br />= 63 = 6,3 dibulatkan menjadi 6<br /> 10<br />sedangkan bila menggunakan rumus ke-2 dapat dilakukan sebagai berikut :<br /><br />4K + 6APM = 24 + 78/2<br />10 10<br /> = 24 + 39 = 6,3 = 6<br /> 10<br /><br /><br />B. Tahapan-tahapan Penilaian Pendidikan Agama Islam<br /><br />Kegiatan penilaian yang dilakukan terhadap Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan melalui empat tahapan.<br /><br />1. Merencanakan<br />Dalam merencanakan penilaian Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan melalui tes dan non tes. Penilaian dengan tes dapat dilakukan tes tertulis, tes lisan dan tes perbuatan. Sedangkan non tes dapat direncanakan melalui wawancara, pengamatan / observasi, angket, skala sikap dan catatan anekdot ( catatan harian ). Teknik tes agama Islam digunakan untuk penilaian aspek kognitif dengan tes obyektif, uraian dan mengarang. Semua materi pendidikan Agama Islam yang bersifat ilmu pengetahuan dapat dinilai dengan teknik tes. Teknik non tes dalam pendidikan agama Islam digunakan untuk menilai aspek afektif yaitu penilaian sikap keberagaman siswa dengan alat penilaian :<br /><br />a. Wawancara yaitu melakukan dialog dengan siswa untuk mengetahui keberagaman siswa dan sangat baik untuk mengungkapkan aspek afektif dari materi keimanan dan akhlak.<br />b. Observasi yaitu penilaian yang dilakukan melalui pengamatan dan pergaulan langsung tentang sikap dan perilaku siswa berkaitan dengan akhlak.<br />c. Angket yaitu pertanyaan tertulis yang ditujukan kepada siswa, gunanya untuk mendapatkan informasi diutamakan mengenai kehidupan beragama.<br />d. Skala sikap yaitu pengamatan dan pencatatan reksi sikap terhadap tugas yang diberikan.<br />e. Catatan Anekdot yaitu catatan tertentu terhadap sikap siswa dalam rangka pembinaan sikap keberagaman yang baik.<br /><br />2. Menyusun Soal.<br /><br />Sebelum menyusun soal, terlebih dahulu disusun kisi-kisi soal. Kisi-kisi soal dibuat terutama untuk soal yang materinya banyak seperti pada umumnya. Dengan membuat kisi-kisi soal yang disusun akan menjadi terarah sesuai dengan bahan / materi dan tujuan pengajaran. Bentuk kisi-kisi soal sangat tergantung pada tujuan pengajaran yang akan dicapai.<br />Contoh format kisi-kisi soal :<br /><br />Jenis Sekolah : Sekolah Dasar<br />Mata Pelajaran : <br />Kelas / Cawu :<br />Alokasi Waktu :<br />Jumlah Soal :<br /><br />No. Tpu PB / SPB Tema dan soal per PB Bahan kelas Uraian materi Aspek Indi-kator Bentuk Tingkat kesulitan No<br />Soal<br />1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11<br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /> <br />Penjelasan<br />a. No = Nomor urut kisi-kisi<br />b. TPU ( Tujuan Pembelajaran Umum ) diambil dari GBPP mata pelajaran Pendais.<br />c. PB / SPB ( Pokok Bahasan / Sub Pokok bahasan ) Agar dipilih yang esensial dengan kriteria sebagai berikut :<br />1) Merupakan kelanjutan PB sebelumnya.<br />2) Pokok Bahasan yang penting untuk dikuasai siswa.<br />3) Pokok Bahasan yang diperlukan untuk mempelajari mata pelajaran.<br />4) Topik yang kontinue dan terdapat pada semua jenjang.<br />5) Pokok Bahasan yang memiliki nilai terapan dalam kehidupan sehari-hari.<br />d. Jumlah soal perpokok bahasan ditentukan berdasarkan :<br />1) jumlah jam atau lamanya untuk menyelesaikan pokok bahasan tersebut.<br />2) Tingkat esensial pokok bahasan.<br />e. Bahasan kelas misalnya kelas IV, V dan VI.<br />f. Uraian materi diambil dari GBPP Pendidikan Agama Islam<br />g. Aspek yang diukur oleh Domain Kognitif sedapat mungkin meliputi pengetahuan, pemahaman, penerapan, sintetis dan evaluasi.<br />h. Indikator : dirumuskan secara simgkat dan jelas dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :<br />1) Memuat ciri-ciri TPU<br />2) Membuat kata kerja operasional.<br />3) Berkaitan dengan uraian materi PB / SPB.<br />4) Membuat soal dengan bentuk yang dimaksud.<br />i. Tingkat kesukaran misalnya mudah, sedang, sukar dengan perbandingan 1 : 2 : 1.<br />j. Bentuk soal ada dua bentuk yaitu pilihan ganda atau uraian. Uraian biasanya dipilih yang berstruktur.<br />k. Nomor soal ditulis secara berurutan.<br />Persyaratan kisi-kisi :<br />a. Mewakili materi esensial dari PB / SPB<br />b. Komponennya terinci dan mudah dipahami.<br />c. Soalnya dapat dibuat<br />d. Dibuat kunci jawaban agar memudahkan guru memeriksa dan memberi nilai, termasuk soal obyektif.<br /><br />3. Pelaksanaan<br /><br />Penulisan soal memerlukan persiapan yang diharapkan dapat menghasilkan soal yang baik. Hal-hal yang perlu disiapkan dalam penulisan soal Pendidikan Agama Islam adalah sebagai berikut :<br />a. Persiapan<br />Apabila kita ingin menulis soal, maka perlu mempersiapkan bahan ( materi ) yang akan dipergunakan antara lain :<br />1) GBPP kurikulum Pendidikan Agama Islam<br />2) Buku paket Pendidikan Agama Islam<br />3) Buku-buku penunjang yang telah di sahkan<br />4) Buku lain yang menunjang misal, gambar koran dan sebagainya.<br />5) Materi dari lingkungan seperti catatan yang diberikan guru.<br /><br />b. Pelaksanaan Penulisan soal<br />Penulisan soal Pendidikan Agama Islam dilaksanakan untuk soal ulangan umum, ulangan harian dan tugas.<br /><br />1) Ulangan Harian<br />Penyusunan soal ulangna harian dilaksanakan pada setiap akhir suatu pokokbahasan, dan paling lama pada akhir pokok bahasan kedua. Penulisan disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran, tingkat kelas dan kondisi yang ada dengan mengutamakan bentuk soal uraian terbatas.<br /><br />2) Ulangan Umum<br />Penulisan soal ulangan umum dilakukan untuk semua materi ( pokok bahasan ) dalam satu Catur Wulan. Pelaksanaannya mulai kelas I sampai dengan kelas VI bentuk soal mengutamakan soal uraian terbatah atau obyektif <br /><br />c. Tugas<br />Penyusunan soal ulangan umum dilaksanakan dari kelas I sampai kelas VI. Pelaksanaannya dilakukan secara terus menerus dengan memperhatikan tugas dari mata pelajaran lain.<br /><br />4. Petunjuk Menjawab Soal<br />Untuk memperoleh hasil yang baik dalam menjawab soal perlu adanyapetunjuk yang jelas dalam menjawab soal.<br /><br />a. Petunjuk umum<br />Petunjuk mengerjakan tes<br />1) Tulis nama, dan nomor tes<br />2) Baca petunjuk pengisianpada setiap kelompok soal<br />3) Jika ada soal yang kurang jelas lapor pada pengawas<br />4) Jawablah soal yang kamu anggap mudah<br />5) Kerja pada lembar yang tersedia<br />6) Untuk pilihan ganda berilah tanda silang ( x ) pada huruf didepan jawaban yang benar.<br /><br />Jika jawaban yang telah diberikan silang ingin memperbaiki maka jawaban yang salah dapat diberikan tanda dengan garis lurus mendatar ( = ). Kemudian dapat menentukan jawaban yang diinginkan.<br />Contoh :<br /><br />A<br />B<br />C<br />D<br /> <br /><br />diperbaiki dengan<br /><br /><br /> <br />A<br />B<br />C<br />D<br /><br /><br />7) Untuk soal uraian, jawaban harus jelas dan lengkap. Apabila jawaban salah agar segera memperbaikinya dengan mencoret jawaban yang salah kemudian menulis kembali.<br />8) Jangan menggunakan pena yang tulisannya tembus.<br />9) Bila waktu masih ada periksa kembali hasil pekerjaanmu<br />10) Bekerjalah dengan tenang, cermat dan tepat.<br /><br />b. Petunjuk khusus<br />Dalam mengerjakan soal perlu adanya petunjuk khusus sesuai dengan bentuk soal yang diberikan.<br />Petunjuk khusus mengerjakan soal :<br />1) Beanar Salah<br />Berikan tanda silang ( x ) pada huruf B bila pernyataan benar dan huruf S bila pernyataan salah.<br />2) Pilihan Ganda<br />Berilah tanda silang ( x ) pada salah satu huruf yang terdapat didepan jawaban yang paling benar pada lembar jawaban. <br />3) Menjodohkan<br />Jodohkanlah jawaban dilajur kanan dengan pertanyaan dilajur kiri yang sesuai dengan huruf pada kotak ( 0 ) yang tersedia pada jawaban.<br />4) Lisan<br />Isilah titik-titik dibawah ini dengan jawaban yang tepat.<br />5) Jawaban Singkat<br />Jawablah soal dibawah ini dengan singkat dan jelas.<br />6) Tes Uraian<br />Jawablah soal dibawah ini dengan jelas dan lengkap. Tulisan jelas dan dapat dibaca.<br /><br />5. Penyusunan Soal<br /><br />Menyusun soal yang baik hendaknya memperhatiakan kaidah penulisan soal sebagai berikut :<br />a. Rumusan soal harus jelas dan tidak meragukan.<br />b. Rumusan tidak boleh mengandung kata memberikan petunjuk pada jawaban.<br />c. Rumusan tidak boleh mengandung kata negatif ganda.<br />d. Jumlah item soal benar salah seimbang.<br />e. Urutan item soal sedapat mungkin jangan mengikuti pola yang tetap.<br />f. Pernyataan hendaknya pendek.<br />Contoh :<br />1) Soal Benar Salah<br />Contoh soal Benar Salah ;<br />( B – S ) : salah satu rukun iman ialah meyakini adanya yang ghaib.<br /><br />2) Pilihan Ganda<br />Pada soal ini siswa diminta jawaban yang menurut mereka paling benar diantara jawaban yang ada.<br />Contoh :<br />Shalat sunat rawatib tidak pernah dikerjakan sesudah shalat ….<br />a. Zhuhur<br />b. Ashar<br />c. Magrib<br />d. Isya<br /><br />3) Contoh soal menjodohkan<br />a. Kota kelahiran Nabi Muhammad A. Masjid Al-Aqsa<br />b. Nabi Muhammad memulai Isra B. Madinah<br />c. Nabi Muhammad berdagang ke C. Taif<br />d. Nabi Muhammad memulai Mi’raj D. Mekkah<br />e. Nabi Muhammad Hijrah E. Syam<br />F. Masjid Al-Haram<br /><br />4) Contoh Soal isian ( melengkapi )<br />Takbir pertama dalam shalat disebut …….<br />5) Contoh soal jawaban singkat<br />Hari akhir disebut juga hari ……..<br />6) Bentuk soal uraian<br />Menyususn bentuk soal uraian obyektif berstruktur ( terbatas ) perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :<br />a. Disusun dengan bahasan yang mudah dimengerti siswa.<br />Contoh :<br />* sebutkan enam rukun Iman !<br /><br />b. Batasan Jawaban / ruang lingkup yang ditanyakan harus jelas.<br />Contoh :<br />* Mengapa kita wajib membayar zakat fitrah ?<br /><br />c. Semua siswa harus mengerjakan soal yang sama.<br />d. Seimbang antara waktu dengan jawaban yang akan ditulis siswa.<br /><br />C. Penilaian Ekstra Kurikuler<br /><br />Penilaian kegiatan ekstra kurikuler Pendidikan Agama Islam adalah berupa kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan program kurikuler Pendidikan Agama Islam serta pembentukan akhlak siswa. Kegiatan penilaian ekstra kurikuler ini dapat dilakukan terhadap unsur pokok ibadah, Al-Qur’an dan akhlak.<br /><br />Misalnya pada unsur pokok ibadah : kegiatan ekstra kurikuler difokuskan untuk melatih siswa dalam praktek whudu dan shalat, sedangkan untuk materi Al-Quran adalah latihan membaca dengan tajwit dan menghapal surat-surat pendek. Kegiatan ekstra kurikuler pada akhlak ditentukan pada kemampuan siswa untuk hormat kepada orang tua, guru, teman sebaya dan orang yang lebih tua.<br />Penilaian terhadap kegiatan ini dicantumkan dalam raport dengan bentuk kwalitatif :<br />a. ( Amat Baik ) c. ( cukup )<br />b. ( Baik ) d. ( kurang )<br /><br />D. Kriteria Kenaikan Kelas<br /><br />Untuk menentukan kenaikan kelas maka perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :<br />1. Memperhatikan perkembangan belajar siswa secara keseluruhan baik kognitif, afektif dan psikomotorik sejak dari Catur Wulan 1 ( satu ) sampai dengan Catur Wulan 3 ( tiga ) pada setiap kelas, penekanan diutamakan pada Catur Wulan ke-3 (tiga ). Nilai pada pelajaran Pendidikan Agama Islam sekurang-kurangnya enam.<br /><br />2. Apabila siswa belum mencapai nilai persyaratan minimal enam, karena suatu hal dan hal itu masuk akal, maka diberikan kesempatan untuk mengikuti tes ulangan untuk memperbaiki nilai perolehan dengan ketentuan nilai tes ulangan kedua kemudian dibagi dua.<br /><br />3. Keputusan kenaikan kelas ditetapkan dalam rapat kenaikan kelas yang dihadiri oleh semua guru dan dipimpin oleh kepala sekolah dengan meperhatikan berbagai pertimbangan prestasi Catur Wulan 1 dan 2 dan kegiatan ekstra kurikuler serta akhlak yang bersangkutan<br /><br />4. Guru Pendidikan Agama Islam dapat memberikan saran kepada kepala sekolah apa bila terdapat hal-hal yang meragukan berkaitan dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan yang berhubungan dengan penentuan kenaikan kelas.<br /><br /> <br />S a r a n :<br /><br />1. Ada bainya diperkenankan rumus umum penilaiansoal ujin obyektif yaitu :<br /><br /> <br />S = B Atau S = R<br /> <br />S = Skor<br />B = Jawaban yang benar, R = right, jawaban benar<br /><br />Rumus ini berlaku untuk semua jenis soal obyektif, terkecuali digunakan rumus denda yaitu :<br /><br />1. S = R - W<br /> W = wrong, jawaban salah ( rumus Salah – Benar )<br /><br />2 S = R - W<br /> 0-1<br /> 0 = option ( banyaknya pilihan alternatif )<br /> 1 = bilangan tetap untuk pengurangan karena denda.<br /> Untuk sekolah Dasar rumus denda tidak perlu, terkecuali untuk tambahan ilmu.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-30153712440467329392008-12-15T20:08:00.000-08:002008-12-15T20:09:29.928-08:00JENIS TEKNIK DAN ALAT PENILAIAN PAIJENIS TEKNIK DAN ALAT PENILAIAN PAI<br /><br /><br /> Ada beberapa jenis penilaian yang digunakan untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan belajar siswa. Penilaian dapat dilaksanakan dengan teknik tes dan non tes.<br /><br />A. Jenis – Jenis Penilaian.<br /><br />Dibawah ini dikemukakan jenis-jenis penilaian yang dapat digunakan oleh guru agama.<br /><br />1. Ulangan Harian<br /><br />Ulangan harian dilakukan dengan tertulis, lisan, perbuatan dan pengamatan pada akhir atau pokok bahasan atau lebih. Pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis mata pelajaran, tingkat kelas dan kondisi yang ada dengan mengutamakan bentuk soal uraian. Untuk kelas I penilaian dapat dilakukan secara lisan atau tes tertulis ringan yang dibacakan oleh guru. Ulangan harian dilaksanakan minimal tiga kali setiap catur wulan dan disesuaikan dengan pokok bahasan yang disajikan.<br /><br />2. Pemberian Tugas<br /><br />Penilaian terhadap tugas yang diberikan kepada siswa untuk semua mata pelajaran mulai kelas I sampai kelas VI. Pelaksanaannya dilakukan secara terus menerus dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai dengan jenis dan ciri mata pelajaran. Pelaksanaan pemberian tugas perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :<br /><br />a. Pemberian tugas Pendidikan Agama Islam diusahakan agar tidak memberatkan siswa, sebab guru-guru mata pelajaran lain mungkin juga memberikan tugas.<br /><br />b. Jenis materi pemberian tugas harus didasarkan kepada tujuan tugas, yaitu melatih siswa menerapkan, dan menggunakan hasil perolehannya ( pengalamannya ) dalam kenhidupan sehari-hari.<br /><br />c. Diusahakan agar pemberian tugas Pendidikan Agama Islam tidak bersamaan dengan mata pelajaran lainnya.<br /><br /><br />3. Ulangan Umum<br /><br />Pelaksanaan ulangan umum Pendidikan Agama Islam dapat dilakukan dengan tes tertulis, lisan ataupun perbuatan pada setiap akhir catur wulan.<br />Atas prinsip penilaian, bahwa : Pendidkan Agama Islam tidak melalaikan aspek Afektif yang dilaksanakan selama catur wulan berlangsung dengan teknik non tes. Untuk itu diharapkan semua guru agama mempunyai catatan khusus melalui pengamatan tentang sikap dan akhlak siswa tiap catur wulan. <br />Pelaksanaan penilaian dimulai dari kelas I sapai kelas VI. Teknik tes yang digunakan disesuaikan dengan jenis dan ciri mata pelajaran, tingkat kelas, jenis dan kondisi yang ada. Bentuk soal uraian sangat ditekankan dalam ulangan umum untuk merangsang daya pikir siswa, dan dapat melatih mereka mengemukakan ide, tanggapan dan pemikirannya.<br />Dibawah ini dikemukakan Pelaksanaan Pemberian Angka ( penskoran )<br /><br />1. Ulangan Harian<br /><br />a. Nilai ulangan harian diperoleh dari tes lisan atau tertulis dan dari pengamatan guru atau tes perbuatan siswa. Tes tertulis dapat berbentuk pilihan ganda, menjodohkan, benar-salah, isian / melengkapi dan uraian.<br />b. Hasil ulangan harian yang diperoleh dari tes lisan, tertulis, dan tes perbuatan, setelah dikoreksi perlu diberi nilai ( skor ) 1-10 dengan diberi catatan atau komentar.<br />c. Dalam perangkat tes yang terdiri dari : tes obyektif dan uraian cara menghitung nilai tesnya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :<br />1. Pilihan ganda, setiap soal diberi bobot : 1<br />2. Menjodohkan, setiap soal diberi bobot : 1<br />3. Isian, setiap soal diberi bobot : 2<br />4. Uraian, setiap soal diberi bobot : 5<br />Mengenai pembobotan soal-soal diatas disesuaikan dengan jumlah dan banyaknya soal yang diujikan.<br /><br />Contoh tes pendidikan Agama Islam kelas IV yang dikerjakan oleh Ahmad<br />1. Pilihan ganda 10 soal benar : 7<br />2. Menjodohkan 5 soal benar : 3<br />3. Isian 10 soal benar : 5<br />4. Uraian 5 soal benar : 3<br /><br />hasil pekerjaan tes Ahmad mata pelajaran Pendidikan Agama Islam<br /><br />No Bentuk <br />Soal Jumlah <br />Soal Bobot <br />Soal Skor Maksimal Skor Perolehan Ket.<br /><br />1<br />2<br />3<br />4<br /> <br />Pilihan Ganda<br />Menjodohkan<br />Isian<br />Uraian<br /> <br />10<br />5<br />10<br />5<br /> <br />1<br />10<br />2<br />3 <br />10<br />5<br />20<br />15<br /> <br />7<br />3<br />10<br />9 <br /><br /><br /><br /><br /><br /> Jumlah 50 29 <br /><br />Skor tertinggi ( maksimal ) untuk tes tersebut diatas adalah 50. Jika Irma memperoleh skor dari 4 kelompok soal tes diatas 29 maka nilai ulangan dihitung dengan rumus sebagai berikut :<br /> <br /> Nilai Perolehan<br /> ------------------ X 10<br /> Skor Maksimal<br /><br />Nilai perolehan = 29<br />Nilai maksimal = 50<br />Jadi nilai ulangan untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam aspek kognitif adalah sebagai berikut :<br /><br />29 290<br />--- X 10 ---- = 5,8<br />50 50<br /><br /><br />d. Tes Obyektif<br />Menghitung nilai tes obyektif pada seperangkat tes terdiri dari tes obyektif maka menggunakan rumus sebagai berikut :<br />NO = Jumlah skor yang diperoleh siswa X 10<br /> Jumlah maksimal<br /><br />Keterangan : NO = nilai obyektif<br />10 = skala 1 – 10<br />Besar bobot soal ditentukan oleh guru<br /><br />e. Menghitung nilai bentuk tes uraian<br />1) Pada prinspnya tes uraian perlu diberikan skor yang lebih tinggi dari pada tes obyektif.<br />2) Berdasarkan perbandingan tes obyektif dan uraian ditentukan oleh guru.<br />3) Mengingat pertimbangan praktis dari segi Pelaksanaan di lapangan ( jika menggunakan tes uraian terbatas ) maka diperkirakan tingkat kesulitan masing-masing soal sama.<br />1. Contoh soal Pendidikan Agama Islam kelas V yang dikerjakan oleh Rina<br />1) Sebutkan tiga manfaat zakat fitrah<br />Alternatif jawaban<br />a. Membersihkan Harta<br />b. Memberikan hak orang miskin<br />c. Mengurangi kesenjangan sosial<br />2) Apa yang dimaksud dengan Malaikat<br />Alternatif jawaban<br />a. Hamba Allah yang taat<br />b. Hamba Allah yang diciptakan dari Nur<br />c. Makhluk Allah yang ghaib<br />d. Petugas Allah<br />e. Penyampai wahyu<br />3) Mengapa kita harus berdo’a<br />Alternatif jawaban<br />a. Memohon ampun<br />b. Memohon keselamatan<br />c. Memohon rizki<br />2. Contoh menghitung nilai tes uaraian yang dikerjakan diatas dengan hasil berikut :<br />No Jawaban Skor Maksimal Skor Perolehan Keterangan<br />1.<br /><br /><br /><br />2.<br /><br /><br /><br /><br /><br />3. a. Membersihkan harta<br />b. Memberi makan orang miskin<br />c. –<br />a. Hamba Allah yang taat<br />b. –<br />c. Hamba yang diciptakan dari Nur<br />d. Makhluk ghaib<br />e. Pesuruh Allah<br />a. –<br />b. Memohon kesela- matan<br />c. Memohon rizki 1)<br />1) 3<br /><br /><br /> 0,6<br /><br /> 0,6<br /> 3<br /> 0,6<br /> 0,6<br /> -<br /> 1)<br /> 3<br /> 1)<br /> <br />2<br /><br /><br /><br /><br /><br />2,4<br /><br /><br /><br /><br />2<br /> a dan b benar<br />c = salah<br /><br /><br />a, c, d dan e = benar<br />b = salah<br /><br /><br /><br />a = salah<br />b = benar<br />c = benar<br /><br /> Jumlah 9 6,4 <br /><br />Keterangan : untuk masing-masing soal diberi skor ( nilai ) 3,3 soal = 9 <br /> ( jumlah skor maksikal ) <br />Nilai perolehan tersebut<br /> N Perolehan<br />NU = -------------------------- X 10<br /> Jumlah skor maksimal<br /><br />Keterangan : NU = NilaiUraian<br /> N Perolehan = nilai yang diperoleh<br /> Jumlah skor maksimal = jumlah skor dari masing-masing soal<br /> 10 adalah angka skala ( rentang ) nilai 1 - 10.<br /><br /><br />B. Teknik Penilaian<br /><br />Teknik penilaian yang digunakan disekolah dapat dikatagorikan dalam dua golongan pokok :<br /><br />1) Teknuk test<br />2) Teknik non test<br /><br />1. Teknik test<br /><br />Teknik test merupakan teknik yang digunakan untuk melaksanakan tes berupa pertanyaan yang harus dijawab, pertanyaan yang harus ditanggapi, atau tugas yang harus dilaksanakan oleh siswa. Pekerjaan mereka diukur sejauh mana seorang siswa telah menguasai pelajaran disampaikan meliputi aspek pengetahuan keterampilan.<br /><br />2. Teknik non test<br /><br />Teknik non test adalah prosedur yang dikerjakan guru agama untuk memperoleh gambaran mengenai karakteristik minat, sikap dan kepribadian siswa. Dalam proses belajarmengajar pada umumnya kegiatan penilaian mengutamakan teknik tes mengingat lebih berperannya aspek pengetahuan dan keterampilan dalam mengambil keputusan didalam kelas. Namun dalam Pendidikan Agama Islam, aspek efektif ini tidak dapat diabaikan, bahkan aspek ini merupakan penghayatan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diterima dari guru agama maka pengamatan guru catatan dan tanya jawab ( interview ) dapat digunakan sebagai alat evaluasi.<br /><br /><br /><br /><br />C. Alat Penilaian<br /><br />Alat penilaian yang dapat digunakan untuk menilai siswa secara garis besar dapat dikelompokkan sebagai berikut :<br /><br />1. Tes Tertulis<br /><br />Tes tertulis merupakan alat penilaian terhadap pengerjaan soal dalam bentuk tertulis, dan dikerjakan oleh siswa dalam bentuk jawaban pertanyaan maupun tanggapan dan pernyataan atau tugas yang diberikan.<br /><br />2. Tes Lisan <br /><br />Alat penilaian yang penyajian dan pengerjaan siswa dalam bentuk lisan, atas jawaban terhadap pertanyaan maupun tanggapan atas pertanyaan yang dilakukan oleh siswa.<br /><br /><br />3. Tes Perbuatan<br /><br />Alat penilaian yang digunakan melalui penugasan dan dapat dapat disampaikan secara tertulis maupun lisan dan pengerjaannya dilakukan dalam bentuk penampilan atau perbuatan.<br /><br />LEMBAR TES PERBUATAN<br /><br /> Kegiatan :<br /> PB / SPB :<br /> Tanggal :<br /><br /> Asek Yang dinilai Jumlah Rata – rata<br />No. N a m a Persiapan Pelaksanaan Hasil Skor Skor<br />1 2 3 4 5 6 7<br /><br /><br /><br /> <br /><br /> Keterangan :<br /><br /> Kolom 1 Nomor = Nomor urut siswa<br /> Kolom 2 Nama = Nama siswa<br /> Kolom 3 Persiapan = Kesiapan siswa dalam menghadapi pelaksanaan kegiatan praktek <br />belajar sesuai dengan tugas yang diberikan oleh guru.<br />Kolom 4Pelaksanaan = Penilaian yang dilakukan selama pelaksanaan kegiatan praktek berlangsung.<br />Kolom 5 Hasil = Hasil yang diperoleh siswa dari kegiatan pelaksanaan pada kolom 4 ( kolom aspek yang dinilai diisi dengan penilaian secara kualitatif atau kuantitatif ) <br />Kolom 6 Jumlah Skor = Merupakan jumlah 3, 4 dan 5<br />Kolom 7Rata-rata skor = Merupakan hasil rata-rata dari jumlah skor dibagi aspek yang <br /> ada. <br /><br /><br />D. Alat Penilaian Teknik Non Tes<br /><br />Alat penilaian adalah untuk memperoleh gambaran tentang minat, sikap atau kepribadian siswa dengan pengelompokan berikut :<br /><br />a. Pengamatan<br />Alat penilaian yang pengisiannya dilakukan oelh guru berdasarkan pengamatan terhadap perilaku siswa, baik ketika pelajaran sedang berjalan maupun kegiatan diluar kelas.<br /><br />b. Skala Sikap<br />Alat penilaian yang digunakan untuk mengungkapkan sikap siswa melalui pengerjaan tugas tertulis.<br /><br />c. Angket<br />Alat penilaian yang menyajikan tugas maupun cara mengerjakannya dengan cara tertulis. Penyusunan materi angket soal diarahkan guna menjaring ( memperoleh ) informasi mengenai berbagai faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar.<br /><br />d. Catatan Harian<br />Suatu catatan mengenai prilaku siswa yang dipandang mempunyai kaitan erat dengan perkembangan pribadinya. Misalnya catatan mengenai siswa yang memperhatikan prilaku khusus.<br /><br /> Contoh Format lembar peragaan<br /> Kegiatan : Diskusi<br /> PB / SPB : <br /> Tanggal : 05 Mei 2001<br /><br /> S K O R Jumlah Rata-rata<br />No. Nama 1 2 3 4 5 6 Skor Skor<br /> <br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /> Keterangan : 1 = Keberanian mengemukakan pendapat<br />2 = Keaktifan / peran serta<br />3 = Menghargai pendapat teman<br />4 = Kerjasama dalam kelompok<br />5 = Memecahkan masalah<br />6 = ….. ( dapat diisi dengan aspek lainnya )<br /><br />Kolom 1 Nomor = Nomor urut siswa<br />Kolom 2 Nama = Nama siswa<br /><br />i. Setiap akhir catur wulan, skor pengamatan tes perbuatan dijumlahkan kemudian dibagi dengan banyak kali pengamatan / tes perbuatan.<br />Contoh :<br />• Rahmad mengadakan penilaian pengamatan / tes perbuatan pada catur wulan ke-1 sebanyak 4 kali.<br />• Skor pengamatan perbuatan Irhas adalah 6,0 : 7,0 : 7,0 :7,0.<br />• Rata-rata skor pengamatan yang diperoleh Irhas adalah :<br /><br />Jumlah skor<br /> Rata-rata = --------------<br /> N<br /> = 27<br /> ---<br /> 4<br /> = 6,75 = 6,8 g Rata-rata skor pengamatan perbuatan<br /><br />ii. Rata-rata skor pengamatan perbuatan dijumlahkan dengan rata-rata skor tertulis pada ulangan harian dibagi 2.<br />Contoh :<br />* Rata-rata skor tertulis / ulangan harian = 8,9<br />* Rata-rata skor pengamatan / perbuatan = 6,8<br /><br /> 15,7<br /> Jumlah = ---- = 7,8 = 7,9 ( x )<br /> 2<br />Hasil perhitungan dari rata-rata tes tertulis dan tes pengamatan / perbuatan yang merupakan ulangan harian ( x ) inilah yang digunakan untuk menghitung rumus pada saat menentukan nilai untuk pengisian raport akhir catur wulan.<br /><br />2. Pemberian Tugas<br /><br />a. Setiap tugas yang harus dinilaisecara kualitatif dan kuantitatif<br />b. Nilai tugas dijumlahkan kemudian dicari nilai rata-rata<br />c. Rata-rata nilai tugas digunakan untuk menghitung nilai raport pada akhir catur wulan.<br />Conoh :<br />• Bu Ati memberikan tugas pada catur 1 sebanyak 8 kali. Nilai yang diperoleh Rosa untuk tugas tersebut adalah 8, 7, 6, 5, 9, 7, 6, 10.<br />• Jumlah nilai Rosa untuk tugas adalah :<br />N = 8 + 7 + 6 + 5 + 9 + 7 + 6 + 10 = 58<br />• Rata-rata nilai dari tugas Rosa adalah :<br />58 = 7,25 = 7,3 (y)<br /> 8<br />Rumus nilai rata-rata = N<br /> F<br />N = jumlah banyak nilai<br />F = frekkuensi banyak jumlah nilai.<br /><br /> 3. Ulangan Umum<br /><br />a. Hasil ulangan umum yang diperoleh setelah dikoreksi diberi catatan atau komentar. Ulangan umum dilakukan satu kali pada akhir catur wulan.<br />b. Bentuk soal ulangan umum bisa menggunakan bentuk tes obyektif dan tes uraian.<br />c. Perhitungan nilai bentuk tes obyektif dan uraian sama dengan perhitungan pada ulangan harian.<br /><br />E. Ciri – ciri penilaian yang baik :<br /><br />1. Validitas<br />2. Realibilitas<br />3. Obyektifitas<br />4. Praktikabilitas<br />5. Ekonomis<br /><br />F. Cara Pengolahan Hasil Penilaian<br /><br />Pengolahan skor sehingga menjadi nilai yang tercantum dalam raport adalah sebagai berikut :<br /><br />1. Menghitung rata-rata Nilai Ulangan harian ( tertulis, pengamatan / perbuatan ) x<br />2. Menghitung rata-rata tugas ( y )<br />3. Menghitung perolehan nilai ulangan umum ( p )<br />4. Menghitung nilai untuk setiap catur wulan kelas I sampai kelas VI ( termasuk kenaikan kelas ) dengan rumus :<br />NR = X + Y + 2P <br /> 4 <br />NR = Nilai Raport<br />X = Rata-rata nilai ulangan harian <br />Y = Rata-rata nilai tugas<br />P = Nilai ulangan umum / EBTA<br />Contoh penilaian untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Nilai Fatimah pada catur wulan ke-1 untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai berikut :<br /><br />a. Rata-rata ulangan harian ( termasuk pengamatan atau perbuatan ) = 6,9<br />b. Rata-rata tugas = 7,4<br />c. Ulangan umum = 6,3<br />N = 6,9 + 7,4 + 2 ( 6,3 )<br /> 4<br /> = 6,9 + 7,4 + 12,6<br /> 4<br /> = 26,90 = 6,725 = 6,5<br /> 4<br /><br />Jadi nilai Fatimah pada raport catur wulan ke-1 mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yaitu 6,5.<br />Khusus untuk nilai STTB dihitung dengan menggunakan rumus berikut :<br /><br />N = P + Q + 2P<br /> 4<br />Keterangan :<br />N = Nilai STTB<br />P = Nilai prestasi mata pelajaran raport cawu ke-1 kelas VI<br />Q = Nilai prestasi mata pelajaran raport cawu ke-2 kelas VI<br />R = Nilai ulangan umum / EBTA / EBTANAS<br /><br />Contoh :<br />Nilai prestasi Hamid dalam raport untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam sebagai berikut :<br /><br />a. Nilai Cawu ke-1 = 8<br />b. Nilai Cawu ke-2 = 7,5<br />c. Nilai EBTA / EBTANAS = 7,4<br /><br />Maka nilai Hamid untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dalam S T T B adalah 8.<br />Niali dalam S T T B tidak menggunakan angka dibelakang koma, tetapi menggunakan angka pembulatan dengan ketentuan 0,5 atau lebih dibulatkan keatas, kurang dari 0,5 dihilangkan.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-11859871422587812982008-12-15T20:07:00.000-08:002008-12-15T20:08:09.163-08:00PENGEMBANGAN SISTEM EVALUASI PAIPENGEMBANGAN SISTEM EVALUASI PAI<br />A. Latar Belakang<br /><br />Dengan berlakunya Undang-Undang Repoblik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( UUSPN ) serta segenap Peraturan Pemerintah sebagai pedoman pelaksanaan, perlu diupayakan penyesuaian kurikulum sebagai jenis dan jenjang pendidikan dengan tuntutan perangkat dasar Sistem Pendidikan Nasional tersebut.<br /><br />Ditegaskan dalam UUSPN bahwa yang dimaksudkan dengan kurikulum adalah seperangkat rencana dan peraturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.<br /><br />Kurikulum sebagai perangkat rencana dan pengaturan guna mencapai tujuan pendidikan nasional merupakan sesuatu yang sangat penting bagi segenap lembaga pendidikan. Tersirat dalam pengertian kurikulum sesuai UUSPN adalah pengaturan mengenai penilaian sebagian bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan pendidikan Nasional maupun penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.<br /><br />Penilaian kegiatan belajar mengajar yang menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan merupakan kegiatan yang perlu direncanakan dan diatur sejalan dengan kurikulum yang berlaku. Dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XII pasal 43 dan 44 yang menyatakan bahwa penilaian pendidikan mencakup penilaian kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik serta hasil belajar suatu jenis dan atau jenjang pendidikan.<br /><br />Dalam PP No. 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar Bab IX berbunyi : “ Penilaian pendidikan dasar diselenggarakan untuk memperoleh keterangan tentang proses belajar mengajar dan upaya mencapai tujuan pendidikan dasar dalam rangka pembinaan dan pengembangannya, serta untuk penentuan akredilitasi satuan pendidikan dasar yang bersangkutan.<br /><br /><br />B. Penilaian<br /><br />1. Pengertian Penilaian<br /><br />Secara harfiah kata penilaian berasal dari bahasa Inggris “ evaluation “ dalam bahasa Arab Al – Taqdir; dalam bahasa Indonesia berarti penilaian. Penilaian dapat digunakan untuk semua aspek kehidupan. Dalam buku ini kita hanya mempokuskan penilaian dalam bidang Pendidikan Agama Islam atau penilaian pendidikan Islam. Penilaian Pendidikan Agama Islam adalah usaha untuk mendapatkan nilai yang terdapat dalam proses belajar mengajar yang dilihat dari hasil yang dicapai oleh setiap siswa dalam jangka waktu tertentu. Misalnya penilaian harian, mingguan, bulanan, catur wulan, akhir tahun dan akhir tahun ajaran dan EBTA serta EBTANAS.<br /><br /> <br />2. Fungsi Penilaian <br /><br />a. Perbaikan proses belajar mengajar.<br />b. Untuk menentukan nilai kenaikan kelas maupun penentuan lulus atau tidak<br />c. Penempatan siswa.<br />d. Diagnostik, yaitu untuk memeriksa dan mengalisa kelemahan siswa dan upaya mengatasinya.<br /><br />3. Tujuan Penilaian<br /><br />Penilaian bertujuan memperoleh data mengenai pencapaian tujuan hasil belajar mengajar yang menuju ketingkat kemampuan dan keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan pembelajaran serta mengukur atau menilai efektifitas pengalaman belajar, kegiatan belajar dan metode mengajar Pendidikan Agama Islam yang dipergunakan.<br /><br /> <br />C. Prisip dan Obyek Penilai<br /><br />1. Prinsip Penilaian<br /><br />Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan penilaian yaitu :<br /> <br />a. Prinsip kontinuitas<br />Penilaian harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, oleh sebab itu penilaian tidak hanya dilakukan peda waktu tertentu seperti sebulan sekali hanya, catur wulan dan sebagainya, tetapi sebaiknya dilakukan setiap kegiatan belajar mengajar berlangsung. penilaian seperti ini sangat diperlukan untuk mengetahui keadaan kemampuan siswa menyerap materi yang diberikan dan efektivitas metode yang digunakan. Disamping itu untuk menentukan perlu tidaknya perbaikan proses belajar mengajar dan perbaikan bagi siswa atau diagnostik seperti telah dikemukakan pada bagian 2.d.<br /><br />b. Prinsip Individual<br />Prinsip penilaian ini harus diberikan kepada setiap siswa untuk menilai pekerjaannya sendiri. Hal ini memberikan kesadaran kepada setiap siswa untuk mengetahui keadaan kualitas belajar yang telah dicapainya. Dalam penilaian individu ini perlu di pertimbangkan situasi dan kondisi masing-masing siswa dalam menilai kemajuan dan pengawasan siswa terhadap pencapaian tujuan.<br /><br />c. Prinsip Keseluruhan<br />Dengan prinsip keseluruhan, konprehensif dimaksudkan disini agar evaluasi / penilaian hasil belajar tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila penilaian tersebut dilaksanakan secara bulat, utuh dan menyeluruh. Penilaian itu harus dapat menjangkau tiga aspek yang perlu dinilai yaitu aspek kognitif, aspek efektif dan aspek psikomotor sesuai dengan porsi masing-masing dalam penilaian pendidikan agama Islam.<br /><br />d. Prinsip Obyektivitas<br />Prinsip obyektivitas atau maudluu’iyyah, dapat dinyatakan sebagai penilaian yang baik apabila dapat terlepas dari faktor-faktor yang sifatnya subyektif.<br />Oleh sebab itu penilaian harus dilakukan secara wajar sesuai dengankeadaan, kondisi apa adanya, tidak dicampuri oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat subyektif.<br />Jika tidak obyektif akan dapat menodai kemurnian pekerjaan penilaian itu sendiri.<br /><br /><br /><br />2. Obyek Penilaian<br /><br />Dimaksud dengan obyek atau sasaran penilaian pendidikan agama Islam ialah segala sesuatu yang bertalian dengan kegiatan atau proses pendidikan dapat dilakukan terhadap siswa, guru maupun kurikulum pendidikan agama Islam.<br /><br />Pada kesempatan kali ini sasaran atau obyek penilaian yang akan dibahas ada yang berkenaan dengan proses atau kegiatan proses pendidikan agama Islam yang dialami oleh siswa untuk mengetahui perkembangan dan kemajuan belajar siswa, maka obyek dari penilaian pendidikan agama Islam meliputi tiga aspek, yaitu (1) aspek kemampuan, (2) aspek kepribadian, (3) aspek sikap.<br /><br /><br />D. Peran Penilaian dalam Proses Belajar Mengajar ( PBM )<br /><br />Ada beberapa peran penilaian dalam PBM<br />1. Mengetahui tingkat pencapaian siswa dalam kegiatan suatu proses belajar mengajar.<br />2. Menetapkan keefektifan pengajar dan rencana kegiatan.<br />3. Sebagai laporan kemajuan belajar siswa.<br />4. Menghilangkan kendala dalam kegiatan belajar mengajar dan memperbaiki kesalahan setra menyempurnakan kekurangan yang terdapat sewaktu praktek.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-91773239225996658892008-12-15T19:57:00.001-08:002008-12-15T19:57:29.123-08:00PENDIDIKAN PARTISIPATIFPERLUNYA PENDIDIKAN PARTISIPATIF <br /><br />I. Pendahuluan<br />Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari orang lain. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama dalam berbagai bentuk komunikasi dan kundisi. Ia senantiasa melakukan interaksi, baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi dengan sesamanya, maupun interaksi dengan Tuhan; baik disengaja maupun tidak disengaja. Salah satu dari bentuk dari interaksi, khususnya interaksi manusia yang dilakukan secara disengaja dikenal satu istilah, pendidikan. Manusia sadar bahwa tampa pendidikan, perkembangan dan pertumbuhan potensi kemanusiaannya akan berjalan sangat lamban, bahkan mungkin tidak berkembang.<br />Secara operasional, proses pendidikan terjadi dengan melibatkan berbagai unsur dan senantiasa terkait dengan fenomena sosial lainnya. Oleh karenanya, pendidikan sering dipahami dari pendekatan sistemik sebagai sekumpulan komponen yang saling berhubungan dengan mencapai sasaran-sasaran umum tertentu1. dalam pengertian ini setidaknya sebuah sistem mengandung beberapa prinsip, di antaranya keterintegrasian, keteraturan, keutuhan, keterorganisasian, keterhubungan, dan ketergantungan antara komponen yang satu dengan komponen yang lain2.<br />Di abad pengetahuan sekarang ini. cenderung terjadinya perubahan global, yaitu:<br />1. Semakin kuatnya paradigma pembangunan mainstream yang struktur dasarnya adalah “pertumbuhan ekonomi” dan “modernisasi” yang dibangun diatas akar budaya “materialistik”, “konsumtif”, “hedonistik”, “persaingan”, dan “eksploitasi tanpa batas” atau “keserakahan” demi akumulasi kapital yang tanpa batas pula.<br />2. Semakin kuatnya praktek “neo-liberalisme” yang mewujud dalam bentuk: <br />3. pasar bebas hambatan (kapital, barang & jasa), penghapusan subsidi sosial, deregulasi, privatisasi perusahaan negara (bank, rumah sakit, telekomunikasi, kereta api, jalan tol, air bersih, lisstrik, Minyak bumi, dll), dijadikannya barang publik menjadi barang komesial; yang hanya menguntungkan bagi kekuatan kapital global.<br />4. Dampak yang ditimbulkan adalah kemiskinan semakin meluas, kerusakan <br />5. lingkungan, konflik budaya, konflik perebutan sumber daya, menurunnya kualitas kehidupan manusia, dan semakin terancamnya keberlangsungan kehidupan manusia. <br /><br />Pendidikan sebagai bagian dari sistem sosial tidak terlepas juga dari hal tertentu. Pendidikan merupakan kegiatan yang melibatkan berbagai komponen yang berkaitan erat satu sama lainnya; di mana proses pendidikan dipahami sebagai interaksi antara komponen yang satu dengan yang lainnya guna mencapai tujuan pendidikan. Perpadoan ke-harmonisan dan keseimbangan serta interaksi unsur-unsur esensial pendidikan, pada tahap operasional dipandang sebagai faktor yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan.<br />II. Kurikulum Sebagai Sub Sistem Pendidikan Islam<br />Istilah pendidikan dalam konteks Islam telah banyak dikenal dengan mengunakan term yang beragam, yaitu al-tarbiyat, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Setiap term tersebut mempunyai makna dan pemahaman yang berbeda, walaupun dalam hal-hal tertentu, ia mempunyai kesamaan pengertian3. Pemakaian ketiga istilah tersebut, apalagi pengkajiannya dirujukan berdasarkan sumber pokok ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah), selain akan memberikan pemahaman yang luas tentang pengertian pendidikan Islam, secara substansial filosofis pun akan memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana sebenarnya hakikat dari pendidikan Islam tersebut.<br />Pendidikan Islam merupakan aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim, baik yang berkenaan dengan jasmani, rohani, akal maupun akhlak. Sistem pendidikan Islam adalam interaksi berbagai komponen pendidikan dalam menciptakan dan menyelenggarakan aktivitas bimbingan guna tercapainya kepribadian muslim. Proses sederhana yang menggabarkan interaksi unsur pendidikan dapat secara jelas dilihat dalam proses belajar yang dilakukan di lembagai pendidikan formal, tepatnya di kelas, yaitu manakala guru (ustadz) mengajarkan nilai-nilai ilmu dan keterampilan kepada murid, terjadilah apa yang dinamakan proses belajar.<br />Perlu ditegaskan di sini bahwa proses belajar walaupun diidentifikasi sebagai watak pokok proses pendidikan, tidak berarti menafikan cara dan usaha pendidikan lainnya seperti memberi dorongan, memberi contoh yang baik, memberi pujian, dan hukuman, ataupun yang lainnya.<br />Salah satu komponen operasional pendidikan dalam satu sistem adalah materi. Materi pendidikan adalah semua bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik. Materi pendidikan ini sering juga disebut dengan istilah kurikulum, karena kurikulum menunjukkan makna pada materi yang disusun secara sistematis guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan4.<br />Kurikulum dalam makna materi seperti yang dikemukankan di atas, sesungguhnya merupakan pandang tradisional yang masih dianut sampai sekarang (juga di Indonesia)5. Konsep dasar kurikulum sebenarnya dapat juga diartikan sebagai berikut: (1) Kurikulum sebagai program studi; (2) Kurikulum sebagai content; (3) Kurikulum sebagai kegiatan berencana; (4) Kurikulum sebagai hasil belajar; (5) Seperangkat tujuan yang utuh untuk memperoleh suatu hasil tertentu; (6) Kurikulum sebagi repro-duksi kultural; (7) Kurikulum sebagai pengalaman belajar; keseluruhan pengalaman belajar yang direncanakan di bawah pimpinan sekolah; dan (8) Kurikulum sebagai produksi6.<br /><br />III. Orientasi dan Isi Kurikulum Pendidikan Islam<br />Inti dari materi pokok pendidikan Islam adalah bahan-bahan, aktivitas dan pengalaman yang mengandung unsur-unsur ketauhidan7. Al-Jamaly mengemukakan bahwa garis besar materi kurikulum dalam pendidikan Islam meliputi untutan untuk mematuhi hukum Allah, yaitu :<br />1. Larangan mempersekutukan Tuhan;<br />2. Berbuat baik kepada orang tua;<br />3. Memelihara, mendidik dan membimbing anak sebagai tanggung jawab terhadap amanah Allah;<br />4. Menjauhi perbuatan keji dalam bentuk sikap lahir dan batin;<br />5. Menyantuni anak yatim dan memelihara hartanya;<br />6. Tidak melakukan perbuatan di luar kemampuan;<br />7. Berlaku jujur dan adil ;<br />8. Menepati janji dan menunaikan perintah Allah;<br />9. Berpegang teguh pada ketentuan Allah.8<br />Secara operasional kurikulum pendidikan Islam diarahkan kepada :<br />a. Orientasi Kurikulum pada Perkembangan Anak Didik<br />Orientasi pada anak didik dalam pengembangan kurikulum memberikan arahan dan pedoman pada setiap kurikulum untuk memenuhi kebutuhan anak didik yang disesuaikan dengan bakat, minat dan kemampuan. Tiap kurikulum harus memperhatikan anak didik berapa banyak perhatian itu bergantung pada kedudukan dan peranan yang diberikan kepadanya. Kurikulum hendaknya bersifat child-cen-tered dan memberikan peluang seluas-luasnya kepada anak didik untuk berkembang.<br />Berkaitan dengan itu, Crow And Crow menyarankan hubungan kurimkulum dengan anak didik sebagai berikut :<br />1. Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan keadaan perkembangan anak didik;<br />2. Isi kurikulum hendaknya mencakup keterampilan, pengetahuan dan sikap yang dapat digunakan anak didik dalam kehidupan;<br />3. Anak didik hendaknya didorong untuk belajar secara aktif dan tidak sekedar penerima pasif apa yang dilakukan oleh pendidik;<br />4. Sejauh mungkin apa yang dipelajari anak harus mengikuti minat dan keinginan anak didik yang sesuai dengan tarap perkembangannya.9 <br />b. Orientasi Kurikulum pada Lingkungan Sosial<br />Orientasi kurikulum diarahkan juga pada upaya positif dari lembaga pendidikan untuk memberikan konstribusi pada perkembangan sosial, sehingga output di lembaga pendidikan mampu menjawab dan mengejawantahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Orientasi kurikulum pada kebutuhan masyarakat dikembangkan dengan ciri-ciri sebagai berikut :<br />1. Memusatkan tujuan pendidikan pada perhatian dan kebutuhan masyarakat;<br />2. Mengunakan buku-buku dan sumber-sumber dari masyarakat sebanyak-banyaknya;<br />3. Menyusun kurikulum berdasarkan kehidupan manusia;<br />4. Memupuk jiwa pemimpin dalam lapangan kehidupan masyarakat;<br />5. Mendorong anak didik untuk aktif kerjasama dan saling mengenal arti sesama10<br />Dalam pandangan ini, kurikulum merupakan media ‘social engineering’ yang mengutamakan kepetingan sosial di atas kepentingan individu. Tujuannya adalah perubahan sosial atas tanggung jawab masyarakat.11 Kurikulum pendidikan Islam dengan mengacu pada orientasi tersebut dikembangkan dengan cara memuat berbagai materi pendidikan yang bernuansa kebutuhan masyarakat dan lingkungan.<br />c. Orientasi Kurikulum pada Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Kesenian<br />Ilmu pengetahuan senantiasa merupakan inti kurikulum. Anak-anak dikirim ke sekolah agar mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu pengetahuan merupakan warisan umat manusia yang ditumpuk selama berabad-abad dan masih terus akan dikembangkan selama manusia berada di permukaan bumi ini. Mempelajari ilmu pengetahuan berarti turut menikmati harta kekayaan umat manusia sambil meninkatkan kemampuan intelektual.<br />Ilmu pengetahuan yang disusun oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmu diajarkan di sekolah dalam bentuk mata pelajaran. Oleh karena itu, kuri-kulum pendidikan dikembangkan dengan memuat sejumlah mata pelajaran dari berbagai disiplin ilmu, baik berupa pengetahuan, humaniora, teknologi maupun kesenian.<br />IV. Kurikulum Pendidikan Islam: Paradigma Partisipatif dan Implementasinya<br />Dalam pemahaman lain, kurikulum pendidikan selalu terkait dengan sejumlah pengetahuan teoritis dan praktis. Hal ini dadasari oleh pengertian bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan diperlukan sejumlah pengetahuan atau ilmu.<br />Menurut al-Jundi, kurikulum pendidikan pada garis besarnya meliputi ilmu-ilmu bahasa dan agama, ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu pembantu seperti sejarah, geografi, sastra, syair, nahu, balaghah, filsafat dan logika12. Berdasarkan pembagian ilmu, kurikulum pendidikan Islam erat katannya dengan klasifikasi tersebut.<br /> Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu menjadi empat kelompok, yaitu : (1) Bahasa, terdiri atas : pengetahuan bahasa, tata bahasa, dikte, latihan, dan prosa; (2) Logika, terdiri atas : kategorisasi, premis mayor dan minor, kesimpulan, definisi, retorika, syair dan logika sofistik; (3) Matematika, terdiri atas : ilmu hitung, geometri, optika, astronomi, musik dan mekanika; (4) Ilmu pengetahuan alam dan metafisika terdiri atas fisika dan metafisika; dan (5) Ilmu kemasyarakatan (sosial) terdiri atas : fiqh dan ilmu kalam.13<br />Filosof muslim al-Ghazali memberikan garis besar rumusan kurikulum pendidikan Islam dalam empat kelompok, yakni 1) Ilmu-ilmu yang wajib dipelajari orang-perorangan (fardhu ‘ain), seperti ulum al-Qur’an, ulum al-hadits, fiqh dan tafsir; 2) Ilmu yang berguna bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia (fardhu ‘kifayat) seperti ilmu kedokteran, matematika, teknologi, politik dan lainnya; 3) Ilmu yang tergolong ilmu penunjang (sunat) seperti tata bahasa dan cabangnya; 4) Ilmu yang berkatan dengan kebudayaan seperti kesusastraan, sejarah dan cabang-cabang filsafat, (mubah). Selain dari keempat macam tersebut, ada lagi macam ilmu yang terlarang mempelajarinya, yaitu ilmu sihir.14<br />Secara prinsipil kurikulum pendidikan Islam tak terlepas dari keterkaitannya dengan dasar dan tujuan pendidikan Islam. Beberapa bagian materi kurikulum dapat saja dikembangkan sesuai dengan tuntuntan zaman dan lingkungan hidup manusia, tetapi dipertimbangkan bahwa kurikulum pendidikan Islam harus terkait secara substantif dengan tujuan pendidikan Islam.<br />Untuk mencapai tujuan dan sasaran terakhir pendidikan, dalam Konferensi Pendidikan Islam Pertama Sedunia, kurikulum pendidikan Islam dikembangkan dengan dasar pengetahuan yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu :<br />a. “Pengetahuan Abadi” yang diberikan didasarkan pada wahyu Ilahi yang diturunkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan semua yang dapat ditarik dari keduanya dengan tekanan pada bahasa Arab sebagai kunci untuk memahami keduanya.<br />b. “Pengetahuan yang diperoleh” termasuk ilmu-ilmu sosial, alam dan tarapan yang rentan terhadap pertumbuhan kuantitatif dan pelipatgandaan. Variasi terbatas dengan pinjaman lintas budaya dipertahankan sejauh sesuai dengan syariah sebagai sumber nilai.15<br />Dari dua kelompok pengetahuan tersebut, maka disusun kurikulum dan silabus sebagai berikut :<br />1. Kurikulum dan Silabus: “Pengetahuan abadi” yang diberikan<br />a. Kajian tentang kitab suci al-Qur’an dan al-Sunnah;<br />b. Studi fuqh (hukum Islam);<br />c. Studi syariah;<br />d. Kebudayaan Islam;<br />e. Studi naskah-naskah langka;<br />f. Bahasa-bahasa.<br />2. Kurikulum dan Silabus: “Pengetahuan yang diperoleh”<br />a. Sastra;<br />b. Seni dan keterampilan;<br />c. Ilmu-ilmu sosial; (1) Pembuatan indeks bibliografi untuk ilmu-ilmu sosial; (2) Studi-studi perbandingan; dan (3) Persiapan wnsi-klopedi yang mulai ditangani;<br />d. Ilmu-ilmu terapan.<br />Kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya merupakan refleksi paradigma pengetahuan menurut Islam.secara mendasar akan meliputi dua kebutuhan dasar manusia yakni yang berorientasi pada kebutuhan material dan yang berorientasi kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan ini bagaimanapun tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam. Oleh karenanya, dikotomi ilmu pengetahuan yang demikian nampak dalam sejumlah realitas penyelenggaraan pendidikan Islam dewasa ini, harus mulai dibenahi.<br />Dalam konteks ini, perlu ditelaah kembali hal-hal mendasar berkenaan dengan pandangan ‘Islam’ terhadap ilmu pengetahuan. Pengetahuan (ilmu) pada dasarnya merupakan sejumlah pengalaman atau ‘yang akan menjadi’ pengalaman (propan dan sakral) yang diberi oleh Kemurahan Khalik kepada manusia, melalui suatu yang diverbalkan (qauliyat Qur’aniyat), maupun sesuatu yang dinyatakan (kauniyat). Dalam Islam, pengetahuan diidentifikasi bersumber dari dua hal pokok yang berakar pada kemurahan Allah, yaitu :<br />(a) Wahwu Ilahi yang mengandung ajaran Allah;<br />(b) Intelek manusia dan perangkatnya yang tetap berada dalam hubungan timbal balik dengan alam semesta pada tingkat pengamatan, kontemplasi, percobaan, dan penerapan. Manusia bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya sejauh ia tetap berada dalam kondisi yang sepenuhnya mentaati al-Qur’an dan al-Sunnah.<br />Melalui optimalisasi peran akal, keduanya dikembangkan secara induktif dan deduktif untuk menghasilkan tiori-teori yang dapat dikembangkan menjadi disiplin ilmu pengetahuan mandiri. Metodologi studi Islam diperankan sebagai media untuk menterjemahkan pesan qauliyat/Qur’aniyat dan kauniyat, sehingga melahirkan ilmu Islami yang orsinal. Secara umum paradigma tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Akhirnya, perlu ditegaskan kembali di sini bahwa diperlukan kembali restrukturisasi pada kerangka dasar sejumlah pengetahuan yang selama ini menjadi contet dari kurikulum pendidikan Islam. Ilmu-ilmu Islam yang lahir melalui metodologi studi Islam yang komprehensif dan integral dari paradigma tauhidullah seperti yang dijelaskan di atas perlu menjadi central pengetahuan (core kurikulum) yang harus dimiliki oleh anak didik dalam proses pendidikan Islam (Muhammadiyah).<br />Selanjutnya dengan mempertimbangkan orientasi kurikulum dan prinsip integralisasi, sistematik, ekologik dan fleksibilitas, kurikulum disusun dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, paling tidak memenuhi beberapa hal mendasar sebagai berikut :<br /><br />- Mteri kurikulum harus merupakan integtasi ilmu (Tauhid Ilmu/Ilmu Islam)<br />- Materi yang disusun tidak menyalahi fitrah manusia;<br />- Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam (pendidikan Muhammadiyah), yaitu sebagai upaya dalam rangka ibadah kepada Allah;<br />- Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia anak didik;<br />- Perlunya membawa anak didik kepada objek emperis, sehingga anak didik mempunyai keterampilan-keterampilan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyaraka, dan dapat mencari penghidupan yang layak; Materi yang diajarkan tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis;<br />- Adanya penyusunan kurikulum yang integral, terorganisasi, dan terlepas dari segala kontradiksi antara materi satu dengan materi lainnya;<br />- Materi yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah aktual;<br />- Adanya metode yang mampu menghantarkan tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan perbedaan masing-masing individu;<br />- Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan anak didik dan aspek-aspek sosial dan mempunyai pengaruh positif serta pragmatis;<br />- Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah;<br />- Memperhatikan pendidikan kejuruan untuk mencari penghidupan dan adanya ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain;<br />- Setiap jenis dan jenjang pendidikan dalam perguruan Muhammadiyah harus mengandung muatan yang bersifat Tauhid Ilmu (Integrasi Ilmu Islami), sehingga ilmu apa saja yang dikembangkan selalu berorientasi pada ajaran Islam (pengembangan Ilmu Islam).<br /><br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br /><br /><br />1. Winardi, Teori Sistem dan Analisa Sistem, Jakarta: Karya Nusantara, 1980.<br /><br />2. Rusadi Kantaprawira, Pendidikan Sistem dalam Ilmu Sosial: Aplikasi dalam Meninjau Kehidupan Politik Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1987.<br /><br />3. Muhaimin, et. al, Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung : Trigenda Karya, 1993.<br /><br />4. Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.<br /><br />5. Muhammad Fadhil al-Jamaly, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an, ter. Zainul Abidin Ahmad, Jakarta: Pepara, 1981.<br /><br />6. Suntari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: FIP-IKIP, 1986.<br /><br />7. S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Cutra Aditya Bakti, 1993.<br /><br />8. Al-Jundi, Anwar, Al-Islam ‘ala Masyarif al-Qurn al-Khamis “asyr, Al-Qahirat: Mathbaat Zahran, 1973.<br /><br />9. Muhammad Munir Mursyi, At-Tarbiyat al-Islamiyat: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arab, Alam al-Kitab, Kahirat, 1982.<br /><br />10. Rekomendasi umum pada konferensi pendidikan muslim yang pertama pada Pengelompokkan Pengetahuan dan Sistem Ilmu.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-28754048760035615982008-12-15T19:55:00.000-08:002008-12-15T19:56:28.132-08:00PERAN ULAMA DALAM PEMBERDAYAAN UMMAT SEBAGAI SUBYEK PEMBANGUNANPERAN ULAMA DALAM PEMBERDAYAAN UMMAT SEBAGAI SUBYEK PEMBANGUNAN <br />Oleh : Drs.H.MUNADI <br />Abstrak :<br />Dalam konteks pembangunan nasional di era global saat ini kita dihadapkan pada upaya sistematis mengatasi dampak krisis dimensional pada hamper semua aspek kehidupan, khususnya pada bidang social ekonomi dan budaya masyarakat, dan akibat berbagai keterbelakangan masyarakat, jadilah kebanyakan masyarakat tidak merasa sebagai subyek dalam pembangunan, namun lebih dicenderungkan sebagai objek<br />Kelompok Ulama saat ini masih merupakan kelompok elite di masyarakat, dalam kehidupannya memiliki kultural dengan karakteristik tersendiri, yang selama ini kedudukan mereka dikukuhkan oleh tradisi sosial dan keyakinan budaya setempat<br />Untuk secara cepat membantu masyarakat agar menjadi subyek dalam pembangunan, maka diperlukan adanya kebijakan dari pemegang policy pembangunan untuk melibatkan ulama di dalamnya, namun dalam hal ini diperlukan adanya transformasi peran ulama, pada sisi masalah agama (pokok akidah/peribadatan) tetap sebagai orang yang membantu masyarakat menyelesaikan persoalan, tapi pada peran pembangunan social kemasyarakat, lebih pada peran participatory.<br /><br />Kata Kunci :<br /><br />Konflik Horisontal – Transformatif - nilai transedental - Partisipatif<br />. <br />A. Pendahuluan<br />Era saat ini adalah era pengetahuan; suatu era dengan menonjolkan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka<br />Masih kurangnya kesiapan umat/ bangsa dalam menghadapi era ini, menyebabkan bangsa ini adalah bagian dari banyak bangsa di dunia ini yang terpuruk karenanya.<br />Upaya industrialisasi yang merupakan skala prioritas pembangunan nasional adalah merupakan hal yang strategis dan sistematis dalam kerangka kerja transformasi, untuk peningkatan produksi dan peningkatan ekonomi bangsa yang sedang terpuruk ini.<br />Industrialisasi yang dilakukan, bagaimana pun juga senantiasa akan terkait dan berlangsung dalam lingkungan sosio kultural masyarakat itu. Dan pada gilirannya akan membawa dampak perubahan pada sosio kultural masyarakat tadi. Dan memang diakui, bahwa setiap usaha industrialisasi dengan segenap imbas perubahannya pada akhirnya akan membentur dan memaksa efek perubahannya ke ranah-ranah kultural <br />Kelompok Ulama saat ini merupakan kelompok elite di masyarakat, dalam kehidupannya utama di pedesaan memiliki kultural dengan karakteristik tersendiri, yang selama ini kedudukan mereka dikukuhkan oleh tradisi sosial dan keyakinan budaya setempat. <br />Perubahan paradigma pembangunan kearah industrialisasi dan pembangunan ekonomi, tak jarang disamping memberikan harapan baru bagi kehidupan yang lebih maju dan kemungkinan lebih baik, juga dapat mengganggu posisi mereka.<br />Dalam makalah ini, akan dikemukakan alternatif pendekatan pembangunan bidang industri dan peningkatan ekonomi serta penguatan peran kelompok ulama agar mereka bisa menjadi ‘agent of change’ pada pembangunan bangsa dan negara ini, yang diharapkan mampu ikut memberdayakan bangsa yang memang seyogyanya dilakukan oleh mereka.<br />B. Masalah Umat Dalam Pembangunan<br />Ada berbagai persoalan yang secara umum dihadapi oleh bangsa kita saat ini, yakni :<br />1. Semakin lemahnya institusi negara dalam melindungi dan melayani hak- hak rakyat, terutama rakyat lemah (powerless);<br />2. Masa transisi politik dan demokrasi, masih sangat kental dengan nuansa formalisme dan pragmatisme politik; <br />3. Meluasnya konflik sosial budaya dan perebutan sumber daya;<br />4. Merebaknya korupsi, kolusi dan nepotisme;<br />5. Memudarnya komitmen moral, etika politik, dan keteladanan;<br />6. Rendahnya kualitas kepemimpinan nasional dan daerah; dan memudarnya kepercayaan publik terhadapnya, termasuk kepada pimpinan agama; <br />7. Lambatnya perubahan perilaku birokrasi, dan buruknya pelayanan publik;<br />8. Semakin besarnya pengangguran; <br />9. Lemahnya supremasi hukum;<br />10. Tingginya tingkat kejahatan terhadap badan dan barang;<br />11. Tidak jelasnya arah otonomi daerah; <br />12. Rusaknya dan senmakin terbatasnya daya dukung lingkungan;<br />13. Dll. <br /><br />Pembangunan selama ini dengan mengarah ke arah industrialisasi dan mengedepankan pertumbuhan ekonomi, akan lebih mengesankan bagi kelompok usahawan, tuan-tuan tanah, karena lebih dilihat dari kacamata ‘mendatangkan keuntungan material’, dan telah terlanjur memberi harapan kepada kelompok lapisan bawah; petani, buruh dan lain sebagainya, karena dimungkinkan dapat mendatangkan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik. <br />Mau tak mau, karena industrialisasi dan pengembangan ekonomi tersebut merambah ke semua lini kehidupan kerakyatan, maka ulamapun harus mau bersosialisasi ke dalam hegemoni arus industrialisasi dan pengembangan ekonomi tersebut, sebab kosekuensinya jika mereka bersiteguh memegang prinsip kultur lama, bukan hanya tertinggal dari arus modernisasi, bahkan otoritas mereka juga akan rapuh sedikit dari sedikit dalam pandangan masyarakat yang telah terkontaminasi oleh supremasi era global dengan segala macam kemajuan informasi dan transformasi serta budayanya.<br />Kesenjangan kemampuan mengatasi tantangan hidup dan kesulitan yang dihadapi antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam masyarakat akan menimbulkan perbedaan sikap di antara kelompok itu. Disamping itu, ketimpangan konstribusi kepemilikan dan penguasaan fasilitas kehidupan dapat mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat mekanis dalam suatu masyarakat. Perbedaan ini merupakan faktor yang menyebabkan timbulnya polarisasi dan konflik antar sub kelompok atau antar kelompok dalam masyarakat Islam. <br />Dalam konteks agama, masalah keagamaan pertama seringkali ditempatkan sebagai sesuatu yang terpisah dari persoalan ekonomi, sosial dan politik. Lembaga keagamaan sakan-akan hanya mengurusi masalah ibadah yang normatif dengan menutup ruang gerak dalam urusan sosial kemasyarakatan, kedua Praktek keberagamaan masyarakat (secara individu maupun kolektif) masih sangat kental dengan nuansa tektual dan simbolik (ritual), belum mampu memberikan inspirasi dan pencerahan terhadap kontek problem kehidupan sosial masyarakat. ketiga Praktek keberagamaan masyarakat belum mampu menciptakan komitmen moral yang kuat sebagai landasan penyelesaian atas problem kehidupan sosial umat; Keempat; Dalam pembangunan agama lebih dianggap sebagai peredam situasi rohani bagi kekuatan-kekuatan kolektif lain, sehingga agama tidak berfungsi universal sebagaimana terakomulasi dalam ajaran al Qur’an. Akibatnya lembaga keagamaan tersisihkan dari arus industrialisasi dan pembangunan ekonomi, dan bahkan tidak jarang dianggap sebagai ‘penghambat’ modernisasi, mungkinkan ini menjadi penyebab mengapa di daerah-daerah agamis tertentu terjadi kerusuhan massal, yang banyak menelan korban; kesenjangan dan kecemburuan sosial akibat intervensi industrialisasi dan ekonomi yang merambah cepat dengan titik marginnya berada pada kelompok teguh beragama. Kelima Lembaga keagamaan, kadangkala secara sadar atau tidak sadar meninggalkan ummatnya atau lebih – lebih ditinggalkan ummatnya. Karena Lembaga keagamaan sering tidak bebas dari kooptasi pembangunan, dan sering dijadikan alat justifikasi atas policy pembangunan. Padahal lembaga ini hendaknya memainkan peran signifikan dalam rangka membantu memberikan pemahaman keagamaan bagi ummatnya.<br />Akar permasalahan ini, mungkin berawal dari kesalahan pendekatan dalam pembangunan. Pendekatan pembangunan di era orde baru, lebih diorientasikan kepada kekuatan ekonomi dan politik, sementara kekuatan moral lebih dimarginalkan. Sementara pendekatan moral tidak disukai oleh kekuatan ekonomi karena dianggap mengganggu mekanisme pasar. Begitu pula, pendekatan moral dipandang oleh kekuatan politik sebagai tidak mendukung pembinaan basis material bagi elite penguasa. <br />Perubahan peluang sosial ekonomi dalam berbagai sektor kehidupan, sebagai akselarasi modernisasi yang tidak bisa dihindarkan, ternyata tidak bisa ditanggapi secara merata oleh ummat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan, perbedaan sikap dan perbedaan tempo penyesuaian diri terhadap gejala-gejala modus baru dalam kehidupan modern, menjadi penyebab bagi kesenjangan sosial budaya.<br />Kesenjangan kemampuan mengatasi tantangan hidup dan kesulitan yang dihadapi antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam masyarakat akan menimbulkan perbedaan sikap di antara kelompok itu. Disamping itu, ketimpangan konstribusi kepemilikan dan penguasaan fasilitas kehidupan dapat mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat mekanis dalam suatu masyarakat. Perbedaan ini merupakan faktor yang menyebabkan timbulnya polarisasi dan konflik antar sub kelompok atau antar kelompok dalam masyarakat Islam. <br />Karenanya ulama harus ikut terlibat dalam proses pembangunan dan modernisasi. Sebab perluasan jaringan modernisasi teknologi transportasi, komunikasi, media informasi dan pembaharuan pendidikan meningkatkan mobilitas sosial dengan daya jangkau yang luas dan konpleks. Hubungan umat dan ulama yang semula diikat oleh emosi keagamaan yang kuat kini semakin mencair. Ini berarti secara lambat tapi pasti, otoritas ulama sebagai sumber segalanya pun sedikit demi sedikit akan berubah, apabila ulama tidak bisa menyelaraskan pandangannya dengan pembangunan dan modernisasi, yang masyarakat menaruh harapan ‘kehidupan lebih baik’ dengan berada dan terlibat proses di dalamnya.<br />C. Tawaran Alternatif Memecahkan Masalah Dalam Pembangunan<br />Perubahan paradigma pendekatan dalam pembangunan, dari Pendekatan pembangunan yang lebih berorientasi kepada kekuatan ekonomi dan politik, harus menyertakan kekuatan moral ( moral force ) secara berimbang. Pendekatan moral force yang tadinya tidak disukai oleh kekuatan ekonomi karena dianggap mengganggu mekanisme pasar, harus dikembalikan sebagai dasar pijakan mengembangkan dan menumbuhkan industrialisasi dan pembangunan ekonomi. <br />Pengambil policy pembangunan jangan memanfaatkan lembaga keagamaan, untuk kepentingan sesaat, dengan menjadikan lembaga keagamaan hanya sebagai pembenar tindakan/ kebijakan pembangunan. Dan pimpinan lembaga keagamaan pun jangan demi kepentingan sesaat, mau meninggalkan ummatnya atau lebih – lebih ditinggalkan ummatnya, terjerat pada kooptasi pembangunan, atau menjadi alat justifikasi atas policy pembangunan.<br />Pemerintah dan pimpinan lembaga keagamaan, harus secara bersama-sama menyamakan langkah, bagaimana membantu memberikan pemahaman keagamaan bagi ummatnya, termasuk konteksnya dengan proses modernisasi yang dilakukan, sebab yang kekuatan personal sudah tidak mampu melakukannya, maka diperlukan adanya kekuatan melalui jalur sistematis dan kolektif yang bernafaskan ajaran agama, salah satunya adalah lembaga keagamaan. Langkah seperti ini, bila disinerjikan akan sangat membantu bagi kesuksesan pembangunan secara makro, bukan hanya dalam skope pembangunan mental spritual saja, sebab memang pada tatanan pembangunan, ummat memerlukan pemahaman secara universal terhadap agamanya, termasuk menterjemahkan nilai transendental, ke masalah praksis dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. <br />Dalam tradisi sosial di lingkungan umat Islam, hierarcki wewenang dalam kehidupan sosial sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kemampuan keislaman seseorang (ulama) dalam mengkomunikasikan dan mensosialisasikan pengetahuannya demi kepentingan umat dan masyarakat. <br />Karenanya adalah satu keharusan bagi ulama untuk pertama untuk tidak lari dari persoalan dan proses modernisasi, kedua berupaya membantu umat memahami ajaran Islam secara universal, dengan salah satunya menterjemahkan nilai-nilai transendental agama ke dalam konteks praksis sosial kemasyarakatan yang semakin berkembang berbanding lurus dengan perkembangan kemajuan iptek dan peradaban manusia. Ketiga bersama pemerintah (pengambil kebijakan pembangunan harus mau merangkul ulama, bukan memperalat mereka ) menjadi pelaku utama dalam pembangunan dengan menyampaikan nilai-nilai yang harus dipegang dalam melaksanakan pembangunan, sekaligus penyampai informasi pembangunan dengan bahasa agama. Sebab memang sebagai referensi tindakan sosial, berbagai keputusan tindakan anggota masyarakat seringkali diserahkan kepada, dan lebih banyak ditentukan oleh ulama. <br />Ummat Islam juga sudah saatnya mengupayakan pembaharuan dalam pendidikan, seiring dengan modernisasi teknologi transportasi, komunikasi, media informasi dan pembaharuan pendidikan meningkatkan mobilitas sosial dengan daya jangkau yang luas dan kompleks. Dan seirama dengan ini hubungan umat dan ulama yang telah terikat dengan emosi keagamaan, tetap harus dibina dengan merasa dibantunya ummat memahami agama dalam konteks pembangunan dan modernisasi serta dengan kemampuannya menjawab segala permasalahan yang timbul akibat dari proses pembangunan dan modernisasi tersebut. <br />Pembaharuan pemikiran Islam kontemporer yang merupakan bagian dari proses heterodoksi gagasan perjuangan, khususnya di bidang pendidikan dan dakwah serta kegiatan pragmatis lainnya. <br />Langkah perjuangan ini adalah bukan persoalan ringan, karena menyangkut intervensi kekehidupan umat/ masyakat, dan yang paling bagus tipe intervensi tersebut adalah Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowering), agar masyarakat betul-betul merasakan bahwa mereka adalah pelaku pembangunan.<br />Pemberdayaan ummat, hendaknya menggunakan berbagai prinsip, seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Mahmudi, sbb. :<br />1. Memulai dengan tindakan mikro yang memiliki konteks makro/global. <br />2. Mengembangkan penguasaan pengetahuan taknis masyarakat. <br />3. Membangun kelembagaan masyarakat yang fungsional dan berkelanjutan. <br />4. Pengembangan kesadaran kolektif rakyat melalui pendidikan kritis masyarakat. <br />5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menentukan penguasaan dan pengelolaan serta<br />6. kontrol terhadap sumberdaya (terutama sumberdaya ekonomi);<br />7. Pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan kondisi lokal (daerah). <br />8. Mengembangkan pendekatan kewilayahan/kawasan yang lebih menekankan pada kesamaan<br />9. dan perbedaan potensi yang dimiliki. <br />10. Membangun jaringan ekonomi strategis yang berfungsi untuk mengembangkan kerjasama. <br />11. dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan baik dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan. <br />Jadi peran ulama yang selama ini yang lebih dicenderungkan sebagai orang yang senantiasa menyelesaikan masalah agama dan social kemasyarakatan,, barangkali sudah harus digeserkan, dimana untuk masalah tertentu pada agama masih tetap berfungsi untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi ummat, tapi dalam konteks pembangunan kehidupan social ekonomi masyarakat, digeser ke arah bagaimana memberdayakan ummat untuk dapat menemukan dan melakukan sendiri alternatif pemecahan yang mereka hadapi. <br />Pergeseran bentuk ini, tentu akan berdampak pada kesiapan diri untuk menjadi seorang partisipatory yang baik, namun sisi lainnya tentu ummat secara langsung akan menikmati apa yang telah dilakukan oleh ulama tadi.<br />D. Penutup<br />Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan :<br />1. Era global pada gilirannya akan membawa dampak perubahan pada sosio kultural masyarakat. <br />2. Kesenjangan kemampuan mengatasi tantangan hidup dan kesulitan yang masyarakat akan menimbulkan perbedaan sikap dan ketimpangan konstribusi kepemilikan dan penguasaan fasilitas kehidupan dapat mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat mekanis dalam suatu masyarakat, dan dapat menyulut timbulnya konflik horisontal di masyarakat<br />3. Mengatasi konpliks horizontal di masyarakat, harus dilakukan dengan cara pemberdayaan masyarakat itu sendiri sebagai pelaku pembangunan, dan pada sisi ini diperlukan adanya transformasi peran ulama. <br />DAFTAR BACAAN<br />Ali, Fachry, Pasang Surut Peranan Politik Ulama, Prisma ( No.4 Tahun 1984), Jakarta, 1984 <br />Ahmad Mahmudi, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Parcipatory Action Research, diselenggarakan oleh IAIN Mataram bekerjasama dengan DITPERTA Islam Departemen Agama RI, di hotel Jayakarta Senggigi Lombok, Tanggal 12-15 Juni 2007<br />Anwar, D.F., Ka’bah dan Garuda : Dilema Islam di indonesia, Prisma ( No.4 Tahun 1984), Jakarta, 1984 <br />Dahrendorf,R., Konflik dan Konflik dalam Masyarakat industri, (terjemah : Ali Mahdan), Rajawali, Jakarta, 1986 <br />Mochtar Mas’ud, Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru, Mizan, Bandung, 1995<br />Rais, Amin, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung, 1987 <br />Shiddiq, Moch. , Pemulihan Khittah NU, Harian Kompas, 16 November 1987<br />Soetidjo, S. , Transformasi Masyarakat, Tiara Wacana, Jogjakarta, 1986, <br />Wignyosoebroto, Soetandyo , Kebudayaan dan Fungsinya sebagai Penghambat dan Pengendali Proses Industrialisasi, Seminar Mata Kuliah ISD, IAIN Sunan Ampel, 23 Desember 1996H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-45019130876622418202008-12-15T19:54:00.000-08:002008-12-15T19:55:06.751-08:00RE KONSTRUKSI KURIKULUM MADRASAHRE KONSTRUKSI KURIKULUM MADRASAH <br />( Upaya Mewujudkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan )*)<br />Oleh : Drs.H.MUNADI.<br /><br />A. Pendahuluan<br />Sekarang banyak pakar Saintis Muslim menginginkan hilangnya dikotomis antara Ilmu pengetahuan Umum dan Ilmu Pengetahuan Agama, yang diinginkan adalah ilmu yang Islamis, ilmu yang dikembangkan dengan dasar-dasar norma/ nilai-nilai Islam.<br />Berbicara tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini, maka pembicaraan tidak bisa dilepaskan dari lembaga pendidikan yang menumbuh kembangkan dan mencetak ilmuan-ilmuan yang menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan tersebut. Dan ini kita pun akan tidak bisa melepaskan diri dari membicarakan kurikulum lembaga pendidikan tersebut.<br />Kurikulum menurut pendapat salah seorang ahli pendidikan muslim, adalah :<br />“ Kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olehraga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-murid di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk berkembang menyeluruh dalam segala dan merubah tingkahlaku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan” . <br /><br />Dengan demikian, jelaslah apa yang menjadi muatan kurikulumlah yang akan ditransferkan kepada peserta didik, baik berupa nilai, pengetahuan atau pun keterampilan, yang membentuk karakter peserta didik itu, manakala mereka menyelesaikan rangkaian pendidikannya dan terjun sebagai ilmuan akan memberi warna tertentu dalam mereka memandang dan mengembangkan ilmu pengetahuan mereka.<br />Dari definisi kurikulum di atas dapat dimengerti bahwa kurikulum itu mempunyai empat unsur atau aspek utama, yaitu :<br />1. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan itu. Dengan lebih tegas lagi orang yang bagaimana ingin kita bentuk melalui kurikulum itu ?<br />2. Pengetahuan (knowledge), informasi-informasi, data-data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu. Bagian inilah yang biasa disebut mata pelajaran. Bagian ini pula yang dimaksudkan dalam silabus.<br />3. Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh guru-guru untuk mengajar dan mendorong murid-murid belajar dan membawa mereka ke arah yang dikehendaki oleh kurikulum.<br />4. Metode dan cara penilaian yang dipergunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan yang direncanakan dalam kurikulum seperti ujian triwulan, ujian akhir dan lain-lain. <br /><br />Singkatnya kurikulum itu mengandung tujuan, isi atau muatan kurikulum dan Strategi pembelajaran .<br />Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional adalah lembaga pendidikan berciri khas Islam akan sangat memungkinkan untuk melakukan tugas ini. Sebab pertama punya landasan yuridis yang kuat (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003) untuk melakukan hal itu. Kedua secara historis memang lembaga pendidikan madrasah telah mengakar sebagai lembaga pendidikan Islam, yang secara langsung muatan pendidikannya lebih banyak berbicara tentang ilmu ke-islam-an. Ketiga dengan lahirnya kurikulum Madrasah tahun 1984 – 1994 dan Suplemen Kurikulum 1994 tahun 1999, telah terlihat upaya-upaya konkret ke arah integrasi ilmu pengetahuan agama dan umum dengan mengupayakan penghapusan dikotomis ilmu pengetahuan agama dan umum..<br />Dalam makalah ini, dengan sendirinya kita harus membicarakan tentang kurikulum Lembaga pendidikan Madrasah itu, baik menyangkut tujuannya, muatannya atau pun strategi penerapannya.<br />B. Rekonstruksi Kurikulum Pendidikan di Madrasah<br />Tujuan Pendidikan Madrasah<br />Berbicara tentang tujuan pendidikan, tak dapat tidak mengajak kita bicara tentang tujuan hidup, yaitu tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Manusia dalam usahanya memelihara kelanjutan hidupnya mewariskan berbagai nilai budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup terus. Tetapi bukan hanya itu fungsi pendidikan. Fungsi lain adalah pengembangan potensi-potensi yang ada pada individu-individu supaya dapat dipergunakan olehnya sendiri dan seterusnya oleh masyarakat untuk menghadapi tantangan-tantangan milieu yang selalu berubah. Seperti pengembangan akal kanak-kanak di sekolah menyebabkan ia dapat mencipta alat-alat modern untuk mengatasi masalah kehidupan dan berupaya meuju kehidupan yang lebih baik dengan mencipta teknologi modern untuk menanggulangi masalah tersebut dan mencapai kehidupan yang lebih baik. Sebab pendidikan pendidikan merupakan alat yang diperlukan manusia untuk memelihara hidup dan mencapai kehidupan yang lebih baik. <br />Kalau begitu tujuan pendidikan itu mestilah selaras dengan tujuan hidup. Dan Islam telah menggariskan tujuan hidup manusia. Tujuan hidup dalam Islam berbeda dengan tujuan hidup golongan yang tidak bertuhan. Tujuan hidup golongan anti Tuhan ini digambarkan dalam firman Allah SWT :<br />“Mereka berkata tidak ada hidup kecuali hidup kita di dunia ini. Kita mati, kita hidup, tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa. Sedang mereka dalam hal ini tidak tahu apa-apa. Mereka hanyalah menyangka-nyangka” (Q: 45: 23). <br /><br />Tujuan pendidikan berdasar pada pandangan hidup seperti ini dengan tegas dinyatakan oleh John Dewey Mazhab; tokoh pragmatisme dalam filsafat, atau dalam pendidikan disebut progressivisma yang senantiasa mengukur sesuatu dari segi manfaatnya secara praktis dalam kehidupan (utilitarian), yakni :“ Since there is nothing to which is relative save more growth is nothing to which education is subordinate save more education. The education process has no end beyond itself – it its own end”. <br /> Sementara Islam menegaskan bahwa tujuan hidup seorang muslim adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT, sebagaimana firman Nya yang artinya : “Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka mengabdi kepada Ku (Q.51: 56 ). <br />Mengabdi atau Menyembah atau dalam istilah agama disebut “beribadah” dalam pengertianya yang luas berarti mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia menurut petunjuk Allah. Apakah sifat-sifat Allah itu ? Yaitu sifat dua puluh, tetapi diberi 99 nama dan disebut Al-Asma Al-Husna yaitu nama-nama Allah yang baik. Seperti : Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Quddus, Al-Hay, Al-Muhyi, Al’Alim, Al-Qadir, Al-Khaliq, Malik Al-Mulki, dan lain-lain lagi. <br />Mengembangkan sifat-sifat rabbany pada manusia itulah ibadah, dimana manusia harus pertama melaksanakan ibadah mahdhah; pengabdian yang langsung secara vertical berhubungan dengan Allah, seperti: mendirikan Shalat, dengan shalat manusia menjadi suci, dari segi rohani, fikiran dan jasmani, bahkan sebelum shalat pun sudah seharusnya seorang muslim mensucikan dirinya baik dari hadats kecil maupun besar, dan diupayakan meningkatkannya dengan pensucian diri pada aspek rohaninya. Dalam shalat tidak boleh dilakukan dengan pura-pura atau riya (Lihat QS. 107: 6). Selain dari itu Shalat juga sebagai upaya pensucian roh, manakala roh menjadi suci orang akan terhindar dari perbuatan jahat dan mungkar (lihat QS. 29: 45). Jadi dengan menunaikan sembahyang manusia menjadi suci dari segala segi, jadi ia mengembangkan pada dirinya salah satu sifat Allah, yaitu Maha Suci (Al-Quddus). Begitu juga dengan ibadah-ibadah mahdhah lainnya.<br />Selain Ibadah Mahdhah, adalagi pekerjaan mu’amalah yang diniatkan untuk mencapai redha Allah SWT, juga dianggap sebagai cabang ibadah-ibadah yang secara vertical memang tidak langsung berhubungan dengan Allah SWT, namun tujuan akhirnya merupakan pengabdian kepada Allah SWT, karena ditujukan untuk mencapai cinta dan reda Allah SWT. <br />Kelompok Ibadah ini, adalah semua pekerjaan yang tadinya hanya mubah, tapi karena ditujukan untuk mencapai redha dan cinta Allah, maka bernilai ibadah seperti bertani, bertukang, berdagang, mengajar, berumah tangga, menuntut ilmu, dan lain sebagainya asal dengan syarat pertama sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan Syariah, maka tentu sifat-sifat Tuhan yang banyak itu akan terus berkembang pada diri manusia dan ia semakin mendekati kesempurnaan. Seperti kata Al-Attas:<br />“ Man of Islam, Presupposes the emergence in him of a higher type man capable of lofty inspirations towards self-improvement-the self improvement that is no less than actualization of his latent power and capacity to become a perfect man. The man of Islam is a city dweller, a cosmopolitan, living a civilized life according to clearly defined foundations of social order and codes of conducts, is he to whom obedience of Divine Law endeavour towards realizing true justice and striving after right knowledge and cardinal virtues. The motive of conduct of such man is eternal blessesdness, entrance into a state of supreme peace” <br /><br />Tujuan hidup seorang Muslim yang digambarkan oleh Al-Attas di atas itu sebenarnya sama artinya dengan do’a yang selalu kita baca dalam tiap sembahyang yang artinya: “wahai Tuhanku, sesungguhnya sembahyang, ‘ibadah hajiku, hidupku dan matiku, semuanya adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian ‘alam,”<br />Tujuan hidup Muslim ini menjadi pula tujuan pendidikan di dunia Islam sepanjang sejarahnya, semenjak zaman Nabi saw sampai sekarang telah dirumuskan sebagai berikut: <br />“Education should Ain at balanced growth of the total personality of man through the training of Man’s spirit, intellect, the rational self, feelings and bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spirituals, intellectual, imaginative, physical, scientific, lingistic, both individually and collectively and motivate all these aspects towards goodness and the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large”. <br /><br />Tujuan pendidikan di atas dapatlah diterjemahkan secara operasional ke dalam syllabus dan mata pelajaran yang diajarkan diberbagai tingkat pendidikan mulai dari lembaga pendidikan pra sekolah, lembaga pendidikan dasar, lembaga pendidikan menengah dan lembaga pendidikan tinggi, malah juga pada lembaga-lembaga pendidikan jalur luar sekolah, baik di rumah tangga atau pun di masyarakat dan lembaga kursus-kursus. <br />Muatan Program Dalam Kurikulum <br />Muatan Kurikulum adalah struktur program yang berisikan konsep-konsep pengetahuan yang akan diterima peserta didik selama menjalani proses pendidikannya di suatu lembaga pendidikan. <br />Konsepsi pngetahuan yang membuat adanya dikotomis ilmu pengetahuan adalah berasal dari pandangan barat tentang ilmu pengetahuan itu sendiri, yang semuanya berkisar pada kerangka berfikir mereka bahwa pengetahuan semata didapat lewat proses akal (acquired) tidak memberi tempat kepada wahyu Tuhan (revelation) sebagai sumber pengetahuan. Di sinilah letak perbedaan yang sangat mendasar antara pandangan Barat tentang ilmu pngetahuan dengan pandangan Islam.<br />Muatan kurikulum menjadi sangat urgen dibicarakan, untuk memberi jawaban tentang manusia yang dicita-citakan oleh pembuat kurikulum itu. <br />Pandangan Barat tentang ilmu pengetahuan, telah diwariskan oleh penjajah Belanda sehingga menjadikan muatan kurikulum kita terpilah menjadi ilmu pengatahuan umum (Mata Pelajaran Umum) dan Ilmu pengetahuan Agama ( Mata Pelajaran Agama). <br />Dalam al-Qur’an disebut bahwa agama Islam adalah agama fithrah. Firman Allah swt dalam al-Qur’an: <br />“ Hadapkanlah wajahmu kepada agama yang suci, yang merupakan “fithrah” Allah yang sesuai dengan kejadian manusia” (QS.Ar Ruum:30). <br />Ini berarti agama yang diturunkan oleh Allah melalui wahyu kepada nabi-nabinya adalah sesuai dengan fithrah atau sifat-sifat semula jadi manusia.<br />Dalam sebuah Hadits, sabda Nabi saw: <br />“ Tidak adalah bayi itu melainkan dilahirkan dengan fithrah. Sehingga maka ibu bapanya yang menjadikan ia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari). <br />Ini berarti bahwa manusia lahir dengan potensi yang kita kataka tadi sifat-sifat Tahun yang diberikan kepada manusia, yang tergambar dalam sifat dua puluh yang mempunyai 99 macam itu, termasuk ilmu, berkuasa, bercakap, kasih-sayang dan lain-lain. Sedang dalam ayat yang kita sebut di atas agama yang diturunkan melalui wahyu itu disebut juga fithrah. Jadi fithrah ibarat sebuah mata uang yang bermuka dua. Muka pertama disebut wahyu, dalam konteks Islam disebut al-Qur’an dan Sunnah, sedang muka yang kedua disebut akal, atau yang tergambar pada sifat-sifat Tuhan (Divine Attributes) yang berjumlah 99 itu. <br />Ibnu Khaldun juga membagi ilmu itu kepada dua golongan besar, yaitu ilmu aqal (akal) ilmu naqal (wahyu). Imam Al-Ghazali membagi ilmu kepada ladunni dan insani . Sedang al-Attas membaginya kepada: ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah . Sedang second world conference on Muslim education, membaginya kepada ilmu abadi (perennial) ilmu dicari (acquired) dengan akal. <br />Dalam Second World Conference on Muslim Education dinyatakan bahwa segala pengetahuan yang ada ini diklassifikasikan kepada dua macam menurut sumbernya, yaitu ilmu abadi dan ilmu dicari dengan akal dengan katanya :<br />“Planning of education to be based on the classification of knowledge into two categories :<br />a. “Perennial”knowledge derived from the qur’an and the sunnah meaning all sharia – oriented knowledge relevant and related to them, and<br />b. “Acquired” knowledge susceptible to quantitative growth and multiplication, limited variation and cross – cultural borrowings as long as consistency with the Sharia as the sources of value is maintained.” <br /><br />Pengetahuan perennial ; di terima melalui wahyu yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, sedang acquired ; diperoleh melalui imaginasi dan pengalaman indera. Hanya pengetahuan terakhir inilah yang kita pelajari dengan berdasarkan pandangan Barat dalam mempelajari Mata pelajaran Umum, sedang wahyu hanya di ajarkan pada Mata Pelajaran Agama dengan 7 pokok materi keislaman pada sekolah umum, dan dimadrasah Mata Pelajaran Agama dibagi ke dalam 5 Sub Mata Pelajaran Agama, pada hal menurut konsepsi Islam agar kurikulum itu bersifat Islam haruslah konsep Islam berpadu dengan mata pelajaran lain. <br />Strategi Pembelajaran<br />Strategi Pembelajaran, merupakan ujung tombak penerapan konsep-konsep dalam muatan kurikum, yang dalam kurikulum lembaga pendidikan di negara kita digambarkan dalam ‘rambu-rambu’ kurikum yang harus dipegang oleh seorang pendidik, dia menyangkut metodologi pengajaran , pengunaan media/ sumber pembelajaran dan penilaian proses pendidikan. <br />Pertama : metodologi; menyangkut pembicaraan bagaimana (how) mempelajari sesuatu, dengan kata lain bagaimana cara yang harus dikembangkan guru agar terjadi “proses belajar” (learning process) pada peserta didik.<br />Dalam istilah psikologi yang disebut “pelajar” (learner) adalah manusia yang belajar. Istilah belajar (learning) mempunyai berbagai teori. Ada teori S – R (stimulus – Response Theoty), teori Gestalt, teori lapangan (field theory),teori operant (operant theory) dan lain-lain sebagainya. Tentu jasa dalam ruang yang terbatas ini kita tidak diharapkan untuk menguraikan teori itu satu persatu. Tetapi yang dapat disimpulkan di sini bahwa teori-teori itu semua membuktikan bahwa “belajar” itu adalah suatu proses yang komplek, tidak sesederhana yang kita bayangkan. Tidak semudah memasukkan sampah dalam keranjang. <br />Dalam buku filsafat Pendidikan Islam dijelaskan bahwa metodologi mengajar dalam pendidikan Islam cukup kaya, terutama pada zaman keemasan Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang dibuktikan oleh filosof-filosof Islam ialah terkenal seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Maskawaih, al-Mawardi, Ibnu Sina, al-Gazali, Ibnu Rusyid, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Metode-metode pengajaran yang selalu kita dapati pada mereka misalnya adalah metode lingkaran (halaqah), metode mendengar, metode membaca, metode imla, metode hafalan, metode pemahaman, metode lawatan dan lain-lain lagi dengan harus mempertimbangkan suasana dan keadaan teknologi pada waktu dahulu itu. Metode imla (dictation) dan hafalan misalnya adalah perlu sekali pada waktu itu sebab belum ada percetakan dan Xerox seperti sekarang ini. Tentang metode halaqah (lingkaran) ternyata penemuan-penemuan psikologi mutakhir menunjukkan bahwa cara ini sangat effective kalau digunakan membahas suatu topik, sebab dalam bentuk lingkaran itu setiap peserta merasa setarap dengan peserta-peserta lain. Jadi sekatan-sekatan psikologi (psychological barrier) dihilangkan.<br />Media Pembelajaran ( Media Instuksional )<br />Penggunaan teknologi pendidikan (education technology) yang meliputi berbagai aspek seperti audio-visual material, teaching aids, dan lain-lain. Pendeknya meliputi segala hal yang akan membawa proses belajar-belajar bisa lebih effektif. <br />Media Instruksional, meliputi media audio, mdia visual, atau Audio Visual Aids dalam proses pembelajaran harus betul-betul dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada sekarang untuk memantapkan pelajaran itu. Jadi proses pembelajaran jangan hanya sekedar kuliah (lecture) tetapi segala macam audio visual digunakan, seperti slides, transparency charts, skenner, TV, radio, tape-recorder, dan lain-lain lagi. Namun dalam penggunaan berbagai pertama media ini haruslah dalam garisan bahwa media hanyalah alat untuk mencapai tujuan dan kedua alat untuk membangkitkan minat peserta didik agar terlibat aktif dalam proses mencapai tujuan yang telah ditetapkan.<br />Hal yang penting ditanamkan kepada peserta didik, bahwa manakala dia bersentuhan dengan produk sains dan teknologi modern, bahwa itu semua harus dapat dimanfaatkan untuk bagaimana meningkatkan kualitas usaha mencapai tujuan hidup untuk mengabdi kepada Allah SWT, dengan meniti dua jalur pertama pelaksanaan ibadah mahdhah atau jalur vertikal, kedua beribadah dengan memanfaatkan jalur horizontal, yakni dengan tujuan mengabdi kepada Allah SWT, sebanyak-banyaknya bisa mendatangkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kehidupan umat manusia dan makhluk Allah lainnya.<br />Penilaian <br />Aspek kurikulum pendidikan Islam yang paling banyak mendapat keritikan oleh pendidik-pendidik modern adalah aspek penilaian ini. Oleh sebab itu ada baiknya kita uraikan juga aspek ini, walaupun tumpuan pembicaraan kita barangkali pada fungsinya saja, sedang aspek-aspek lain akan kita sentuh sepintas lalu saja.<br />Penilaian sebenarnya berhubungan erat dengan tujuan pendidikan. Penilaian berusaha menentukan apakah tujuan pendidikan dicapai atau tidak. Misalnya kalau kita latih seorang menyetir mobil, maka penilaian adalah ujian menyetir yang kita berikan untuk mengetahui apakah orang tersebut sudah pandai menyetir ataukah belum. Kalau dia sudah tidak membuat kesalahan dalam starter, menekan minyak, memberi isyarat lampu berhenti dan lain-lain maka kita meluluskannya, sedang kalau masih membuat kesalahan, apalagi kalau ia melanggar tiang lampu, misalnya kita menggagalkannya. Dengan asumsi bahwa kalau ia tidak lagi membuat kesalahan, tentu dia akan selamat dan jalanan juga akan aman. Inilah salah satu fungsi penilaian, yaitu memilih (selection) orang-orang berdasar kesanggupannya untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Kalau tujuan pendidikan untuk mencari kerja maka hanya orang-orang yang mampu saja diluluskan memegang kerja itu, yang tidak jangan diberi atau dilatih lagi sampai ia sanggup.<br />Oleh sebab tujuan pendidikan Islam bukan sekedar mencari kerja, tetapi lebih-lebih adalah untuk berbakti kepada Allah, maka criteria yang dipakai juga harus berlainan, misalnya meletakkan kebijaksanaan (wisdom), budi mulia (virtue) dan lain-lain sebagai kriteria seleksi untuk memilih guru atau dosen atau lain-lain lagi. Sebab tanpa meletakkan criteria ini pendidikan Islam sendiri akan kehilangan ciri-cirinya yang khas. <br />Fungsi kedua dari pada penilaian adalah sebagai alat Penguatan (reinsforment) (reinforcement) bagi pelajar-pelajar. Yang saya maksudkan dengan Penguatan (reinsforment) adalah ganjaran bagi pekerjaan yang telah dilakukannya. Psikologi selalu berbicara tentang ganjaran untuk mengekalkan tingkahlaku yang diinginkan. Sebab kata ahli-ahli psikologi, pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk mengekalkan tingkahlaku yang baik (diinginkan) dan menghilangkan tingkahlaku yang baik (tidak diinginkan), Ganjaran itu ada bermacam-macam, ada yang bersifat material, seperti hadiah uang atau lain-lain, ada juga yang bersifat non-material seperti tepukan tangan sesudah orang berpidato, atau senyuman diberi kepada anak yang selalu dating tepat waktunya. Kata teori psikologi segala tingkahlaku yang dikuatkan (reinforced) akan tetap, jadi pendidikan mencapai tujuannya, sedang tingkahlaku yang tidak diteguhkan akan hilang. Ada juga yang mengatakan tidak meneguhkan tingkahlaku itu sama dengan menghukumnya (punishmentn). <br />Oleh sebab waktu bersekolah itu lama, yaitu enam tahun untuk Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi barulah selesai pendidikan formal , sedang pendidikan tidak formal berjalan terus sampai keliang lahat, maka haruslah waktu itu diselang-selingi dengan Penguatan (reinsforment) atau ganjaran. Sebab Penguatan (reinsforment) bisa menghibur hati. Sebenarnya ganjaran melalui penilaian ini juga berlaku dari bawah dan berlaku setiap hari. Tidak usah selalu bersifat formal, kadang-kadang merupakan pekerjaan rumah saja. Dapat menyelesaikan soal-soal aljabar saja, sudah menggembirakan hati, jadi merupakan Penguatan (reinsforment) atau ganjaran juga. Jadi penilaian yang baik adalah yang berulangkali dan terus menerus, sehingga hidup itu tidak membosankan. <br />Itulah dua aspek terpenting penilaian dalam pendidikan. Selanjutnya bagaimana mengislamkannya ? Sudah disebutkan di atas bahwa penilaian ini berhubungan erat dengan tujuan pendidikan. <br />Dengan kata lain penilaian itu pertama diadakan untuk menentukan apakah tujuan pendidikan tercapai atau tidak. Pencapaian tujuan pendidikan Islam mempunyai keistimewaan yaitu untuk menyembah dan berbakti kepada Allah sepanjang hayat maka kriteria penilaian juga harus berlainan dengan pendidikan dari falsafat-falsafah lain. Bukan sekedar lulus ujian saja, walaupun ini juga diharuskan , tetapi harus dimasukkan juga kebijaksanaan (wisdom) dan budi mulia (virtues) sebagai kriteria. Malah mungkin kriteria terakhir ini lebih penting dari yang pertama. Kedua penilai juga dapat difungsikan sebagai penguatan (reinsforment). Sebagai Penguatan (reinsforment), maka penilaian dalam pendidikan Islam tidak semestinya bersifat materialistis, artinya ganjaran materi itu jangan terlalu diutamakan, kalaupun dipergunakan harus ditunjukkan bahwa ia hanyalah sebagai alat bukan tujuan.<br />C. Kesimpulan <br />Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan :<br />1. Untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan haruslah dimulai dengan penghapusan dikotomis berbagai mata pelajaran di lembaga Pendidikan<br />2. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan rekonstruksi kurikulum lembaga pendidikan mulai dari tujuan , muatannya, metodologi, media pembelajaran dan penilaian. <br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Al Bukhari, Abu abdillah bin Ismail, Sahih Bukhari, Ankara : Crescent Publishing House, 1976<br />Al Gazali, Ihya Ulum ad Din, Kairo, 1986<br /> Al Nu’umy, Al Manahij wa al Thuruq al Tadris inda Al Kabisi wa Ibn Khaldun, wajarah al Daulah, Lybia, 1973<br />Al Attas, Islam and Sucalirism, Muslim Youth Movemenn Of Malaysia, 1978 <br />Hasan Langgulung , Manusia dan Pendidikan; Analisis Psikologis dan Sosial; Pustaka Al Husna, 1988<br />_______________, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Al Ma’arif, Bandung, 1980 <br />_______________, Teori-teori Kesehatan Mental, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1990 <br />John Dewey, Democracy and Education, Mac Millan, London, 1916 <br />Omar At Toumy al Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam ( Terjemah : Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1976 <br />Second Word Confrence on Muslim Education, Under the Auspices of King Abdul Azis Univrsity & Quaidi Azam University, 15 th. To 20 th, Mach, 1980, IslamabadH. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-86966476125236574872008-12-15T19:53:00.000-08:002008-12-15T19:54:01.065-08:00MENYIKAPI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSIMENYIKAPI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI 2004<br />( Upaya Mewujudkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan )<br />Oleh : H. MUNADI SUTERA ALI<br /><br />ABSTAK<br /><br />Pesantren dan Madrasah sebagai lembaga pendidikan hendaknya secara serius mempelopori Islamisasi Sains dan Teknologi, hal ini dikarenakan Madrasah dan Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam punya landasan yuridis yang kuat dan secara historis memang lembaga pendidikan madrasah telah mengakar sebagai lembaga pendidikan Islam, yang secara langsung muatan pendidikannya lebih banyak berbicara tentang ilmu ke-islam-an. serta dengan adanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Tahun 2004 dimana lembaga pendidikan yang bersangkutan memiliki keleluasaan menyusun sillaby sendiri per mata pelajaran.<br />Keseriusan untuk melakukan Islamisasi Sains dan teknologi ini, harus dituangkan dalam bentuk upaya kerja keras kalangan pesantren dan madrasah mengembangkan KBK 2004, mulai dari menyelaraskan Tujuan Pendidikan dan Pengajarannya dengan tujuan pendidikan Islam, kemudian pengembangan muatanya, strategi pembelajarannya ( termasuk di dalammnya standarisasi sarana dan prasarana pendukung ) sampai kepada masalah penilaian pelaksanaan dan hasil didikannya.<br />Jika KBK 2004 ini oleh kalangan dapat dimodefikasi dengan baik, maka kalangan Pesantren dan Madrasah akan menjadi pioner bagi islamisasi Sains dan teknologi yang telah lama dinantikan oleh umat Islam.<br /><br />Kata Kunci :<br /><br />Kurikulum Berbasis Kompetensi – Strategi Pembelajaran – Media Pembelajaran – Muatan Program<br /><br /> <br />A. Pendahuluan<br />Sekarang banyak pakar Saintis Muslim menginginkan hilangnya dikotomis antara Ilmu pengetahuan Umum dan Ilmu Pengetahuan Agama, yang diinginkan adalah ilmu yang Islamis, ilmu yang dikembangkan dengan dasar-dasar norma/ nilai-nilai Islam.<br />Berbicara tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini, maka pembicaraan tidak bisa dilepaskan dari lembaga pendidikan yang menumbuh kembangkan dan mencetak ilmuan-ilmuan yang menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan tersebut. Dan ini kita pun akan tidak bisa melepaskan diri dari membicarakan kurikulum lembaga pendidikan tersebut.<br />Kurikulum menurut pendapat salah seorang ahli pendidikan muslim, adalah :<br />“ Kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olehraga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-murid di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk berkembang menyeluruh dalam segala dan merubah tingkahlaku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan” . <br />Dengan demikian, jelaslah apa yang menjadi muatan kurikulumlah yang akan ditransferkan kepada peserta didik, baik berupa nilai, pengetahuan atau pun keterampilan, yang membentuk karakter peserta didik itu, manakala mereka menyelesaikan rangkaian pendidikannya dan terjun sebagai ilmuan akan memberi warna tertentu dalam mereka memandang dan mengembangkan ilmu pengetahuan mereka.<br />Dari definisi kurikulum di atas dapat dimengerti bahwa kurikulum itu mempunyai empat unsur atau aspek utama, yaitu :<br />1. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan itu. Dengan lebih tegas lagi orang yang bagaimana ingin kita bentuk melalui kurikulum itu ?<br />2. Pengetahuan (knowledge), informasi-informasi, data-data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu. Bagian inilah yang biasa disebut mata pelajaran. Bagian ini pula yang dimaksudkan dalam silabus.<br />3. Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh guru-guru untuk mengajar dan mendorong murid-murid belajar dan membawa mereka ke arah yang dikehendaki oleh kurikulum.<br />4. Metode dan cara penilaian yang dipergunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan yang direncanakan dalam kurikulum seperti ujian triwulan, ujian akhir dan lain-lain. <br /><br />Singkatnya kurikulum itu mengandung tujuan, isi atau muatan kurikulum dan Strategi pembelajaran .<br />Madrasah dan Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional adalah lembaga pendidikan berciri khas Islam akan sangat memungkinkan untuk melakukan tugas ini. Sebab pertama punya landasan yuridis yang kuat (Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 ) untuk melakukan hal itu. Kedua secara historis memang lembaga pendidikan madrasah telah mengakar sebagai lembaga pendidikan Islam, yang secara langsung muatan pendidikannya lebih banyak berbicara tentang ilmu ke-islam-an. Ketiga dengan lahirnya kurikulum Madrasah tahun 1984 – 1994 dan Suplemen Kurikulum 1994 tahun 1999, telah terlihat upaya-upaya konkret ke arah integrasi ilmu pengetahuan agama dan umum dengan mengupayakan penghapusan dikotomis ilmu pengetahuan agama dan umum, maka upaya ini hendaknya terus dipertajam dengan penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Tahun 2004.<br />Dalam makalah ini, dengan sendirinya kita harus membicarakan tentang kurikulum Lembaga pendidikan Madrasah dan Pondok Pesantren itu, baik menyangkut tujuannya, muatannya atau pun strategi penerapannya.<br />B. Kurikulum Berbasis Kompetensi Pada Madrasah dan Pondok Pesantren<br />Secara Nasional pemerintah menetapkan kompetensi dasar standard untuk jenjang dan jenis pendidikan tertentu berikut dengan standard minimal untuk per mata pelajaran, sedangkan pengembangan syllabi untuk masing-masing tingkat dan jenis lembaga itu diserahkan kepada masing-masing lembaga yang bersangkutan, dan ini disamping sebagai sebuah tantangan yang cukup berat, juga secara implisit merupakan peluang untuk mengembangkan pola dan kualitas pendidikan dengan keunggulan-keunggulan yang diinginkan oleh lembaga itu.<br />Jika kita berkeinginan mengembangkan lembaga pendidikan yang Islami, maka kita harus merancang Kurikulum yang diharapkan dapat menjadi acuan diselenggarakannya lembaga pendidikan itu, yang memuat konsep-konsep ideal tentang itu, baik menyangkut tujuan pendidikannya, muatannya, strategi pembelajarannya (metode dan media pendukungnya), penilaiannya harus sesuai dengan pola kurikulum itu sendiri yang mengharapkan lahirnya kompetensi peserta didik setiap kali terjadi proses pembelajaran mereka.<br /> <br />Tujuan Pendidikan Madrasah dan Pondok Pesantren<br />Berbicara tentang tujuan pendidikan, tak dapat tidak mengajak kita bicara tentang tujuan hidup, yaitu tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Manusia dalam usahanya memelihara kelanjutan hidupnya mewariskan berbagai nilai budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup terus. Tetapi bukan hanya itu fungsi pendidikan. Fungsi lain adalah pengembangan potensi-potensi yang ada pada individu-individu supaya dapat dipergunakan olehnya sendiri dan seterusnya oleh masyarakat untuk menghadapi tantangan-tantangan milieu yang selalu berubah. Seperti pengembangan akal kanak-kanak di sekolah menyebabkan ia dapat mencipta alat-alat modern untuk mengatasi masalah kehidupan dan berupaya meuju kehidupan yang lebih baik dengan mencipta teknologi modern untuk menanggulangi masalah tersebut dan mencapai kehidupan yang lebih baik. Sebab pendidikan pendidikan merupakan alat yang diperlukan manusia untuk memelihara hidup dan mencapai kehidupan yang lebih baik. <br />Kalau begitu tujuan pendidikan itu mestilah selaras dengan tujuan hidup. Dan Islam telah menggariskan tujuan hidup manusia. Tujuan hidup dalam Islam berbeda dengan tujuan hidup golongan yang tidak bertuhan. Tujuan hidup golongan anti Tuhan ini digambarkan dalam firman Allah SWT :<br />“Mereka berkata tidak ada hidup kecuali hidup kita di dunia ini. Kita mati, kita hidup, tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa. Sedang mereka dalam hal ini tidak tahu apa-apa. Mereka hanyalah menyangka-nyangka” (Q: 45: 23). <br /><br />Tujuan pendidikan berdasar pada pandangan hidup seperti ini dengan tegas dinyatakan oleh John Dewey Mazhab; tokoh pragmatisme dalam filsafat, atau dalam pendidikan disebut progressivisma yang senantiasa mengukur sesuatu dari segi manfaatnya secara praktis dalam kehidupan (utilitarian), yakni :“ Since there is nothing to which is relative save more growth is nothing to which education is subordinate save more education. The education process has no end beyond itself – it its own end”. <br /> Sementara Islam menegaskan bahwa tujuan hidup seorang muslim adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT, sebagaimana firman Nya yang artinya : “Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka mengabdi kepada Ku (Q.51: 56 ). <br />Mengabdi atau Menyembah atau dalam istilah agama disebut “beribadah” dalam pengertianya yang luas berarti mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia menurut petunjuk Allah. Apakah sifat-sifat Allah itu ? Yaitu sifat dua puluh, tetapi diberi 99 nama dan disebut Al-Asma Al-Husna yaitu nama-nama Allah yang baik. Seperti : Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Quddus, Al-Hay, Al-Muhyi, Al’Alim, Al-Qadir, Al-Khaliq, Malik Al-Mulki, dan lain-lain lagi. <br />Mengembangkan sifat-sifat rabbany pada manusia itulah ibadah, dimana manusia harus pertama melaksanakan ibadah mahdhah; pengabdian yang langsung secara vertical berhubungan dengan Allah, seperti: mendirikan Shalat, dengan shalat manusia menjadi suci, dari segi rohani, fikiran dan jasmani, bahkan sebelum shalat pun sudah seharusnya seorang muslim mensucikan dirinya baik dari hadats kecil maupun besar, dan diupayakan meningkatkannya dengan pensucian diri pada aspek rohaninya. Dalam shalat tidak boleh dilakukan dengan pura-pura atau riya (Lihat QS. 107: 6). Selain dari itu Shalat juga sebagai upaya pensucian roh, manakala roh menjadi suci orang akan terhindar dari perbuatan jahat dan mungkar (lihat QS. 29: 45). Jadi dengan menunaikan sembahyang manusia menjadi suci dari segala segi, jadi ia mengembangkan pada dirinya salah satu sifat Allah, yaitu Maha Suci (Al-Quddus). Begitu juga dengan ibadah-ibadah mahdhah lainnya.<br />Selain Ibadah Mahdhah, adalagi pekerjaan mu’amalah yang diniatkan untuk mencapai redha Allah SWT, juga dianggap sebagai cabang ibadah-ibadah yang secara vertical memang tidak langsung berhubungan dengan Allah SWT, namun tujuan akhirnya merupakan pengabdian kepada Allah SWT, karena ditujukan untuk mencapai cinta dan reda Allah SWT. <br />Kelompok Ibadah ini, adalah semua pekerjaan yang tadinya hanya mubah, tapi karena ditujukan untuk mencapai redha dan cinta Allah, maka bernilai ibadah seperti bertani, bertukang, berdagang, mengajar, berumah tangga, menuntut ilmu, dan lain sebagainya asal dengan syarat pertama sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan Syariah, maka tentu sifat-sifat Tuhan yang banyak itu akan terus berkembang pada diri manusia dan ia semakin mendekati kesempurnaan. Seperti kata Al-Attas:<br />“ Man of Islam, Presupposes the emergence in him of a higher type man capable of lofty inspirations towards self-improvement-the self improvement that is no less than actualization of his latent power and capacity to become a perfect man. The man of Islam is a city dweller, a cosmopolitan, living a civilized life according to clearly defined foundations of social order and codes of conducts, is he to whom obedience of Divine Law endeavour towards realizing true justice and striving after right knowledge and cardinal virtues. The motive of conduct of such man is eternal blessesdness, entrance into a state of supreme peace” <br /><br />Tujuan hidup seorang Muslim yang digambarkan oleh Al-Attas di atas itu sebenarnya sama artinya dengan do’a yang selalu kita baca dalam tiap sembahyang yang artinya: “wahai Tuhanku, sesungguhnya sembahyang, ‘ibadah hajiku, hidupku dan matiku, semuanya adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian ‘alam,”<br />Tujuan hidup Muslim ini menjadi pula tujuan pendidikan di dunia Islam sepanjang sejarahnya, semenjak zaman Nabi saw sampai sekarang telah dirumuskan sebagai berikut: <br />“Education should Ain at balanced growth of the total personality of man through the training of Man’s spirit, intellect, the rational self, feelings and bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spirituals, intellectual, imaginative, physical, scientific, lingistic, both individually and collectively and motivate all these aspects towards goodness and the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large”. <br /><br />Tujuan pendidikan di atas dapat diterjemahkan secara operasional ke dalam syllabus dan mata pelajaran yang diajarkan di Madrasah dan Pondok Pesantren dan bahkan diberbagai tingkat pendidikan lainnya mulai dari lembaga pendidikan pra sekolah, lembaga pendidikan dasar, lembaga pendidikan menengah dan lembaga pendidikan tinggi, malah juga pada lembaga-lembaga pendidikan jalur luar sekolah, baik di rumah tangga atau pun di masyarakat dan lembaga kursus-kursus. <br />Muatan Program Dalam Kurikulum Madrasah dan Pondok Pesantren<br />Muatan Kurikulum adalah struktur program yang berisikan konsep-konsep pengetahuan yang akan diterima peserta didik selama menjalani proses pendidikannya di suatu lembaga pendidikan. <br />Konsepsi pngetahuan yang membuat adanya dikotomis ilmu pengetahuan adalah berasal dari pandangan barat tentang ilmu pengetahuan itu sendiri, yang semuanya berkisar pada kerangka berfikir mereka bahwa pengetahuan semata didapat lewat proses akal (acquired) tidak memberi tempat kepada wahyu Tuhan (revelation) sebagai sumber pengetahuan. Di sinilah letak perbedaan yang sangat mendasar antara pandangan Barat tentang ilmu pngetahuan dengan pandangan Islam.<br />Muatan kurikulum menjadi sangat urgen dibicarakan, untuk memberi jawaban tentang manusia yang dicita-citakan oleh pembuat kurikulum itu. <br />Pandangan Barat tentang ilmu pengetahuan, telah diwariskan oleh penjajah Belanda sehingga menjadikan muatan kurikulum kita terpilah menjadi ilmu pengatahuan umum (Mata Pelajaran Umum) dan Ilmu pengetahuan Agama ( Mata Pelajaran Agama). <br />Dalam al-Qur’an disebut bahwa agama Islam adalah agama fithrah. Firman Allah swt dalam al-Qur’an: <br />“ Hadapkanlah wajahmu kepada agama yang suci, yang merupakan “fithrah” Allah yang sesuai dengan kejadian manusia” (QS.Ar Ruum:30). <br />Ini berarti agama yang diturunkan oleh Allah melalui wahyu kepada nabi-nabinya adalah sesuai dengan fithrah atau sifat-sifat semula jadi manusia.<br />Dalam sebuah Hadits, sabda Nabi saw: <br />“ Tidak adalah bayi itu melainkan dilahirkan dengan fithrah. Sehingga maka ibu bapanya yang menjadikan ia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari). <br />Ini berarti bahwa manusia lahir dengan potensi yang kita kataka tadi sifat-sifat Tahun yang diberikan kepada manusia, yang tergambar dalam sifat dua puluh yang mempunyai 99 macam itu, termasuk ilmu, berkuasa, bercakap, kasih-sayang dan lain-lain. Sedang dalam ayat yang kita sebut di atas agama yang diturunkan melalui wahyu itu disebut juga fithrah. Jadi fithrah ibarat sebuah mata uang yang bermuka dua. Muka pertama disebut wahyu, dalam konteks Islam disebut al-Qur’an dan Sunnah, sedang muka yang kedua disebut akal, atau yang tergambar pada sifat-sifat Tuhan (Divine Attributes) yang berjumlah 99 itu. <br />Ibnu Khaldun juga membagi ilmu itu kepada dua golongan besar, yaitu ilmu aqal (akal) ilmu naqal (wahyu). Imam Al-Ghazali membagi ilmu kepada ladunni dan insani . Sedang al-Attas membaginya kepada: ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah . Sedang second world conference on Muslim education, membaginya kepada ilmu abadi (perennial) ilmu dicari (acquired) dengan akal. <br />Dalam Second World Conference on Muslim Education dinyatakan bahwa segala pengetahuan yang ada ini diklassifikasikan kepada dua macam menurut sumbernya, yaitu ilmu abadi dan ilmu dicari dengan akal dengan katanya :<br />“Planning of education to be based on the classification of knowledge into two categories :<br />a. “Perennial”knowledge derived from the qur’an and the sunnah meaning all sharia – oriented knowledge relevant and related to them, and<br />b. “Acquired” knowledge susceptible to quantitative growth and multiplication, limited variation and cross – cultural borrowings as long as consistency with the Sharia as the sources of value is maintained.” <br /><br />Pengetahuan perennial ; di terima melalui wahyu yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, sedang acquired ; diperoleh melalui imaginasi dan pengalaman indera. Hanya pengetahuan terakhir inilah yang kita pelajari dengan berdasarkan pandangan Barat dalam mempelajari Mata pelajaran Umum, sedang wahyu hanya di ajarkan pada Mata Pelajaran Agama dengan 7 pokok materi keislaman pada sekolah umum, dan dimadrasah Mata Pelajaran Agama dibagi ke dalam 5 Sub Mata Pelajaran Agama, pada hal menurut konsepsi Islam agar kurikulum itu bersifat Islam haruslah konsep Islam berpadu dengan mata pelajaran lain. <br />Strategi Pembelajaran Madrasah dan Pondok Pesantren<br />Strategi Pembelajaran, merupakan ujung tombak penerapan konsep-konsep dalam muatan kurikum, yang dalam kurikulum lembaga pendidikan di negara kita digambarkan dalam ‘rambu-rambu’ kurikum yang harus dipegang oleh seorang pendidik, dia menyangkut metodologi pengajaran , pengunaan media/ sumber pembelajaran dan penilaian proses pendidikan. <br />Pertama : metodologi; menyangkut pembicaraan bagaimana (how) mempelajari sesuatu, dengan kata lain bagaimana cara yang harus dikembangkan guru agar terjadi “proses belajar” (learning process) pada peserta didik.<br />Dalam istilah psikologi yang disebut “pelajar” (learner) adalah manusia yang belajar. Istilah belajar (learning) mempunyai berbagai teori. Ada teori S – R (stimulus – Response Theoty), teori Gestalt, teori lapangan (field theory),teori operant (operant theory) dan lain-lain sebagainya. Tentu jasa dalam ruang yang terbatas ini kita tidak diharapkan untuk menguraikan teori itu satu persatu. Tetapi yang dapat disimpulkan di sini bahwa teori-teori itu semua membuktikan bahwa “belajar” itu adalah suatu proses yang komplek, tidak sesederhana yang kita bayangkan. Tidak semudah memasukkan sampah dalam keranjang. <br />Dalam buku filsafat Pendidikan Islam dijelaskan bahwa metodologi mengajar dalam pendidikan Islam cukup kaya, terutama pada zaman keemasan Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang dibuktikan oleh filosof-filosof Islam ialah terkenal seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Maskawaih, al-Mawardi, Ibnu Sina, al-Gazali, Ibnu Rusyid, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Metode-metode pengajaran yang selalu kita dapati pada mereka misalnya adalah metode lingkaran (halaqah), metode mendengar, metode membaca, metode imla, metode hafalan, metode pemahaman, metode lawatan dan lain-lain lagi dengan harus mempertimbangkan suasana dan keadaan teknologi pada waktu dahulu itu. Metode imla (dictation) dan hafalan misalnya adalah perlu sekali pada waktu itu sebab belum ada percetakan dan Xerox seperti sekarang ini. Tentang metode halaqah (lingkaran) ternyata penemuan-penemuan psikologi mutakhir menunjukkan bahwa cara ini sangat effective kalau digunakan membahas suatu topik, sebab dalam bentuk lingkaran itu setiap peserta merasa setarap dengan peserta-peserta lain. Jadi sekatan-sekatan psikologi (psychological barrier) dihilangkan.<br />Media Pembelajaran ( Media Instuksional )<br />Penggunaan teknologi pendidikan (education technology) yang meliputi berbagai aspek seperti audio-visual material, teaching aids, dan lain-lain. Pendeknya meliputi segala hal yang akan membawa proses belajar-belajar bisa lebih effektif. <br />Media Instruksional, meliputi media audio, mdia visual, atau Audio Visual Aids dalam proses pembelajaran harus betul-betul dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada sekarang untuk memantapkan pelajaran itu. Jadi proses pembelajaran jangan hanya sekedar kuliah (lecture) tetapi segala macam audio visual digunakan, seperti slides, transparency charts, skenner, TV, radio, tape-recorder, dan lain-lain lagi. Namun dalam penggunaan berbagai pertama media ini haruslah dalam garisan bahwa media hanyalah alat untuk mencapai tujuan dan kedua alat untuk membangkitkan minat peserta didik agar terlibat aktif dalam proses mencapai tujuan yang telah ditetapkan.<br />Hal yang penting ditanamkan kepada peserta didik, bahwa manakala dia bersentuhan dengan produk sains dan teknologi modern, bahwa itu semua harus dapat dimanfaatkan untuk bagaimana meningkatkan kualitas usaha mencapai tujuan hidup untuk mengabdi kepada Allah SWT, dengan meniti dua jalur pertama pelaksanaan ibadah mahdhah atau jalur vertikal, kedua beribadah dengan memanfaatkan jalur horizontal, yakni dengan tujuan mengabdi kepada Allah SWT, sebanyak-banyaknya bisa mendatangkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kehidupan umat manusia dan makhluk Allah lainnya.<br />Penilaian <br />Aspek kurikulum pendidikan Islam yang paling banyak mendapat keritikan oleh pendidik-pendidik modern adalah aspek penilaian ini. Oleh sebab itu ada baiknya kita uraikan juga aspek ini, walaupun tumpuan pembicaraan kita barangkali pada fungsinya saja, sedang aspek-aspek lain akan kita sentuh sepintas lalu saja.<br />Penilaian sebenarnya berhubungan erat dengan tujuan pendidikan. Penilaian berusaha menentukan apakah tujuan pendidikan dicapai atau tidak. Misalnya kalau kita latih seorang menyetir mobil, maka penilaian adalah ujian menyetir yang kita berikan untuk mengetahui apakah orang tersebut sudah pandai menyetir ataukah belum. Kalau dia sudah tidak membuat kesalahan dalam starter, menekan minyak, memberi isyarat lampu berhenti dan lain-lain maka kita meluluskannya, sedang kalau masih membuat kesalahan, apalagi kalau ia melanggar tiang lampu, misalnya kita menggagalkannya. Dengan asumsi bahwa kalau ia tidak lagi membuat kesalahan, tentu dia akan selamat dan jalanan juga akan aman. Inilah salah satu fungsi penilaian, yaitu memilih (selection) orang-orang berdasar kesanggupannya untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Kalau tujuan pendidikan untuk mencari kerja maka hanya orang-orang yang mampu saja diluluskan memegang kerja itu, yang tidak jangan diberi atau dilatih lagi sampai ia sanggup.<br />Oleh sebab tujuan pendidikan Islam bukan sekedar mencari kerja, tetapi lebih-lebih adalah untuk berbakti kepada Allah, maka criteria yang dipakai juga harus berlainan, misalnya meletakkan kebijaksanaan (wisdom), budi mulia (virtue) dan lain-lain sebagai kriteria seleksi untuk memilih guru atau dosen atau lain-lain lagi. Sebab tanpa meletakkan criteria ini pendidikan Islam sendiri akan kehilangan ciri-cirinya yang khas. <br />Fungsi kedua dari pada penilaian adalah sebagai alat Penguatan (reinsforment) (reinforcement) bagi pelajar-pelajar. Yang saya maksudkan dengan Penguatan (reinsforment) adalah ganjaran bagi pekerjaan yang telah dilakukannya. Psikologi selalu berbicara tentang ganjaran untuk mengekalkan tingkahlaku yang diinginkan. Sebab kata ahli-ahli psikologi, pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk mengekalkan tingkahlaku yang baik (diinginkan) dan menghilangkan tingkahlaku yang baik (tidak diinginkan), Ganjaran itu ada bermacam-macam, ada yang bersifat material, seperti hadiah uang atau lain-lain, ada juga yang bersifat non-material seperti tepukan tangan sesudah orang berpidato, atau senyuman diberi kepada anak yang selalu dating tepat waktunya. Kata teori psikologi segala tingkahlaku yang dikuatkan (reinforced) akan tetap, jadi pendidikan mencapai tujuannya, sedang tingkahlaku yang tidak diteguhkan akan hilang. Ada juga yang mengatakan tidak meneguhkan tingkahlaku itu sama dengan menghukumnya (punishmentn). <br />Oleh sebab waktu bersekolah itu lama, yaitu enam tahun untuk Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi barulah selesai pendidikan formal , sedang pendidikan tidak formal berjalan terus sampai keliang lahat, maka haruslah waktu itu diselang-selingi dengan Penguatan (reinsforment) atau ganjaran. Sebab Penguatan (reinsforment) bisa menghibur hati. Sebenarnya ganjaran melalui penilaian ini juga berlaku dari bawah dan berlaku setiap hari. Tidak usah selalu bersifat formal, kadang-kadang merupakan pekerjaan rumah saja. Dapat menyelesaikan soal-soal aljabar saja, sudah menggembirakan hati, jadi merupakan Penguatan (reinsforment) atau ganjaran juga. Jadi penilaian yang baik adalah yang berulangkali dan terus menerus, sehingga hidup itu tidak membosankan. <br />Itulah dua aspek terpenting penilaian dalam pendidikan. Selanjutnya bagaimana mengislamkannya ? Sudah disebutkan di atas bahwa penilaian ini berhubungan erat dengan tujuan pendidikan. <br />Dengan kata lain penilaian itu pertama diadakan untuk menentukan apakah tujuan pendidikan tercapai atau tidak. Pencapaian tujuan pendidikan Islam mempunyai keistimewaan yaitu untuk menyembah dan berbakti kepada Allah sepanjang hayat maka kriteria penilaian juga harus berlainan dengan pendidikan dari falsafat-falsafah lain. Bukan sekedar lulus ujian saja, walaupun ini juga diharuskan , tetapi harus dimasukkan juga kebijaksanaan (wisdom) dan budi mulia (virtues) sebagai kriteria. Malah mungkin kriteria terakhir ini lebih penting dari yang pertama. Kedua penilai juga dapat difungsikan sebagai penguatan (reinsforment). Sebagai Penguatan (reinsforment), maka penilaian dalam pendidikan Islam tidak semestinya bersifat materialistis, artinya ganjaran materi itu jangan terlalu diutamakan, kalaupun dipergunakan harus ditunjukkan bahwa ia hanyalah sebagai alat bukan tujuan.<br />C. Kesimpulan <br />Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan haruslah dimulai dengan penghapusan dikotomis berbagai mata pelajaran di lembaga Pendidikan, dan yang paling tepat adalah lembaga pendidikan Islam Pesantren dan Madrasah yang melakukan terobosan awal, dengan langkah yang harus dilakukan adalah menyikapi secara serius penyusunan kurikulum lembaga pendidikan 2004 ini mulai dari tujuan , muatannya, metodologi, media pembelajaran dan penilaian. <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Al Bukhari, Abu abdillah bin Ismail, Sahih Bukhari, Ankara : Crescent Publishing House, 1976<br />Al Gazali, Ihya Ulum ad Din, Kairo, 1986<br /> Al Nu’umy, Al Manahij wa al Thuruq al Tadris inda Al Kabisi wa Ibn Khaldun, wajarah al Daulah, Lybia, 1973<br />Al Attas, Islam and Sucalirism, Muslim Youth Movemenn Of Malaysia, 1978 <br />Hasan Langgulung , Manusia dan Pendidikan; Analisis Psikologis dan Sosial; Pustaka Al Husna, 1988<br />_______________, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Al Ma’arif, Bandung, 1980 <br />_______________, Teori-teori Kesehatan Mental, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1990 <br />John Dewey, Democracy and Education, Mac Millan, London, 1916 <br />Omar At Toumy al Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam ( Terjemah : Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1976 <br />Second Word Confrence on Muslim Education, Under the Auspices of King Abdul Azis Univrsity & Quaidi Azam University, 15 th. To 20 th, Mach, 1980, IslamabadH. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-75530158881225308192008-12-15T19:51:00.000-08:002008-12-15T19:52:09.314-08:00PARADIGMA TAUHID ILMU DALAM KURIKULUM SISTEM PENDIDIKAN ISLAMPARADIGMA TAUHID ILMU DALAM KURIKULUM SISTEM PENDIDIKAN ISLAM<br />I. Pendahuluan<br />Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari orang lain. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama dalam berbagai bentuk komunikasi dan kundisi. Ia senantiasa melakukan interaksi, baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi dengan sesamanya, maupun interaksi dengan Tuhan; baik disengaja maupun tidak disengaja. Salah satu dari bentuk dari interaksi, khususnya interaksi manusia yang dilakukan secara disengaja dikenal satu istilah, pendidikan. Manusia sadar bahwa tampa pendidikan, perkembangan dan pertumbuhan potensi kemanusiaannya akan berjalan sangat lamban, bahkan mungkin tidak berkembang.<br />Secara operasional, proses pendidikan terjadi dengan melibatkan berbagai unsur dan senantiasa terkait dengan fenomena sosial lainnya. Oleh karenanya, pendidikan sering dipahami dari pendekatan sistemik sebagai sekumpulan komponen yang saling berhubungan dengan mencapai sasaran-sasaran umum tertentu1. dalam pengertian ini setidaknya sebuah sistem mengandung beberapa prinsip, di antaranya keterintegrasian, keteraturan, keutuhan, keterorganisasian, keterhubungan, dan ketergantungan antara komponen yang satu dengan komponen yang lain2.<br />Pendidikan sebagai baigian dari sistem sosial tidak terlepas juga dari hal tertentu. Pendidikan merupakan kegiatan yang melibatkan berbagai komponen yang berkaitan erat satu sama lainnya; di mana proses pendidikan dipahami sebagai interaksi antara komponen yang satu dengan yang lainnya guna mencapai tujuan pendidikan. Perpadoan ke-harmonisan dan keseimbangan serta interaksi unsur-unsur esensial pendidikan, pada tahap operasional dipandang sebagai faktor yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan.<br /><br />II. Kurikulum Sebagai Sub Sistem Pendidikan Islam/Muhammadiyah<br />Istilah pendidikan dalam konteks Islam telah banyak dikenal dengan mengunakan term yang beragam, yaitu al-tarbiyat, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Setiap term tersebut mempunyai makna dan pemahaman yang berbeda, walaupun dalam hal-hal tertentu, ia mempunyai kesamaan pengertian3. Pemakaian ketiga istilah tersebut, apalagi pengkajiannya dirujukan berdasarkan sumber pokok ajaran Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah), selain akan memberikan pemahaman yang luas tentang pengertian pendidikan Islam, secara substansial filosofis pun akan memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana sebenarnya hakikat dari pendidikan Islam tersebut.<br />Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan Muhammadiyah merupakan aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim, baik yang berkenaan dengan jasmani, rohani, akal maupun akhlak. Sistem pendidikan Islam adalam interaksi berbagai komponen pendidikan dalam menciptakan dan menyelenggarakan aktivitas bimbingan guna tercapainya kepribadian muslim. Proses sederhana yang menggabarkan interaksi unsur pendidikan dapat secara jelas dilihat dalam proses belajar yang dilakukan di lembagai pendidikan formal, tepatnya di kelas, yaitu manakala guru (ustadz) mengajarkan nilai-nilai ilmu dan keterampilan kepada murid, terjadilah apa yang dinamakan proses belajar.<br />Perlu ditegaskan di sini bahwa proses belajar walaupun diidentifikasi sebagai watak pokok proses pendidikan, tidak berarti menafikan cara dan usaha pendidikan lainnya seperti memberi dorongan, memberi contoh yang baik, memberi pujian, dan hukuman, ataupun yang lainnya.<br />Salah satu komponen operasional pendidikan dalam satu sistem adalah materi. Materi pendidikan adalah semua bahan pelajaran yang disampaikan kepada peserta didik. Materi pendidikan ini sering juga disebut dengan istilah kurikulum, karena kurikulum menunjukkan makna pada materi yang disusun secara sistematis guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan4.<br />Kurikulum dalam makna materi seperti yang dikemukankan di atas, sesungguhnya merupakan pandang tradisional yang masih dianut sampai sekarang (juga di Indonesia)5. Konsep dasar kurikulum sebenarnya dapat juga diartikan sebagai berikut: (1) Kurikulum sebagai program studi; (2) Kurikulum sebagai content; (3) Kurikulum sebagai kegiatan berencana; (4) Kurikulum sebagai hasil belajar; (5) Seperangkat tujuan yang utuh untuk memperoleh suatu hasil tertentu; (6) Kurikulum sebagi repro-duksi kultural; (7) Kurikulum sebagai pengalaman belajar; keseluruhan pengalaman belajar yang direncanakan di bawah pimpinan sekolah; dan (8) Kurikulum sebagai produksi6.<br /><br />III. Orientasi dan Isi Kurikulum Pendidikan Islam/Pendidikan Muhammadiyah<br />Inti dari materi pokok pendidikan Islam adalah bahan-bahan, aktivitas dan pengalaman yang mengandung unsur-unsur ketauhidan7. Al-Jamaly mengemukakan bahwa garis besar materi kurikulum dalam pendidikan Islam meliputi untutan untuk mematuhi hukum Allah, yaitu :<br />1. Larangan mempersekutukan Tuhan;<br />2. Berbuat baik kepada orang tua;<br />3. Memelihara, mendidik dan membimbing anak sebagai tanggung jawab terhadap amanah Allah;<br />4. Menjauhi perbuatan keji dalam bentuk sikap lahir dan batin;<br />5. Menyantuni anak yatim dan memelihara hartanya;<br />6. Tidak melakukan perbuatan di luar kemampuan;<br />7. Berlaku jujur dan adil ;<br />8. Menepati janji dan menunaikan perintah Allah;<br />9. Berpegang teguh pada ketentuan Allah.8<br /><br /><br /><br />Secara operasional kurikulum pendidikan Islam diarahkan kepada :<br />a. Orientasi Kurikulum pada Perkembangan Anak Didik<br />Orientasi pada anak didik dalam pengembangan kurikulum memberikan arahan dan pedoman pada setiap kurikulum untuk memenuhi kebutuhan anak didik yang disesuaikan dengan bakat, minat dan kemampuan. Tiap kurikulum harus memperhatikan anak didik berapa banyak perhatian itu bergantung pada kedudukan dan peranan yang diberikan kepadanya. Kurikulum hendaknya bersifat child-cen-tered dan memberikan peluang seluas-luasnya kepada anak didik untuk berkembang.<br />Berkaitan dengan itu, Crow And Crow menyarankan hubungan kurimkulum dengan anak didik sebagai berikut :<br />1. Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan keadaan perkembangan anak didik;<br />2. Isi kurikulum hendaknya mencakup keterampilan, pengetahuan dan sikap yang dapat digunakan anak didik dalam kehidupan;<br />3. Anak didik hendaknya didorong untuk belajar secara aktif dan tidak sekedar penerima pasif apa yang dilakukan oleh pendidik;<br />4. Sejauh mungkin apa yang dipelajari anak harus mengikuti minat dan keinginan anak didik yang sesuai dengan tarap perkembangannya.9 <br />b. Orientasi Kurikulum pada Lingkungan Sosial<br />Orientasi kurikulum diarahkan juga pada upaya positif dari lembaga pendidikan untuk memberikan konstribusi pada perkembangan sosial, sehingga output di lembaga pendidikan mampu menjawab dan mengejawantahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Orientasi kurikulum pada kebutuhan masyarakat dikembangkan dengan ciri-ciri sebagai berikut :<br />1. Memusatkan tujuan pendidikan pada perhatian dan kebutuhan masyarakat;<br />2. Mengunakan buku-buku dan sumber-sumber dari masyarakat sebanyak-banyaknya;<br />3. Menyusun kurikulum berdasarkan kehidupan manusia;<br />4. Memupuk jiwa pemimpin dalam lapangan kehidupan masyarakat;<br />5. Mendorong anak didik untuk aktif kerjasama dan saling mengenal arti sesama10<br />Dalam pandangan ini, kurikulum merupakan media ‘social engineering’ yang mengutamakan kepetingan sosial di atas kepentingan individu. Tujuannya adalah perubahan sosial atas tanggung jawab masyarakat.11 Kurikulum pendidikan Islam dengan mengacu pada orientasi tersebut dikembangkan dengan cara memuat berbagai materi pendidikan yang bernuansa kebutuhan masyarakat dan lingkungan.<br />c. Orientasi Kurikulum pada Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Kesenian<br />Ilmu pengetahuan senantiasa merupakan inti kurikulum. Anak-anak dikirim ke sekolah agar mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu pengetahuan merupakan warisan umat manusia yang ditumpuk selama berabad-abad dan masih terus akan dikembangkan selama manusia berada di permukaan bumi ini. Mempelajari ilmu pengetahuan berarti turut menikmati harta kekayaan umat manusia sambil meninkatkan kemampuan intelektual.<br />Ilmu pengetahuan yang disusun oleh para ahli dalam berbagai disiplin ilmu diajarkan di sekolah dalam bentuk mata pelajaran. Oleh karena itu, kuri-kulum pendidikan dikembangkan dengan memuat sejumlah mata pelajaran dari berbagai disiplin ilmu, baik berupa pengetahuan, humaniora, teknologi maupun kesenian.<br /><br />IV. Kurikulum Pendidikan Islam: Paradigma Ilmu Islami (Tauhid Ilmu/Integrasi Ilmu) dan Implementasinya<br />Dalam pemahaman lain, kurikulum pendidikan selalu terkait dengan sejumlah pengetahuan teoritis dan praktis. Hal ini dadasari oleh pengertian bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan diperlukan sejumlah pengetahuan atau ilmu.<br />Menurut al-Jundi, kurikulum pendidikan pada garis besarnya meliputi ilmu-ilmu bahasa dan agama, ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu pembantu seperti sejarah, geografi, sastra, syair, nahu, balaghah, filsafat dan logika12. Berdasarkan pembagian ilmu, kurikulum pendidikan Islam erat katannya dengan klasifikasi tersebut.<br /> Al-Farabi mengklasifikasikan ilmu menjadi empat kelompok, yaitu : (1) Bahasa, terdiri atas : pengetahuan bahasa, tata bahasa, dikte, latihan, dan prosa; (2) Logika, terdiri atas : kategorisasi, premis mayor dan minor, kesimpulan, definisi, retorika, syair dan logika sofistik; (3) Matematika, terdiri atas : ilmu hitung, geometri, optika, astronomi, musik dan mekanika; (4) Ilmu pengetahuan alam dan metafisika terdiri atas fisika dan metafisika; dan (5) Ilmu kemasyarakatan (sosial) terdiri atas : fiqh dan ilmu kalam.13<br />Filosof muslim al-Ghazali memberikan garis besar rumusan kurikulum pendidikan Islam dalam empat kelompok, yakni 1) Ilmu-ilmu yang wajib dipelajari orang-perorangan (fardhu ‘ain), seperti ulum al-Qur’an, ulum al-hadits, fiqh dan tafsir; 2) Ilmu yang berguna bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia (fardhu ‘kifayat) seperti ilmu kedokteran, matematika, teknologi, politik dan lainnya; 3) Ilmu yang tergolong ilmu penunjang (sunat) seperti tata bahasa dan cabangnya; 4) Ilmu yang berkatan dengan kebudayaan seperti kesusastraan, sejarah dan cabang-cabang filsafat, (mubah). Selain dari keempat macam tersebut, ada lagi macam ilmu yang terlarang mempelajarinya, yaitu ilmu sihir.14<br />Secara prinsipil kurikulum pendidikan Islam tak terlepas dari keterkaitannya dengan dasar dan tujuan pendidikan Islam. Beberapa bagian materi kurikulum dapat saja dikembangkan sesuai dengan tuntuntan zaman dan lingkungan hidup manusia, tetapi dipertimbangkan bahwa kurikulum pendidikan Islam harus terkait secara substantif dengan tujuan pendidikan Islam.<br />Untuk mencapai tujuan dan sasaran terakhir pendidikan, dalam Konferensi Pendidikan Islam Pertama Sedunia, kurikulum pendidikan Islam dikembangkan dengan dasar pengetahuan yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu :<br />a. “Pengetahuan Abadi” yang diberikan didasarkan pada wahyu Ilahi yang diturunkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, dan semua yang dapat ditarik dari keduanya dengan tekanan pada bahasa Arab sebagai kunci untuk memahami keduanya.<br />b. “Pengetahuan yang diperoleh” termasuk ilmu-ilmu sosial, alam dan tarapan yang rentan terhadap pertumbuhan kuantitatif dan pelipatgandaan. Variasi terbatas dengan pinjaman lintas budaya dipertahankan sejauh sesuai dengan syariah sebagai sumber nilai.15<br />Dari dua kelompok pengetahuan tersebut, maka disusun kurikulum dan silabus sebagai berikut :<br />1. Kurikulum dan Silabus: “Pengetahuan abadi” yang diberikan<br />a. Kajian tentang kitab suci al-Qur’an dan al-Sunnah;<br />b. Studi fuqh (hukum Islam);<br />c. Studi syariah;<br />d. Kebudayaan Islam;<br />e. Studi naskah-naskah langka;<br />f. Bahasa-bahasa.<br />2. Kurikulum dan Silabus: “Pengetahuan yang diperoleh”<br />a. Sastra;<br />b. Seni dan keterampilan;<br />c. Ilmu-ilmu sosial; (1) Pembuatan indeks bibliografi untuk ilmu-ilmu sosial; (2) Studi-studi perbandingan; dan (3) Persiapan wnsi-klopedi yang mulai ditangani;<br />d. Ilmu-ilmu terapan.<br />Kurikulum pendidikan Islam pada dasarnya merupakan refleksi paradigma pengetahuan menurut Islam.secara mendasar akan meliputi dua kebutuhan dasar manusia yakni yang berorientasi pada kebutuhan material dan yang berorientasi kebutuhan spiritual. Kedua kebutuhan ini bagaimanapun tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam. Oleh karenanya, dikotomi ilmu pengetahuan yang demikian nampak dalam sejumlah realitas penyelenggaraan pendidikan Islam dewasa ini, harus mulai dibenahi.<br />Dalam konteks ini, perlu ditelaah kembali hal-hal mendasar berkenaan dengan pandangan ‘Islam’ terhadap ilmu pengetahuan. Pengetahuan (ilmu) pada dasarnya merupakan sejumlah pengalaman atau ‘yang akan menjadi’ pengalaman (propan dan sakral) yang diberi oleh Kemurahan Khalik kepada manusia, melalui suatu yang diverbalkan (qauliyat Qur’aniyat), maupun sesuatu yang dinyatakan (kauniyat). Dalam Islam, pengetahuan diidentifikasi bersumber dari dua hal pokok yang berakar pada kemurahan Allah, yaitu :<br />(a) Wahwu Ilahi yang mengandung ajaran Allah;<br />(b) Intelek manusia dan perangkatnya yang tetap berada dalam hubungan timbal balik dengan alam semesta pada tingkat pengamatan, kontemplasi, percobaan, dan penerapan. Manusia bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya sejauh ia tetap berada dalam kondisi yang sepenuhnya mentaati al-Qur’an dan al-Sunnah.<br />Melalui optimalisasi peran akal, keduanya dikembangkan secara induktif dan deduktif untuk menghasilkan tiori-teori yang dapat dikembangkan menjadi disiplin ilmu pengetahuan mandiri. Metodologi studi Islam diperankan sebagai media untuk menterjemahkan pesan qauliyat/Qur’aniyat dan kauniyat, sehingga melahirkan ilmu Islami yang orsinal. Secara umum paradigma tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Akhirnya, perlu ditegaskan kembali di sini bahwa diperlukan kembali restrukturisasi pada kerangka dasar sejumlah pengetahuan yang selama ini menjadi contet dari kurikulum pendidikan Islam. Ilmu-ilmu Islam yang lahir melalui metodologi studi Islam yang komprehensif dan integral dari paradigma tauhidullah seperti yang dijelaskan di atas perlu menjadi central pengetahuan (core kurikulum) yang harus dimiliki oleh anak didik dalam proses pendidikan Islam (Muhammadiyah).<br />Selanjutnya dengan mempertimbangkan orientasi kurikulum dan prinsip integralisasi, sistematik, ekologik dan fleksibilitas, kurikulum disusun dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, paling tidak memenuhi beberapa hal mendasar sebagai berikut :<br /><br />- Mteri kurikulum harus merupakan integtasi ilmu (Tauhid Ilmu/Ilmu Islam)<br />- Materi yang disusun tidak menyalahi fitrah manusia;<br />- Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam (pendidikan Muhammadiyah), yaitu sebagai upaya dalam rangka ibadah kepada Allah;<br />- Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia anak didik;<br />- Perlunya membawa anak didik kepada objek emperis, sehingga anak didik mempunyai keterampilan-keterampilan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyaraka, dan dapat mencari penghidupan yang layak; Materi yang diajarkan tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis;<br />- Adanya penyusunan kurikulum yang integral, terorganisasi, dan terlepas dari segala kontradiksi antara materi satu dengan materi lainnya;<br />- Materi yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah aktual;<br />- Adanya metode yang mampu menghantarkan tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan perbedaan masing-masing individu;<br />- Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan anak didik dan aspek-aspek sosial dan mempunyai pengaruh positif serta pragmatis;<br />- Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah;<br />- Memperhatikan pendidikan kejuruan untuk mencari penghidupan dan adanya ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain;<br />- Setiap jenis dan jenjang pendidikan dalam perguruan Muhammadiyah harus mengandung muatan yang bersifat Tauhid Ilmu (Integrasi Ilmu Islami), sehingga ilmu apa saja yang dikembangkan selalu berorientasi pada ajaran Islam (pengembangan Ilmu Islam).<br /><br />DAFTAR KEPUSTAKAAN<br /><br /><br />1. Winardi, Teori Sistem dan Analisa Sistem, Jakarta: Karya Nusantara, 1980.<br /><br />2. Rusadi Kantaprawira, Pendidikan Sistem dalam Ilmu Sosial: Aplikasi dalam Meninjau Kehidupan Politik Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1987.<br /><br />3. Muhaimin, et. al, Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung : Trigenda Karya, 1993.<br /><br />4. Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep Perkembangan Pemikirannya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.<br /><br />5. Muhammad Fadhil al-Jamaly, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an, ter. Zainul Abidin Ahmad, Jakarta: Pepara, 1981.<br /><br />6. Suntari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: FIP-IKIP, 1986.<br /><br />7. S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Cutra Aditya Bakti, 1993.<br /><br />8. Al-Jundi, Anwar, Al-Islam ‘ala Masyarif al-Qurn al-Khamis “asyr, Al-Qahirat: Mathbaat Zahran, 1973.<br /><br />9. Muhammad Munir Mursyi, At-Tarbiyat al-Islamiyat: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arab, Alam al-Kitab, Kahirat, 1982.<br /><br />10. Rekomendasi umum pada konferensi pendidikan muslim yang pertama pada Pengelompokkan Pengetahuan dan Sistem Ilmu.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-53492031160022787972008-12-15T19:36:00.000-08:002008-12-15T19:37:49.882-08:00PERANAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM MENGATASI JUVENILE DELIQUENCYPERANAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM MENGATASI JUVENILE DELIQUENCY *) <br />Oleh : Drs. Munadi <br /><br />A. Pendahuluan<br />Pada awalnya juvenile delinquency diartikan sebagai kenakalan anak-anak, namun manakala masyarakat merasakan dampak negatif yang ditimbulkannya, maka timbul kesimpang siuran dalam mengartikan juvenile delinquency tersebut, sebab rata-rata pelakunya adalah para remaja yang tentu dilihat dari umur, sudah tidak bisa lagi disebut sebagai anak-anak.<br />Pergeseran pengertian juvenile delinquency, dari kenakalan anak menjadi kenakalan remaja, dapat dipahami karena para delinkuen kebanyakan bukan anak-anak, tapi para remaja, walau dalam praktik hukum di pengadilan dianggap termasuk yurisdiksi pengadilan anak (‘Juvenile Court).<br />Terlepas dari adanya kerancuan pengertian tersebut, yang jelas dambaan seluruh masyarakat pada dasarnya sama, yaitu terciptanya kehidupan yang damai, untuk menciptakan kedamian itu diperlukan adanya norma-norma/ hukum/ aturan. Untuk menegakkan hukum/ norma/ aturan dalam kehidupan diperlukan adanya kesadaran berperilaku sesuai dengan norma/ hukum/ aturan yang berlaku bagi anggota masyarakat itu. <br /> Sehubungan dengan hal tersebut dikatakan bahwa <br />“ tempat dari kesadaran hukum adalah sebagai perantara atau mediator antara hukum dengan perilaku manusia. Hukum, baik sebagai kaidah maupun perilaku yang ajeg atau unik, mempunyai tujuan agar kehidupan manusia dalam masyarakat berlangsung dalam keadaan damai. Kedamaian tersebut akan tercapai dengan mengusahakan, agar hukum itu dipatuhi”. <br /><br />Perbuatan para delinkuen bukan hanya berakibat negatif pada pelaku, tapi lebih jauh lagi perbuatan melawan hukum/ norma/ tata aturan yang ada di masyarakat, yang dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai bentuk ‘kejahatan’ yang telah merusak kedamaian hidup dan kehidupan masyarakat tersebut, sehingga adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh semua orang sebagai anggota masyarakat untuk mengupayakan bagaimana tindak delinkuensi ini bisa ditekan dan bahkan kalau bisa hilang sama sekali.<br />Dalam makalah ini akan dikemukakan salah satu alternatif upaya bagaimana tindak delinkuensi ini bisa ditekan dan dieleminir, dengan memanfaatkan pendekatan moral dan pemahaman ajaran Agama Islam, melalui integralisasi keyakinan dan internalisasi nilai-nilai akhlak dalam pendidikan agama Islam.<br />B. Juvenile Delinquency sebagai sebuah kejahatan<br />DR.Soerjono Soekanto,SH,MA menyebutkan bahwa :<br />“ Juvenile Delinquency adalah tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dilakukan oleh anak, khususnya remaja. “ <br /><br />Senada dengan hal ini menurut Drs. Bimo Walgito bahwa suatu perbuatan itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup, atau suatu perbuatan yang anti sosial di mana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif, karenanya ada yang mengatakan bahwa termasuk dalam pengertian ‘Juvenile Delinquency’ adalah anak-anak terlantar yang membutuhkan bantuan, pengemis dan gelandangan. <br />Dari sudut pandang hukum positif, pemahaman pengetian juvenile delinquency, adalah bahwa :<br />1. ‘Juvenile Delinquency’ berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh anak-anak remaja<br />2. ‘Juvenile Delinquency’ itu adalah offenders (pelaku pelanggaran) yang terdiri dari anak (berumur di bawah 21 tahun = pubertas), yang termasuk yurisdiksi pengadilan anak (‘Juvenile Court). <br /><br />yang secara langsung akan berefek pada pemberian sanksi hukum kepada para delikuen tersebut.<br />Terlepas dari pengertian yang bertalian erat dengan hukum positif, para pakar psikologi telah mengklasifikasi penempatan perorangan berdasarkan interval umur, sbb. :<br />“ Pra Pubertas :<br /> Wanita : 10,5 – 13 tahun<br /> Laki-laki : 12 - 14 tahun<br /> Pubertas :<br /> Wanita : 13 – 15,5 tahun<br /> Laki-laki : 14 - 16 tahun<br /> Krisis Remaja :<br /> Wanita : 15,5 – 16,5 tahun<br /> Laki-laki : 16 - 17 tahun<br /> Adolesen :<br /> Wanita : 16,5 – 17 tahun<br /> Laki-laki : 17 - 21 tahun <br /><br />Kebanyakan para delinkuen adalah mereka yang berdasarkan usia kronologisnya berada pada rentang/ interval umur remaja, maka sebagian pakar menganggapnya bukan lagi kenakalan tapi sudah merupakan kejahatan. Karenanya menurut Prof.Dr. Fuad Hasan : Juvenile Delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan. <br />Dari peralihan pemahaman pengertian ‘kenakalan’ kepada pengertian ‘kejahatan’ ini, dimungkinkan akan memberikan efek yang berbeda terhadap kemungkinan tindakan yang akan dilakukan untuk mengelemenir tindakan delikuen sampai ketitik nadir.<br />C. Berbagai Penyebab Tindakan Delikuen<br />Penyebab timbulnya juvenile delinquency (kenakalan remaja), antara lain:<br />1. Masalah yang datang dari Lingkungan Keluarga <br />Keluarga merupakan lingkungan pertama dan paling utama dalam membentuk jiwa dan kepribadian anak. Keluarga yang baik tentu akan sangat menguntungkan bagi pembentukan jiwa dan kepribadian, sementara keadaan keluarga yang jelek akan sangat tidak menguntungkan bagi pembentukan jiwa dan kepribadian anak.<br />Kedaan keluarga yang memberi efek negatif bagi pembentukan dan perkembangan pribadi anak, biasanya adalah disintegrasi di dalam keluarga , yang dapat disebabkan oleh :<br />a. broken home; struktur keluarga yang tak lengkap, seperti ada yang meninggal dunia, bercerai atau ada yang tidak bisa hadir di tengah keluarga dalam rentang waktu yang cukup panjang, atau <br />b. quasi broken home; kedua orang tua yang terlalu sibuk dengan tugas dan pekerjaannya, sehingga kesempatan memperhatikan anak sangatlah kurang.<br />Pada dua penyebab di atas, perbuatan deliquent dapat muncul yang dilatar belakangi oleh tidak diterimanya kasih sayang yang penuh oleh sang anak, sehingga dia menyalurkan keinginan tersebut dengan berbagai cara dan kesempatan, manakala itu juga tidak terpuaskan, maka ia akan mewujudkannya dalam bentuk tindakan lain, yang kadang kala termasuk dalam perbuatan deliquent yang merugikan.<br />2. Masalah yang datang dari Lembaga Pendidikan Formal<br />Secara umum, upaya yang dilakukan oleh sekolah adalah dalam rangka membentuk kepribadian yang utuh bagi para peserta didiknya, namun tidaklah dapat dimungkiri di sekolah juga sering dapat menbentuk anak (tentu relatif kecil) untuk menjadi delikuen. <br />Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya delikuen bagi peserta didik, adalah :<br />a. Pengaruh Teman<br />Dalam keseharian anak senantiasa berinteraksi dengan teman-temannya, dan karena memang tidak semua anak yang berada di sekolah sudah baik prilakunya, sehingga hal yang tidak dapat dimungkiri sering akan membawa pengaruh negatip bagi kepribadian anak. <br />Besarnya pengaruh teman ini dapat dibuktikan dengan adanya perilaku seperti rasa senasib sepenanggungan yang diakui tingkat solidaritasnya sangat tinggi, namun berkembang ke arah negatif dan delikuen, yaitu rasa solider ‘membela teman’ yang berkembang ke arah pembelaan yang tidak mau melihat yang ‘salah’, maka terjadilah fenomena baru saling keroyok antar kelompok di suatu sekolah dan bahkan antar sekolah. Dan bahkan bisa menimbulkan gejala distorsi moral lainnya seperti perilaku terlalu bebas, sangat berani membantah, tidak tetap pendirian dan bahkan mudah putus asa.<br />b. Tindakan tenaga pendidik<br />Tidak dapat dimungkiri ditengah sekian banyak pendidik yang profesional, ada segelintir pendidik yang tidak/ belum profesional, yang tindakan kadang kala dapat membuat anak putus asa, seperti menghukum tidak didasarkan atas dasar pendangan ‘harus mendidik’, memperlakukan anak yang bersalah seperti seorang pesakitan, jarang masuk mengajar dan lain sebagainya, akan mengundang jiwa anak untuk menantang dan melanggar disiplin yang berlaku, dan ini kalau tidak teratasi dengan cepat bisa mengarah dan berkembang ke tindakan-tindakan delikuen.<br />c. Lingkungan Sekolah<br />Keadaan lingkungan sekolah yang kurang nyaman, ditambah lagi dengan kegiatan yang sangat padat tapi tidak dikemas dalam bentuk menyenangkan, menyebabkan anak merasa tidak betah bahkan merasa tidak aman berada di sekolah, ini sering menyebabkan anak mau secepatnya tidak berada di sekolah, yang menyebabkan terjadinya anak yang membolos, yang akhirnya dapat mengundang tindakan deliquen.<br />3. Masalah yang datang dari Masyarakat<br />Perkembangan iptek dan kemodernan tata kehidupan, telah memberi pengarus pada akselarasi perubahan sosial, yang ditandai dengan berbagai peristiwa yang dapat menimbulkan ketegangan jiwa, seperti persaingan perekonomian, ketenaga kerjaan, berita media massa, ketimpangan sosial dan lain-lain.<br />Ketegangan-ketegangan yang terjadi di masyarakat, akan banyak mempengaruhi kejiwaan para remaja, seperti adanya yang merasa rendah diri atau direndahkan, dsb., yang mengundang lahirnya tindakan-tindakan delikuen.<br />Berbagai Wujud tindakan delikuen yang sering dilakukan oleh para remaja, antara lain : Kejahatan dengan kekerasan, Pembunuhan, Pencurian, Penggelapan, Penipuan, Pemerasan, Gelandangan, Penggunaan Narkoba, dll.<br />D. Pendidikan Agama sebagai Pilihan Alternatif<br />Untuk membantu anak remaja dalam mengendalikan diri dan membentuk kepribadian mereka, maka pada saat mereka menginjak usia remaja, dengan krisis kejiwaan yang mereka hadapi, maka diperlukan adanya didikan agama yang lebih intens kepada mereka.<br />Yang paling urgen dalam pendidikan agama disini bukanlah pelajaran agama yang diberikan secara sengaja dan teratur oleh guru sekolah saja. Akan tetapi adalah penanaman jiwa agama secara benar yang dimulai dari rumah tangga – dilanjutkan oleh sekolah – dan masyarakat, sebagai upaya terpadu bagi pembentukan sifat dan sikap yang baik bagi anak.<br />Jika tidak dikenalkannya si anak akan jiwa agama yang benar, akan lemahlah hati nuraninya (super ego), karena kosong dari nilai-nilai yang baik. Jika hati nuraninya lemah, atau unsur pengontrol dalam diri si anak kosong dari nilai-nilai yang baik, maka sudah barang tentu akan mudah mereka terperosok ke dalam kelakuan-kelakuan yang tidak baik dan menurutkan apa yang menyenangkannya waktu itu saja, tanpa memikirkan akibat selanjutnya. <br />Untuk mengisi nurani anak dengan nilai-nilai yang baik, yang dapat mewujudkan sifat dan sikap yang baik pada anak, maka ada dua peran utama dari pendidikan agama, yakni pertama melakukan integralisasi keimanan sebagai dasar tumbuh dan berkembangnya kesehatan mental, dan kedua internalisasi akhlak melalui pembiasaan. <br />Integralisasi Keimanan<br />Banyak kemungkinan upaya yang dapat dilakukan dalam upaya bagaimana mengeleminir munculnya tindakan delinkuen di kalangan remaja, yang salah satunya yang dimungkinkan adalah menumbuh kembangkan kesadaran beragama lewat Pendidikan Agama Islam. Dan diakui bahwa azas umum penanggulangan kejahatan, yaitu :<br />“ Satu : Cara Moralis, dilaksanakan dengan penyebar luasan ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat menekan nafsu untuk berbuat kejahatan.<br />Dua : Cara abolisionistis, berusaha memberantas, menanggulangi kejahatan dengan sebab musababnya, umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan ekonomi (kemelaran) meruapakan salah satu penyebab kejahatan, maka usaha untuk mencapai tujuan dalam menguranhgi kejahatan yang disebabkan faktor ekonomi merupakan cara abolisionis.” <br /><br />Pada masa adolesen (antara 13-21 tahun) anak-anak sedang mengalami goncangan jiwa, manakala jiwa mereka tertekan dan mengalami ketegangan, sering mereka tidak mampu lagi mengendalikannya secara stabil, maka sering tindakan delikulen dimunculkan dalam perilaku sebagai wujud penyaluran goncangan jiwa tadi.<br />Masalah kesehatan / ketenangan jiwa adalah masalah erat kaitannya dengan masalah supra logis, yaitu keimanan dan kepercayaan yang merupakan awal beragamanya seseorang.<br />Keimanan dan kepercayaan ini menjadi integral dari kepribadian, asal bukan pengakuan di lisan semata, sebab penyelewengan-penyelewengan yang datangnya dari orang-orang yang mengaku ber Tuhan itu karena kurang tertanamnya jiwa agama (mental religius) dalam kepribadiannya . Pengakuan yang berlawanan dengan keadaan yang sesungguhnya, akan mengakibatkan terganggunya kesehatan mentalnya dan dapat mempengaruhi kelakuan dan sikapnya dalam hidup, bahkan akan mempengaruhi kesehatan badannya. <br />Disamping itu, ada beberapa alasan lain mengapa kesadaran beragama dijadikan alasan untuk mengeleminir munculnya tindakan delikuen di kalangan remaja , yakni : pertama dengan kesadaran yang dilandasi keyakinan yang benar dan tinggi terhadap suatu agama, maka pemeluknya akan mempunyai tempat menyalurkan tekanan-tekanan yang menimpa jiwanya kepada Tuhan yang diyakininya, hal ini selaras dengan apa yang dikemukan oleh Harun Nasution, bahwa agama merupakan pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi. Kedua agama merupakan suatu sistem tingkah laku ( code of conduct ), yang memungkinkan pemeluknya yang punya kesadaran beragama tinggi, lebih memilih taat pada agamanya ketimbang melakukan tindakan delikuen. Ketiga, kemungkinan timbulnya rasa takut bersalah dan senantiasa diawasi oleh Tuhan, akan menghindarkan pemeluk agama untuk melakukan perbuatan delikuen. Keempat, kepercayaan akan meredam dan menghilangkan kelabilan dan kegelisahan jiwa, serta mendatangkan ketenangan. Jika ini didapatkan tentu orang tidak akan pernah melakukan tindakan delikulen.<br />Hal demikian dapat dipahami karena memang agama adalah hubungan manusia dengan suatu kekuatan suci yang lebih tinggi dari dia, darimana ia merasa tergantung dan berusaha mendekatinya. . Apalagi bagi anak-anak yang sedang tumbuh, agama mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu untuk penenang jiwa. .<br />Dengan tingginya kesadaran beragama (yang dilandasi keyakinan) akan menjadikan pemeluknya hidup dengan rukun bersama dengan manusia lain, sebab dalam ajaran agama tidak ada perintah saling membenci, apalagi mengganggu hak-hak orang lain. Tetapi perintah Tuhan itu adalah untuk kasih mengasihi, sayang menyayangi dan cinta mencintai, karena sesuai dengan kodrat dalam diri manusia itu ada rasa cinta dan rasa kasih. Dari dalam pergaulan hidup itu harus menunjukkan adanya kemanusiaan yang adil dan beradab bukan kemanusiaan yang penuh kedhaliman/ kejahatan dan kebiadaban. <br />Kebutuhan tertinggi manusia akan agama adalah menemukan dimensi kebenaran Tuhan Yang Satu, dan upaya menemukan dimensi kebenaran Tuhan Yang Satu ini adalah merupakan puncak penemuan akan kebutuhan agama pada seseorang. Dan upaya ke arah ini harus melalui jalan supra logis yang berada pada dataran atas dari kemampuan akal dan intelektual.<br />Kemampuan akal tentu saja tetap digunakan untuk “membantu” upaya pencapaian ke arah dimensi kebenaran Tuhan Yang Satu ini, sebagai sarana untuk melihat tanda-tanda ciptaan Nya yang membuktikan adanya Dia sang Pencipta, namun pada akhirnya yang bekerja menentukan keputusan, pilihan dan cara tindak, semuanya ditentukan oleh emosi, perasaan dan nilai. Tujuan dan fungsi berfikir adalah untuk melayani manusia, tetapi perasaan atau intuisi kitalah yang merupakan hakim yang paling baik atas keefektifan pelayanan itu, karenanya pendidikan agama, utama pada aspek yang menyangkut keyakinan harus dapat menghidupkan kerja dhamir atau intuisi ini, sehingga agama dihayati dengan penuh keyakinan.<br />Jadi untuk menghindarkan para remaja melakukan tindakan delinkuen, maka Pendidikan Agama harus dapat mengintegrasikan keyakinan yang mantap dalam pembentukan kepribadian para remaja, sehingga mereka dapat memperoleh kesehatan mental, sehingga bukan hanya akan mudah membina dan membiasakan sifat dan sikap yang baik, tapi secara langsung akan mampu menghindarkan mereka dari tindakan delenkuen.<br />Internalisasi Nilai-nilai Akhlak<br />Bagian pendidikan agama lainnya yang sangat penting dalam upaya menanggulangi dan menghindarkan para remaja dari tindakan-tindakan delinkuen adalah proses internalisasi nilai-nilai akhlak, dengan mengutamakan nilai-nilai keislaman, dan tentu dengan tidak menyisihkan dimensi kultural dan aspek tradisional yang tidak berlawanan secara prinsipil dengan ajaran agama Islam.<br />Secara moralistik, internalisasi nilai-nilai akhlak merupakan salah satu cara untuk membentuk mental manusia agar memiliki pribadi yang bermoral; berbudi pkerti luhur; dan bersusila, yang berarti pula adalah cara yang paling tepat untuk membina mental dan kepribadian anak remaja.<br />Internalisasi nilai-nilai akhlak Islami, merupakan cara yang tepat untuk membina sikap mental dan kepribadian remaja khususnya dan manusia pada umumnya, ke arah sikap mental dan kepribadian yang Islami; sesuai tuntunan al Qur’an dan as Sunnah, diharapkan dari titik ini, para remaja akan terhindar dari hal-hal yang dapat menghambat perkembangan mentalnya dan melakukan tindakan-tindakan negatif dan delinkuen.<br />Media yang dapat digunakan yakni lewat contoh-contoh, latihan-latihan dan praktek nyata yang dilakukan oleh orang tua mereka di dalam lingkungan keluarga; oleh para pendidik di sekolah dan oleh anggota masyarakat di lingkungan sekitar mereka.<br />Diantara nilai-nilai yang harus diinternalisasikan kepada mereka adalah nilai-nilai kejujuran, kasih sayang dengan segala cakupan nilai positifnya, tidak berlebih-lebihan, menghormati orang tua, taat pada syari’at agama, memelihara kesucian diri, bertakwa dengan segala perwujudannya, dan sikap senantiasa mendahulukan kepentingan orang lain dan kemaslahatan yang lebih besar dari pada mementingkan diri sendiri dan kepentingan sesaat.<br />Untuk itu pendidikan agama harus dilaksanakan dengan mengacu pada ‘metode terpadu’ yaitu ; pertama menekankan pengembangan pola berfikir ilmiah, di mana peserta didik diajak untuk senantiasa terbiasa berfikir deduktif, induktif, kausalitas dan berfikir kritis terhadap sesuatu hal yang mereka pelajari, kedua menyeimbangkan dengan pelatihan dan keharusan melaksanakan ketentuan doktrin spritual dan norma peribadatan. Ketiga mempolakan dukungan lingkungan sekolah dengan semua tenaga kependidikan untuk menumbuhkan kesadaran beragama di kalangan anak didiknya, termasuk penerapan norma-norma agama dalam lingkungan pergaulan antar civitas sekolah. <br />E. Penutup<br />1. Juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan anak remaja yang dapat disebut sebagai tindak kejahatan, bukan dianggap sebagai sebuah kenakalan.<br />2. Diantara penyebab timbulnya juvenile delinquency adalah:<br />a. Masalah yang datang dari Lingkungan Keluarga yang disintegrasi, seperti broken home dan quasi broken home <br />b. Masalah yang datang dari Lingkungan Sekolah, akibat adanya pengaruh teman, kesalahan tindakan mendidik dan ketidak mampuan lembaga sekolah memberi rasa aman dan menyenangkan.<br />c. Masalah yang datang dari Lingkungan Masyarakat, berupa hal-hal yang dapat mendatangkan ketegangan jiwa.<br />3. Juvenile delinquency dapat dielemenir munculnya dengan salah satu alternatif yang dapat dilakukan, yaitu dengan meningkatkan peran pendidikan agama, utama sekali dengan menekankan integralisasi keimanan dan internalisasi nilai akhlak.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br />Basyir, Ahmad Azhar, Manusia Kebenaran Agama dan Toleransi, Jakarta : Perpustakaan Pusat UI,1982 <br />Bono, De , Pelajaran berfikir, Jakarta : Erlangga, 1990<br />Charlis, Sehaefer, Bagaimana Mempengaruhi Anak Pegangan Praktis Bagi Orang Tua, Dahara Priza, 1989 <br />Dahlan, M.D.,Prinsip-prinsip dan teknik Belajar : Analisa Terbentuknya Tingkah Laku, FIP Bandung, : FKIP – Jur.BP, 1979 <br />Daradjat, Zakiah , Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/ mental ,Jilid I, Jakarta : Bulan Bintang, 1974 <br />__________________,Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1976 <br />__________________,Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, Jakarta : Bulan Bintang , 1982 <br />Dirdjosiswoyo, Soejono, Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Alumni, 1983 <br />Monk, FJ.,et All.,Psikologi Perkembangan, Jogjakarta : UGM Press, 1982 <br />Nasution, Harun , Islam di Tinjau dari Beberapa Aspek, Jakarta : Universitas Indonesia, 1988<br />Simanjuntak, B., Latar Belakang Kenakalan Anak – Etimologi Juvenile, Jakarta : Aksara Baru, 1984 <br />______________, Pengantar Kriminologi dan sosiologi, Jakarta : Aksara Baru, 1984 <br />Soekanto, Soerjono ., Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta :Rajawali, 1983 <br />Sukarna, Ideologi, Bandung : Alumni, 1981 <br />Surakhmad, Winarno, Psikologi Pemuda, Bandung:Jemmars, 1980 <br />Walgito, Bimo , Kenakalan Anak (‘Juvenile Delinquency’), Jogjakarta : Yayasan Penerbit Fak.Psychologi UGM, 1982H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-89209597966792878502008-12-14T05:15:00.000-08:002008-12-14T05:18:57.566-08:00Terjemah (lanjutan): Classroom Assessment (Popham, WJ. 1995)BAB 2<br />RELIABILITAS PENILAIAN<br /> Reliabilitas adalah komoditas yang sangat berharga. Dalam bidang penilaian pendidikan, reliabilitas juga merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Kita tentu ingin penilaian pendidikan yang reliabel. Namun dalam kaitannya dengan pengukuran, reliabilitas memiliki makna yang sangat terbatas. Ketika anda menemui istilah reliabilitas dalam isi penilaian, maka anda harus memahami kesetaraan antara reliabilitas dan konsistensi, sebab reliabilitas merujuk pada konsistensi pada pengukuran yang dilakukan oleh sebuah tes. Jadi reliabilitas = konsistensi. <br /> Standards for Educational and Psychology Testing, sebuah publikasi bersama the American Educational Research Association, the American Psychological Association, dan the National Council on Measurement in Education, secara umum dianggap sebagai dokumen paling penting yang membahas prosedur penilaian pendidikan publikasi tersebut merefleksikan opini dari berbagai ahli terkemuka tentang tes pendidikan dan psikologi. Seperti standar tersebut kemukakan, reliabilitas merujuk pada tingkat dimana skor tes bebas dari eror pengukuran. Dengan kata lain, semakin sedikit eror pengukuran, maka semakin konsisten skor pengukuran yang akan dengahn akurat merefleksikan status aktual peserta tes.<br /> Namun dalam penilaian pendidikan, konsistensi muncul dalam tiga varietas, bukan hanya satu. Dengan kata lain, terdapat tiga cara berbeda untuk memahami konsistensi pengukuran. Namun menganggap ketiga jenis varietas ini dapat dipertukarkan jelas salah. <br />Tabel 2-1. Tiga Jenis Bukti Reliabilitas<br />Jenis bukti Deskripsi ringkas<br />Stabilitas Konsistensi hasil antar tes yang dilakukan di saat berbeda<br />Bentuk pengganti Konsistensi hasil antar dua atau lebih bentuk tes<br />Konsitensi internal Konsistensi dalam cara item instrumen penilaian berfungsi<br />STABILITAS<br /> Jenis reliabilitas yang pertama adalah stabilitas. Konsep reliabilitas ini sering muncul di benak orang ketika seseorang menegaskan bahwa reliabilitas setara dengan konsistensi. Stabilitas, sebagai sebuah bentuk reliabilitas, merujuk pada konsistensi hasil tes setiap saat. Kita ingin penilaian pendidikan atas siswa kita memperoleh hasil yang sama jika tes dijalankan pada waktu yang berbeda. Misalnya, anda memberikan tes pada hari Selasa, namun di sore hari, hasil tes tersebut hilang. Maka keesokan harinya anda meminta ssiwa untuk melakukan tes yang sama. Dikarenakan tidak ada peristiwa signifikan yang mempengaruhi, maka anda mengharapkan agar tes yang siswa anda lakukan pada hari Rabu akan memperoleh hasil yang sama dengan tes yang anda berikan pada hari Selasa – tes yang hasilnya hilang. Dan itulah yang disebut reliabilitas tes menurut konsep stabilitas. <br /> Untuk menentukan bagaimana stabilnya hasil tes siswa, maka biasanya anda akan melakukan sebuah tes, kemudian menunggu hingga satu atau dua pekan, dan lalu memberikan kembali tes tersebut tanpa sebelumnya melakukan pengajaran tentang materi yang sama. Untuk itu, reliabilitas stabilita sering disebut dengan reliabilitas tes-retes. Terdapat dua pendekatan untuk menentukan konsistensi tes setiap saat, yakni dengan menggunakan koefesiesni korelasi dan konsistensi keputusan. Koefesiesni korelasi dihitung antara skor tes siswa ada dua kali tes yang dilakukan, yakni tes awal dan tes ulangan. Koefesiesni korelasi merefleksikan tingkat kesamaan antara skor siswa pada kedua tes tersebut. Pendekatan lainnya adalah konsistensi keputusan; yang dapat digunakan ketika guru memutuskan siswa mana yang dikecualikan pada studi selanjutnya mengenai topik X. Misalnya, jika guru menetapkan tingkat kebenaran 80% sebagai tingkat kemahiran yang disyaratkan untuk mempelajari topik X lanjutan, maka berdasarkan tes-retes, guru dapat menentukan persentase siswa yang diklasifikasikan memiliki kesamaan pada kedua tes yang dilakukan. Sehingga, jika seorang siswa memperoleh skor benar 84% pada tes pertama dan 99% pada tes kedua, maka siswa tersebut tidak akan dilibatkan pada pembahasan topik X sebab dia mampu lulus pada kedua tes tersebut. Dan guru menganggap tes siswa tersebut konsisten. Apapun pendekatan yang akan anda gunaka, yang pasti anda harus melakukan tes sebanyak dua kali sehingga anda dapat menentukan stabilitasnya. <br />RELIABILITAS BENTUK PENGGANTI<br /> Yang kedua dari tiga bukti reliabilitas penilaian pendidikan kita fokus pada konsistensi antara dua bentuk tes – bentuk yang dianggap setara. Reliabilitas bentuk-pengganti berkaitan dengan pertanyaan apakah dua atau lebih tes yang katanya equivalen benar-benar ekuivalen atau tidak. Di kelas, guru jarang memiliki alasan untuk menggunakan dua instrumen penilaian. Untuk menentukan tingkat reliabilitas konsistensi bentuk-pengganti, pendekatan prosedural digunakan yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan yang digunakan untuk menentukan reliabilitas stabilitas. Pertama, dua bentuk tes digunakan pada individu yang sama. Misalnya, anda ingin menentukan kompitabilitas dua bentuk tes bahasa. Misalnya terdapat 100 siswa yang akan mengikuti tes tersebut. Dikarenakan waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan tes tersebut hanya 20-25 menit, maka anda dapat menjalankan kedua tes tersebut (bentuk A dan B) pada tiap siswa selama satu periode saja. <br /> Setelah semua siswa menyelesaikan kedua bentuk tes tersebut, maka hitunglah skor pada kedua tes itu guna menentukan koefesiensi korelasi yang merefleksikan hubungan antara kinerja siswa pada tes A dengan pada tes B. Sama seperti pada reliabilitas stabilitas, semakin dekat koefesiensi korelasinya dengan 1,0, maka semakin terdapat kesepakatan antara skor pada kedua tes tersebut. Selain itu, anda juga dapat menggunakan pendekatan konsistensi keputusan untuk menentukan reliabilitas bentuk-pengganti yang dijabarkan sebelumnya. Reliabilitas bentuk-pengganti tidak ditetapkan dengan proklamasi/pernyataan. Akan tetapi, bukti harus dikumpulkan berkenaan dengan konsistensi pada kedua bentuk tes tersebut. <br />RELIABILITAS KONSISTENSI INTERNAL<br /> Jenis akhir bukti reliabilitas disebut dengan reliabilitas konsistensi internal. Reliabilitas ini sangat berbeda dengan reliabilitas stabilitas dan bentuk-pengganti. Konsistensi internal tidak fokus pada konsistensi skor peserta pada sebuah tes. Melainkan pada tingkat dimana item pada sebuah instrumen penilaian pendidikan memiliki konsistensi satu sama lain. Ketika stabilitas dan bentuk-pengganti membutuhkan dua pelaksanaan tes, maka konsistensi internal dapat dihitung hanya dengan satu kali pelaksanaan tes. Reliabilitas konsistensi internal merefleksikan tingkat dimana item pada sebuah tes berfungsi secara konsisten – yakni tingkat dimana item tes berfungsi secara homogen. Terdapat beberapa beberapa rumusan berbeda dalam menghitung konsistensi internal. Tiap rumusan menghasilkan perkiraan numerik reflektif mengenai tingkatan dimana item prosedur tes berfungsi secara homogen. <br /> Berikut ini saya akan mengilustrasikan prosedur penghitungan konsistensi internal yang paling sederhana guna menggambarkan betapa mudahnya menentukan konsistensi internal sebuah tes. Berikut ini diajikan rumus Kuder-Richardson 21, atau biasanya disebut dengan K-21. Catat bahwa rumus itu hanya mengharuskan anda untuk menggunakan angka jumlah item tes dan mean (nilai tengah) yang berupa rata-rata skor tes serta standar deviasi skor tes tersebut. Berikut ini adalah rumusnya:<br /><br /> K-R21 koefesiensi reliabilitas = <br /> Dimana:<br /> K = jumlah item pada tes<br /> M = mean skor tes tersebut <br /> s = standar deviasi skor tes tersebut<br /> Untuk menunjukan bagaimana rumus tersebut bekerja, maka mari kita coba gunakan. Misalnya kita memiliki 40 item pada sebuah tes dimana siswa diberi skor dengan cukup adil. Mean skor tersebut adalah 30,0 dan standar devaisinya adalah 6,0. Maka penghitungannya akan sebagai berikut:<br /><br /> K-R21 = <br /> = 1,03 <br /> = 1,03 <br /> = 0,82<br /><br /> Misalnya, setelah melakukan penghitungan seperti di atas, kita memperoleh nilai koefesiensi K-R21 sebesar 0,82 untuk tes tersebut. Apa signifikasi K-R21 sebesar 0,82 tersebut? Sama seperti penghitungan pada reliabilitas sebelumnya, yakni semakin dekat dengan 1,0, maka semakin homogen item tes tersebut. Apa arti dari 0,82 tersebut adalah bahwa terdapat jumlah homogenitas substansial diantara item tes anda. Dengan kata lain, item tes tersebut mengukur hal yang sama. <br />TIGA KOIN URAIAN RELIABILITAS<br /> Sekarang anda telah mengetahui bahwa terdapat tiga cara berbeda dalam mengkonseptualisasikan cara konsistensi hasil tes dijabarkan. Konsistensi pengukuran adalah persyaratan dalam menjadikan hasil tes masuk akal. Jika tes menunjukan hasil yang tak konsisten, bagaimana guru dapat mengambil keputusan masuk akal berdasarkan hasil tes yang tak terduga-duga? Yah, kita telah mengetahui bahwa reliabilitas muncul dalam tiga rasa. Tergantung kepada anda untuk memastikan bahwa bukti reliabilitas yang dimasukan pada sebuah tes sesuai dengan penggunaan hasil tes tersebut – pengambilan keputusan yang terkait dengan hasil tes. Meski tentunya terdapat hubungan antara tiga jenis reliabilitas, namun hal-hal berikut ini adalah benar adanya<br />Reliabilitas stabilitas ≠ Reliabilitas bentukpengganti ≠ Reliabilitas konsistensi internal<br /> Untuk mengilustrasikannya, misalnya anda seorang guru pada sebuah sekolah dimana sebuah tes ujian Diploma disusun oleh asisten pengawas untuk pengajaran dengan bekerjasama dengan komite guru di distrik dimana sekolah tersebut berada. Asisten pengawas tersebut mengklaim bahwa tiga bentuk tes yang berbeda yang akan digunakan tersebut pada aintinya dapat dipertukarkan karena menghasilkan koefesien 0,88 atau lebih pada K-R21. Ketiga bentuk tes yang berbeda tersebut reliabel dan ekuivalen; demikian dijelaskan oleh asisten tersebut. Jika asisten tersebut benar ingin mengetahui komparabilitas antara bentuk tes tersebut, maka jenis bukti reliabilitas yang dibutuhkan adalah reliabilitas bentuk-pengganti, bukan konsistensi internal. <br />Standard Error Pengukuran<br /> Sebelum lebih jauh tentang reliabilitas dan semua aspeknya, terdapat satu hal lain yang harus anda ketahui berkenaan dengan konsistensi pengukuran. Sejauh ini, jenis bukti reliabilitas yang kita bahas berkaitan dengan reliabilitas kelompok skor peserta tes. Berikut ini, saya ingin sedikit mengalihkan perhatian anda pada konsistensi yang berkaitan dengan kinerja individu. Indeks yang digunakan dalam penilaian pendidikan untuk menjabarkan konsisteni kinerja seseorang disebut dengan standar error pengukuran. <br /> Anda harus menganggap standar error pengukuran sebagai refleksi konsistensi skor individu jika prosedur tes yang diberikan diberikan kepada invidi tersebut lagi, lagi dan lagi. Namun, sebagai tataran praktis, tidak mungkin untuk memberikan tes yang sama berulang-ulang pada siswa yang sama sebab siswa akan menolak atau bahkan bosan. Kita harus memperkirakan seberapa banyak variabilitas yang ada jika kita mampu memberikan prosedur penilaian berulang-ulang pada individu yang sama. <br /> Kita dapat memperkirakan variabilitas kinerja tes individu menggunakan data yang diambil dari sebuah kelompok. Rumus standar error pengukuran adalah sebagai berikut:<br /> <br /><br />Standar error pengukuran = <br /> Dimana:<br /> Sx = standar deviasi skor tes<br /> rxx= reliabilitas tes<br /> Misalnya anda membuat sebuah tes dengan 50 item dengan standar deviasi 7,5 dan K-E21 = 0,91; untuk menghitung ukuran standar error pengukuran pada tes anda tersebut, maka anda hanya tinggal melakukan penghitungan sebagai berikut:<br /> Standar error pengukuran = <br /> = 7,5(0,3)<br /> = 2,25<br /> Standar error pengukuran sebesar 2,25 mengindikasikan bahwa ketika salahs atu siswa anda mengikuti tes tersebut dan memperoleh skor 39, jika siswa tersebut mengikuti kembali tes itu berulang-ulang, maka skor siswa tersebut akan berada antara kurang atau lebih satu standar error pengukuran sekitar 67% dan antara kurang lebih dua standar error pengukuran sekitar 95%. Untuk mengilustrasikannya, dua per tiga skor siswa tersebut akan jatuh antara kurang lebih satu standar error pengukuran, yakni antara 36,75 dan 41,25. <br />Apa Yang Sesungguhnya Harus Guru Ketahui Tentang Reliabilitas?<br /> Sebagai guru atau calon guru, apa yang anda benar-benar harus ketahui tentang reliabilitas? Misalnya, apakah anda harus mengumpulkan data dari prosedur penilaian kelas anda sendiri sehingga anda dapat menghitung koefesiensi reliabilitasnya? Jika ya, apakah anda harus mengumpulkan semua tiga varietas bukti reliabilitas seperti dikemukakan di atas? Jawaban saya mungkin mengagetkan anda. Menurut saya anda harus mengetahui apa relaibilitas itum namun saya pikir anda tidak harus menggunakan reliabilitas pada tes anda kecuali terdapat bagian pada tes anda yang tak lazim. <br /> Anda harus tahu tentang reliabilitas dikarenakan anda mungkin diharuskan mereview beberapa jenis tes, dan petunjuk tekhnik tes yang mengarahkan anda pada bukti reliabilitasnya. Reliabiltas adalah konsep utama dalam pengukuran. Jika prosedur penilaian gagal memperoleh hasil yang konsisten, maka hampir tidak mungkin bagi anda untuk dapat membuat kesimpulan akurat tentang apa signifikasi skor seorang peserta tes. Pengukuran yang inkonsisten sama dengan pengukuran yang tak akurat. Hal lain yang anda juga harus ketahui tentang reliabilitas adalah bahwa hal tersebut muncul dalam tiga bentuk/rasa – tiga jenis bukti reliabilitas tidak dapat dieprtukarkan satu sama lain. Apa yang saya sarankan kepada anda para guru adalah bahwa anda harus memahami bahwa atribut penting prosedur penilaian adalah reliabilitas.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-81588640999090949892008-12-14T05:13:00.001-08:002010-08-09T03:25:40.428-07:00Terjemah:Classroom Assessment (Popham, WJ. 1995). BAB 1<br />KENAPA GURU HARUS TAHU TENTANG PENIALAIAN<br /> Guru mengajar siswa; ya, memang, guru menyukai mengajar, namun mereka jarang menyukai melakukan tes. Guru yang dapat melakukan tes dengan baik adalah guru yang lebih baik. Tes yang efektif akan meningkatkan efektifitas pengajaran guru. <br />Penilaian Versus Testing<br /> Hampir setiap orang mengetahui jenis-jenis tes yang umum digunakan di sekolah. Kebanyakan orang dewasa saat ini, pernah mengikuti tes seperti ketika mereka alami di masa sekolah dulu. Terdapat macam-macam tes, seperti tes akhir semester, tes tengah semester, tes akhir bab dan sebagainya. Semua tes tersebut memiliki satu kesamaan; yakni merepresentasikan usaha guru untuk memperoleh informasi dan menetapkan seberapa banyak yang sudah siswa pelajari. Lebih akurat lagi, tes tersebut digunakan untuk menentukan status siswa dalam hal pengetahuan dan keterampilan yang guru upayakan untuk ditingkatkan. Tes tersebut merupakan usaha berharga bagi guru – untuk mengetahui seberapa banyak yang telah siswa ketahui. Jika guru mengetahui dengan yakin apa yang saat ini diketahui siswa, maka guru akan dengan mudah menentukan langkah apa yang akan dilakukan dalam pengajaran selanjutnya. <br /> Jenis-jenis tes yang disebutkan pada paragraf di atas adalah jenis tes tertulis. Terdapat banyak macam tes tertulis, seperti esay, pilihan ganda, dan pilihan Benar-Salah. Hingga beberapa dekade terakhir, jenis tes tersebut merupakan tes yang umum ditemukan di kelas. Akhir-akhir ini, banyak guru yang didorong untuk memperluas konsep mereka tentang pengujian sehingga status siswa dapat ditentukan dengan alat ukur yang lebih bervariasi – lebih dari sekedar tes tertulis. Alasan bahwa guru ditantang untuk menambah pemahaman dan kemampuan mereka dalam menggunakan tes bukan hanya demia keberagaman alat pengukuran saja. Tapi juga karena pendidikan yang bijaksana memiliki sejumlah jenis pembelajaran siswa yang penting yang tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan tes tertulis. Misalnya, jika guru ingin menentukan seberapa baik kinerja siswa dalam wawancara kerja secara lisan, maka jelas bahwa tes tertulis tidak dapat digunakan untuk mengetahui kinerja tersebut. <br /> Dikarenakan begitu banyak hasil pengajaran yang tidak dapat dengan baik diukur melalui tes tertulis, dan karena kebanyakan orang ketika menggunakan kata tes maka mereka otomatis menyebut tes tertulis tradisional, maka istilah penilaian mulai banyak diadopsi oleh para praktisi pendidikan dan spesialis pengukuran. Penilaian adalah deskriptor luas tentang jenis pengukuran pendidikan yang guru lakukan – sebuah deskritor yang mencakup lebih banyak jenis prosedur pengukuran. Berikut ini adalah definisi kerja penilaian ketika digunakan dalam konteks pendidikan: penilaian pendidikan adalah usaha formal untuk menentukan status siswa mengenai variable of interest pendidikan. Catat bahwa tujuan penilaian dalam konteks pendidikan adalah menentukan status siswa dalam hal ‘variable of interest’. Variable adalah segala hal yang bervariasi. Misalnya, dalam pendidikan kita menemukan bahwa siswa bervariasi dalam hal seberapa banyak yang mereka ketahui mengenai mata pelajaran tertentu, atau seberapa positif sikap mereka terhadap sekolah; dan sebagainya. Semua itu adalah jenis variable yang biasanya menjadi perhatian guru, sehingga disebut dengan ‘variable of interest’ dan biasanya diukur oleh guru. Misalnya, jika pengajaran guru fokus pada revolusi industri, maka guru akan menilai seberapa banyak yang siswa ketahui tentang revolusi indistri; disini, variable of interestnya adalah tingkat pengetahuan siswa tentang revolusi indistri. <br /> Definisi kerja penilaian di atas mengindikasikan bahwa penilaian pendidikan mengimplikasikan ‘usaha formal’ untuk mengetahui status siswa. Sebagai manusia, kita membuat semua determinator informal mengenai status manusia. Misalnya, kita dapat menyipulkan bahwa perempuan yang menyerobor antrian di supermarket adalah peremuan yang tak sopan, atau orang yang suka gemetaran di depan umum disebut orang gampang gugup dan sebagainya. Hal tersebut merupakan status determinator informal. Guru juga melakukan penilaian informal atas siswanya. Misalnya, seorang guru menyimpulkan bahwa seorang siswa, berdasarkan sikap cemberutnya selama awal pelajaran di kelas, sebagai siswa yang pemarah. Penilaian informal tersebut tidak dapat dipandang sebagai penilaian pendidikan meski hal tersebu berguna bagi guru. <br /> Jenis penilaian pendidikan yang akan dibahas pada buku ini adalah jenis fomal, yakni usaha yang sengaja dilakukan dengan seksama untuk menentukan status siswa berdasarkan variabel seperti pengetahuan, keterampila atau sikap. Jenis penilaian pendidikan yang akan anda eksplorasi pada buku ini adalah penilaian yang lebih dari sekedar ‘impresi/kesan’ guru; melainkan cara yang sistematis dalam menentukan status siswa. Oleh karena itu, penilaian adalah deskriptor non-restriktif yang relatif luas dalam jenis pengujian dan mengukuran yang harus guru lakukah. Penilaian adalah sebuah kata yang mencakup berbagai macam tes dan pengukuran. Pada halaman berikutnya, anda akan menemukan bahwa meski saya menggunakan istilah penilaian, namun saya juga akan sering menggunakan kata tes dan pengukuran. <br />Kenapa Guru Harus Mengetahui Tentang Penilaian: Jawaban Di Masa Lalu<br /> Mari kita bermain dengan waktu. Misalnya anda kembali ke masa lalu, tahun 1950an atau 1960an. Bayangkan anda seorang guru yang akan ambil bagian pada sebuah orientasi bagi guru baru di sebuah sekolah distrik. Topik yang dibahas dalam orientasi tersebut adalah “kenapa guru harus mengetahui tentang pengujian?”. Professor Tess Tumm, pemateri pada acara tersebut, menampilkan kepada para peserta sejumlah jawaban atas pertanyaan tersebut; yakni jawaban tradisional. Terdapat sejumlah jawaban tradisional atas pertanyaan tersebut. Berikut ini adalah uraiannya masing-masing:<br />a. Mendiagnosa kelemahan dan kekuatan siswa; salah satu alasan penting dilakukannya penilaian oleh guru adalah untuk menentukan kelemahan dan kekuatan individu siswa. Jika anda guru SD, maka anda harus mengetahui seberapa baik Gisell (nama siswa) memahami apa yang dia baca, sehingga jika dia menemukan kesulitan dalam membaca, maka anda dapat memecahkan kesulitan tersebut melalui pengajaran. Kelemahan siswa, setelah teridentifikasi, dapat menjadi fokus pengajaran yang akan dilakukan. Begitupun sebaliknya dengan kekuatan siswa, jika guru mengetahui kekuatan siswa atau apa yang sudah siswa ketahui sebelumnya, maka guru dapat menentukan apa yang akan diajarkan dan apa yang tak perlu lagi diajarkan. Penilaian atas kekuatan siswa dapat memungkinkan guru menghindari pengulangan pelajaran yang tak perlu. Dengan mengukur status terkini siswa, maka guru dapat melihat kemana energi pengajaran akan diarahkan dan apa keterampilan atau pengetahuan yang sudah siswa kuasai sehingga tak perlu lagi diajarkan.<br />b. Memonitor kemajuan siswa; alasan atau fungsi kedua penilaian kelas adalah untuk menentukan apakah siswa mampu bergerak menuju tujuan dengan memuaskan seperti yang guru inginkan atau tidak. Jika kemajuannya memuaskan, maka guru tak perlu melakukan perubahan dalam pengajaran. Namun sebaliknya, jika kemajuan siswa tidak memuaskan atau bahkan mendek, maka guru dapat menentukan apa dan bagaimana remedial yang harus dilakukan. <br />c. Menetapkan peringkat; alasan ketiga bagi guru dalam melakukan penilaian adalah untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan guna menetapkan peringkat atau ranking siswa. Cara terbaik dalam menetapkan peringkat adalah dengan mengumpulkan bukti pencapaian siswa yang akan guru gunakan sebagai sumber informasi sebelum memutuskan peringkat siswa.<br />d. Menentukan efektifitas pengajaran seseorang; alasan keempat atau terakhir kenapa secara tradisional guru dinyatakan harus menguji siswa adalah tes kinerja siswa dapat membantu menyimpulkan atau menilai efektifitas pengajaran yang selama ini mereka lakukan. Hal ini penting guna mengetahui apa kelemahan dan kekuatan pengajaran dan individu guru dalam mengajar siswa. <br />Semua alasan diatas secara langsung terkait dengan membantu guru dalam mengambil keputusan. Ketika guru menilai kelemahan dan kekuatan siswa, maka guru dapat menggunakan hasil penilaian tersebut untuk memutuskan apa tujuan pengajaran yang akan dikejar. Ketika guru menilai kemajuan siswa, maka guru menggunakan hasilnya untuk memutuskan apakah ada bagian pengajaran tertentu yang harus dirubah. Ketika guru menilai siswa guna menetapkan peringkat siswa tersebut, maka guru menggunakan tes kinerja siswa untuk memutuskan siswa mana pada peringkat yang mana. Dan ketika guru akan menentukan apakah ada rangkaian pengajaran tertentu yang harus dirubah, maka guru menggunakan penilaian pre-tes dan pos-tes. <br />Kenapa Guru Harus Mengetahui Tentang Penilaian: Jawaban Di Masa Kini<br /> Selain empat jawaban tradisional di atas, terdapat pula jawaban atas pertanyaan tersebut yang berkaitan dengan konteks masa kini. Diantaranya adalah:<br />a. Mempengaruhi persepsi publik tentang efektifitas pendidikan; dulu, publik, khususnya orang tua siswa, kurang begitu menaruh perhatian terhadap efektifitas pendidikan. Mereka hanya peduli terhadap buku laporan yang diterima pada tiap akhir tahun ajaran. Namun selama tahun 1970an dan 1980an, media jurnalistik merubah semua kondisi tersebut. Suratkabar mulai menerbitkan hasil tes pendidikan di tingkat negara bagian. Masyarakat dapat melihat bagaimana hasil tes tersebut dan membandingkannya antara satu negara bagian dengan negara bagian yang lain. Dan lebih dari itu, setiap distrik dan sekolah diberi peringkat dari mulai yang teratas hingga yang terendah. Dampak dari semua itu adalah menigkatnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan. Masyarakat pada distrik yang ranking sekolahnya rendah akan mengajukan komplain; sementara yang berada pada distrik dengan ranking sekolahnya tinggi akan berteriak girang. Dikarenakan opini publik tentang pendidikan saat ini dibentuk oleh tes kinerja siswa, maka suatu keharusan bagi guru untuk menilai kinerja siswa mereka dengan akurat. Guru juga harus lebih banyak belajar tentang penilaian pendidikan sehingga mereka dapat mengkomunikasikannya kepada orang tua dan masyarakat lainnya yang berkepentingan terhadap apa jenis hasil pendidikan yang merefleksikan efektifitas pendidikan dan apa yang tidak. <br />b. Membantu mengevaluasi guru; keterampilan mengajar semakin menjadi perhatian saat ini. Dengan semakin gencarnya tuntutan akan penilaian kinerja guru dalam mengajar, kita dapat menemukan banyak sistem penilaian guru dimana tes kinerja siswa menjadi salah satu kategori bukti kunci yang digunakan untuk mengevaluasi guru. Biasanya, guru diminta untuk mengumpulkan beberapa bentuk data pre-tes dan pos-tes yang dapat digunakan untuk menyimpulkan seberapa banyak pembelajaran siswa yang mampu guru tingkatkan. <br />c. Mengklarifikasikan tujuan pengajaran guru; selama beberapa tahun tes pendidikan dianggap sebagai pengajaran setelah pengajaran. Setelah pengajaran satu unit pelajaran selesai, maka guru akand isibukan untuk melakukan tes. Tes jarang dibuat sebelum pengajaran. Tes disusun setelah pengajaran guna memenuhi fungsi tradisional penilaian pendidikan seperti dibahas pada bagian pembuka bab ini. Namun saat ini instrumen pengukuran pendidikan menjadi sangat berbentuk tes high-stakes. Tes High-stakes adalah penilaian dimana kontingensi hasul tes merupakan hal yang penting. Contoh lain tes jenis ini adalah tes keterampilan dasar yang harus dikuasai siswa sebelum dianggap lulus suatu tingkatan sekolah di tingkat negara bagian. Tes high-stakes akan secara langsung mempengaruhi pengajaran. Bahkan jenis tes low-stakes ruti digunakan guru dalam menjelaskan tujuan target mereka. Sehingga, tes jangan dianggap sebagai pengajaran setelah pengajaran. Melainkan, instrumen penilaian harus dipersiapkan sebelum atau menjelang pengajaran agar guru memahami lebih baik apa yang akan dicari oleh siswa, sehingga menetapkan aktifitas apa yang akan diajarkan pada siswa. Intsrumen pengajaran yang dipersiapkan menjelang pengajaran dapat mengoperasionalisasikan tujuan pengajaran guru, sehingga menjelaskan tujuan mereka. Tujuan pengajaran yang terklarifkasikan akan mengarah pada keputusan pengajaran yang lebih efektif. <br />Apa Yang Sesungguhnya Guru Harus Ketahui Tentang Penilaian <br /> Pertanyaan berikutnya yang akan muncul adalah apa yang seharusnya guru ketahui tentang penilaian? Maka sebagai guru, anda harus memperhatikan dua hal berikut: Instrumen penilaian yang anda susun sendiri dan Instrumen penilaian yang disusun oleh orang lain<br />Membuat alat penilaian di kelas<br /> Mari mulai dengan jenis penilaian yang harus anda buat. Anda sungguh—sungguh harus mengetahui bagaimana menentukan apa yang telah siswa anda pelajari. Sehingga anda harus mampu menciptakan alat penilaian untuk melakukan penentuan tersebut. Anda juga harus mempelajari bagaimana bagaimana menilai kualitas alat penilaian yang anda buat. Dan pada saat yang bersamaan, anda akan mempelajari bagaimana menilai kualitas alat penilaian yang dibuat orang lain. Orang lain tersebut bisa saja kolega anda, atau mungkin siapa saja yang menyusun instrumen penilaian dalam skala besar. Intinya, penilaian pendidikan bersandar pada fondasi akal sehat dan pemikiran. Setelah anda mempelajari aspek tekhnis penilaian, maka anda akan mampu mengidentifikasi titik berangkat praktik penilaian dari tataran akal sehat.<br />Menginterpretasikan hasil tes berstandar<br /> Dikarenakan siswa sering dinilai dengan menggunakan tes yang berstandar nasional atau tes yang disusun di tingkat negara bagian, maka anda harus mengetahui bagaimana menginterpretasikan hasil tes tersebut. Secara umum, tes pendidikan komersil fokus pada prestasi siswa; yakni pengetahuan dan keterampilan yang mereka kuasai; atau pada bakat siswa, yakni istilah yang digunakan untuk menjabarkan potensi pembelajaran siswa. Anda harus memahami laporan kinerja siswa yang dikeluarkan oleh mereka yang menyusun penilaian skala-luas. Anda harus mengetahui hal tersebut bukan hanya untuk menginformasikan keputusan anda tentang pengajaran di kelas tapi juga menginteroertasikan kinerja siswa kepada orang tua yang mungkin menuntut jawaban atas pertanyaan apa yang anak mereka mampu capai dalam tes berstandar tersebut? Atau kenapa skor anak mereka pada tes berstandar hanya sedemikian rendah?<br />Mempersiapkan siswa untuk penilaian<br /> Sebelumnya disarankan bahwa dikarenakan alat penilaian dapat mengoperasionalkan tujuan pengajaran guru, maka instrumen tersebut dapat mengklarifikasikan keputusan pengajaran yang guru ambil. Anda akan belajar bagaimana hubungan antara testing dengan pengajaran dapat menjadi kekuatan bermanfaat bagi siswa anda sebab anda dapat memberikan pengajaran yang efektif dan sesuai target. Lebih jauh lagi, akan mempelajari pentingnya hubungan antara pengajaran dan penilaian. <br />H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-11482965426914813532008-12-14T05:13:00.000-08:002008-12-14T05:15:00.697-08:00Terjemah:Classroom Assessment (Popham, WJ. 1995).BAB 1<br />KENAPA GURU HARUS TAHU TENTANG PENIALAIAN<br /> Guru mengajar siswa; ya, memang, guru menyukai mengajar, namun mereka jarang menyukai melakukan tes. Guru yang dapat melakukan tes dengan baik adalah guru yang lebih baik. Tes yang efektif akan meningkatkan efektifitas pengajaran guru. <br />Penilaian Versus Testing<br /> Hampir setiap orang mengetahui jenis-jenis tes yang umum digunakan di sekolah. Kebanyakan orang dewasa saat ini, pernah mengikuti tes seperti ketika mereka alami di masa sekolah dulu. Terdapat macam-macam tes, seperti tes akhir semester, tes tengah semester, tes akhir bab dan sebagainya. Semua tes tersebut memiliki satu kesamaan; yakni merepresentasikan usaha guru untuk memperoleh informasi dan menetapkan seberapa banyak yang sudah siswa pelajari. Lebih akurat lagi, tes tersebut digunakan untuk menentukan status siswa dalam hal pengetahuan dan keterampilan yang guru upayakan untuk ditingkatkan. Tes tersebut merupakan usaha berharga bagi guru – untuk mengetahui seberapa banyak yang telah siswa ketahui. Jika guru mengetahui dengan yakin apa yang saat ini diketahui siswa, maka guru akan dengan mudah menentukan langkah apa yang akan dilakukan dalam pengajaran selanjutnya. <br /> Jenis-jenis tes yang disebutkan pada paragraf di atas adalah jenis tes tertulis. Terdapat banyak macam tes tertulis, seperti esay, pilihan ganda, dan pilihan Benar-Salah. Hingga beberapa dekade terakhir, jenis tes tersebut merupakan tes yang umum ditemukan di kelas. Akhir-akhir ini, banyak guru yang didorong untuk memperluas konsep mereka tentang pengujian sehingga status siswa dapat ditentukan dengan alat ukur yang lebih bervariasi – lebih dari sekedar tes tertulis. Alasan bahwa guru ditantang untuk menambah pemahaman dan kemampuan mereka dalam menggunakan tes bukan hanya demia keberagaman alat pengukuran saja. Tapi juga karena pendidikan yang bijaksana memiliki sejumlah jenis pembelajaran siswa yang penting yang tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan tes tertulis. Misalnya, jika guru ingin menentukan seberapa baik kinerja siswa dalam wawancara kerja secara lisan, maka jelas bahwa tes tertulis tidak dapat digunakan untuk mengetahui kinerja tersebut. <br /> Dikarenakan begitu banyak hasil pengajaran yang tidak dapat dengan baik diukur melalui tes tertulis, dan karena kebanyakan orang ketika menggunakan kata tes maka mereka otomatis menyebut tes tertulis tradisional, maka istilah penilaian mulai banyak diadopsi oleh para praktisi pendidikan dan spesialis pengukuran. Penilaian adalah deskriptor luas tentang jenis pengukuran pendidikan yang guru lakukan – sebuah deskritor yang mencakup lebih banyak jenis prosedur pengukuran. Berikut ini adalah definisi kerja penilaian ketika digunakan dalam konteks pendidikan: penilaian pendidikan adalah usaha formal untuk menentukan status siswa mengenai variable of interest pendidikan. Catat bahwa tujuan penilaian dalam konteks pendidikan adalah menentukan status siswa dalam hal ‘variable of interest’. Variable adalah segala hal yang bervariasi. Misalnya, dalam pendidikan kita menemukan bahwa siswa bervariasi dalam hal seberapa banyak yang mereka ketahui mengenai mata pelajaran tertentu, atau seberapa positif sikap mereka terhadap sekolah; dan sebagainya. Semua itu adalah jenis variable yang biasanya menjadi perhatian guru, sehingga disebut dengan ‘variable of interest’ dan biasanya diukur oleh guru. Misalnya, jika pengajaran guru fokus pada revolusi industri, maka guru akan menilai seberapa banyak yang siswa ketahui tentang revolusi indistri; disini, variable of interestnya adalah tingkat pengetahuan siswa tentang revolusi indistri. <br /> Definisi kerja penilaian di atas mengindikasikan bahwa penilaian pendidikan mengimplikasikan ‘usaha formal’ untuk mengetahui status siswa. Sebagai manusia, kita membuat semua determinator informal mengenai status manusia. Misalnya, kita dapat menyipulkan bahwa perempuan yang menyerobor antrian di supermarket adalah peremuan yang tak sopan, atau orang yang suka gemetaran di depan umum disebut orang gampang gugup dan sebagainya. Hal tersebut merupakan status determinator informal. Guru juga melakukan penilaian informal atas siswanya. Misalnya, seorang guru menyimpulkan bahwa seorang siswa, berdasarkan sikap cemberutnya selama awal pelajaran di kelas, sebagai siswa yang pemarah. Penilaian informal tersebut tidak dapat dipandang sebagai penilaian pendidikan meski hal tersebu berguna bagi guru. <br /> Jenis penilaian pendidikan yang akan dibahas pada buku ini adalah jenis fomal, yakni usaha yang sengaja dilakukan dengan seksama untuk menentukan status siswa berdasarkan variabel seperti pengetahuan, keterampila atau sikap. Jenis penilaian pendidikan yang akan anda eksplorasi pada buku ini adalah penilaian yang lebih dari sekedar ‘impresi/kesan’ guru; melainkan cara yang sistematis dalam menentukan status siswa. Oleh karena itu, penilaian adalah deskriptor non-restriktif yang relatif luas dalam jenis pengujian dan mengukuran yang harus guru lakukah. Penilaian adalah sebuah kata yang mencakup berbagai macam tes dan pengukuran. Pada halaman berikutnya, anda akan menemukan bahwa meski saya menggunakan istilah penilaian, namun saya juga akan sering menggunakan kata tes dan pengukuran. <br />Kenapa Guru Harus Mengetahui Tentang Penilaian: Jawaban Di Masa Lalu<br /> Mari kita bermain dengan waktu. Misalnya anda kembali ke masa lalu, tahun 1950an atau 1960an. Bayangkan anda seorang guru yang akan ambil bagian pada sebuah orientasi bagi guru baru di sebuah sekolah distrik. Topik yang dibahas dalam orientasi tersebut adalah “kenapa guru harus mengetahui tentang pengujian?”. Professor Tess Tumm, pemateri pada acara tersebut, menampilkan kepada para peserta sejumlah jawaban atas pertanyaan tersebut; yakni jawaban tradisional. Terdapat sejumlah jawaban tradisional atas pertanyaan tersebut. Berikut ini adalah uraiannya masing-masing:<br />a. Mendiagnosa kelemahan dan kekuatan siswa; salah satu alasan penting dilakukannya penilaian oleh guru adalah untuk menentukan kelemahan dan kekuatan individu siswa. Jika anda guru SD, maka anda harus mengetahui seberapa baik Gisell (nama siswa) memahami apa yang dia baca, sehingga jika dia menemukan kesulitan dalam membaca, maka anda dapat memecahkan kesulitan tersebut melalui pengajaran. Kelemahan siswa, setelah teridentifikasi, dapat menjadi fokus pengajaran yang akan dilakukan. Begitupun sebaliknya dengan kekuatan siswa, jika guru mengetahui kekuatan siswa atau apa yang sudah siswa ketahui sebelumnya, maka guru dapat menentukan apa yang akan diajarkan dan apa yang tak perlu lagi diajarkan. Penilaian atas kekuatan siswa dapat memungkinkan guru menghindari pengulangan pelajaran yang tak perlu. Dengan mengukur status terkini siswa, maka guru dapat melihat kemana energi pengajaran akan diarahkan dan apa keterampilan atau pengetahuan yang sudah siswa kuasai sehingga tak perlu lagi diajarkan.<br />b. Memonitor kemajuan siswa; alasan atau fungsi kedua penilaian kelas adalah untuk menentukan apakah siswa mampu bergerak menuju tujuan dengan memuaskan seperti yang guru inginkan atau tidak. Jika kemajuannya memuaskan, maka guru tak perlu melakukan perubahan dalam pengajaran. Namun sebaliknya, jika kemajuan siswa tidak memuaskan atau bahkan mendek, maka guru dapat menentukan apa dan bagaimana remedial yang harus dilakukan. <br />c. Menetapkan peringkat; alasan ketiga bagi guru dalam melakukan penilaian adalah untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan guna menetapkan peringkat atau ranking siswa. Cara terbaik dalam menetapkan peringkat adalah dengan mengumpulkan bukti pencapaian siswa yang akan guru gunakan sebagai sumber informasi sebelum memutuskan peringkat siswa.<br />d. Menentukan efektifitas pengajaran seseorang; alasan keempat atau terakhir kenapa secara tradisional guru dinyatakan harus menguji siswa adalah tes kinerja siswa dapat membantu menyimpulkan atau menilai efektifitas pengajaran yang selama ini mereka lakukan. Hal ini penting guna mengetahui apa kelemahan dan kekuatan pengajaran dan individu guru dalam mengajar siswa. <br />Semua alasan diatas secara langsung terkait dengan membantu guru dalam mengambil keputusan. Ketika guru menilai kelemahan dan kekuatan siswa, maka guru dapat menggunakan hasil penilaian tersebut untuk memutuskan apa tujuan pengajaran yang akan dikejar. Ketika guru menilai kemajuan siswa, maka guru menggunakan hasilnya untuk memutuskan apakah ada bagian pengajaran tertentu yang harus dirubah. Ketika guru menilai siswa guna menetapkan peringkat siswa tersebut, maka guru menggunakan tes kinerja siswa untuk memutuskan siswa mana pada peringkat yang mana. Dan ketika guru akan menentukan apakah ada rangkaian pengajaran tertentu yang harus dirubah, maka guru menggunakan penilaian pre-tes dan pos-tes. <br />Kenapa Guru Harus Mengetahui Tentang Penilaian: Jawaban Di Masa Kini<br /> Selain empat jawaban tradisional di atas, terdapat pula jawaban atas pertanyaan tersebut yang berkaitan dengan konteks masa kini. Diantaranya adalah:<br />a. Mempengaruhi persepsi publik tentang efektifitas pendidikan; dulu, publik, khususnya orang tua siswa, kurang begitu menaruh perhatian terhadap efektifitas pendidikan. Mereka hanya peduli terhadap buku laporan yang diterima pada tiap akhir tahun ajaran. Namun selama tahun 1970an dan 1980an, media jurnalistik merubah semua kondisi tersebut. Suratkabar mulai menerbitkan hasil tes pendidikan di tingkat negara bagian. Masyarakat dapat melihat bagaimana hasil tes tersebut dan membandingkannya antara satu negara bagian dengan negara bagian yang lain. Dan lebih dari itu, setiap distrik dan sekolah diberi peringkat dari mulai yang teratas hingga yang terendah. Dampak dari semua itu adalah menigkatnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan. Masyarakat pada distrik yang ranking sekolahnya rendah akan mengajukan komplain; sementara yang berada pada distrik dengan ranking sekolahnya tinggi akan berteriak girang. Dikarenakan opini publik tentang pendidikan saat ini dibentuk oleh tes kinerja siswa, maka suatu keharusan bagi guru untuk menilai kinerja siswa mereka dengan akurat. Guru juga harus lebih banyak belajar tentang penilaian pendidikan sehingga mereka dapat mengkomunikasikannya kepada orang tua dan masyarakat lainnya yang berkepentingan terhadap apa jenis hasil pendidikan yang merefleksikan efektifitas pendidikan dan apa yang tidak. <br />b. Membantu mengevaluasi guru; keterampilan mengajar semakin menjadi perhatian saat ini. Dengan semakin gencarnya tuntutan akan penilaian kinerja guru dalam mengajar, kita dapat menemukan banyak sistem penilaian guru dimana tes kinerja siswa menjadi salah satu kategori bukti kunci yang digunakan untuk mengevaluasi guru. Biasanya, guru diminta untuk mengumpulkan beberapa bentuk data pre-tes dan pos-tes yang dapat digunakan untuk menyimpulkan seberapa banyak pembelajaran siswa yang mampu guru tingkatkan. <br />c. Mengklarifikasikan tujuan pengajaran guru; selama beberapa tahun tes pendidikan dianggap sebagai pengajaran setelah pengajaran. Setelah pengajaran satu unit pelajaran selesai, maka guru akand isibukan untuk melakukan tes. Tes jarang dibuat sebelum pengajaran. Tes disusun setelah pengajaran guna memenuhi fungsi tradisional penilaian pendidikan seperti dibahas pada bagian pembuka bab ini. Namun saat ini instrumen pengukuran pendidikan menjadi sangat berbentuk tes high-stakes. Tes High-stakes adalah penilaian dimana kontingensi hasul tes merupakan hal yang penting. Contoh lain tes jenis ini adalah tes keterampilan dasar yang harus dikuasai siswa sebelum dianggap lulus suatu tingkatan sekolah di tingkat negara bagian. Tes high-stakes akan secara langsung mempengaruhi pengajaran. Bahkan jenis tes low-stakes ruti digunakan guru dalam menjelaskan tujuan target mereka. Sehingga, tes jangan dianggap sebagai pengajaran setelah pengajaran. Melainkan, instrumen penilaian harus dipersiapkan sebelum atau menjelang pengajaran agar guru memahami lebih baik apa yang akan dicari oleh siswa, sehingga menetapkan aktifitas apa yang akan diajarkan pada siswa. Intsrumen pengajaran yang dipersiapkan menjelang pengajaran dapat mengoperasionalisasikan tujuan pengajaran guru, sehingga menjelaskan tujuan mereka. Tujuan pengajaran yang terklarifkasikan akan mengarah pada keputusan pengajaran yang lebih efektif. <br />Apa Yang Sesungguhnya Guru Harus Ketahui Tentang Penilaian <br /> Pertanyaan berikutnya yang akan muncul adalah apa yang seharusnya guru ketahui tentang penilaian? Maka sebagai guru, anda harus memperhatikan dua hal berikut: Instrumen penilaian yang anda susun sendiri dan Instrumen penilaian yang disusun oleh orang lain<br />Membuat alat penilaian di kelas<br /> Mari mulai dengan jenis penilaian yang harus anda buat. Anda sungguh—sungguh harus mengetahui bagaimana menentukan apa yang telah siswa anda pelajari. Sehingga anda harus mampu menciptakan alat penilaian untuk melakukan penentuan tersebut. Anda juga harus mempelajari bagaimana bagaimana menilai kualitas alat penilaian yang anda buat. Dan pada saat yang bersamaan, anda akan mempelajari bagaimana menilai kualitas alat penilaian yang dibuat orang lain. Orang lain tersebut bisa saja kolega anda, atau mungkin siapa saja yang menyusun instrumen penilaian dalam skala besar. Intinya, penilaian pendidikan bersandar pada fondasi akal sehat dan pemikiran. Setelah anda mempelajari aspek tekhnis penilaian, maka anda akan mampu mengidentifikasi titik berangkat praktik penilaian dari tataran akal sehat.<br />Menginterpretasikan hasil tes berstandar<br /> Dikarenakan siswa sering dinilai dengan menggunakan tes yang berstandar nasional atau tes yang disusun di tingkat negara bagian, maka anda harus mengetahui bagaimana menginterpretasikan hasil tes tersebut. Secara umum, tes pendidikan komersil fokus pada prestasi siswa; yakni pengetahuan dan keterampilan yang mereka kuasai; atau pada bakat siswa, yakni istilah yang digunakan untuk menjabarkan potensi pembelajaran siswa. Anda harus memahami laporan kinerja siswa yang dikeluarkan oleh mereka yang menyusun penilaian skala-luas. Anda harus mengetahui hal tersebut bukan hanya untuk menginformasikan keputusan anda tentang pengajaran di kelas tapi juga menginteroertasikan kinerja siswa kepada orang tua yang mungkin menuntut jawaban atas pertanyaan apa yang anak mereka mampu capai dalam tes berstandar tersebut? Atau kenapa skor anak mereka pada tes berstandar hanya sedemikian rendah?<br />Mempersiapkan siswa untuk penilaian<br /> Sebelumnya disarankan bahwa dikarenakan alat penilaian dapat mengoperasionalkan tujuan pengajaran guru, maka instrumen tersebut dapat mengklarifikasikan keputusan pengajaran yang guru ambil. Anda akan belajar bagaimana hubungan antara testing dengan pengajaran dapat menjadi kekuatan bermanfaat bagi siswa anda sebab anda dapat memberikan pengajaran yang efektif dan sesuai target. Lebih jauh lagi, akan mempelajari pentingnya hubungan antara pengajaran dan penilaian.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-83772907891242999912008-12-12T02:36:00.000-08:002008-12-12T02:44:09.740-08:00KEPEMIMPINAN PESANTREN MASA DEPANKEPEMIMPINAN PESANTREN MASA DEPAN<br />Oleh : Drs. H. Munadi<br />Abstraks :<br /><br />Penyelenggaraan pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama, dibantu seorang atau beberapa ustadz (pengajar) yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat peribadatan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Kegiatan pendidikannya pun diselenggarakan menurut aturan pesantren itu sendiri dan didasarkan atas prinsip keagamaaan<br />Perkembangan lembaga pendidikan pesantren secara bertahap berkembang dari yang tradisional hingga pesantren yang telah menerapkan sistem pendidikan maju sebagaimana lembaga pendidikan sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan sekolah berasrama (Islamic Boarding School) dengan sistem pendidkan full day school.<br />Inovasi penyelenggaraan pendidikan ditubuh pesantren tidak terlepas dari inovasi kepemimpinan pesantren itu sendiri, dan sampai saat ini pada kenyataannya pesantren telah mampu melahirkan out put yang sangat banyak mampu berkiprah di berbagai lapisan masyarakat, dan memang inovasi penyelenggaraan ini bertalian erat dengan kepemimpinan pesantren itu sendiri.<br />Di era ke depan, dalam rangka mempertahankan kualitas out put pesantren tersebut, maka sudah suatu keharusan bahwa kepemimpinan pesantren harus mengedepankan profesionalitas, sehingga jaminan mutu penyelenggaraan yang bermuara pada jaminan mutu lulusan senantiasa dapat terjaga, sehingga sepanjang masa diharapkan pesantren terus mampu mencetak generasi yang tetap bisa eksis berkiprah diberbagai lapisan kehidupan masyarakat.<br /><br />Kata Kunci :<br />Pesantren - profesionalisme – kepemimpinan <br />I. Pendahuluan<br />Budaya merupakan suatu konsep yang membangkitkan minat, bahkan secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, konsep alam semesta, objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.<br />Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan kita tidak kita sadari, mungkin suatu cara untuk memahami pengaruh tersebut dengan jalan membandingkannya dengan gejala yang sudah nampak pada sebelumnya dengan sekarang yang sedang terjadi, dengan kejadian tersebut, maka transpormasi budaya yang dapat diamati dari keadaan pesantren adalah pesantren masih tetap mengakar sebagai suatu lembaga yang berperan untuk mengabdi bahkan memberikan pencerahan nilai-niai keagamaan kepada masyarakat.<br />Nilai-nilai universal islami yang terjadi dilingkungan dunia pesantren yang merupakan menjadi ramuan pola pikir, sikap, dan perilaku umat islam dalam kenyataan sejarah perkembangan bangsa Indonesia, secara langsung ataupun tidak, telah berintegrasi dengan kehidupan bangsa dan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, baik melalui adat ataupun kebiasaan umat islam yang menjadi adat kebiasaan bangsa, melalui proses akulturasi yang berjalan dengan periode waktu yang panjang, maupun melalui proses enkulturasi direkayasa melalui rencana dan proses pendidikan islam.<br />Pesantren merupakan suatu pendidikan Islam yang merupakan suatu khazanah pemeliharaan dan perkembangan nilai yang berintegrasi dengan sistem norma yang mengikat pada adat kebiasaan serta pola hidup, pola hidup pada umumnya yang terjamin dalam pola pikir dan sikap yang jelas, khususnya mengenai masalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, ketatanegaraan, serta kehidupan sosial dan budaya yang mengakar pada sendi serta nilai-nilai keagamaan.<br />Pesantren dalam akar sejarah memiliki peran andil yang penting bagi awal pendidikan modern dengan terbentuknya madrasah, sekolah, bahkan perguruan tinggi yang bercorak islam telah memberikan citra dan nuansa bagi sekolah umum yang meniru barat, hal ini juga telah terjadi pula pada sisi pendidikan nonformal, mula dari bentuk pengajian sampai dengan kursus-kursus yang diselenggarakan oleh masjid dan masyarakat islam hingga latihan-latihan keterampilan dan bela diri bahkan juga tidak di sangkal bahwa hal ini membentuk karyawan serta citra umat islam Indonesia di kemudian hari.<br />Pembentukan sistem dan nilai, juga pola pikir bahkan perilaku umat islam ditandai dengan nilai-nilai dan keyakinan agama islam, harus dapat berfungsi sebagai faktor-faktor yang dibutuhkan oleh perkembangan budaya atau kultur bangsa sesuai dengan prinsip Islam itu sendiri yang merupakan rahmatan lil alamin (petunjuk bagi seluruh alam).<br />Islam dan perkembangannya harus merupakan bagian dari sistem nasional, dan tidak hanya merupakan modus vivendi (cara sementara), tetapi sekaligus harus juga berfungsi sebagai cara yang tepat dalam rangka mempertahankan eksistensi dan perkembangan bangsa (modus operandi), artinya umat islam harus memiliki kepedulian yang cukup tinggi terhadap lingkungan sosial bangsanya yang menjadi sarana kehidupan bangsa dengan kapasitas umat islam sebagai mayoritas.<br />Kepedulian semacam ini hanya mungkin dilaksanakan dan mencapai efektifitas yang tinggi bila umat islam di samping menguasai nilai-nilai keislaman, juga bersifat terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan sesuai dengan prinsip nilai islam itu sendiri, selain itu, umat islam juga harus terbuka untuk meningkatkan kualitas diri sendiri demi meningkatkan kualitas umat berlomba menuju masa depan yang baik bahkan lebih baik dari masa kini, esok dan mendatang.<br /> II. Sekilas Tentang Pondok Pesantren<br />Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari¬ hari.<br />Secara etimologi, istilah pesantren berasal dari kata "santri" , yang dengan awalan pe- dan akhiran -an berarti tempat tinggal para santri. Kata "santri" juga merupakan penggabungan antara suku kata sant (manusia baik) dan tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat diartikan sebagai tempat mendidik manusia yang baik (Ziemik, 1986 : 8). Sementara, Dhofier menyebutkan bahwa menurut Profesor Johns, istilah "santri" berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, sedang C C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Dhofier, 1982:18) . Dengan kata lain, istilah santri mempunyai pengertian seorang murid yang belajar buku-buku suci/ilmu-ilmu pengetahuan Agama Islam. Dengan demikian,pesantren dipahami sebagai tempat berlangsungnya interaksi guru¬ murid, kyai-santri dalam intensitas yang relatif permanen dalam rangka transferisasi ilmu-ilmu keislaman.<br />Dalam hubungan dengan usaha pengembangan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah (Departemen Agama), pengertian yang lazim dipergunakan untuk pesantren adalah sebagai berikut: <br />Pertama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non-klasikal (sistem Bandongan dan Sorogan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, (Sistem Bandongan dan Sorongan) dimana seorang kyai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok/asrama dalam lingkungan pesantren tersebut.<br />Kedua, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut diatas tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (Santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan sistem wetonan, para santri berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu (umpama tiap hari jum'at, ahad, selasa atau tiap-tiap waktu shalat dan sebagainya).<br />Ketiga, pondok pesantren dewasa ini adalah gabungan antara sistem pondok dan pesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan sistem bandongan, sorogan atau wetonan dengan disediakan pondokan untuk para santri yang berasal dari jauh dan juga menerima santri kalong, yang dalam istilah pendidiÿÿn modernrtemenuhi kriteria pendidikan non formal serta menyelenggarakan juga pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan sesuai dengan kebutuhan masyarakat masing-masing.(Saridjo, 1982 :9-10) <br />Pesantren atau pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang cukup unik karen memiliki elemen dan karakteristik yang berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Elemen-elemen Islam yang paling pokok, yaitu: pondok atau tempat tinggal para santri, masjid, kitab-kitab klasik, kyai dan santri. (Dhofier, 1982:44) Kelima elemen inilah yang menjadi persyaratan terbentuknya sebuah pcsantren, dan masing-masing elemen tersebut saling terkait satu sama dengan lain untuk tercapainya tujuan pesantren , khususnya, dan tujuan pendidikan Islam, pada umumnya, yaitu membentuk pribadi muslim seutuhnya (insan kamil). Adapun yang dimaksud dengan pribadi muslim seutuhnya adalah pribadi ideal meliputi aspek individual dan sosial, aspek intelektual dan moral, serta aspek material dan spiritual. Sementara, karakteristik pesantren muncul sebagai implikasi dari penyelenggaraan pendidikan yang berlandaskan pada keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian (menolong diri sendiri dan sesama), ukhuwwah diniyyah dan islamiyyah dan kebebasan. Dalam pendidikan yang seperti itulah terjalin jiwa yang kuat, yang sangat menentukan falsafah hidup para santri (Zarkasyi,1965:24-25).<br />Penyelenggaraan pendidikan pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah pimpinan kyai atau ulama, dibantu seorang atau beberapa ustadz (pengajar) yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid atau surau sebagai pusat peribadatan, gedung-gedung sekolah atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar-mengajar serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri. Kegiatan pendidikannya pun diselenggarakan menurut aturan pesantren itu sendiri dan didasarkan atas prinsip keagamaaan. Selain itu, pendidikan dan pengajaran agaman Islam tersebut diberikan dengan metode khas yang hanya dimiliki oleh pesantren, yaitu;<br />Rundongan atau Wetonan adalah metode pengajaran dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang membacakan kitab tertentu, sementara santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan-catatan. Disebut dengan istilah Wetonan, berasal dari kata wektu (istilah jawa untuk kata: waktu), karena pelajaran itu disampaikan pada waktu-waktu tertentu seperti sebelum atau sesudah shalat fardhu yang lima atau pada hari-hari tertentu.<br />Sorogan, adalah metode pengajaran individual, santri menghadap Kyai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran dari kitab tersebut kalimat demi kalimat, kemudian menerjemahkan dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan mengesahkan (istilah jawa: ngesah), yaitu dengan memberi catatan pada kitabnya untuk menandai bahwa ilmu itu telah diberikan kyai. Adapun istilah sorogan tersebut berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan, maksudnya santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai, sehingga terkadang santri itu sendiri yang membaca kitabnya dihadapan kyai, sedangkan kyai hanya menyimak dan memberikan koreksi bila ada kesalahan dari bacaan santri tersebut. <br />Beberapa pesantren dalam perkembangannya, disamping mempertahankan sistem tradisionalnya juga menggunakan sistem madrasi, baik sebagai basis pendidikannya ataupun yang bersifat tambahan.<br />Sesungguhnya proses terbentuknya pesantren dapat dipastikan sebagai upaya untuk melembagakan kegiatan agama, agar memiliki posisi dan peran yang berarti dalam menangani dan menanggulangi berbagai permasalahan kehidupan masyarakat.<br />Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh para pemula penyebar agama Islam yang dilaksanakan melalui kegiatan non formal dengan tatap muka yang kurang terjadwal berubah secara berangsur-angsur menjadi kegiatan yang terorganisasi, terlembaga dalam wujud yayasan-yayasan pendidikan pesantren, dari pesantren dengan sistem pendidikannya yang masih sangat sederhana hingga pesantren yang telah menerapkan sistem pendidikan sebagaimana lembaga pendidikan sekolah atau lebih dikenal dengan sebutan sekolah berasrama (Islamic Boarding School).<br />III. Kepemipinan Kiai di Pesantren <br />Pesantren hidup dan berakar bahkan berkembang sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat sekitar. Hal inilah yang membuktikan bahwa pesantren semakin dibutuhkan dan dirindukan kedatangannya oleh masyarakat yang membutuhkan makna dan sentuhan nilai-nilai kehidupan beragama.<br />Tanggapan masyarakat terhadap pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan yang didalamnya merupakan tempat pengkaderan santri agar senantiasa memiliki ketangguhan dalam berpegang pada ajaran-ajaran agama Islam, bahkan pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tumbuh serta mendapatkan legitimasi masyarakat sebagai tempat yang menggunakan sistem asrama, dimana para santri di dalamnya menerima pendidikan agama Islam dari seorang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik, dan independen dalam segala hal (Arifin, 1991: 2240).<br />Kehadiran pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan Islam (Tafaqquh fiddin), haruslah dipahami dalatn konteks sebagai wahana pengkaderan ulama, wahana yang melahirkan sumber daya manusia yang handal dengan sejumlah predikat mulia yang menyertainya seperti ; ikhlas, mandiri penuh dengan perjuangan dan heroik, tabah serta selalu mendahulukan kepentingan orang lain (masyarakat) di atas kepentingan individual.<br />Predikat baik di atas juga di uji oleh jaman yang semakin berkembang dengan pesamya, dan semakin banyak kajian yang membahas tentang pesantren, maka artinya kita masi'h memiliki kepedulian agar wahana pengkaderan ulama memiliki daya pikat dan sebagai batian masukan bagi pondok pesantren untuk semakin merefleksi atas apa yang telah dilakukannya, khususnya berkaitan dengan pembangunan nasional.<br />Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang dipersiapkan untuk memperlajari, memahami, mendalami, menghayati dan mengamatkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari (Mustuhu, 1994: 20).<br />Pesantren merupakan suatu model lembaga pendidikan Islam yang diorganisir oleh masyarakat dan formatnya juga dirancang sendiri olah masyarakat walaupun memang tidak terlepas dari rindang-undang atau peraturan pemerintah dalam ludup berbangsa dan bernegara ( Ma'arif, 1991 : 1).<br />Karakteristik fisik yang membedakan antara pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya antara lain dibedakan dari unsur-unsur yang terdapai didalamnya, yang biasanya terdiri dari kiai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning (Dhofier, 1982: 44). Walaupun Wahid menyatakan bahwa unsur-unsur tersebut berfungsi sebagai sarana pendidikan yang berfungsi membentuk perilaku sosial cultural santri tersebut (Wahid, 1988: 40).<br />Keberhasilan atau kegagalan sebtiah pesantren akan sangat ditentukan oleh tingkat keteguhan dan kesungguhan para pengasuhnya (kiai) dalam mengembangkan lembaga yang dipimpinnya, karena itu sebenarnya tidaklah terlalu berlebihan jika ada banyak pengamat menilai bahwa pesantren itu merupakan persoalan enterprise para pengasuhnya.<br />Demikian ketatnya hubungan antara kiai dengan pesantren yang di pimpinnya, sehingga tidaklah sedikit diantara mereka yang metnahami hal tersebut sebagai pengabdian agar dapat berbuat sesuatu yang lebih baik bagi kemaslahatan umat.<br />Dalam kerangka administrasi pendidikan, pondok pesantren selalu dikaitkan dengan adanya instituisi badan wakaf, para anggota badan wakaf itulah yang secara kolektif menentukan perjalanan pesantren, akan tetapi pengaturan demikian itu lebih dimaksudkan untuk menjamin tingkat sustatnabilrty pesantren, khususnya jika para pendiri dan pengasuhnya sudah tidak ada lagi.<br />Dalam situasi seperti diatas, maka hidup matinya pesantren berada pada tangan pengasuhnya atau pendirinya, dalam konteks seperti inilah personal enterprise hendaknya dipahami.<br />Subkultur pesantren yang dibangun oleh kiai dan santri dengan ciri-ciri ekslusif, fanatisme dan esoteris adaIah sebagai suatu upaya dalam rangka menjaga tradisi-tradisi keagamaan dari pengaruh eksternal, walaupun sebenarnya yang harus mendapatkan perhatian adalah dan segi hubungan antara subkultur pesantren dengan pengaruh perubahan sosial (Hadimulyo, 1985: 98).<br />Perkembangan masing-masing pesantren memiliki akselerasi yang berbeda, dan gejala ini dapat diketahui dari faktor sosial budaya yang mempengaruhi masyarakat sekitar pondok pesantren itu sendiri, perbedaan sosial budaya masyarakat menentukan tujuan berdirinya lembaga pesantren, sehingga dalam perkembangan selanjutnya masing-masing pondok pesantren memiliki arah yang berbeda, sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat sekitar.<br />Pondok pesantren memiliki visi dan misi keagamaan yang dikembangkan sesuai dengan pribadi dari kiai pendiri pesantren tersebut, sedangkan mnetode pengajarannya dan materi kitab yang diajarkan ditentukan sejauh mana kualitas yang dimiliki oleh kiai dan yang dipraktekan dalam keseharian ( Ziemek, 1986: 135).<br />Pesantren memiliki misi yang sarat dengan muatan-muatan keagamaan, bahkan seorang kiai menjelaskan, bahwa pesantren adalah sebagai suatu ladang amal ibadah untuk kehidupan akhirat, tujuan yang tidak dibuktikan dengan papan statistik dan tertulis adalah untuk menghindari dari sikap ria (Sukatrtto, 19W 141),<br />Corak kelembagaan pondok pesantren serta kepemimpinan yang dilakukan era sekarang adalah merupakan konsekuensi logis dari perjalanan pesantren dalam periode sebelumnya, sehingga perubahan dan penyesuaian yang terjadi dalam dunia pesantren menunjukan bahwa visi, misi dan kepemimpinan kiai hendaknya mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat serta sistem pendidikan nasional.<br />Fakta diatas merupakan suatu bukti bahwa pesantren dapat melakukan pembaharuan sistem pendidikannya yang telah diterapkan selama bertahun-tahun, bahkan yang lebih luwes lagi kiai bersedia meninjau kembali pemahaman keagamaan, termasuk bidang bidang sosial, bahkan pada beberapa pesantren senantiasa mencari pola baru dalam kaderisasi kepemimpinan guna mempersiapkan re-generasi kepemimpinan pondok pesantren.<br />Visi yang dikembangkan oleh pesantren akan berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya, baik lembaga pendidikan non formal terlebih lembaga pendidikan formal, pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang tidak rnencetak pegawai yang mau diperintab oleh orang lain, akan tetapi lembaga pendidikan yang mencetak majikan (paling tidak) untuk dirinya sendiri, bahkan lembaga yang mampu mencetak orang-orang yang berani hidup mandiri, (Mukti Ali, 1991: 3).<br />Hal ini dibuktikan dengan mutu lulusan yang sudah sekian lama mengenyam pendidikan di pesantren lalu terjun kemasyarakat dan berbaur untuk hidup dalam masyarakat bahkan mereka cenderung menjadi pionir yang selalu berusaha merenovasi dan menata kehidupan keagamaannya yang semakin sarat dengan tuntutan perubahan zaman.<br />Mastuhu (1994: 55) mengemukakan bahwa pondok pesantren memiliki visi dan misi : “Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, bezmanfaat bagi kehidupan masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula dan pelayan masyarakat, seperti halnya misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, dan selain itu mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepn`badian menyebarkan agama atau menegakan Islam dan kejayaan umat Islam (Izzul Islam Wal Muslimin), dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia, idealnya kepribadian yang dituju oleh Allah SWT.”<br />Sutomo terkenal dengan visinya yang sangat tajam dalam melihat dunia pondok pesantren, dan beliau terkenal dengan argumentasinya yang mengatakan akan pentingnya agar asas-asas sistem pendidikan pesantren dipergunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional, walaupun palzam ini kurang mendapatkan tanggapan yang berarti, namun patutlah digaris bawahi bahwa pesantren telah dilihat sebagai suaai sistem yang tidak terpisahkan dari pembentukan identitas budaya bangsa Indonesia (Malik Fadjar, 1998: 126).<br />Lebih lanjut Wahid mempopulerkan pesantren sebagai sub-kultur dari bangsa Indonesia. Dengan melihat latar belakang sejarah dan perkembangan pendidikan di Indonesia, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pesantren telah menjadi semacam ‘local genius’.<br />Pesantren telah dianggap sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan, baik dari segi aspek tradisi keilmuannya, maupun pengakuan masyarakat akan keberadaannya . Martin Van Bruinessen menilai sebagai salah satu tradisi agung maupun sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat lslam.<br />Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang tidak di dasari oleh keseimbangan kemajuan bidang keterampilan lainnya telah mampu menggeser kedudukan sistem pengelolaan pondok pesantren.<br />Ada beberapa indikator pergeseran nilai yang dialami oleh pondok pesantren, diantaranya yang dikemukakan oleh Mustuhu : Kiai bukan lagi satu-satunya sumber belajar, dengan semakin beraneka ragamnya sumber belajar baru, maka semakin tinggi pula dinamika komunikasi antara sistem pendidt`kan pondok pesantren dengan sistem yang lain, santri dapat belajar dari berbagai sumber, namun kondisi semacam ini tidak segera menggeser kedudukan kiai sebagai tokoh kunci yang menentukan corak pendidikan pesantren. Seiring dengan pergeseran nilai, maka kebanyakan santri saat ini membutuhkan ijazah dan penguasaan bidang keterampilan-ketranipilan yang jelas agar dapat mengantarkannya untuk menguasai dan memasuki lapangan kehidupan baru, sebab dalam kehidupan modern kita tidak hanya cukup dengan berbekal moral yang baik, tetapi perlu dilengkapi dengan skill yang relevan dengan sinergis dan kebutuhan dunia kerja.<br />Pergeseran nilai sumber belajar tersebut merupakan suatu proses menuju demokrasi pondok pesantren khususnya bagi santri, dimana santri diberikan keluasaan untuk mencari berbagai disiplin ilmu yang sekiranya tidak didapatkan di dunia pesantren, hal inilah yang menank dalam perkembangan kemajuan pondok pesantren.<br />Ilmu manajemen pendidikan telah memberikan warna terhadap perlunya pondok pesantren malakukan inovasi terutama mengenai visi misi dan manajemen kepemimpinannya (Azra, 1986: 229). Lebih lanjut Azra mengemukakan bahwa pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam indigenous, telab berusaha melakukarl berbagai eksperimentasi untuk menyesuaikan dengan sistem pendidikan modem, terutama pada segi-segi yang berkaitan dengan masalah kurikulum, teknik dan methode pengajaran.<br />Hal seperti ini diawali pada tahun 70-an, akan tetapi perubahan-perubahan tersebut ternyata tanpa melibatkan wacana epistimologi, akibatnya modernisasi dalam dunia pondok pesantren hanyalah berlangsung secara adhoci parsial, sebab itulah modernisasi yang dilakukan pesantren selama ini hanyalah bersifat sekedar perubahan-perubahan yang hanya memunculkan kerumitan baru dari pada terobosan-terobosan yang betul-betul bisa dipertanggung jawabkan ( Azra, 1999:40).<br />Dhofier mengemukakan bahwa kiai dan pesantren telah memainkan peranan sebagai creative cultural maker's. Dengan peran itulah kiai memainkan peranan yang sangat penting dalam konteks masyarakat muslim Indonesia modern, kiai dengan pesantrennya telah mampu menyumbangkan atas tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Indonesia yang bervariasi.<br />Lebih lanjut dikatakan Dhofier bahwa problema pembaharuan dalam pesantren terjadi karena adanya kontradiksi pada sebagian pesantren berupa tarik menarik antara kalangan muslim tradisional dengan gayanya yang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menemukan kembali nilai-nilai tradisional kemudian diinterprestasikan kembali sesuai dengan persepktif baru-dan yang Iebih menekankan nilai-nilai tradisional sebagaimana adanya (Dhofier, 1982: 175).<br />Pergeseran makna kepemimpinan dalam sebuah pondok pesantren telah memberikan nuansa yang berbeda terutama bila dilihat dari segi perencanaan dan kinerja produktivitas pesantrennya, walaupun mungkin memiliki kesamaan misi yang diemban oleh pesantren yang memiliki gaya kepemimpinan tradisional dengan gaya kepemimpinan pesantren yang modern yaitu membawa umat kepada jalan kebajikan.<br />Kebanyakan kepemimpinan pondok pesantren baik yang bersifat tradisional maupun maju selalu dipegang oleh keluarga yang memiliki golongan darah biru, (Khaerul, 2001: 70), walaupun hal ini bukanlah sebuah kemutlakan, sebab ada pesantren maju yang menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada Dewan kiai.<br />III. Keharusan Profesionalisasi dalam Pendidikan Pesantren<br />Pesantren tidak menutup diri begitu saja dari perubahan sosial yang sedang berlangsung, termasuk pengaruh cepat dari luar yang dapat berakibat bagi perubahan budaya di lingkungan pesantren. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang informasi, yang sekaligus ditandai oleh adanya sarana informasi yang langsung atau tidak langsung akan dapat mempengaruhi budaya pesantren, dan yang terkait erat adalah santri, dengan demikian, maka pergeseran budaya akan sangat mempengaruhi proses keberhasilan pesantren dalam membina tujuan utamanya yaitu sebagai lembaga pengkaderan ulama.<br />Upaya yang dilakukan kiai dalam mengantisipasi berbagai bentuk perubahan budaya yang terjadi lingkungan pesantren adalah dengan meyakinkan pengikutnya, terutama santrinya dengan jalan memberikan pemahaman yang luas tentang visi dan misi yang di emban oleh pesantren tersebut, dengan demikian, maka kesan kiai tidak semata-mata ekstrim atau sosok yang menolak perubahan, sebab bagaimanapun bentuk penolakan tersebut perubahan akan senantiasa terjadi dan terus terjadi, sehingga kiai sebagai pemegang teguh kebijakan yang berlaku di pesantren hendaknya dapat mensiyalir perubahan tersebut dan juga menyeleksi perubahan tersebut dan selama perubahan-perubahan tersebut sesuai dengan norma yang berlaku atau tidak merusak akidah dan syari’ah, mengapa tidak diterima, sebab segala sesuatu perubahan akan berdampak baik positif ataupun negatif sekalipun, dan hendaknya pesantren dapat menjadi mercusuar dalam mengantisipasi perubahan tersebut.<br />Mastuhu (1999 : 259), memberikan suatu wacana akan perubahan budaya yang berlaku di lingkungan pesantren, lebih lanjut dikatakan bahwa di era industrialisasi, memungkinkan pesantren memiliki peran ganda (dual culture); agraris dan industri, yang pertama merupakan pondasi untuk mengantisipasi atau membaca setiap pengaruh yang datang dari luar, sedangkan yang kedua merupakan vision pesantren sendiri guna mempredeksi bagaimana posisinya ditengah-tengah masyarakat yang semakin maju, sehingga visi pesantren itu merupakan pengejawantahan dari doktrin cultural-politik-kiai.<br />Perubahan diatas hendaknya menjadi cambuk yang berarti bagi keluarga pesantren, terutama dalam mempersiapkan generasi berikutnya yang dipercaya untuk mengembangkan pesantren ke depan, sehingga pengkaderan keluarga kiai dalam mendidik anak-anaknya untuk semata-mata menguasai ilmu agama, melainkan menguasai bidang lain yang berhubungan dengan sains dan teknologi. <br />Profesi merupakan suatu status yang mengarah kepada bukti kinerja atas bidang pekerjaan yang digeluti, sebagai suatu profesi status pekerjaan telah mengalami suatu proses yang menuju kearah perkembangan yang dinamis sehingga memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan (Vollmer, 1996 : 2)<br />Profesi biasanya berkaitan erat dengan beberapa jenis pekerjaan atau bidang keahlian, diantaranya; dokter, insinyur, pengacara, walaupun hal ini merupakan penglihatan dari kacamata individual, akan tetapi biasanya profesionalisasi dalam lembaga pendidikan lebih cenderung mengarah kepada birokrat dan hal ini biasanya dibuktikan dalam perilaku kesehariannya yang biasa disebut dengan salaried professional<br />Suatu taksonomi pendidikan tentang tenaga professional dibedakan atas (1) preservic teacher education (2) inservice teacher education (3) continuing education (4) continued education (5) staff development (Konecki dan Stein, 1978 : 42). Preservice education diartikan dengan program pendidikan persiapan jabatan guru yang dilaksanakan pada tingkat perguruan tinggi yang lamanya empat atau lima tahun, sedangkan inservice education dipersiapkan untuk meningkatkan kemampuan professional guru yang merupakan program penataran yang lamanya satu hari atau dengan satu tahun. Contibuing education diartikan dengan upaya pendidikan yang dilakukan sendiri oleh seseorang sesuai dengan minat dan kebutuhannya dalam rangka pertumbuhan jabatan professionalnya, sedangkan continued education merupakan program pendidikan lanjutan atas spesialisasi keahlian seseorang dalam rangka meningkatkan dan memperdalam pengetahuan dan kemampuannya melalui pendidikan pascasarjana, dan staff development merupakan peningkatan kemampuan professional seseorang yang berhubungan dengan mutu pelayanannya terhadap orang lain.<br />Melihat hal itu semua, karena pesantren dikembangkan oleh sendiri dan dibesarkan melalui minat sendiri juga kemauan yang selalu didasarkan atas kemampuan diri serta dorongan publik yang membutuhkan keberadaan lembaga tersebut, maka sebagai bagian dari taxonomi pendidikan, sudah merupakan keharusan mengedepankan profesionalisme dalam penyelenggaraan pendidikannya.. <br />E. Fiedler dan Martin M. Charmers, dalam pengantar bukunya yang berjudul Leadership effective management, mengemukakan bahwa suatu kajian yang mengarah kepada sektor kepemimpinan dilihat dari unsur hakikat, walaupun hampir dari sekian banyak studi atas pendekatan penelitian kepemimpinan lebih diarahkan pada; pendekatan kewibawaan, pendekatan sifat, dan pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional.<br />Pendekatan kewibawaan itu sendiri mengarah kepada sisi keberhasilan kepemimpinan yang mementingkan dan memgutamakan kewibawaan untuk keberhasilan organisasi yang dipimpinnya. <br />Timbulnya kewibawaan kepemimpinan beragam, seperti yang diungkapkan dalam penelitiann French dan Raven yang mengungkapkan beberapa definisi, kewibawaan dan mengarah kepada asal mula timbulnya kewibawaan tersebut, dan hal ini dilihat dari beberapa unsur;<br />a. Reward Power, istilah ini cenderung mendekati kepada kinerja bawahan yang ingin mendapatkan penghargaan yang setinggi-tingginya dari atasan.<br />b. Coersive Power, merupakan suatu pembelaan diri atas pekerjaan agar terhindar dari sangsi yang suatu saat akan dijatuhkan oleh pemimpinnya.<br />c. Legitimate Power, merupakan suatu prilaku mutlak dari seorang pemimpin yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengendalikan, dan memenej suatu peraturan, dan dalam hal ini bawahan harus mematuhinya.<br />d. Expert Power, merupakan suatu keyakinan yang dibentuk oleh bawahan dengan suatu anggapan bahwa tidak semata-mata pemimpinnya mengeluarkan suatu aturan untuk ditaati, kalau pemimpinnya tidak memiliki pengetahuan yang cukup komprehensif dan memadai.<br />e. Referent Power, lebih mengarah kepada perilaku bawahan yang menganggap bahwa sebagai bawahan dia memiliki rasa kekaguman yang mendalam kepada pemimpinnya, sehingga bahkan lebih cenderung ingin berperilaku seperti pemimpinnya.<br />Mengacu kepada rangkaian kepustakaan diatas, maka pendekatan kewibawaan lebih cenderung mengarah kepada rasa percaya diri yang dalam dari seorang pemimpin guna menjalankan roda organisasinya, walaupun sebenarnya pendekatan seperti ini tidak menutup kemungkihnan terbina melalui pendekatan sifat.<br />Ciri yang paling mendasar dari pendekatan seperti ini lebih cenderung kepada beberapa sifat pribadi yang melekat, seperti ditandai oleh ciri-ciri fisik (physical characteristic), kepribadian (personality), dan kemampuan serta kecakapan (ability).<br />Dengan demikian maka keberhasilan kepemimpinan melalui pendekatan sifat tidak hanya didasarkan atas sifat-sifat yang dimiliki oleh pemimpin semata, melainkan didasarkan pula atas keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan roda kepemimpinannya.<br />Adapun yang dimaksud dengan pendekatan perilaku, lebih didasarkan atas pentingnya perilaku yang dapat diamati atau yang dilakukan oleh para pemimpin dari sifat-sifat atau sumber kewibawaan yang dimilikinya. Kemampuan perilaku secara konsepsional telah berkembang kedalam berbagai macam cara dan tingkatan abstraksi, perilaku seorang pemimpin yang mengutamakan unsur sifat biasanya digambarkan atas istilah pola aktivitas.<br />Dengan mempergunakan pendekatan perilaku, maka besar kemungkinan akan memunculkan peranan manajerial dalam mengelola organisasi, walaupun lebih menekankan pada unsur-unsur aktivitas diri dalam mengembangkannya, dalam arti yang luas lebih menekankan pada sifat-sifat yang melekat pada dirinya, bukan hanya sosok pemimpin semata, melainkan sebagai sosok individual lebih mewarnai.<br />Adapun yang dimaksud dengan pendekatan situasional lebih menekankan pada ciri-ciri pribadi pemimpin dan situasi, mengemukakan dan mencoba untuk mengukur dan memprediksi ciri-ciri tersebut, dan membantu pimpinan dengan garis pedoman perilaku yang bermanfaat yang didasarkan atas kombinasi dari kemungkinan yang bersifat kepribadian, sehingga lajim teori ini disebut dengan pendekatan kontingensi atau pendekatan situasional.<br />Teori kontingensi bukan hanya merupakan hal yang penting bagi kompleksitas yang bersifat interaktif dan fenomena kepemimpinan, akan tetapi membantu pula para pemimpin potensial dengan konsep-konsep yang bermanfaat dalam menilai situasi yang beragam dan menunjukkan perilaku kepemimpinan yang tepat berdasarkan situasi (Wahjosumidjo, 1999 : 29), lebih lanjut dikatakan Wahjo ada beberapa model pendekatan kepemimpinan situasional, yaitu model Fiedler (1974), model House’s Patf Goal (1974), model Vroom-Yetton (1973), dan model situasi (1977).<br />Bagaimanapun suatu model kepemimpinan dilakukan oleh pemimpin suatu organisasi, akan mempengaruhi kinerja para anggotanya, oleh sebab itu keterkaitan masing-masing anggota organisasi dibutuhkan dalam pengukuran keinovatifan organisasi.<br />Saling keterkaitan itu sendiri merupakan derajat dimana unit-unit dalam suatu sistem sosial dihubungkan oleh jaringan-jaringan interpersonal, gagasan-gagasan baru dapat saja mengalir secara mudah diantara anggota organisasi jika organisasi itu sendiri memiliki keterkaitan jaringan yang tinggi, sebab secara langsung variabel ini akan menghubungkan dengan keinovatifan organisasi.<br />Pesantren sebagai sosok organisasi yang memiliki jaringan yang luas terutama dengan masyarakat, hendaknya memiliki kemudahan dalam merefleksikan keinovatifannya, namun pada kenyataannya pesantren sebaagi salah satu sosok organisasi yang kaku hal ini membuktikan bahwa pada satu sisi sering menekankan kebutuhan dan gagasan yang bahkan masyarakat sendiri kurang memahami akan bentuk kebijakan tersebut, sebab hal ini berhubungan langsung dengan sosok figur seorag kiai yang mengeluarkan kebijakan tersebut, sehingga lajimnya suatu kebijakan seorang kiai, maka kebijakan tersebut tidak dapat ditawar lagi bahkan merupakan keputusan final, sehingga pengukuran keinovatifan pesantren dapat diukur dan didukung pula oleh kelenturan pesantren itu sendiri.<br />Kelenturan pesantren sebaagi suatu organisasi merupakan derajat dimana sumber-sumber yang tidak terikat (netral), tersedia di dalam pesantren tersebut, hal ini dimaksudkan bahwa pesantren sebagai suatu organisasi secara positif berhubungan dengan keinovatifan organisasi, khususnya untuk inovasi biaya tinggi, sehingga ukuran keinovatifan biasanya diukur pula oleh ukuran suatu organisasi secara konsisten, sebab hal ini ditemukan memiliki hubungan yang positif dengan keinovatifannya, maka dapat dijelaskan bahwa semakin besar organisasi, maka akan semakin inovatif (Mimbar Ilmiah, 2000 : 39).<br />Dri uraian di atas dapat dimengerti bahwa banyak macam ragam serta model kepemimpinan yang dapat dikembangkan di lingkungan pondok pesantren yang diharapkan mampu untuk membuka diri dengan interpensi dari luar guna mempersiapkan kader kepemimpinan di masa mendatang, sebab dengan menutup diri campur tangan dari pihak luar, maka kemungkinan pemimpinnya di masa mendatang ataupun terlebih dalam melakukan suksesi atau pergantian kepemimpinan tersebut akan dihadapkan pada berbagai masalah yang akan mengganggu profesionalisme penyelenggaraan pendidikan di pesantren, padahal tuntutan sekarang mengharuskan penyelenggaraan pendidikan pesantren dengan mengedepankan profesionalisme.<br />IV. PENUTUP<br />Ketidak terbukaannya sistem perubahan pesntren lebih disebabkan oleh kenyataan bahwa sikap pesantren memang sangat hati-hati dalam menentukan pilihan, sehingga selektifitas tersebut seolahnya memberikan gambaran bahwa pesantren bersikap sangat tertutup. Selektifitas tersebut sebenarnya dapatlah dimaklumi karena biasanya didasarkan atas beberapa pertimbangan yang paling utama adalah pertimbangan keagamaan serta komunitas social, sehingga pada kenyataannya manakala telah dianggap sangat tepat pesantren senantiasa akan melakukan perubahan, bahkan sampai kepada kepemimpinannya.<br />Tuntutan perkembangan zaman mengharuskan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk dikelola secara professional, hal ini tentu untuk menjaga kualitas out put pesantren yang sampai saat ini masih banyak yang mampu berkiprah secara baik di berbagai lapisan strata social masyarakat, dan menurut saya ini harus dimulai dengan merubah pola/ gaya kepemimpinan (bukan berarti merubah pemimpinnya) dari kepemimpinan tradisional ke kepemimpinan yang lebih mengedepankan profesionalisme.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-14963916198893623512008-12-05T03:28:00.000-08:002008-12-12T02:47:13.760-08:00KHUTBAH ‘IDUL ADHA 1429 Hijriyyahاللَّهُ أكْـبَرُ ، اللَّهُ أكْـبَرُ ، اللَّهُ أكْـبَرُ ، اللَّهُ أكْـبَرُ ، اللَّهُ أكْـبَرُ ، اللَّهُ أكْـبَرُ ، اللَّهُ أكْـبَرُ ، اللَّهُ أكْـبَرُ ، اللَّهُ أكْـبَرُ ، لاَ إِلـهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أكْـبَرُ ، اللَّهُ أكْـبَرُ وَللَّهِ الْحَمْدُ . اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي عَلَّمَنَا الْبَيَانَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللَّهُ الرَّحْمَانْ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَـبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُصْطَفَى مِنْ عَدْنَانْ ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبهِ الرَّاجِيْنَ الْفَوْزَانْ . أمَّا بَعْدُ فَيَا عِبَادَ اللَّهِ ، اِتَّقُوا اللَّهَ فِى السِّرِّ وَالْعَلَنْ. <br /><br />الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد معاشر المسلمبن رحمكم الله<br /><br />Alhamdulillah, tentu merupakan satu kenikmatan dan kebahagiaan yang tiada terhingga bahwa pada hari ini kita merayakan hari raya Idul Adha, hari raya terbesar bagi umat Islam yang bersifat internasional, setelah dua bulan sebelumnya kita merayakan hari raya Idul Fithri. Pada hari ini sekitar tiga juta umat Islam dari beragam suku, bangsa dan ras serta dari berbagai tingkat sosial dan penjuru dunia berkumpul dan berbaur di kota suci Makkah Al-Mukarramah untuk memenuhi panggilan Allah menunaikan ibadah haji: <br /> •• <br />“Dan serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 27)<br /><br />Hari raya Idul Adha juga merupakan hari raya istimewa karena dua ibadah agung dilaksanakan pada hari raya ini yang jatuh di penghujung tahun hijriyah, yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Kedua-duanya disebut oleh Al-Qur’an sebagai salah satu dari syi’ar-syi’ar Allah swt yang harus dihormati dan diagungkan oleh hamba-hambaNya. Bahkan mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah merupakan pertanda dan bukti akan ketaqwaan seseorang seperti yang ditegaskan dalam firmanNya:<br /> <br /> <br /> “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (Al-Hajj: 33) Atau menjadi jaminan akan kebaikan seseorang di mata Allah seperti yang diungkapkan secara korelatif pada ayat sebelumnya, “Demikianlah (perintah Allah). <br /> <br /><br />Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya”. (Al-Hajj: 30)<br /><br />Kedua ibadah agung ini yaitu ibadah haji dan ibadah qurban tentu hanya mampu dilaksanakan dengan baik oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan Allah yang merupakan makna ketiga dari hari raya ini: “Qurban” yang berasal dari kata “qaruba - qaribun” yang berarti dekat. Jika posisi seseorang jauh dari Allah, maka dia akan mengatakan lebih baik bersenang-senang keliling dunia dengan hartanya daripada pergi ke Mekah menjalankan ibadah haji. Namun bagi hamba Allah yang memiliki kedekatan dengan Rabbnya dia akan mengatakan “Labbaik Allahumma Labbaik” - lebih baik aku memenuhi seruanMu ya Allah…Demikian juga dengan ibadah qurban. Seseorang yang jauh dari Allah tentu akan berat mengeluarkan hartanya untuk tujuan ini. Namun mereka yang posisinya dekat dengan Allah akan sangat mudah untuk mengorbankan segala yang dimilikinya semata-mata memenuhi perintah Allah swt.<br /><br />Mencapai posisi dekat “Al-Qurban/Al-Qurbah” dengan Allah tentu bukan merupakan bawaan sejak lahir. Melainkan sebagai hasil dari latihan (baca: mujahadah) dalam menjalankan apa saja yang diperintahkan Allah. Karena seringkali terjadi benturan antara keinginan diri (hawa nafsu) dengan keinginan Allah (ibadah). Disinilah akan nyata keberpihakan seseorang apakah kepada Allah atau kepada selainNya. Sehingga pertanyaan dalam bentuk “muhasabah: evaluasi diri ” dalam konteks ini adalah: “mampukan kita mengorbankan keinginan dan kesenangan kita karena kita sudah berpihak kepada Allah?…Sekali lagi, ibadah haji dan ibadah qurban merupakan gerbang mencapai kedekatan kita dengan Allah swt.<br /><br />الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد معاشر المسلمبن رحمكم الله<br />Icon manusia yang begitu dekat dengan Allah yang karenanya diberi gelar KhaliluLlah (kekasih Allah) adalah Ibrahim. Sosok Ibrahim dengan kedekatan dan kepatuhannya secara paripurna kepada Allah tampil sekaligus dalam dua ibadah di hari raya Idul Adha, yaitu ibadah haji dan ibadah qurban. Dalam ibadah haji, peran nabi Ibrahim tidak bisa dilepaskan. Tercatat bahwa syariat ibadah ini sesungguhnya berawal dari panggilan nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah swt dalam firmanNya: <br /> •• <br /><br />“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ serta sujud. Dan kemudian serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh“. (Al-Hajj: 26-27).<br /><br />Ibadah ini harus diawali dengan kesiapan seseorang untuk menanggalkan seluruh atribut dan tampilan luar yang mencerminkan kedudukan dan status sosialnya dengan hanya mengenakan dua helai kain ‘ihram’ yang mencerminkan sikap tawaddu’ dan kesamaan antar seluruh manusia. Dengan pakaian sederhana ini, seseorang akan lebih mudah mengenal Allah karena dia sudah mengenal dirinya sendiri melalui ibadah wuquf di Arafah. Dengan penuh kekhusyu’an dan ketundukkan seseorang akan larut dalam dzikir, munajat dan taqarrub kepada Allah sehingga ia akan lebih siap menjalankan seluruh perintahNya setelah itu. Dalam proses bimbingan spritual yang cukup panjang ini seseorang akan diuji pada hari berikutnya dengan melontar jumrah sebagai simbol perlawanan terhadap syetan dan terhadap setiap yang menghalangi kedekatan dengan Rabbnya. Kemudian segala aktifitas kehidupannya akan diarahkan untuk Allah, menuju Allah dan bersama Allah dalam ibadah thawaf keliling satu titik fokus yang bernama ka’bah. Titik kesatuan ini penting untuk mengingatkan arah dan tujuan hidup manusia: <br /><br /> • <br /><br />“katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam”. (Al-An’am: 162)<br /><br />Akhirnya dengan modal keyakinan ini, seseorang akan giat berusaha dan berikhtiar untuk mencapai segala cita-cita dalam naungan ridha Allah swt dalam bentuk sa’I antara bukit shafa dan bukit marwah. Demikian ibadah haji sarat dengan pelajaran yang kembali ditampilkan oleh Ibrahim dan keluarganya.<br /><br /><br /><br /><br />الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد معاشر المسلمبن رحمكم الله<br /><br />Dalam ibadah qurban, kembali Nabi Ibrahim tampil sebagai manusia pertama yang mendapat ujian pengorbanan dari Allah swt. Ia harus menunjukkan ketaatannya yang totalitas dengan menyembelih putra kesayangannya yang dinanti kelahirannya sekian lama. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: <br /> <br /><br />“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Ash-Shaffat: 102).<br /><br />Begitulah biasanya manusia akan diuji dengan apa yang paling ia cintai dalam hidupnya.<br /><br />الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد معاشر المسلمبن رحمكم الله<br /><br />Andaikan Ibrahim manusia yang dha’if, tentu akan sulit untuk menentukan pilihan. Salah satu diantara dua yang memiliki keterikatan besar dalam hidupnya; Allah atau Isma’il. Berdasarkan rasio normal, boleh jadi Ibrahim akan lebih memilih Ismail dengan menyelamatkannya dan tanpa menghiraukan perintah Allah tersebut. Namun ternyata Ibrahim adalah sosok hamba pilihan Allah yang siap memenuhi segala perintahNya, dalam bentuk apapun. Ia tidak ingin cintanya kepada Allah memudar karena lebih mencintai putranya. Akhirnya ia memilih Allah dan mengorbankan Isma’il yang akhirnya menjadi syariat ibadah qurban bagi umat nabi Muhammad saw.<br /><br />Dr. Ali Syariati dalam bukunya “Al-Hajj” mengatakan bahwa Isma’il adalah sekedar simbol. Simbol dari segala yang kita miliki dan cintai dalam hidup ini. Kalau Isma’ilnya nabi Ibrahim adalah putranya sendiri, lantas siapa Isma’il kita? Bisa jadi diri kita sendiri, keluarga kita, anak dan istri kita, harta, pangkat dan jabatan kita. Yang jelas seluruh yang kita miliki bisa menjadi Isma’il kita yang karenanya akan diuji dengan itu. Kecintaan kepada Isma’il itulah yang kerap membuat iman kita goyah atau lemah untuk mendengar dan melaksanakan perintah Allah. Kecintaan kepada Isma’il yang berlebihan juga akan membuat kita menjadi egois, mementingkan diri sendiri, dan serakah tidak mengenal batas kemanusiaan. Allah mengingatkan kenyataan ini dalam firmanNya:<br /> <br /><br /> “Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik“. (At-Taubah: 24)<br /><br />Karena itu, dengan melihat keteladanan berqurban yang telah ditunjukkan oleh seorang Ibrahim, apapun Isma’il kita, apapun yang kita cintai, qurbankanlah manakala Allah menghendaki. Janganlah kecintaan terhadap isma’il-isma’il itu membuat kita lupa kepada Allah. Tentu, negeri ini sangat membutuhkan hadirnya sosok Ibrahim yang siap berbuat untuk kemaslahatan orang banyak meskipun harus mengorbankan apa yang dicintainya.<br />الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد معاشر المسلمبن رحمكم الله<br />Keta’atan yang tidak kalah teguhnya dalam menjalankan perintah Allah adalah keta’atan Isma’il untuk memenuhi tugas bapaknya. Pertanyaan besarnya adalah: kenapa Isma’il, seorang anak yang masih belia rela menyerahkan jiwanya?. Bagaimanakan Isma’il memiliki kepatuhan yang begitu tinggi?. Nabi Ibrahim senantiasa berdoa: <br /> <br />“Tuhanku, anugerahkan kepadaku anak yang shalih (Ash-Shaffat: 100). Maka Allah mengkabukan doanya:<br /> <br /> “Kami beri kabar gembira kepada Ibrahim bahwa kelak dia akan mendapatkan ghulamun halim”. (Ash-Shaffat: 101). Inilah rahasia kepatuhan Isma’il yang tidak lepas dari peran serta orang tuanya dalam proses bimbingan dan pendidikan. Sosok ghulamun halim dalam arti seorang yang santun, yang memiliki kemampuan untuk mensinergikan antara rasio dengan akal budi tidak mungkin hadir begitu saja tanpa melalui proses pembinaan yang panjang. Sehingga dengan tegar Isma’il berkata kepada ayahandanya dengan satu kalimat yang indah: :<br /> <br /><br /> “Wahai ayah, laksanakanlah apa yang diperintahkan Allah, niscaya ayah akan mendapatiku seorang yang tabah hati, insya Allah”. (Ash-Shaffat: 102)<br />Orang tua mana yang tak terharu dengan jawaban seorang anak yang ringan menjalankan perintah Allah yang dibebankan kepada pundak ayahandanya. Ayah mana yang tidak terharu melihat sosok anaknya yang begitu lembut hati dan perilakunya. Disinilah peri pentingnya pendidikan keagamaan bagi seorang anak semenjak mereka masih kecil lagi, jangan menunggu ketika mereka remaja apalagi dewasa. Sungguh keteladanan Ibrahim bisa dibaca dari bagaimana ia mendidik anaknya sehingga menjadi seorang yang berpredikat ‘ghulamun halim’.<br /><br />الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد معاشر المسلمبن رحمكم الله<br /><br />Setelah mencermati dua pelajaran kehidupan keberagamaan yang sangat berharga di atas, Prof. Dr. Mushthafa Siba’i pernah mengajukan pertanyaan menarik yang menggugah hati: “Akankah seorang muslim di hari raya ini menjadi sosok egois yang mencintai dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain? Ataukah ia akan menjadi pribadi yang mementingkan orang lain di bandingkan dirinya, lalu mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan dirinya tersebut?<br /><br />Memang secara fithrah, manusia cenderung bersikap egois dan mementingkan diri sendiri. Ia melihat kepentingan orang lain melalui kepentingan dirinya. Namun demikian, disamping itu semua, manusia pada dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang cenderung untuk saling bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan menyendiri, dan pada gilirannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebagian haknya untuk orang lain, sehingga dari kerjasama tersebut ia dapat mengambil manfaat berupa perwujudan kehormatan dan kepentingannya. Oleh karena itu, beberapa macam pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi bagian dari keharusan dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya, masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia.<br /><br />Dalam hal ini, tentu kita sepakat bahwa kita sangat berhutang budi dalam setiap kenikmatan hidup material maupun non-material terhadap orang-orang yang telah berkorban dan mendahulukan kepentingan orang lain. Kita berhutang budi dalam bidang kelezatan ilmu pengetahuan kepada para pengarang, seperti sastrawan, ulama, muhadditsin, mufassirin dan filosof yang dengan tekun menghabiskan usia mereka untuk menulis dan memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan hikmah dan ilmu pengetahuan. Sementara orang lain sedang nyenyak tidur atau sedang sibuk dengan syahwat mereka. Ungkapan Az Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang mereka lakukan untuk ilmu pengetahuan: “Aku begadang untuk mempelajari dan meneliti ilmu pengetahuan, lebih ni`mat bagiku dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang dengan wanita yang cantik Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan satu masalah ilmu pengetahuan lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat”.<br /><br />الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد معاشر المسلمبن رحمكم الله<br /><br />Kita juga sadar bahwa kita berhutang budi dalam memanfaatkan negeri ini kepada orang tua generasi pendahulu, para perintis dan mereka yang telah berjasa untuk itu. Kita juga berhutang budi dalam masalah aqidah dan agama yang kita banggakan ini, kepada generasi salaf saleh yang menanggung bermacam kesulitan dan derita dalam mempertahankan risalah ini pada masa pertamanya, dan yang telah mengorbankan harta dan jiwa mereka menghadapi musuh-musuh Islam untuk menyampaikan agama ini kepada orang-orang setelah mereka, mereka pula yang telah menghilangkan banyak rintangan yang disebarkan oleh para pencela, pengingkar dan pendusta agama ini.<br /><br />Demikian sungguh pelajaran yang sangat berharga. Kita selaku generasi masa kini telah berhutang budi kepada generasi-genersai sebelumnya dalam seluruh apa yang kita ni`mati saat ini sebagai hasil dari pengorbanan, perjuangan dan sikap mereka yang mendahulukan kepentingan orang lain. Maka sepatutnyalah jika kita melanjutkan rangkaian pengorbanan mereka itu sehingga kita dapat menyampaikan keni`matan ini kepada generasi berikutnya seperti yang telah dilakukan oleh generasi sebelum kita. Akankah generasi kita saat ini mampu menghargai makna pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain? Apakah generasi kita mampu mempertahankan akhlak luhur seperti ini yang memang telah diperintahkan oleh Allah swt?. <br /> <br />“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al Hasyr: 9)<br /><br />Disini hari raya Idul Adha kembali hadir untuk mengingatkan kita akan ketinggian nilai ibadah haji dan ibadah qurban yang sarat dengan pelajaran kesetiakawanan, ukhuwwah, pengorbanan dan mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Semoga akan lahir keluarga-keluarga Ibrahim berikutnya dari bumi tercinta Indonesia ini yang layak dijadikan contoh teladan dalam setiap kebaikan untuk seluruh umat.<br /> <br />"daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai keredhaan allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat menjamin. Demikianlah allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan allah terhadap hidayahnya kepada kamu. Dan berikanlah khabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (surah al-hajj ayat 37)<br />بارك الله لى ولكم بالقرءان العظيم ونفعنى واياكم بما فيه من الأيات والذكر الحكيم وتقبل منى ومنكم تلاوته انه هو السميع العليم. يقول الرسول صلوات الله وسلامه عليه : التائب من الذنب كمن لا ذنب له التائب من الذنب حبيب الرحمن . توبوا الى الله جميعا ايها المؤمنون لعلكم ترحمون.<br /><br />Khutbah kedua <br />الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر الله اكبر، ولله الحمد. الحمد لله الذي جعل الأضاحى من أجل القربان ، وضاعف لعاملها الحسنات وكانت سببا لدخول أهلها الجنات. أشهد ان لااله الا الله وحده لا شريك له، وأشهد ان سيدنا محمدا عبده ورسوله، اللهم صل على سيدنا ومولانا محمد وعلى أله وأصحابه الذين فازوا بالجنة. أما بعد ، فيا أيها المسلمون اتقوا الله حيث ما كنتم فقد فاز المتقون. الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد. <br /> <br /> الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد معاشر المسلمبن رحمكم الله<br /><br /> Pada hari raya aidil adha ini, kita dituntut oleh agama untuk melakukan ibadah qurban s,pai tiga hari tasyri’ berikutnya. Syariat ini penuh dengan pelbagai hikmah dan rahmah yang boleh disimpulkan kepada empat perkara. <br />1. Setiap orang islam diwajibkan untuk berbakti dan mendekatkan diri kepada allah s.w.t dengan sekurang-kurangnya lima kali sehari semalam dan membuat pengakuan ikhlas terhadap allah; sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku adalah semata-mata untuk berbakti kepada allah s.w.t.<br />2. menghidupkan dan mensyiarkan sunnah nabi ibrahim a.s yang kemudiannya ditetapkan dan dikuatkan oleh rasulullah s.a.w menjadi satu ibadah yang utama bagi umat muhammad s.a.w. <br />3. dengan penyembelihan haiwan (qurban) dapat memberi kegembiraan dan kesukaan kepada fakir miskin yang menerima pemberian daging-daging qurban. <br />4. menunjukkan tanda kesyukuran di atas apa yang dikurniakan allah kepada manusia yang telah menciptakan haiwan itu menjadi makanan manusia<br />5. ditinjau dari sudut pendidikan, ibadah qurban itu adalah melatih dan membentuk watak umat islam supaya senanatiasa bersedia untuk berqurban, dengan mengorbankan sebahagian dari nikmat-nikmat ilahi yang dikurniakan untuk kepentingan umat manusia yang memerlukannya. Dengan semangat ini juga umat islam akan dapat meningkatkan kebaktian kepada allah dan orang-orang yang beriman pula akan sentiasa siap siaga dan waspada untuk mengatasi pelbagai kesulitan di dalam kehidupan mahupun perjuangan. <br /> الله اكبر الله اكبر الله اكبر ولله الحمد معاشر المسلمبن رحمكم الله<br /> Marilah di hari ini, kita memperbanyakkan shalawat dan salam ke atas junjungan kita nabi muhammad s.a.w sebagai melaksanakan apa yang diperintahkan oleh allah di dalam al-quran.<br /> ان الله وملائكته يصلون على النبى ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد كما صليت على سيدنا ابراهيم وعلى ال سيدنا ابراهيم وبارك على سيدنا محمد وعلى ال سيدنا محمد كما باركت على سيدنا ابراهيم وعلى ال سيدنا ابراهيم فى العالمين انك حميد مجيد.اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات انك سميع قريب مجيب الدعوات وقاضى الحاجات. اللهم انا نعوذ بك من الفتن ما ظهر وما بطن. اللهم أمنا فى أوطاننا واستعمل علينا وعلى سائر المسلمين فى كل زمان ومكان من يخافك ويتقيك ياذا الجلال والاكرام. اللهم انا نسئلك ان تؤيد دولتنا ودول المسلمين وان تعلى كلمة الحق والدين وان تجعل بلدتنا هذه أمنة مطمئنة سخاء رخاء دار عدل وسائر بلاد المسلمين انك على كل شىء قدير. اللهم انصر الاسلام والمسلمين واجمع كلمتهم على الحق ودمر الكفرة والمنافقين أعدائك أعداء الدين . ربنااغفرلنا ولاخواننا الذين سبقونا بالايمان ولا تجعل فى قلوبنا غلا للذين أمنوا ربنا انك رؤوف رحيم. ربنا هب لنا من لدنك رحمة وهئ لنا من أمرنا رشدا . ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة وقنا عذاب النار . <br />عباد الله ، ان الله يأمر بالعدل والاحسان وايتاء ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغى يعظكم لعلكم تذكرون ، فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروه على نعمه يزدكم واسئلوه من فضله يعطكم ولذكر الله أكبر والله يعلم ما تصنعون. الله اكبر ، الله اكبر ، الله اكبر ، ولله الحمد.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-7494733212720335572008-12-01T01:48:00.000-08:002008-12-01T02:06:02.025-08:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_3Ox3tzAMe68/STO1gKjLIRI/AAAAAAAAAE0/SIDembyhjOA/s1600-h/CRIM0150.JPG"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_3Ox3tzAMe68/STO1gKjLIRI/AAAAAAAAAE0/SIDembyhjOA/s320/CRIM0150.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5274759152773308690" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_3Ox3tzAMe68/STO0z94wmRI/AAAAAAAAAEs/FRk6HspQQwM/s1600-h/CRIM0146.JPG"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 240px;" src="http://1.bp.blogspot.com/_3Ox3tzAMe68/STO0z94wmRI/AAAAAAAAAEs/FRk6HspQQwM/s320/CRIM0146.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5274758393459939602" /></a><br />INOVASI RAKHA DARI MASA KE MASA<br />(mempertahankan perkara lama yang bagus dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik)<br />Oleh H Munadi)</span> <br /><br /> Pada tanggal 12 Rabi'ul Awal 1341 H. bertepatan dengan 13 Oktober 1922 M, berawal dari sebuah rumah sederhana yang terletak di desa Pakapuran Amuntai, Tuan Guru H. Abdurrasyid alumnus Universitas Al Azhar Cairo, menyelenggarakan pendidikan agama dengan sistem halqah, kemudian pada tahun 1928 dibangun sebuah gedung sekolah yang diberi nama Arabische School.. <br />Selanjutnya pada tahun 1931, Arabische School di masa kepemimpinan Tuan Guru H Juhri Sulaiman, nama Arabische School dirubah menjadi Ma’had Rasyidiyah dengan sistem pendidikan pondok pesantren salafiyah.<br />Dalam masa kepemimpinan H. M. Arif Lubis, yang dimulai pada tahun 1942 mata pelajaran umum mulai diperkenalkan ke pesantren ini dan bersamaan dengan itu pula dibuka pendidikan khusus puteri, maka pesantren ini pun berganti nama menjadi Normal Islam school, dengan system perpaduan pondok pesantren salafiyah dan khalafiyah<br />Pada tahun 1945 kepemimpinan dipegang oleh KH.Idha m Khalid nama ma’had ini dirubah menjadi Ma’had Rasyidiyah Khalidiyah. Lalu pada tahun 1963 karena karire politik KH. Idham Khalid kepemimpinan harian dipegang oleh KH. Napiah selaku Ketua Harian Dewan Pengasuh, dan kembali pada tanggal 11 Agustus 1966 pesantren ini ditetapkan menjadi Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah hingga sekarang, sementara Normal Islam adalah menjadi nama madrasah yang ada di dalamnya, yang sejak tahun 1975 menjadi MTs dan MA Normal Islam Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai, dengan tetap memakai system perpaduan pesantren salaf dan khalaf, dan untuk system pesantren salaf dibuka unit pendidikan dengan nama takhassus diny dan qismu al ‘aly, <br />Disamping itu unit pendidikan untuk mencetak guru juga dibuka Pendidikan Guru Agama 4 dan 6 tahun, (yang setelah dineg erikan menjadi PGAN Amuntai dan sekarang menjadi MAN 2 Amuntai) dan Di era 70 an di komplek ini didirikan Fakultas Ushuluddin IAIN dan SP IAIN, (yang selanjutnya menjadi Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Banjarmasin dan MAN 1 Amuntai).<br />Pada tahun 1975, karena Fakultas Ushuluddin ditarik ke Banjarmasin, maka di Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai didirikan Fakultas Tarbiyah Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai dengan <br />Di era sekarang, kepemimpinan Pondok menggunakan pola kepemimpinan transformatif, dimana KH. Syafriansyah, BA sebagai Ketua Umum dan Drs.KH.Hormasysah sebagai Ketua Harian, unit-unit pendidikan terus dikembangkan, sehingga di Pondok ini diselenggarakan TPA dan TPQ (Pimp,St Faridah), Takhassus Diny (Pimp.H.Fahmi Hamdi,MA), Ma’had al Aly (H.M.Said,MA), MTs NIPA (Pimp. H.Hidayah Fikry,S.Ag), MTs NIPI (Pimp. Dra.Hj. Lailatannor), MA/MAK NIPA (Pimp. H.Marzuki Yatim,S.Ag), MA/MAK NIPI (Pimp.Drs.H. Munadi), Raudhah Hifz al Qur’an (Pimp. KH. A. Muis Hasby) dan STAI Rakha Amuntai (Pimp.Drs. H.M.Akhyar Abdi,M.M.Pd., dengan program studinya S1 Pendidikan Agama Islam, S1 Ahwal Al Syakhsiyyah, S1 Tadris Bahasa Inggris dan Akta IV Kependidikan.<br />Sejalan dengan pengembangan unit-unit pendidikan, inovasi system pendidikan dan pengajaran pun dilakukan. Saat ini pembelajaran mulai dikembangkan pendidikan berbasis Sains dan teknologi, dimana sarana pendidikan dan pengajaran di komplek ini telah dilengkapi dengan laboraturium multi media dan bahasa, laboraturium IPA Fisika – Biologi dan kimia, serta perpustakaan digital dengan maktabah syamilahnya, Laboratorium keterampilan kayu dan konveksi. <br />Penguatan Sains dan Teknologi dan Pemberian Pendidikan Keterampilan adalah bagian yang sudah saatnya harus dikembangkan di kalangan santri/ santriawati, disamping membantu kemudahan dalam belajar juga agar mereka kapabilitas dan mampu menghadapi perkembangan zaman, dengan catatan bahwa pengembangan penguatan Sains dan Teknologi dan Pemberian Pendidikan Keterampilan harus tidak mengurangi pengembangan roh dan nilai-nilai dasar Pondok Pesantren yaitu pengembangan pendidikan agama Islam dan kitab kuning serta pembinaan adab dan pribadi sebagai pribadi muslim. Dan perlu menjadi garis bawah, bahwa inovasi pondok harus tidak keluar dari kaidah :<br />“ المحافظة على قديم الصالح و الأخذ على جديد الأصلاح”<br />Ini berarti bahwa dalam inovasi pesantren apa yang dipandang baik yang telah dilakukan pendahulu haruslah tetap dipertahankan, kalau pun dilakukan inovasi itu tentu kita akan mengambil sesuatu hal yang lebih baik, kalau sama nilainya, jelas kita akan pertahankan yang ada saja.H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-78177928655858458252008-11-29T06:24:00.000-08:002008-11-29T06:25:18.550-08:00STANDARD KOMPETENSI GURU DALAM KONTEKS GLOBALISASI DAN STANDARISASISTANDARD KOMPETENSI GURU DALAM KONTEKS <br />GLOBALISASI DAN STANDARISASI<br /><br />BAB I<br />LATAR BELAKANG MASALAH<br />Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Sehingga globalisasi membuat pasar dan perusahaan tumbuh melampaui batas-batas negara. Hampir bisa dipastikan bahwa kebijakan ekonomi pun akan mengikuti tren ini dan dengan demikian ia menjadi suatu kebijakan dengan dimensi internasional. Koordinasi dan kerjasama internasional semakin dikedepankan dalam agenda kebijakan ekonomi. Tapi masih diperdebatkan bidang-bidang apa saja yang perlu diperhatikan untuk melakukan koordinasi internasional dan sejauh apa jangkauan koordinasi tersebut. <br />Jika amanah untuk mencetak SDM yang mumpuni untuk mampu bersaing di era global, maka yang paling orgen adalah pembenahan standarisasi tenaga kependidikan, dalam hal ini yang paling urgen lagi adalah standarisasi guru.<br />Persoalan standarisasi guru adalah pekerjaan utama yang harus dibenahi sesegeranya, dimana guru harus memiliki kualifikasi standard, yakni standard kompetensinya sebagai guru, yang dilihat dari segi kualitas kinerja mereka.<br /><br />BAB II<br />URGENSI UJI KOMPETENSI & SERTIFIKASI GURU<br />Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, khususnya dalam bidang informasi dan komunikasi, telah menjadikan dunia ini terasa semakin menjadi sempit dan transparan. Antara satu belahan dunia dengan belahan dunia lainnya dengan mudah dapat dijangkau dan dilihat dalam waktu yang relatif singkat. <br />Itulah globalisasi, yang di dalamnya membawa berbagai implikasi yang luas dan kompleks bagi kehidupan manusia. Implikasi nyata dari adanya globalisasi adalah terjadinya perpacuan manusia yang mengglobal. Seorang individu dalam berkarya tidak hanya dituntut untuk mampu berkiprah dan berkompetisi sebatas tingkat lokal dan nasional semata, namun lebih jauh harus dapat menjangkau sampai pada tingkat kompetisi global, yang memang di dalamnya berisi sejumlah tantangan dan peluang yang begitu ketat. <br />Pada saat yang bersamaan, kita pun saat ini sedang dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma baru dari sistem pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik menuju ke arah demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan mempunyai implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai persoalan akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan kewenangan yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri dan memacu partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga pada gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang signifikan.<br />Dari sini timbul pertanyaan, bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya manusia ! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global. <br />Pada kenyataaannya, memang harus diakui bahwa saat ini tingkat kualitas sumber daya manusia kita sangat mengkhawatirkan, jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat regional ASEAN saja, posisi kualitas sumber daya manusianya di atas kita.<br />Dalam kenyataan selama ini saangat terasa dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran seringkali guru menjadi miskin kreativitas, dan tugas yang dilakukan lebih pada penyampai apa yang telah disajikan dari pusat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi sekali pun, apalagi dengan adanya kewajiban untuk memenuhi target-target materi kurikulum tertentu yang seringkali menimbulkan rasa stress, baik guru maupun siswa, sehingga tiodak jarang terjadi pemaksaan menjejali materi kepada siswa, mengerti atau tidak mengerti apa yang telah disampaikan, bukan urusan utama. Belum lagi kewajiban membuat berbagai perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara baku dan bermacam-macam jenisnya. <br />Disamping berbagai persoalan di atas, ditambah lagi kenyataan belum dapat dipastikan seberapa banyak di negara kita tercinta ini guru yang berpredikat sebagai guru profesional belum dapat dipastikan, padahal guru yang tidak profesional dikuatirkan akan melakukan berbagai tindakan yang salah dalam pendidikan, yang menurut DR. E. Mulyasa, M.Pd, paling tidak ada 7 kesalahan yang sering dilakukan guru, sbb. :<br />1. Mengambil jalan pintas dalam pembelajaran<br />2. Menunggu Peserta Didik Berprilaku Negatif<br />3. Menggunakan Destrukruktif Disiplin<br />4. Mengabaikan perbedaan peserta didik<br />5. Merasa paling pandai<br />6. Tidak adil (diskriminatif)<br />7. Memaksa hak peserta didik<br />Persoalan lain guru adalah menyangkut kesejahteraan; dimana tunjangan fungsional sangat jauh rendahnya dengan profesi lain, prosedur kepangkatan yang berbelit, yang akhirnya ujungnya adalah pungutan yang tidak jelaspun terjadi.<br />Akumulasi berbagai persoalan yang dihadapi guru berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru melaksanakan tugas semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif dan inovatif, ditambah dengan berbagai tindakan-tindakan yang tanpa disadarinya adalah sebuah kesalahan, sehingga melahirkan hubungan antara guru dan siswa yang humanis berjalan tersiok-siok.<br />Diera global saat ini, perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem pendidikan harus dilakukan, termasuk di dalamnya usaha untuk menempatkan guru sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Karenanya guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas, fungsi dan kewajibannya, Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya. <br />Begitu juga, bobot penilaian dan penghargaan kepada guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan subtansial yaitu sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang kondusif. Jadi, bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif semata, tapi guru dituntut untuk betul-betul dapat menjalankan perannya dalam prroses pembelajaran dengan sebaik-baiknya.<br />DR. E. Mulyasa, M.Pd, menyebutkan ada 20 peran yang idealnya dilakukan oleh seorang guru profesional, yakni sebagai : (1) pendidik, (2) Pengajar, (3) Pembimbing, (4) Pembimbing, (5) Pelatih, (6). Penasehat, (7). Inovator, (8). Model/ teladan/ uswah, (9) Pribadi, (10) Peneliti, (11) Pendorong Kreativitas, (12) Pembangkit Pandangan, (13) Pekerja Rutin, (14) Pemindah Kemah, (15) Pembawa Cerita, (16) Aktor, (17) Emansipator, (18) Evaluator, (19) Pengawet , dan (20) Kulminator.<br />Upaya pemberdayaan guru, baik dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi kenyataan, yang pada gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang sanggup mencetak sumber daya insani yang memiliki dan wawasan sanggup bersaing di era global.<br />Karenanya dalam Standar Kompetensi Guru bagian Komponen Pengelolaan Pembelajaran Dan Wawasan Kependidikan & Komponen Pengembangan Profesi disebutkan bahwa : <br />“Berbagai masalah yang berkaitan dengan kondisi guru, antara lain: (1) adanya keberagaman kemampuan guru dalam proses pembelajaran dan penguasaan pengetahuan, (2) belum adanya alat ukur yang akurat untuk mengetahui kemampuan guru, (3) pembinaan yang dilakukan belum mencerminkan kebutuhan, dan (4) kesejahteraan guru yang belum memadai. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan. “ <br /><br />Jadi persoalan mendasar untuk mencetak sumber daya insani yang sanggup bersaing di era global, tentu terpulang kepada bagaimana kemampuan mereka yang melakukan itu, yakni para guru. Ini berarti bahwa persoalan pokok terletak bagaimana menstandardkan kemampuan/ kompetensi guru sehingga memang diharapkan mampu melakukan tugas-tugas yang diamanahkan/ dituntut oleh masyarakat lokal, nasional dan bahkan internasional di era global ini.<br />Nanti sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan , dan dilakukan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.<br />Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang (1) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) sehat, (4) berilmu, (5) cakap, (6) kreatif, (7) mandiri, serta (8) menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. <br />Pofesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (3) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru. <br />Pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.<br />Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban : (1) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; (2) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (3) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; (4) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan (5) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.<br />Jadi pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional memang perlu dibuktikan dengan sebuah sertifikat guru. Sertifikat guru adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Sertifikat guru didapat melalui proses yang disebut sertifikasi guru, namun lebih dari sekedar sebuah sertifikat, kinerja standard dan sifatnya permanen dan kuntinyu dari seorang guru adalah hal yang lebih utama.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB III<br />UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU<br />Standardisasi Kompetensi Guru di negara kita yang secara serius dilaksanakan bertujuan untuk :<br />1. Memformulasikan peta kemampuan guru secara Nasional yang diperuntukkan bagi perumusan kebijakan program pengembangan dan peningkatan tenaga kependidikan khususnya guru.<br />2. Memformulasikan peta kebutuhan pembinaan dan peningkatan mutu guru sebagai dasar bagi pelaksanaan peningkatan kompetensi, peningkatan kualifikasi, dan Diklat-Diklat tenaga kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan. <br />3. Menumbuhkan kreatifitas guru yang bermutu, inovatif, terampil, mandiri, dan Menggungjawab, yang dijadikan dasar bagi peningkatan dan pengembangan karir tenaga kependidikan yang profesional. <br /><br />Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai landasan hukum penetapan Standar Kompetensi Guru adalah:<br />a. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.<br />b. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.<br />c. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);<br />d. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 –2004 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 206)<br />e. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan (Lembaran negara Tahun 1992 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3484) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2000 (Lembaran negara Tahun 2000 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3974)<br />f. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);<br />g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2000.<br />h. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.<br />i. Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Nomor : 0433/P/1993, Nomor : 25 Tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. <br />j. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor : 025/O/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.<br />k. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No : 031/O/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.<br />Jadi untuk mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan kondisi guru, yang disebutkan di atas, yang nanti akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan, sudah sangat didukung secara yuridis formal.<br />Secara sekilas dapat dijelaskan pilar yuridis formal standarisasi guru yang nampaknya secara serius akan dilakukan oleh pemerintah dapat kita lihat, umpanya : <br />1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional<br />Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal 1 ayat 17 : ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”. <br />Kemudian bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 35, ayat 1-4 berbunyi :<br />(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. <br />(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. <br />(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.<br />(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. <br />2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan<br />Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005, BAB II tentang Lingkup, Fungsi, Dan Tujuan, pasal Pasal 2, berbunyi :<br />(2) Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: <br />a. standar isi; <br />b. standar proses; <br />c. standar kompetensi lulusan; <br />d. standar pendidik dan tenaga kependidikan; <br />e. standar sarana dan prasarana; <br />f. standar pengelolaan; <br />g. standar pembiayaan;dan <br />h. standar penilaian pendidikan. <br />(3) Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.<br />(4) Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. <br /><br />Jadi berdasar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, standard pendidik dan tenaga kependidikan adalah bagian utama dari lingkup Sandard Nasional Pendidikan, dan dalam rangka menjamin dan mengendalikan mutu pendidikan akan dilakukan salah satunya adalah sertifikasi yang tentunya untuk mengukur kualitas yang terkait dengan lingkup sumber daya yang dalam hal ini adalah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, yang tujuan akhirnya untuk memenuhi tuntutan kehidupan lokal, nasional dan global.<br />3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 82 ayat (1) bahwa Pemerintah wajib mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang tersebut <br />Keluarnya Undang-Undang Guru dan Dosen, yang merupakan kebijakan untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru dimana guru harus memenuhi kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru.<br />Peningkatan kesejahteraan ini sebenarnya yang dituju adalah meningkatkan kualitas kompetensi mereka yang diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan. <br />Namun perlu dicermati, apakah dengan program sertifikasi guru/ dosen sebagai perwujudan standarisasi kompetensi dan kinerja guru, betul-betul akan meningkatkan mutu dan kinerja mereka ?. atau pertanyaannya di rubah menjadi Bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru ?<br />Untuk itu perlu digaris bawahi bahwa sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni terciptanya guru yang memenuhi kualifikasi standard yang dihajatkan masyarakat di era global ini.<br />Kalau sertifikasi dijadikan tujuan, dimungkinkan bahwa dengan sertifikasi tidak akan mampu menjadikan para guru yang dapat memenuhi kualifikasi standard yang dihajatkan masyarakat di era global ini, dan ini artinya sertifikasi mungkin dapat dibilang gagal.<br />Karenanya setelah dilakukan sertifikasi sebagai bagian upaya sistematis untuk memacu guru ke arah terciptanya guru yang memenuhi kualifikasi standard yang dihajatkan masyarakat di era global ini, diperlukan lagi adanya pembinaan secara sistematis untuk menunjang hal itu.<br />Pembinaan secara sistematis yang dimaksudkan tentu diacukan untuk peningkatan kualitas pelaksanaan tugasnya sebagai guru, seperti pertama : kemampuan guru dalam memanfaatkan dasar-dasar kemampuan dalam mengajar, yang seperti disebutkan oleh Dr. E. Mulyasa, M.Pd ada 8 kemampuan dasar yang menjadi dasar untuk menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan, yakni. : (1). Keterampilan bertanya, (2) memberi penguatan, (3). Mengadakan variasi, (4). Menjelaskan, (5). Membuka dan menutup pelajaran, (6). Membimbing Diskusi Kelompok Kecil, (7) Mengelola Kelas, dan (8) Mengajar Kelompok Kecil dan Perorangan. <br />Kedua ; kemampuan dalam mengembangkan pendekatan pembelajaran dan menentukan pilihan metode pembelajaran yang efektif, ketiga; kemampuan melakukan bimbingan terhadap siswa yang lamban atau pun yang sangat cerdas dan proses individualisasi pembelajaran, keempat; kemampuan melakukan tindakan kelas dan, kelima yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mendongkrak kualitas pembelajaran itu sendiri. <br />Jadi pada intinya pembinaan haruslah secara sinergi diarahkan kepada upaya menumbuh kembangkan kompetensi dasar profesional guru.<br />Kompetensi dasar profesional guru yang dikehendaki adalah memiliki kemampuan untuk : (1) menguasai bahan; (2) mengelola program belajar mengajar; (3) mengelola kelas; (4). menggunakan media/ sumber; (5).menguasai landasan-landasan kependidikan; (6). mengelola interaksi belajar mengajar; (7). menilai prestasi untuk kepentingan pengajaran; (8).mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan; (9).mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah; dan (10).memahami dan menafsirkan hasil-hasil penelitian guna keperluan pengajaran. <br /> Untuk menilai apakah seorang guru telah dianggap punya kemampuan standard dalam melaksanakan tugasnya dan upayanya meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran, maka dapat dilihat dari empat gugus kemampuan yang dapat dianggap sebagai kemampuan profesional, yaitu : (1). Merencanakan program belajar mengajar; (2). Melaksanakan dan memimpin proses belajar mengajar; (3). Menilai kemajuan proses belajar mengajar; dan (4).Menafsirkan dan memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar mengajar dan informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan proses belajar mengajar <br />Ada berbagai alternatif upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menumbuh kembangkan profesionalitas guru, antara lain : Pertama ; Melakukan Kegiatan Mandiri, dimana guru dalam idealnya harus punya kemampuan melihat dan membaca keadaan dirinya sendiri, yang menyangkut keadaannya sebagai pribadi (self Concept), keadaannya dengan ide pribadinya (self idea) dan dengan realita dirinya (self Reality). Dan manakala didapatinya bahwa dia punya kelemahan dalam melaksanakan tugasnya secara profesional, maka dia harus secara sadar mau mendisiplinkan dirinya, untuk secara mandiri mengupayakan bagaimana agar ia mampu melaksanakan tugasnya secara profesional, dengan mempelajari referensi-refensi, atau melakukan kegiatan tutor sebaya dengan teman seprofesi, yang memungkinkan peningkatan kemampuan profesionalnya itu. <br />Kedua; memanfaatkan forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG). Pada forum KKG dan MGMP dibentuk untuk membantu guru mencari jalan keluar terhadap segala permasalahan yang ditemui di lapangan, baik menyangkut penguasaan materi, penyusunan rencana pengajaran dan lain sebagainya, disamping sekaligus dapat dimanfaatkan untuk menjalin ukhuwwah Islamiyah antar sesama guru agama. Dan dengan perencanaan yang baik, forum ini dapat disinerjikan untuk kepentingan peningkatan profesionalisme guru agama.<br />Untuk efektivitas pemanfaatan forum ini bagi upaya peningkatan mutu Guru, dapat dilakukan langkah berikut :<br />a. Melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi guru agama kaitannya dengan profesinya sebagai guru agama, yang difasilitasi oleh guru inti.<br />b. Memecahkan masalah yang ditemui, melalui :<br />1) kegiatan sesama anggota forum difasilitasi oleh guru inti; atau jika tidak bisa<br />2) bantuan guru inti; atau kalau belum selesai juga <br />3) mendatangkan tenaga ahli tertentu.<br />Ketiga; memaksimalkan fungsi Pengawas, sebab fungsi pengawas yang harus diberikan kepada guru :<br />1. memberikan bimbingan kepada guru<br />2. membantu mereka memecahkan masalah-masalah pengajaran<br />3. menstimulasi dan mengarahkan para guru untuk mengkaji, mengevaluasi dan menyempurnakan baik sikap maupun praktek individual, maupun aktivitas-aktivitas dan prosedur-prosedur pengajaran mereka. <br /><br />Dengan dijalankannya fungsi pengawas secara maksimal, maka upaya peningkatan profesionalisme guru akan dapat cepat terwujud, sebab pengawas akan mampu melakukan stimulasi, koordinasi dan bimbingan secara kontinyu kepada guru agama.<br />Keempat; melalui kegiatan yang direncanakan secara sistematis. Kegiatan yang direncanakan secara sistematis yang dimaksudkan adalah kegiatan seperti penataran, pendidikan dan latihan, In House Training, In Service Training, dan yang sejenisnya. Walau pun kegiatan ini sangat efektif dilaksanakan, tapi sangat tergantung kepada para pemegang kebijakan di suatu instansi, dan karena menyangkut proyek pendanaan yang besar, biasanya kemampuan dan jangkauan pelaksanaannya pun terbatas.<br />Kelima; melalui pemberian penghargaan terhadap prestasi. Peningkatan profesionalisme guru juga dapat dilakukan melalui pemberian penghargaan terhadap prestasi yang ditunjukkan dan dilakukan atau diperoleh guru, misalnya mengadakan pemilihan guru teladan, lomba pembuatan alat peraga, lomba pengembangan metodologi pembelajaran, pengorbitan guru yang kinerjanya bagus untuk memimpin sebuah sekolah, dan lain sebagainya.<br />Kegiatan Pemberian Penghargaan Terhadap Prestasi ini perlu dilakukan, sebab secara tidak langsung akan memberikan spirit guru untuk meningkatkan prestasinya dan tentu akan sangat berimbas besar terhadap peningkatan profesionalismenya. <br />Peningkaatan kinerja ini diharapkan akan dimulai manakala guru tergugah untuk mau memacu diri untuk lebih meningkatkan kualitas dirinya, kualitas mutu layanan pendidikan dan pengajaran yang ia lakukan, kreatifitasnya dalam mengembangkan proses pembelajaran.<br /> <br /><br />BAB IV<br />KESIMPULAN DAN REKOMENDASI<br /><br />A. Kesimpulan<br />1. Uji kompetensi & sertifikasi Guru adalah merupakan suatu keharusan campur tangan pemerintah bagi upaya mempercepat proses profesionalisasi tenaga kependidikan guru.<br />2. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni terciptanya guru yang memenuhi kualifikasi standard yang dihajatkan masyarakat di era global ini Rekomendasi, karenanya peningkatan mutu guru ke arah profesional pasca sertifikasi tetap harus dilakukan, baik melalalui kegiatan mandiri guru, MGMP/ KKG, memaksimalkan fungsi pengawas, dan lain sebagainya.<br />B. Rekomendasi<br />1. Pihak yang berwenang melakukan uji kompetensi dan sertifikasi guru, agar betul-betul dapat menjaga amanah Undang-undang dan Peraturan ini, sehingga tidak melenceng dari arah yang dikehendakim, yakni terciptanya guru yang memenuhi kualifikasi standard.<br />2. Pemerintah hendaknya memaksimalkan fungsi kepengawasan dalam rangka mengawal proses profesionalisasi guru utama pasca sertifikasi.<br />3. Pemerintah juga memfasilitasi pihak yang terkait dengan pengembangan profesi guru, bagaimana kedepannya mampu menciptakan iklim dan budaya yang menunjang ke aras profesionalisasi guru dalam melaksanakan tugasnya.<br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Ahmad Tafsir, Dr., (1992), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.<br />Ali Saifullah HA, Drs., (1981), Antara Filsafat dan Pendidikan : Pengantar Filsafat Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.<br />Andreas Harefa., (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta : PT.Kompas.<br />E.Mulyasa, Dr, M.Pd; Menjadi Guru Profesional, menciptakan Pembelajaran Kreatif dan menyenangkan; Cet. VI; Remaja Rosda Karya; Bandung; 2007<br />Hasan Langgulung, Prof., Dr., (1986), Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Al-Husna.<br />Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Globalisasi<br />Http://www.duniaguru.com/kompetensi/standar_kompetensi_guru.htm - 23k<br />http://www.geocities.com/pengembangan_sekolah/standarguru.html<br />Idochi Anwar, Prof.,Dr., & Yayat Hidayat Amir, Drs., M.Pd., (2000), Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issue, Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.<br />John Vaizey (1987), Pendidikan di Dunia Modern, Jakarta : Gunung Agung.<br />Piet A. Suhertian, Profil Pendidik Profesional, Andi Offsett, Jogjakarta, 1994<br />Pusat Data Dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas , Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2005 , Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta<br />Sardjan Kadir, Drs. & Umar Ma’sum, Drs., (1982), Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, Surabaya : Usaha Nasional<br />Soejono Trimo,Pengembangan Pendidikan, Remaja Karya, Bandung, 1986<br />Soetardjo, Menuju Pendidikan Nasional Yang relevan dan Bermutu, Balai Pustaka, Jakarta , 1993<br />Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen<br />Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan NasionalH. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-43285913178449985642008-11-29T06:21:00.001-08:002010-08-09T03:25:40.503-07:00RE ORIENTASI PARADIGMA MENYONGSONG KOMPETISI GLOBALA. Iftitah<br />Membangun budaya baru adalah sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia, sebab kebudayaan akan mempengaruhi kehidupan manusia yang dioperasionalkan melalui pranata-pranata sosial. <br />Keberadaan sebuah budaya menelusup kedalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia konteknya pada kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. <br />Karenanya pembinaan sumber daya insani akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan budaya suatu masyarakat.<br />Untuk menata budaya kehidupan baru, diperlukan adanya re orientasi paradigma terhadap perubahan budaya itu sendiri, dan paradigma baru itu harus ditularkan secara sistemik, diawali dari perlunya perubahan individual, kemudian secara sistematik dan terencana harus dikembangkan melalui lembaga pencetak sumber daya insani yang mampu menjadi agent of chage bagi perubahan itu, dan itu adalah melalui lembaga pendidikan, jika ini dapat dilakukan secara bertahap akan secara meluas merubah paradigma social.<br /><br /><br />B. Persoalan Global<br />Saat ini kita telah mulai menapak masuk ke era global, yang dapat diartikan sebagai era proses tanpa henti – tak bisa dibendung – tak bisa ditolak, dimana ia bukan merupakan produk final, namun budaya manusia terus melaju untuk membentuk formasi sosial pada seluruh dimensi kehidupan manusia, baik tatanan politik, sosial budaya atau pun ekonomi. , sehingga bahkan menjadi gejala yang akan terjadi di kemudian hari berdasarkan sistem yang ada atau dominan dalam masyarakat, sehingga dapat dianggap sebagai suatu ideologi masyarakat, sebagai suatu proyeksi kehidupan masa depan <br />Berbagai persoalan global seperti menguatnya personal space yang menyebabkan terpasungnya kebebasan berekspresi untuk menyuarakan dan mengemukakan pendapat, jati diri dan kepribadian, sebagai dampak banyaknya tuntutan pesan dan tuntutan kehidupan modern yang harus dilakukan, yang akhirnya bermuara pada beratnya beban moral ditambah lagi dengan persoalan pergeseran nilai ke arah materialistik.yang seolah tarik menarik memasung kemampuan pengembangan ide pribadi. Kemudian pada era global ini terjadi proses membesarnya persaingan dan kompetisi baik ekonomi atau pun politik baik dilihat dengan pendekatan struggle of power atau pun dari pendekatan equiblirium pada tatanan hubungan antar bangsa di dunia, sehingga seluruh bangsa dan negara di dunia berupaya untuk bagaimana dapat menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi dan melakukan industrialisasi secara besar-besaran. Ditambah lagi dengan semakin canggihnya peralatan transportasi dan komunikasi serta informasi, maka arus lintas kultur – norma – kepentingan – ideologi antar bangsa intensitasnya semakin tinggi, sehingga suatu negara akan berada pada suatu kenyataan tidak bisa disembunyikannya lagi dari pengamatan internasional tentang adanya sebuah kebobrokan yang mungkin pada masa sebelumnya masih bisa ditutupi di negara tersebut, dan jadilah sebuah negara laksana sebuah global village saja layaknya, karenanya untuk menjaga nasionalisme pada suatu negara maka suatu bangsa idealnya harus memiliki kesiapan kultural untuk menjaga integritas nasionalnya.<br />Sementara kenyataan riil, yang tidak bisa dimunkiri, dianatanya eksekutif, legislatif, yudikatif pemerintah banyak yang keliru menjalankan tugasnya (say ‘good govemance’; persoalan KKN, korupsi, kolusi, nepotisme masih menggejala; money-laundering, perkara pencucian uang (spekulasi valuta, berdagang senjata, SDM termasuk prostitusi, narkotika dan usaha judi); adanya terorisme menggelayap dimana-mana; perusakan sumber daya alam, laut, hutan, gunung, sungai, tambang, air, pantai, hayati; perusakan sumber daya manusia ( jual beli narkotika, jual beli tenaga kerja, jual beli senjata , usaha judi, brain drain), sistem pendidikan yang kurang dana, kurang R & D (research & development); kurang gizi, penyakit menular knonis, kematian ibu dan bayi, dst; penyelundupan hasil bumi, hasil laut, hasil hutan, hasil industri, hasil tambang, dan berbagai-bagai masalah lainnya lagi, bahkan kebanyakan Negara berkembang (termasuk Indonesia) saat ini sedang menghadapi perubahan sosial yang ditandai dengan krisis multidimensional yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, belum lagi berkembangnya tuntutan masyarakat yang berlebihan yang menimbulkan semangat primordialisme dan munculnya konflik horizontal di berbagai daerah yang menyebabkan instabilitas nasional.<br />Kondisi globalisasi cenderung membawa manusia ke arah situasi alienasi, yang bisa dibedakan ke dalam tiga kelompok yaitu pertama mereka teralienasikan dari Tuhannya, karena prestasinya dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan teknologi, mereka menjadi aties. Kedua mereka terkena “future shock” dimana mereka teralienasikan dari lingkungannya. Ketiga mereka teralienasikan dari Tuhan dan lingkungannya, yang semua ini sebenarnya berawal dari persoalan kejiwaan yang manusia itu sendiri berperan memunculkan penyebabnya dan menjadi korbannya, sebagai akibat dari manusia sendiri yang mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi yang menolak realitas metafisik hanya berpijak pada realitas fisik atau premis positivisme. <br />Menurut Naisbit ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk <br />Karenanya Ani M Hasan mengemukakan, bahwa Pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.<br />Di dunia pendidikan dampak era global juga kadang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara kemampuan intelektual dengan bekal moral, sementara tuntutan dan kenyataan kehidupan harus direspon sesegeranya, sehingga tidak jarang jalan keluar dari persoalan-persoalan kehidupan adalah berupa perkelahian (antar pelajar), korupsi, mencari dan melakukan jalan pintas yang tidak dibenarkan dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam hidup, hal ini disebabkan oleh efek global terhadap terjadinya perubahan tatanan budaya, menuju ke arah globalisasi kebudayaan, yang ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan, adalah :<br />• Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional. <br />• Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya. <br />• Berkembangnya turisme dan pariwisata. <br />• Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain. <br />• Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain. <br />• Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA <br /><br />Kekerasan-kekerasan yang terjadi dan menjalar ke mana-mana, berdasarkan salah satu definisi kekerasan menurut John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung. <br />Jadi dampak global ini menampakkan terjadinya chaos (kekacauan), dimana dalam ilmu fisika dan matematika,diistilahkan dengan Chaos Theory yakni menguraikan perilaku tertentu nonlinear dynamical sistem yang pada kondisi-kondisi spesifik memperlihatkan dinamika yang sensitip ke syarat awal yang terkenal sebagai katup yang mempengaruhi. Wujud kepekaan ini, adalah perilaku dari sistem kacau nampak seperti acak, oleh karena adanya kesalahan yang tumbuh bersifat exponen di dalam syarat awal itu. <br />Karenanya Era Global dapat dianggap sebagai suatu era dengan mengedepankan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap semua aspek kehidupan sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka. Untuk menghadapi era global inilah diperlukan adanya perubahan paradigma sosial.<br />Re orientasi paradigma sosial haruslah dimulai dengan adanya re orientasi paradigma berfikir, kemudian re orientasi paradigma pendidikan dan paradigma ilmu dan secara bertahap akan terjadi perubahan sosial.<br />C. Persoalan Kekeliruan Paradigma<br />Paradigma Berfikir<br />Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita secara apa adanya. Pikiran adalah ruang kemungkinan (space of possibility), dan realitas adalah ruang tindakan yang telah jadi nyata (space of action). Seluruh realitas kita hanya bergerak pada ruang kemungkinan itu. Makin besar ruang kemungkinannya, makin besar ruang realitasnya. Bagaimana kita berpikir, begitulah kita akan bertindak. Jadi jauh sebelum sebuah realitas tercipta di alam kenyataan, ia terlebih dulu tercipta di alam pikiran kita. Sebaliknya, apa yang tidak pernah kita pikirkan tidak akan pernah jadi realitas di masa mendatang. Maka realitas-realitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pikiran yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu, dan tentu realitas-realitas kita di masa mendatang adalah buah dari benih-benih pikiran yang kita taman hari ini. <br />Karenanya jika disadari realitas rendahnya tingkat kemampuan bersaing publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir, yang sebelumnya ditanamkan, maka tentu adanya gerakan perubahan paradigma berfikir publik, dan kata kuncinya adalah perubahan paradigma berfikir ke arah penciptaan sumberdaya-sumberdaya manusia, jika tidak maka realitas keterpurukan selama ini berlarut-larut tidak bisa diatasi.<br />Paradigma Pendidikan<br />Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia seperti dalam Human Development Index UNESCO tahun 2000 berada diurutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), atau menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. <br />Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. <br />Memang saya kira banyak persoalan terkait dengan masalah pendidikan ini, namun yang paling inti adalah terjadinya kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan, karenanya perlu re orientasi paradigma pendidikan di Indonesia.<br />Paradigma pendidikan selama ini perlu diakui secara jujur adalah paradigma sekularisme dalam artian ”tidak secara otomatis anti agama” , hal ini dapat dibuktikan bahwa :<br />1. Memang UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” , tapi pada Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus, yang artinya secara jelas adanya membuat dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia saleh yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.<br />2. Pengelolaan pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. <br />3. BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya, dan ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. <br />Paradigma pendidikan yang material-sekularistik inilah sebenarnya yang melahirkan berbagai bentuk tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, karenannya perlu adanya re orientasi kembali paradigma pendidikan yang berkembang selama ini.<br />Paradigma Studi<br />Dalam kehidupan global tuntutan kemampuan persaingan sangat tinggi, sementara kita dihadapkan kenyataan yang tidak bisa dimunkiri, kualitas SDM kita masih di bawah rata-rata SDM negara lain, seperti saya kemukakan sebelumnya bahwa menurut Human Development Index UNESCO tahun 2000 kita berada diurutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), atau menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas kita berada pada ranking terakhir dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. <br />Rendahnya kualitas SDM kita ini, mengharuskan kita untuk mengubah nilai (values), sikap (attitudes) dan perilaku (behaviour) pada diri kita, kelompok kita, community kita maupun society kita, mungkin dan tentu bisa dimulai dengan mengubah nilai-nilai dalam diri kita masing-masing, !ewat pengkajian kembali seluruh rangkaian perjalanan hidup, dengan sikap damai, jujur, benar, dan terutama tabah, berani serta sabar. Mampu berperilaku, membuat keputusan-keputusan yang arif, bijak dan adil. Mampu bersikap terbuka, mau mendengar dan mengerti sejarah kemajemukan pendapat dan keragaman berpikir yang berbeda, mengisyaratkan arahan-arahan membuka kesempatan dan memberikan kehidupan dan dinamika pengembangan (development) yang bertahan kelanjutan, berdamai dan menjunjung keseimbangan lingkungan alam, sosial budaya, haruslah melalui proses edukasi, dan kata kuncinya adalah kemampuan proses edukasi melakukan reorientasi paradigma studi dalam proses edukasi tersebut, meninggalkan paradigma studi yang sekuler-materialistik, yang telah melahirkan berbagai persoalan yang berawal dari sumber daya manusia yang sekuler-materialistik tadi.<br /><br />Paradigma Ilmu Pengetahuan<br />Dikhotomi ilmu akan berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya. <br />Paradigma ilmu dan pendidikan yang dikotomis, di kalangan masyarakat berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari, sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. <br />Paradigma dengan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi pendidikan, di mana pendidikan berlabel agama yang akan mampu mengantarkan peserta didik ke kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara pendidikan "umum" dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusifke arah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. <br />Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian masyarakat, bahwa lembaga pendidikan umum lebih terjamin pada bidang mutu dan kesempatan memperoleh pekerjaan, ketimbang yang berlabel lembaga pendidikan agama., dan ini sangat berpengaruh bagi para pengambil kebijakan pendidikan yang sangat diskriminatif antara lembaga pendidikan umum dan agama, dan ini realitas yang tak bisa dimungkiri dan telah berjalan lama. Dan ketimpangan ini juga menjadi penyebab utama lemahnya mutu dan kinerja pengelolaan lembaga pendidikan agama. <br />Paradigma ilmu yang dikhotomis ini berdampak pada kerangka filsafat keilmuan, dimana kurang dikenalnya konsep paradigma, normal science, anomali, dan revolusi sains yang selama ini "mengatur" perkembangan dan pertumbuhan sains modern saat ini, dan bahkan berkembang gejala pemikiran yang mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah.<br />Paradigma dikotomis yang telah banyak melahirkan berbagai persoalan, seperti kesalahan pada cara pandang ilmum terjadinya diskriminasi lembaga, lemahnya mutu , mengacaukan paradigma kerangka filsafat ilmu serta berkembangnya gejala pemikiran mempertentangkan rasio (akliyyah) dan wahyu (naqliyyah), karenanya paradigma ilmu sudah seharusnya di reorientasi dengan paradigma baru.<br />Paradigma Sosial<br />Dalam tatanan kehidupan sosial kita dihadapkan kenyataan yang tidak bisa dimunkiri, diantaranya terjadinya say ‘good govemance’ pada eksekutif, legislatif, yudikatif; persoalan KKN, korupsi, kolusi, nepotisme masih menggejala; money-laundering, perkara pencucian uang (spekulasi valuta, berdagang senjata, SDM termasuk prostitusi, narkotika dan usaha judi); adanya terorisme menggelayap dimana-mana; perusakan sumber daya alam, laut, hutan, gunung, sungai, tambang, air, pantai, hayati; perusakan sumber daya manusia ( jual beli narkotika, jual beli tenaga kerja, jual beli senjata , usaha judi, brain drain), sistem pendidikan yang kurang dana, kurang R & D (research & development); kurang gizi, penyakit menular knonis, kematian ibu dan bayi, dst; penyelundupan hasil bumi, hasil laut, hasil hutan, hasil industri, hasil tambang, dan berbagai-bagai masalah lainnya lagi.<br />Sekilas kita lihat Teori Keteraturan vs Konflik. pertama kali oleh Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956), yang membedakan pendekatan dalam analisa sosiologi, dimana di satu sisi terdapat konsep yang konsentrasinya adalah menjelaskan sifat dari keteraturan sosial, dengan di sisi lain terdapat konsep yang terkonsentasi pada masalah perubahan, konflik, dan kekerasan(paksaan) dalam struktur sosial, yang kemudian oleh Cohen (1968) dikelaborasi beberapa ide dasar pada teori ”keteraturan” vs ”konflik”, dan mengkritik bahwa Dharendorf salah, karena memperlakukan teori ”keteraturan” vs ”konflik” secara terpisah, dimana menurutnya teori ”keteraturan” vs ”konflik” tidak bersifat ”mutually exclusive” (salah satu konsep bisa merupakan bagian dari konsep lain)., maka nampaknya realitas sosial era keteraturan telah mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik, dimana Status quo, Social Order, Konsensus, Integrasi sosial dan kohesi, Pemenuhan kebutuhan dan Aktualitas telah berubah menjadi Perubahan Radikal , Konflik Struktural, Adanya dominasi , Kontradiksi, Kehilangan, kerugian, atau perampasan dan Potensialitas.<br />Kesalahan paradigma sosial yang berawal dari kesalahan paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan menjadi penyebab berubahnya realitas sosial era keteraturan sehingga mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik (semraut) dan chaos (rumit), karenanya perlu adanya paradigma baru yang mampu mengembalikan ke tatanan sosial dengan wujud keteraturan yang baru.<br />D. Re Orientasi Paradigma<br />Beberapa persoalan paradigma seperti pertama realitas rendahnya tingkat kemampuan bersaing publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir, yang sebelumnya ditanamkan, maka tentu adanya gerakan perubahan paradigma berfikir publik, dan kata kuncinya adalah perubahan paradigma berfikir, kedua Paradigma pendidikan yang material-sekularistik inilah sebenarnya yang melahirkan berbagai bentuk tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, ; ketiga paradigma studi yang sekuler-materialistik, yang telah melahirkan berbagai persoalan yang berawal dari sumber daya manusia yang sekuler-materialistik; keempat Paradigma dikotomis yang telah banyak melahirkan berbagai persoalan, seperti kesalahan pada cara pandang ilmum terjadinya diskriminasi lembaga, lemahnya mutu , mengacaukan paradigma kerangka filsafat ilmu serta berkembangnya gejala pemikiran mempertentangkan rasio (akliyyah) dan wahyu (naqliyyah), ke lima paradigma sosial yang berawal dari paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan yang menjadi penyebab berubahnya realitas sosial era keteraturan sehingga mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik, telah menuntut adanya re orientasi paradigma.<br />Beberapa konsep dasar untuk melakukan re orientasi paradigma mulai dari paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan sampai kepada tatanan paradigma sosial, adalah :<br />Standarisasi Pendidikan<br />Tantangan yang dihadapi dunia pendidikan semakin hari semakin membesar, yang menyebabkan mau tidak mau akan terjadi pergeseran nilai baik menyangkut segi pengelolaan maupun in put masukannya (sumber belajar), karenanya Lembaga Pendidikan harus mau dan mampu menerima kenyataan ini dan harus segera membenahi diri untuk menuju dan menjadi lembaga pendidikan yang siap mengembangkan SDM yang siap bersaing di era global ini, dan ini mengharuskan adanya standarisasi mutu pendidikan.<br />Pilar standarisasi SDM secara serius dilakukan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya :<br />1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional<br />Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal 1 ayat 17 : ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”. <br />Kemudian bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 35, ayat 1-4 berbunyi :<br />(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. <br />(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. <br />(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.<br />(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. <br />2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan<br />Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005, BAB II tentang Lingkup, Fungsi, Dan Tujuan, pasal Pasal 2, berbunyi :<br />(1) Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: <br />a. standar isi; <br />b. standar proses; <br />c. standar kompetensi lulusan; <br />d. standar pendidik dan tenaga kependidikan; <br />e. standar sarana dan prasarana; <br />f. standar pengelolaan; <br />g. standar pembiayaan;dan <br />h. standar penilaian pendidikan. <br />(2) Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.<br />(3) Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. <br />Depdiknas memberikan arahan agar kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. <br />Berfikir Naqliyyah dan Aqliyyah dengan dasar Ketauhidan<br />Upaya para pemikir Islam untuk mengembalikan ilmu pengetahuan ke dalam satu kesatuan, yaitu ilmu yang bernafaskan Islam dengan tetap majemuk dalam cabang-cabangnya, adalah didasarkan atas akidah agama, yang disadari atau tidak mesti memainkan peranan penting dalam pembentukan konsep ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin.<br />Keyakinan kaum muslimin bahwa Allah SWT adalah Esa. Dan hakikat tauhid adalah satu.Dan dalam konsepsi Islam tentang Zat Ilahi Yang Satu, terdapat pluralitas sifat Zat ini. Diantara sifat-sifat burhan adalah qidam, baqa, tidak bersusun, hidup, ilmu, iradat, qudrat, ikhtiar, esa. Sedangkan, dari sifat samiyah adalah kalam ‘berbicara’, bashar ‘melihat’, dan sama’ ‘mendengar’. Sebagaimana terdapat pluralitas sifat-sifat Zat ilahiyah yang Esa, pluralitas yang menguatkan keesaan zat, juga terdapat peluralitas nama-nama yang baik bagi Zat ini. <br />Allah SWT berfirman :<br /> <br /><br />“ Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (dipermukaan) bumi sebagai pasak, dan mengembangbiakkan padanya berbagai jenis binatang. Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya berbagai ragam tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah maka perlihatkanlah olehmu kepada Ku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu ) selain Allah. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesesatan yang nyata.” (QS. Lukman : 10-11)<br /><br />Allah SWT yang satu menciptakan kosmos sebagai satu penciptaan, tapi kemajemukan makhluk ciptaan Nya tidak diketahui jumlahnya kecuali oleh Nya sendiri yang Esa, ternyata ditengah kemajemukan makhluk itu ditemui kesatuan lagi dengan kemajemukan ciri dan kekhasan masing-masing, sungguh merupakan tanda kebesaran Nya. <br />Dari dasar akidah inilah akhirnya dalam pandangan kaum muslimin bahwa memang segalanya berdasarkan sunnatullah merupakan kesatuan dalam kemajemukan, Akidah Islam satu tapi majemuk dalam keyakinan, syariat Islam satu namun di dalamnya terdapat kemajemukan hukum Islam, kemanusiaan satu tapi majemuk dalam bentuk umat, bangsa, ras dan suku, Umat satu tapi majemuk dalam agama, bangsa, mazhab dan partai, dan seterusnya ... maka kecenderungan manusia kepada ilmu satu tapi majemuk dalam sudut pandangnya, sehingga melahirkan kemajemukan dalam cabang-cabangnya.<br />Penguasaan ilmu dan pemberian nilai islamis ini menjadi penting, sebab dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan inilah yang hanya dapat menjadikan sistem agama Islam menjadi sistem dunia, seperti dikatakan oleh Imam Ghazali :<br />“ Sistem agama tidak dapat diwujudkan kecuali dengan sistem dunia. Dan sistem dunia dibangun dengan ilmu pengetahuan. Ibadah tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ada kesehatan tubuh dan adanya kehidupan, serta adanya kadar kebutuhan, mulai dari pakaian, tempat tinggal, makanan dan keamanan. Agama tidak dapat terselenggara kecuali dengan terwujudnya keamanan atas pokok-pokok primer ini. Jika tidak maka orang yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menjaga dirinya dari pedang kezaliman, serta mencari penghasilan dari sumber-sumber yang sulit, kapan ia dapat tekun mencari ilmu dan bekerja ? Keduanya adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu sistem dunia adalah syarat bagi sistem agama.” <br /> <br />Ilmu Pengetahuan yang lahir berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan indrawi yang saat ini membangun negara-negara Barat menjadi modern, ternyata telah melahirkan kecenderungan materialisme yang pada dasarnya hanya membawa kebaikan sesaat bagi ummat manusia, sebab mereka hanya memandang ‘realita’ sebagai satu-satunya sumber Ilmu Pengetahuan, seperti pendapat mereka yang diungkapkan Dr.Murad Wahbah, bahwa :<br />“ Akal manusia telah melewati tiga periode : periode teologi, periode metafisika, dan periode realita.” Yang terakhir, realita, kemudian menjadi sumber satu-satunya ilmu pengetahuan yang benar. Kebenaran dalam pandangan mereka merupakan buah ekspremen belaka.” <br /><br />Dengan re orientasi paradigma, para pakar dan praktisi pendidikan sudah saatnya mengembalikan paradigma berfikir naqliyyah dipadu dengan berfikir aqliyyah dan didasari ketauhidan yang hampir hilang yakni bahwa ilmu itu satu kesatuan berada diatas nilai-nilai Islam dan bersumber/ datang dari Allah dan jika sampai pada tingkat kebenaran yang sempurna merupakan bukti ke Esaan, adanya dan ke Maha Agungan Allah, walau datangnya dari sisi pandangan yang berbeda sehingga cabang ilmu itu pun berbeda, maka jika dari sini timbullah upaya sinergis bagaimana menghilangkan dikotomis ilmu dan mengembalikannya ke dalam satu kesatuan nilai, dengan tetap mengakui kemajemukan ilmu itu sendiri, dan inilah pilar utama membangun era baru. <br />Pengembangan pendekatan berfikir naqliyyah didasari ketauhidan tentu dipadukan dengan berfikir Aqliyyah, yakni terbebas dari kejumudan dan taklid buta; mengandalkan; mengedepankan nilai-nilai ilmiah.<br />Allah SWT sangat mengajurkan menggunakan pendekatan berfikir ilmiah ini, seperti yang digambarkan dalam firmannya berikut :<br />a. Larangan untuk bersikap jumud, seperti ftertera dalam QS.Al Isra : 36 <br /> • <br />” Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”<br />b. Anjuran tidak jumud, dan harus berfikir aqliyyah, seperti tertera pada QS. An Najm: 28-30<br /> • • • • <br />28. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.<br />29. Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.<br />30. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.<br />c. Anjuran berfikir aqliyyah dan naqliyyah, seperti QS. Yunus : 35-36<br /> • • • • <br />35. Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekuturmu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? bagaimanakah kamu mengambil keputusan?<br />36. Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.<br />d. Anjuran berfikir aqliyyah dan naqliyyah sehingga yakin akan sebuah kebenaran seperti tertera pada QS. Al An’am : 115-117<br /> <br /> 115. Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.<br />116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)<br /><br />Dengan pengembangan pola pikir naqliyyah dan berfikir aqliyyah dengan landasan ketauhidan ini, diharapkan dapat melahirkan sains baru yang terlepas dari dikotomis, dan memilki nilai-nilai pengembangan, sbb :<br />1. Percaya Pada wahyu. <br />2. Sains adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial. <br />3. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid. <br />4. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial. <br />5. Pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap Oleh hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral. <br />6. Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya. <br />7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang. <br />8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilai-nilai. <br />9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik. <br />10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral. <br />11. Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya <br />1. interdependensi antara keduanya. <br />12. Orientasi nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat. <br />13. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaanNya: manusia, hutan dan lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya, harus didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah usaha golongan tertentu. <br />14. Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuang- buang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral. <br />15. Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains. Keduanya semestinya diperbolehkan (halal), yakni, dalam batas-batas <br /><br />Demokrasi Pendidikan<br />Kehidupan demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi individu yang berbeda dalam kebersamaan. Dengan demikian segala bentuk penyamarataan individu dalam satu uniformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat individu bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi, hal ini selaras dengan bunyi pernyataan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. <br />Dari hak-hak warga negara dalam mengikuti pendidikan tersebut tersirat adanya dua hal penting yaitu: pertama, pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dalam batas tertentu dan dengan dibarengi adanya peluang untuk memilih satuan pendidikan sesuai dengan karakteristiknya. <br />Tapi perlu digaris bawahi bahwa demokratisasi pendidikan tidak hanya sekedar prosedur, tetapi juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusiayang diharapkan mampu mendorong munculnya individu yang kreatif, kritis, dan produktif tanpa harus mengorbankan martabat dan dirinya.<br />E. Khatimah<br />Ralitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pengembangan paradigma yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu, dan kehidupan sekarang tidak bisa dipisahkan dari proses globalisasi dengan segala implikasinya.<br />Karenanya untuk membangun order generasi baru yang punya kemampuan mengembangkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan menata kehidupan yang dapat berintegrasi secara kultural dengan sistem internasional, yang ditandai dengan kinerja institusi di dalam dan keluar harus rasional, dinamis dan kompetitif, serta moralitas yang tinggi, maka sudah seharusnya dilakukan re orientasi paradigma mulai paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan serta sosial.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR BACAAN<br />Al Gazali, Al Iqtishad Fil Al I'tiqad, Maktabah Syubeikh, Kairo, tt<br />AL Gazali, Fadhailul Anam min Rasail Hujjah al Islam, Tunisia, tt<br />Ani M.Hasan, ; Profesionalisme Di Abad Pengetahuan , Jan 08, 2007 at 08:03 AM<br />Antonius Wiwan Koban; Kekerasan Struktural oleh Negara di Bidang Pendidikan ; http://www.sinarharapan.co.id/berita/0506/30/opi01.html<br />http://en.wikipedia.org/wiki/Chaos_theory<br />http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi<br />http://www.ditpertais.netHuzni Thoyyar; Model-Model Integrasi Ilmu Dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam (Survey Literatur Terhadap Pemikiran Islam Kontemporer) <br />Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia : Pertautan Pengetahuan dan kepentingan, Kanisius, Yogjakarta, 1992<br />Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999<br />Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, Kairo, 1994<br />Murad Wahbah, et.All., Al Qamus Al Falsafi, Kairo, 1966<br />Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan kemoderenan, Paramadina, Jakarta, <br />Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas , Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2005 , Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta<br />Pusat Kurikulkum Balitbang Depdiknas; Makalah Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);2006<br />Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional<br />H. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-994859457157512437.post-44400892302516237782008-11-29T06:21:00.000-08:002008-11-29T06:23:59.034-08:00RE ORIENTASI PARADIGMA MENYONGSONG KOMPETISI GLOBALA. Iftitah<br />Membangun budaya baru adalah sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia, sebab kebudayaan akan mempengaruhi kehidupan manusia yang dioperasionalkan melalui pranata-pranata sosial. <br />Keberadaan sebuah budaya menelusup kedalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia konteknya pada kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. <br />Karenanya pembinaan sumber daya insani akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan budaya suatu masyarakat.<br />Untuk menata budaya kehidupan baru, diperlukan adanya re orientasi paradigma terhadap perubahan budaya itu sendiri, dan paradigma baru itu harus ditularkan secara sistemik, diawali dari perlunya perubahan individual, kemudian secara sistematik dan terencana harus dikembangkan melalui lembaga pencetak sumber daya insani yang mampu menjadi agent of chage bagi perubahan itu, dan itu adalah melalui lembaga pendidikan, jika ini dapat dilakukan secara bertahap akan secara meluas merubah paradigma social.<br /><br /><br />B. Persoalan Global<br />Saat ini kita telah mulai menapak masuk ke era global, yang dapat diartikan sebagai era proses tanpa henti – tak bisa dibendung – tak bisa ditolak, dimana ia bukan merupakan produk final, namun budaya manusia terus melaju untuk membentuk formasi sosial pada seluruh dimensi kehidupan manusia, baik tatanan politik, sosial budaya atau pun ekonomi. , sehingga bahkan menjadi gejala yang akan terjadi di kemudian hari berdasarkan sistem yang ada atau dominan dalam masyarakat, sehingga dapat dianggap sebagai suatu ideologi masyarakat, sebagai suatu proyeksi kehidupan masa depan <br />Berbagai persoalan global seperti menguatnya personal space yang menyebabkan terpasungnya kebebasan berekspresi untuk menyuarakan dan mengemukakan pendapat, jati diri dan kepribadian, sebagai dampak banyaknya tuntutan pesan dan tuntutan kehidupan modern yang harus dilakukan, yang akhirnya bermuara pada beratnya beban moral ditambah lagi dengan persoalan pergeseran nilai ke arah materialistik.yang seolah tarik menarik memasung kemampuan pengembangan ide pribadi. Kemudian pada era global ini terjadi proses membesarnya persaingan dan kompetisi baik ekonomi atau pun politik baik dilihat dengan pendekatan struggle of power atau pun dari pendekatan equiblirium pada tatanan hubungan antar bangsa di dunia, sehingga seluruh bangsa dan negara di dunia berupaya untuk bagaimana dapat menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi dan melakukan industrialisasi secara besar-besaran. Ditambah lagi dengan semakin canggihnya peralatan transportasi dan komunikasi serta informasi, maka arus lintas kultur – norma – kepentingan – ideologi antar bangsa intensitasnya semakin tinggi, sehingga suatu negara akan berada pada suatu kenyataan tidak bisa disembunyikannya lagi dari pengamatan internasional tentang adanya sebuah kebobrokan yang mungkin pada masa sebelumnya masih bisa ditutupi di negara tersebut, dan jadilah sebuah negara laksana sebuah global village saja layaknya, karenanya untuk menjaga nasionalisme pada suatu negara maka suatu bangsa idealnya harus memiliki kesiapan kultural untuk menjaga integritas nasionalnya.<br />Sementara kenyataan riil, yang tidak bisa dimunkiri, dianatanya eksekutif, legislatif, yudikatif pemerintah banyak yang keliru menjalankan tugasnya (say ‘good govemance’; persoalan KKN, korupsi, kolusi, nepotisme masih menggejala; money-laundering, perkara pencucian uang (spekulasi valuta, berdagang senjata, SDM termasuk prostitusi, narkotika dan usaha judi); adanya terorisme menggelayap dimana-mana; perusakan sumber daya alam, laut, hutan, gunung, sungai, tambang, air, pantai, hayati; perusakan sumber daya manusia ( jual beli narkotika, jual beli tenaga kerja, jual beli senjata , usaha judi, brain drain), sistem pendidikan yang kurang dana, kurang R & D (research & development); kurang gizi, penyakit menular knonis, kematian ibu dan bayi, dst; penyelundupan hasil bumi, hasil laut, hasil hutan, hasil industri, hasil tambang, dan berbagai-bagai masalah lainnya lagi, bahkan kebanyakan Negara berkembang (termasuk Indonesia) saat ini sedang menghadapi perubahan sosial yang ditandai dengan krisis multidimensional yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, belum lagi berkembangnya tuntutan masyarakat yang berlebihan yang menimbulkan semangat primordialisme dan munculnya konflik horizontal di berbagai daerah yang menyebabkan instabilitas nasional.<br />Kondisi globalisasi cenderung membawa manusia ke arah situasi alienasi, yang bisa dibedakan ke dalam tiga kelompok yaitu pertama mereka teralienasikan dari Tuhannya, karena prestasinya dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan teknologi, mereka menjadi aties. Kedua mereka terkena “future shock” dimana mereka teralienasikan dari lingkungannya. Ketiga mereka teralienasikan dari Tuhan dan lingkungannya, yang semua ini sebenarnya berawal dari persoalan kejiwaan yang manusia itu sendiri berperan memunculkan penyebabnya dan menjadi korbannya, sebagai akibat dari manusia sendiri yang mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi yang menolak realitas metafisik hanya berpijak pada realitas fisik atau premis positivisme. <br />Menurut Naisbit ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk <br />Karenanya Ani M Hasan mengemukakan, bahwa Pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.<br />Di dunia pendidikan dampak era global juga kadang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara kemampuan intelektual dengan bekal moral, sementara tuntutan dan kenyataan kehidupan harus direspon sesegeranya, sehingga tidak jarang jalan keluar dari persoalan-persoalan kehidupan adalah berupa perkelahian (antar pelajar), korupsi, mencari dan melakukan jalan pintas yang tidak dibenarkan dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam hidup, hal ini disebabkan oleh efek global terhadap terjadinya perubahan tatanan budaya, menuju ke arah globalisasi kebudayaan, yang ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan, adalah :<br />• Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional. <br />• Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya. <br />• Berkembangnya turisme dan pariwisata. <br />• Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain. <br />• Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain. <br />• Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA <br /><br />Kekerasan-kekerasan yang terjadi dan menjalar ke mana-mana, berdasarkan salah satu definisi kekerasan menurut John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung. <br />Jadi dampak global ini menampakkan terjadinya chaos (kekacauan), dimana dalam ilmu fisika dan matematika,diistilahkan dengan Chaos Theory yakni menguraikan perilaku tertentu nonlinear dynamical sistem yang pada kondisi-kondisi spesifik memperlihatkan dinamika yang sensitip ke syarat awal yang terkenal sebagai katup yang mempengaruhi. Wujud kepekaan ini, adalah perilaku dari sistem kacau nampak seperti acak, oleh karena adanya kesalahan yang tumbuh bersifat exponen di dalam syarat awal itu. <br />Karenanya Era Global dapat dianggap sebagai suatu era dengan mengedepankan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap semua aspek kehidupan sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka. Untuk menghadapi era global inilah diperlukan adanya perubahan paradigma sosial.<br />Re orientasi paradigma sosial haruslah dimulai dengan adanya re orientasi paradigma berfikir, kemudian re orientasi paradigma pendidikan dan paradigma ilmu dan secara bertahap akan terjadi perubahan sosial.<br />C. Persoalan Kekeliruan Paradigma<br />Paradigma Berfikir<br />Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita secara apa adanya. Pikiran adalah ruang kemungkinan (space of possibility), dan realitas adalah ruang tindakan yang telah jadi nyata (space of action). Seluruh realitas kita hanya bergerak pada ruang kemungkinan itu. Makin besar ruang kemungkinannya, makin besar ruang realitasnya. Bagaimana kita berpikir, begitulah kita akan bertindak. Jadi jauh sebelum sebuah realitas tercipta di alam kenyataan, ia terlebih dulu tercipta di alam pikiran kita. Sebaliknya, apa yang tidak pernah kita pikirkan tidak akan pernah jadi realitas di masa mendatang. Maka realitas-realitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pikiran yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu, dan tentu realitas-realitas kita di masa mendatang adalah buah dari benih-benih pikiran yang kita taman hari ini. <br />Karenanya jika disadari realitas rendahnya tingkat kemampuan bersaing publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir, yang sebelumnya ditanamkan, maka tentu adanya gerakan perubahan paradigma berfikir publik, dan kata kuncinya adalah perubahan paradigma berfikir ke arah penciptaan sumberdaya-sumberdaya manusia, jika tidak maka realitas keterpurukan selama ini berlarut-larut tidak bisa diatasi.<br />Paradigma Pendidikan<br />Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia seperti dalam Human Development Index UNESCO tahun 2000 berada diurutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), atau menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. <br />Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia. <br />Memang saya kira banyak persoalan terkait dengan masalah pendidikan ini, namun yang paling inti adalah terjadinya kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan, karenanya perlu re orientasi paradigma pendidikan di Indonesia.<br />Paradigma pendidikan selama ini perlu diakui secara jujur adalah paradigma sekularisme dalam artian ”tidak secara otomatis anti agama” , hal ini dapat dibuktikan bahwa :<br />1. Memang UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” , tapi pada Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus, yang artinya secara jelas adanya membuat dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia saleh yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.<br />2. Pengelolaan pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. <br />3. BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya, dan ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. <br />Paradigma pendidikan yang material-sekularistik inilah sebenarnya yang melahirkan berbagai bentuk tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, karenannya perlu adanya re orientasi kembali paradigma pendidikan yang berkembang selama ini.<br />Paradigma Studi<br />Dalam kehidupan global tuntutan kemampuan persaingan sangat tinggi, sementara kita dihadapkan kenyataan yang tidak bisa dimunkiri, kualitas SDM kita masih di bawah rata-rata SDM negara lain, seperti saya kemukakan sebelumnya bahwa menurut Human Development Index UNESCO tahun 2000 kita berada diurutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), atau menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas kita berada pada ranking terakhir dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. <br />Rendahnya kualitas SDM kita ini, mengharuskan kita untuk mengubah nilai (values), sikap (attitudes) dan perilaku (behaviour) pada diri kita, kelompok kita, community kita maupun society kita, mungkin dan tentu bisa dimulai dengan mengubah nilai-nilai dalam diri kita masing-masing, !ewat pengkajian kembali seluruh rangkaian perjalanan hidup, dengan sikap damai, jujur, benar, dan terutama tabah, berani serta sabar. Mampu berperilaku, membuat keputusan-keputusan yang arif, bijak dan adil. Mampu bersikap terbuka, mau mendengar dan mengerti sejarah kemajemukan pendapat dan keragaman berpikir yang berbeda, mengisyaratkan arahan-arahan membuka kesempatan dan memberikan kehidupan dan dinamika pengembangan (development) yang bertahan kelanjutan, berdamai dan menjunjung keseimbangan lingkungan alam, sosial budaya, haruslah melalui proses edukasi, dan kata kuncinya adalah kemampuan proses edukasi melakukan reorientasi paradigma studi dalam proses edukasi tersebut, meninggalkan paradigma studi yang sekuler-materialistik, yang telah melahirkan berbagai persoalan yang berawal dari sumber daya manusia yang sekuler-materialistik tadi.<br /><br />Paradigma Ilmu Pengetahuan<br />Dikhotomi ilmu akan berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya. <br />Paradigma ilmu dan pendidikan yang dikotomis, di kalangan masyarakat berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari, sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. <br />Paradigma dengan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi pendidikan, di mana pendidikan berlabel agama yang akan mampu mengantarkan peserta didik ke kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara pendidikan "umum" dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusifke arah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. <br />Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian masyarakat, bahwa lembaga pendidikan umum lebih terjamin pada bidang mutu dan kesempatan memperoleh pekerjaan, ketimbang yang berlabel lembaga pendidikan agama., dan ini sangat berpengaruh bagi para pengambil kebijakan pendidikan yang sangat diskriminatif antara lembaga pendidikan umum dan agama, dan ini realitas yang tak bisa dimungkiri dan telah berjalan lama. Dan ketimpangan ini juga menjadi penyebab utama lemahnya mutu dan kinerja pengelolaan lembaga pendidikan agama. <br />Paradigma ilmu yang dikhotomis ini berdampak pada kerangka filsafat keilmuan, dimana kurang dikenalnya konsep paradigma, normal science, anomali, dan revolusi sains yang selama ini "mengatur" perkembangan dan pertumbuhan sains modern saat ini, dan bahkan berkembang gejala pemikiran yang mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah.<br />Paradigma dikotomis yang telah banyak melahirkan berbagai persoalan, seperti kesalahan pada cara pandang ilmum terjadinya diskriminasi lembaga, lemahnya mutu , mengacaukan paradigma kerangka filsafat ilmu serta berkembangnya gejala pemikiran mempertentangkan rasio (akliyyah) dan wahyu (naqliyyah), karenanya paradigma ilmu sudah seharusnya di reorientasi dengan paradigma baru.<br />Paradigma Sosial<br />Dalam tatanan kehidupan sosial kita dihadapkan kenyataan yang tidak bisa dimunkiri, diantaranya terjadinya say ‘good govemance’ pada eksekutif, legislatif, yudikatif; persoalan KKN, korupsi, kolusi, nepotisme masih menggejala; money-laundering, perkara pencucian uang (spekulasi valuta, berdagang senjata, SDM termasuk prostitusi, narkotika dan usaha judi); adanya terorisme menggelayap dimana-mana; perusakan sumber daya alam, laut, hutan, gunung, sungai, tambang, air, pantai, hayati; perusakan sumber daya manusia ( jual beli narkotika, jual beli tenaga kerja, jual beli senjata , usaha judi, brain drain), sistem pendidikan yang kurang dana, kurang R & D (research & development); kurang gizi, penyakit menular knonis, kematian ibu dan bayi, dst; penyelundupan hasil bumi, hasil laut, hasil hutan, hasil industri, hasil tambang, dan berbagai-bagai masalah lainnya lagi.<br />Sekilas kita lihat Teori Keteraturan vs Konflik. pertama kali oleh Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956), yang membedakan pendekatan dalam analisa sosiologi, dimana di satu sisi terdapat konsep yang konsentrasinya adalah menjelaskan sifat dari keteraturan sosial, dengan di sisi lain terdapat konsep yang terkonsentasi pada masalah perubahan, konflik, dan kekerasan(paksaan) dalam struktur sosial, yang kemudian oleh Cohen (1968) dikelaborasi beberapa ide dasar pada teori ”keteraturan” vs ”konflik”, dan mengkritik bahwa Dharendorf salah, karena memperlakukan teori ”keteraturan” vs ”konflik” secara terpisah, dimana menurutnya teori ”keteraturan” vs ”konflik” tidak bersifat ”mutually exclusive” (salah satu konsep bisa merupakan bagian dari konsep lain)., maka nampaknya realitas sosial era keteraturan telah mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik, dimana Status quo, Social Order, Konsensus, Integrasi sosial dan kohesi, Pemenuhan kebutuhan dan Aktualitas telah berubah menjadi Perubahan Radikal , Konflik Struktural, Adanya dominasi , Kontradiksi, Kehilangan, kerugian, atau perampasan dan Potensialitas.<br />Kesalahan paradigma sosial yang berawal dari kesalahan paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan menjadi penyebab berubahnya realitas sosial era keteraturan sehingga mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik (semraut) dan chaos (rumit), karenanya perlu adanya paradigma baru yang mampu mengembalikan ke tatanan sosial dengan wujud keteraturan yang baru.<br />D. Re Orientasi Paradigma<br />Beberapa persoalan paradigma seperti pertama realitas rendahnya tingkat kemampuan bersaing publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir, yang sebelumnya ditanamkan, maka tentu adanya gerakan perubahan paradigma berfikir publik, dan kata kuncinya adalah perubahan paradigma berfikir, kedua Paradigma pendidikan yang material-sekularistik inilah sebenarnya yang melahirkan berbagai bentuk tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, ; ketiga paradigma studi yang sekuler-materialistik, yang telah melahirkan berbagai persoalan yang berawal dari sumber daya manusia yang sekuler-materialistik; keempat Paradigma dikotomis yang telah banyak melahirkan berbagai persoalan, seperti kesalahan pada cara pandang ilmum terjadinya diskriminasi lembaga, lemahnya mutu , mengacaukan paradigma kerangka filsafat ilmu serta berkembangnya gejala pemikiran mempertentangkan rasio (akliyyah) dan wahyu (naqliyyah), ke lima paradigma sosial yang berawal dari paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan yang menjadi penyebab berubahnya realitas sosial era keteraturan sehingga mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik, telah menuntut adanya re orientasi paradigma.<br />Beberapa konsep dasar untuk melakukan re orientasi paradigma mulai dari paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan sampai kepada tatanan paradigma sosial, adalah :<br />Standarisasi Pendidikan<br />Tantangan yang dihadapi dunia pendidikan semakin hari semakin membesar, yang menyebabkan mau tidak mau akan terjadi pergeseran nilai baik menyangkut segi pengelolaan maupun in put masukannya (sumber belajar), karenanya Lembaga Pendidikan harus mau dan mampu menerima kenyataan ini dan harus segera membenahi diri untuk menuju dan menjadi lembaga pendidikan yang siap mengembangkan SDM yang siap bersaing di era global ini, dan ini mengharuskan adanya standarisasi mutu pendidikan.<br />Pilar standarisasi SDM secara serius dilakukan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya :<br />1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional<br />Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal 1 ayat 17 : ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”. <br />Kemudian bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 35, ayat 1-4 berbunyi :<br />(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. <br />(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. <br />(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.<br />(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. <br />2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan<br />Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005, BAB II tentang Lingkup, Fungsi, Dan Tujuan, pasal Pasal 2, berbunyi :<br />(1) Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: <br />a. standar isi; <br />b. standar proses; <br />c. standar kompetensi lulusan; <br />d. standar pendidik dan tenaga kependidikan; <br />e. standar sarana dan prasarana; <br />f. standar pengelolaan; <br />g. standar pembiayaan;dan <br />h. standar penilaian pendidikan. <br />(2) Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.<br />(3) Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. <br />Depdiknas memberikan arahan agar kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. <br />Berfikir Naqliyyah dan Aqliyyah dengan dasar Ketauhidan<br />Upaya para pemikir Islam untuk mengembalikan ilmu pengetahuan ke dalam satu kesatuan, yaitu ilmu yang bernafaskan Islam dengan tetap majemuk dalam cabang-cabangnya, adalah didasarkan atas akidah agama, yang disadari atau tidak mesti memainkan peranan penting dalam pembentukan konsep ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin.<br />Keyakinan kaum muslimin bahwa Allah SWT adalah Esa. Dan hakikat tauhid adalah satu.Dan dalam konsepsi Islam tentang Zat Ilahi Yang Satu, terdapat pluralitas sifat Zat ini. Diantara sifat-sifat burhan adalah qidam, baqa, tidak bersusun, hidup, ilmu, iradat, qudrat, ikhtiar, esa. Sedangkan, dari sifat samiyah adalah kalam ‘berbicara’, bashar ‘melihat’, dan sama’ ‘mendengar’. Sebagaimana terdapat pluralitas sifat-sifat Zat ilahiyah yang Esa, pluralitas yang menguatkan keesaan zat, juga terdapat peluralitas nama-nama yang baik bagi Zat ini. <br />Allah SWT berfirman :<br /> <br /><br />“ Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (dipermukaan) bumi sebagai pasak, dan mengembangbiakkan padanya berbagai jenis binatang. Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya berbagai ragam tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah maka perlihatkanlah olehmu kepada Ku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu ) selain Allah. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesesatan yang nyata.” (QS. Lukman : 10-11)<br /><br />Allah SWT yang satu menciptakan kosmos sebagai satu penciptaan, tapi kemajemukan makhluk ciptaan Nya tidak diketahui jumlahnya kecuali oleh Nya sendiri yang Esa, ternyata ditengah kemajemukan makhluk itu ditemui kesatuan lagi dengan kemajemukan ciri dan kekhasan masing-masing, sungguh merupakan tanda kebesaran Nya. <br />Dari dasar akidah inilah akhirnya dalam pandangan kaum muslimin bahwa memang segalanya berdasarkan sunnatullah merupakan kesatuan dalam kemajemukan, Akidah Islam satu tapi majemuk dalam keyakinan, syariat Islam satu namun di dalamnya terdapat kemajemukan hukum Islam, kemanusiaan satu tapi majemuk dalam bentuk umat, bangsa, ras dan suku, Umat satu tapi majemuk dalam agama, bangsa, mazhab dan partai, dan seterusnya ... maka kecenderungan manusia kepada ilmu satu tapi majemuk dalam sudut pandangnya, sehingga melahirkan kemajemukan dalam cabang-cabangnya.<br />Penguasaan ilmu dan pemberian nilai islamis ini menjadi penting, sebab dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan inilah yang hanya dapat menjadikan sistem agama Islam menjadi sistem dunia, seperti dikatakan oleh Imam Ghazali :<br />“ Sistem agama tidak dapat diwujudkan kecuali dengan sistem dunia. Dan sistem dunia dibangun dengan ilmu pengetahuan. Ibadah tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ada kesehatan tubuh dan adanya kehidupan, serta adanya kadar kebutuhan, mulai dari pakaian, tempat tinggal, makanan dan keamanan. Agama tidak dapat terselenggara kecuali dengan terwujudnya keamanan atas pokok-pokok primer ini. Jika tidak maka orang yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menjaga dirinya dari pedang kezaliman, serta mencari penghasilan dari sumber-sumber yang sulit, kapan ia dapat tekun mencari ilmu dan bekerja ? Keduanya adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu sistem dunia adalah syarat bagi sistem agama.” <br /> <br />Ilmu Pengetahuan yang lahir berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan indrawi yang saat ini membangun negara-negara Barat menjadi modern, ternyata telah melahirkan kecenderungan materialisme yang pada dasarnya hanya membawa kebaikan sesaat bagi ummat manusia, sebab mereka hanya memandang ‘realita’ sebagai satu-satunya sumber Ilmu Pengetahuan, seperti pendapat mereka yang diungkapkan Dr.Murad Wahbah, bahwa :<br />“ Akal manusia telah melewati tiga periode : periode teologi, periode metafisika, dan periode realita.” Yang terakhir, realita, kemudian menjadi sumber satu-satunya ilmu pengetahuan yang benar. Kebenaran dalam pandangan mereka merupakan buah ekspremen belaka.” <br /><br />Dengan re orientasi paradigma, para pakar dan praktisi pendidikan sudah saatnya mengembalikan paradigma berfikir naqliyyah dipadu dengan berfikir aqliyyah dan didasari ketauhidan yang hampir hilang yakni bahwa ilmu itu satu kesatuan berada diatas nilai-nilai Islam dan bersumber/ datang dari Allah dan jika sampai pada tingkat kebenaran yang sempurna merupakan bukti ke Esaan, adanya dan ke Maha Agungan Allah, walau datangnya dari sisi pandangan yang berbeda sehingga cabang ilmu itu pun berbeda, maka jika dari sini timbullah upaya sinergis bagaimana menghilangkan dikotomis ilmu dan mengembalikannya ke dalam satu kesatuan nilai, dengan tetap mengakui kemajemukan ilmu itu sendiri, dan inilah pilar utama membangun era baru. <br />Pengembangan pendekatan berfikir naqliyyah didasari ketauhidan tentu dipadukan dengan berfikir Aqliyyah, yakni terbebas dari kejumudan dan taklid buta; mengandalkan; mengedepankan nilai-nilai ilmiah.<br />Allah SWT sangat mengajurkan menggunakan pendekatan berfikir ilmiah ini, seperti yang digambarkan dalam firmannya berikut :<br />a. Larangan untuk bersikap jumud, seperti ftertera dalam QS.Al Isra : 36 <br /> • <br />” Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”<br />b. Anjuran tidak jumud, dan harus berfikir aqliyyah, seperti tertera pada QS. An Najm: 28-30<br /> • • • • <br />28. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.<br />29. Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.<br />30. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.<br />c. Anjuran berfikir aqliyyah dan naqliyyah, seperti QS. Yunus : 35-36<br /> • • • • <br />35. Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekuturmu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? bagaimanakah kamu mengambil keputusan?<br />36. Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.<br />d. Anjuran berfikir aqliyyah dan naqliyyah sehingga yakin akan sebuah kebenaran seperti tertera pada QS. Al An’am : 115-117<br /> <br /> 115. Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.<br />116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)<br /><br />Dengan pengembangan pola pikir naqliyyah dan berfikir aqliyyah dengan landasan ketauhidan ini, diharapkan dapat melahirkan sains baru yang terlepas dari dikotomis, dan memilki nilai-nilai pengembangan, sbb :<br />1. Percaya Pada wahyu. <br />2. Sains adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial. <br />3. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid. <br />4. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial. <br />5. Pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap Oleh hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral. <br />6. Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya. <br />7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang. <br />8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilai-nilai. <br />9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik. <br />10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral. <br />11. Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya <br />1. interdependensi antara keduanya. <br />12. Orientasi nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat. <br />13. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaanNya: manusia, hutan dan lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya, harus didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah usaha golongan tertentu. <br />14. Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuang- buang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral. <br />15. Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains. Keduanya semestinya diperbolehkan (halal), yakni, dalam batas-batas <br /><br />Demokrasi Pendidikan<br />Kehidupan demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi individu yang berbeda dalam kebersamaan. Dengan demikian segala bentuk penyamarataan individu dalam satu uniformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat individu bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi, hal ini selaras dengan bunyi pernyataan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. <br />Dari hak-hak warga negara dalam mengikuti pendidikan tersebut tersirat adanya dua hal penting yaitu: pertama, pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dalam batas tertentu dan dengan dibarengi adanya peluang untuk memilih satuan pendidikan sesuai dengan karakteristiknya. <br />Tapi perlu digaris bawahi bahwa demokratisasi pendidikan tidak hanya sekedar prosedur, tetapi juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusiayang diharapkan mampu mendorong munculnya individu yang kreatif, kritis, dan produktif tanpa harus mengorbankan martabat dan dirinya.<br />E. Khatimah<br />Ralitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pengembangan paradigma yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu, dan kehidupan sekarang tidak bisa dipisahkan dari proses globalisasi dengan segala implikasinya.<br />Karenanya untuk membangun order generasi baru yang punya kemampuan mengembangkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan menata kehidupan yang dapat berintegrasi secara kultural dengan sistem internasional, yang ditandai dengan kinerja institusi di dalam dan keluar harus rasional, dinamis dan kompetitif, serta moralitas yang tinggi, maka sudah seharusnya dilakukan re orientasi paradigma mulai paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan serta sosial.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR BACAAN<br />Al Gazali, Al Iqtishad Fil Al I'tiqad, Maktabah Syubeikh, Kairo, tt<br />AL Gazali, Fadhailul Anam min Rasail Hujjah al Islam, Tunisia, tt<br />Ani M.Hasan, ; Profesionalisme Di Abad Pengetahuan , Jan 08, 2007 at 08:03 AM<br />Antonius Wiwan Koban; Kekerasan Struktural oleh Negara di Bidang Pendidikan ; http://www.sinarharapan.co.id/berita/0506/30/opi01.html<br />http://en.wikipedia.org/wiki/Chaos_theory<br />http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi<br />http://www.ditpertais.netHuzni Thoyyar; Model-Model Integrasi Ilmu Dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam (Survey Literatur Terhadap Pemikiran Islam Kontemporer) <br />Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia : Pertautan Pengetahuan dan kepentingan, Kanisius, Yogjakarta, 1992<br />Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999<br />Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, Kairo, 1994<br />Murad Wahbah, et.All., Al Qamus Al Falsafi, Kairo, 1966<br />Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan kemoderenan, Paramadina, Jakarta, <br />Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas , Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2005 , Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta<br />Pusat Kurikulkum Balitbang Depdiknas; Makalah Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);2006<br />Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan NasionalH. MUNADI S. ALIhttp://www.blogger.com/profile/01077954944423218948noreply@blogger.com0