08 November 2008

RU’YAT DAN HISAB

RU’YAT DAN HISAB

Sebuah studi tentang penetapan awal puasa dan hari raya ‘Idul al Fithri

A. Pendahuluan

Pada dua tahun terakhir ini umat Islam di Indonesia tidak sepakat di dalam menentukan dan merayakan hari raya ‘Idul al Fithri. Mungkin juga mereka tidak sepakat di dalam memulai ibadah puasa. Kita semua tentu tidak menghendaki terulangnya kembali peristiwa seperti itu karena bagaimanapun adanya dua hari raya akan menciptakan suasana tidak tenang malah akan mengundang pertentangan dikalangan kaum muslimin. Dirjen Pembinaan Lembaga Islam menyatakan bahwa persatuan dan kesatuan umat akan teruji bila hari raya Islam berbeda di kalangan Islam. (Banjarmasin Post, 15-4-1993)

Seorang khatib berkhotbah pada salah satu mesjid di Kodya Bajarmasin pada hari raya ‘Idul al Fithri bahwa mereka yang kemaren telah berhari raya wajib mengkadla puasanya. Beliau juga mengancam para khatib yang kemaren telah berhari raya tetapi pada hari berikunya menjadi khatib sebagai suatu penipuan. Di Amuntai hampir terjadi sesuatu yang tidak diingini karena terjadi perselisihan antara dua pihak yang berbeda di dalam menentukan hari raya ‘Idul al Adlha karena menyangkut shah tidaknya penyembelihan hewan korban. Kejadian itu sangat disesalkan.

Untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan umat yang dimulai dari pengalaman ibadah-ibadah kegamaan maka dianggap perlu meyampaikan informai yang benar bagaimana menentukan awal Ramadlan tanggal satu Syawwal atau hari raya ‘Idul al Fithri ? Siapakah yang berwewenang menetapkan hari-hariitu ?

Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan–pertanyaan itu dengan mengkaji berbagai leteratur untuk mengetahui pendapat para ulama tentang masalah-masalah itu. Dengan demikian diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi semua pihak, sehingga terciptalah ukhuwwah Islamih di kalangan umat Islam.

B. Pengkajian Terhadap Dalil-Dalil Al Qur’an dan Al Hadits

Allah SWT berfirman dalam surah al Baqarah ayat 189 ( Q : 2 : 189 )

“ Mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah bulan sabit itu adalah waktu dan waktu berhaji bagi manusia. “

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai berikut : Berkata al ‘Ulfi dari Ibn Abbas, orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang bulan sabit, maka turunlah ayat ini. Dengan timbulnya bulan sabit itu orang mengetahui tibanya waktu membayar hutang, iddah wanita dan waktu berahaji. Dari Abu ‘Aliyah, Allah menjadikan bulan sabit itu mengetahui waktu awal puasa, hari raya, waktu pembayaran hutang dan iddah wanita. Penafsiran seperti ini juga dikemukakan oleh ‘Atha, al Dlahhak, dan Qatadah. 1

Menurut al Shabuni dengan hilal dapat diketahui waktu-waktu bagi orang banyak dan waktu berhaji. Bulan ramadlan tiba dengan ru’yat hilal walaupun ru’yat itu dilakukan oleh orang yang ‘adil, atau kalau ru’yat tidak dapat dilakukan karena mendung maka dengan meyempurnakan bilangan bulan sya’ban 30 hari,sesuai dengan hadits Rasulullah SAW.

“ Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu juga dengan melihatnya. Jika langit mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan sya’ban tiga puluh hari. 2

Kedua penafsiran di atas sepakat bahwa ru’yatlah yang diperlukan untuk menentukan awal puasa dan 1 syawwal. Al Shabuni menambahkan tidak diperlukan ilmu hisab atau ilmu bintang. 3

Pengkajian terhadap al Hadits yang menjelaskan tentang awal Ramadlan dapat diketahui adanya dua al Hadits, al hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ditakhrij oleh Bukhari dan al hadits yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar yang ditakhrij oleh Muslim. Kedua al Hadits itu mengandung pengertian yang sama hanya kata “ pada hadits Abu Hurairah diganti dengan kata “ “ dalam al Hadits riwayat Ibn ‘Umar. Hal itu dapat kita temukan di dalam tafsir Ibn Katsir.

Namun menurut Pengarang kitab al Mazhibu al Arba’ah kedua al hadits itu tidak sama bunyinya. Kata “ “ di dalam al hadits Abu Hurairah di ganti dengan ungkapan “ dalam al Hadits yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar. Perbedaan matan al hadits ini membawa kepada perbedaan pendapat disekitar bulan hilal tidak bisa dilihat karena udara mendung. Berbeda dengan al Hanafiyyah, al Malikiyyah dan al Syafi’iyyah, al Hanabilah berpendapat, jika pada sore hari ke 29 sya’ban udara mendung hingga bulan hilal tidak bisa dilihat maka wajib berniat pada malam ketiga puluh untuk berpuasa pada keesokan harinya. Jika ternyata pada keesokan harinya bukan bulan puasa maka tidak wajib menyempurnakan puasanya. Kata. “ diartikan dengan “ “ berhati – hati. 4

Menurut penulis kitab Bidayatul al Mujtahid bahwa arti dari “ “ adalah mencukupkan bilangan bulan sya’ban 30 hari. Pendapat seperti ini katanya adalah pendapat jumhur al ulama. Namun sebahagian ulama berpendapat pengertian “ adalah dengan mempergunakan ilmu hisab di dalam menentukan awal puasa atau hari raya. 5 Jadi dari kata inilah timbulnya peluang ilmu hisab dijadikan pedoman di dalam menentukan awal bulan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menurut penafsiran ayat-ayat al Qur’an bahwa ru’yat dijadikan metode untuk menentukan awala bulan. Tetapi menurut pengkajian al Hadits, ketika langit mendung hendaklah dicukupkan bilangan bulan sya’ban 30 hari, namun di dalam menafsirkan al Hadits riwayat Ibnu Umar artinya dengan mencukupkan bilangan bulan sya’ban 30 hari juga bisa dengan memakai ilmu hisab. Disinilah adanya peluang bagi dipergunakannya ilmu hisab di dalam menentukan awal bulan.

Dalam hal ini marilah kita pelajari pendapat ulama mazhab tentang ru’yat dan hisab.

C. Ru’yat dan Hisab

Berkata ‘ulama al Malikiyyah :

“ Ditetapkan bulan Ramadlan dengan ru’yat. Dalam hal itu ada tiga persoalan, 1). Bulan dilihat oleh dua orang yang ‘adil. Orang yang ‘dil itu adalah lelaki, merdeka, baligh, berakal, dan tidak melakukan dosa-dosa besar. 2). Bulan dilihat oleh orang yang banyak hingga menghasilkan suatu berita yang benar. 3). Bulan hanya dilihat oleh seorang saja. Dalam hal itu ru’yat tidak bisa dijadikan dasar di dala menentukan awal bulan kalau ru’yat hanya dilakukan oleh seoran saja. Jika ru’yat hanya dilakukan oleh seorang saja maka kewajiban berpuasa hanya berlaku bagi dirinya sendiri atau bagi orang yang menerima berita yang tidak sempat melihat bulan. 6

Berkata ‘ulama al Hanafiyyah :

“ Jika langit bersih dari apa saja yang dapat menghalangi pandanagn mata, haruslah dilakukan ru’yat oleh orang banyak untuk memperkuat berita yang mereka sampaikan. Penentuan bilangan banyak tergantung kepada pendapat imam atau wakilnya. Menurut pendapat yang rajih bahwa tidak harus ditentukan jumlah bilangan orang yang melkukan ru’yat itu. 7

Berkata ‘ulama al Syafi’iyyah :

“ Ditetapkan bulan Ramadlan itu dengan ru’yat oleh orang yang ‘adil walaupun keadilannya itu tidak jelas ru’yat dilakukan apakah udara terang atau terhalang untuk melakukannya. Disyaratkan bagi orang yang naik saksi melihat bulan orang itu haruslah muslim, berakal, baligh, merdeka, laki-laki, ‘adil sekalipun dilihat dari segi lahirnya saja. 8

Berkata ‘ulama al Hanabilah :

“ Haruslah berita melihat bulan itu datang dari orang yang mukallaf, ‘adil, secara nyata atau tersembunyi. Tidak diterima ru’yat dari anak yang mumayyiz dan tidak jelas keadilannya. Tidak beda antara laki-lki dan perempuan, merdeka atau hamba dalam masalah keadilan. 9

Dari pendapat keempat mazhab di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Para ulama keempat mazhab sepakat bahwa awal puasa ditetapkan berdasarkan ru’yat.

2. Al Hanafiyyah dan al Malikiyyah berpendapat bahwa orang yang melakukan ru’yat itu haruslah orang banyak. Sementara al Syafi’iyyah dan al Hanabilah tidak mensyaratkan orang yang melakukan ru’yat itu harus orang banyak.

3. Al Malikiyyah dan al Syfi’iyyah dan al Hanabilah mensyaratkan orang yang melakukan ru’yat itu haruslah orang yang ‘adil. Walaupun keadilannya itu dilihat secara nyata saja menurut al Syafi’iyyah.

4. Para ulama al Malikiyyah dan al Syafi’iyyah berpendapat disamping syarat ‘adil haruslah orang yang melakukan ru’yat itu baligh, berakal, laki-laki, ditambahkan oleh al Syafi’iyyah haruslah muslim.

Menurut Muhammad ‘Ali al Shabuni bahwa menentukan awal puasa dan berhari raya dengan melihat hilal adalah pendapat jumhur al ulama. Menentukan awal puasa san satu Syawwal dengan ru’yat adalh menurut petunjuk al Qur’an dan al Hadits serta praktik Nabi sendiri, para sahabat dan tabi’in bahkan samapi kepada masa kita sekarang di negara-negara Islam Timur Tengah. 10

Dalam hal itu jika langit mendung pada sore hari ke 29 bulan sya’ban maka hendaklah bulan sya’ban digenapkan bilangannya 30 hari. Jadi pada keesokan harinya puasa tidak dilakukan. Ini adalh pendapat ketiga mazhab. Menurut ‘ulama-ulama al Hanabilah, jika pada sore hari ke 29 langit mendung maka hendaklah berniat untuk berpuasa pada esok hari. Tetapi jika ternyata pada besok hari itu bukan bulan ramadlan maka tidak wajib meneruskan puasanya.

Dalam hal itu kita sampaikan pendapat ulama-ulama al Syafi’iyyah :

1. Kitab ‘I’anatu al Thalibin : juz II hal. 218

Ditetapkan (awal) ramadlan dengan mencukupkan bulan sya’ban 30 hari sejak melihat awal sya’ban. Namun bagi orang yang melihat begitu saja.

2. Kitab Fathul l Wahhab juz I, hal : 215

Ijma’ para ulama menetapkan awal bulan ramadlan dengan mencukupkan bilangan bulan sya’ban 30 hari.

Dalam perkembangan ijtihad para ulama selanjutnya dan berkembangannya ilmu hisab dan adanya peluang dari al Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dengan kata “ “ maka ilmu hisab dijadikan metode untuk menentukan awal puasa. Hadits yang memberi peluang untuk lmu hisab diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar yang berbunyi “ “. Kata “ artinya hitunglah dengan ilmu hisab sebagai salah satu cara dalam menetapkan awal bulan ramadlan dan 1 syawwal.

Beberapa ulama lain juga berpendapat seperti itu misalnya penulis kitab Nailu al Authar : IV, hal : 267

“ Sekelompok ulama diantaranya Ibnu Suraij, Muthrib bin Abdullah, Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa arti “ “ hitunglah dengan ilmu hisab.”

Di kalangan ulama-ulama al Syafi’iyyah masalah hisab ini terdapat berbagai pendapat. Tetapi kecenderungan sebahagian besar mereka kepada ru’yat bukan kepada hisab. Misalnya :

Kitab Hasyiatu al Jamal juz : II hal . 305

“ Kalau ilmu hisab yang pasti menjelaskan tidak mungkin bulan dilihat maka ulama-ulama muta akhkhirin berbeda-beda pendapat. Pendapat yang rajih adalah berpegang kepada penyaksian (orang yang melihat bulan) dengan peyaksian yang bayyinah.”

Tetapi juga Hasyiatul al Jamal dalam halaman yang sama menyatakan :

“Siapapun yangtelah mendapatkan suatu kenyakinan, apakah dengan ru’yat atau hisab, haruslah dia berbuka puasa atau berpuasa sesuai dengan keyakinan nya.”

Penulis kitab Mizanu al ‘Itidal yang mengambil berbagai pendapat ulama lebih cenderung kepada ru’yat yang telah diterima penyaksian orang yang melakukan ru’yat itu .

“ Bahwa penulis kitab “Bughyah” yang mengambil dari al Kurdy dan Fatwa a Sayyid ‘Abdulah bin ‘Umar bin Yahya tentang masalah pertentangan antara hisab dan ru’yat, maka yang diambil untuk ber’amal adalah ru’yat bukan hisab. Imam Muthi’I menjelaskan di dalam irsyadnya bahwa jika pertentangan antara hisab dan ru’yat yang telah diterima penyaksiaannya maka yang di ambil adalah ru’yat bukan hisab, karena sebenarnya para ahli ilmu hisab itu tidak sepakat di dalam menentkan adanya hilal maka ru’yatlah yang dipakai kerana ru’yat itu tidak terdapat pertentangan.”

Demikian juga penulis kitab Mughni al Muhtaj kecederungan kepada ru’yat walaupun sempat memihak kepada hisab karena hisab adalah pasati Mughni al Muhtaj hal.421

“ Jika telah menyaksikan ru’yatu al hilal oleh seorang atau dua orang, sedangkan ilmu hisab menyatakan tidak mungkin hilal dilihat, berkata Imam Subki : Penyaksian melihat hilal tidak diterima karena hisab bersifat pasti sedngkan ru’yat tidak pasti, yang tidak pasti tidak dapat mengalahkan yang pasti. Beiau berpanjang lebar menjelaskan masalah ini, tetapi pendapat yang mu’tamad syahadah atau ru’yatlah yang diterima, karena hisab tidak dapat dipergunakan sebagaimana juga telah dijelaskan pada pembicaraan terdahulu .”

Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebahagian besar para ulama atau jumhur al ulama berpendapat bahawa ru’yat adaah satu-satunya cara untuk menentukan awala bulan. Hal itu dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW kemudian diikuti pula oleh Khulafaurrasyidin. Walaupun demikian diantara para ulama mutaakhirin berpendapat bahwa ilmu hisab dapat dijadikan suatu cara untuk menentukan awal bulan. Mereka berpendapat bahwa ilmu hisab adalah qath’i atau pasti sedangkan ru’yat adalah zanni atau tidak pasti. Yang pasti lebih utama dari yang tidak pasti. Namun pada akhirnya diantara para ulama itu kembali lagi kepada ru’yat karena masalah ru’yat itu adalah masalah taabbudi. Disamping hal itu memang di lakukan sendiri oleh Rasulullah SAW juga di dalamnya mengandung hikmah yang amat besar bagi orang yang mau memahaminya. Ibnu ‘Umar meriwayatkan :

“ Orang banyak ingin melihat hilal. Aku memberitakan kepada Nabi bahwa ku melihat bulan. Beliau berpuasa dan menyuruh orang banyak berpuasa. (diriwayatkan oleh Abu Daud Hakim dan Ibnu Hibban dan dibenarkan oleh Hakim). 11

D. Siapa Yang Berwewenang Menentukan Awal Bulan

Pengkajian kepada tafsir ayat-ayat ahkam. Demiian juga pengkajian kepada beberapa al Hadits yang berhubungan dengan penentuan awal puasa dan hari raya ‘Idul al Fithri. Seterusnya dengan mempelajari pendapat para ulama mazhab dan sejarah sejak mas Rasulullah sampai kepada masa-masa selanjutnya dapat diambil kesimpulan bahwa yang berwewenang di dalam menentukan hari-hari ‘ibadah itu adalah imam yang bertugas mengurusi urusan kaum muslim di saat itu. Disamping al hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar di atas ada lagi riwayat yang diriwayatkan oleh Darul al Quthni bahwa ada seorang laki-laki yang mengaku melihat hilal di masa ‘Ali. Beliau menerima penyaksian laki-laki itu. Beliau berpuasa dan menyuruh orang banyak berpuasa.

Berkata ulama al Syafi’iyyah : Hendaklah bersaksi orang yang mengaku melihat bulan di hadapan qadli bahwa dia benar-benar melihat hilal dengan ucapan “ “ Berkata ulama al Malikiyyah : Jika yang memberitakan melihat hilal itu hanya seorang saja maka imam tidak bisa menerima berita itu. Kewajiban puasa hanya berlaku bagi dirinya sendiri. Berkata ulama al Hanafiyyah : Bahwa yang menentukan berapa banyak orang melihat hilal itu adalah imam atau wakilnya. Berkata ulama al Hanabilah : Wajib berpuasa atas orang melihat hilal dan wajib juga atas orang yang wajib menerima berita itu asalkan yang emberitakan itu orangnya ‘adil, sekalipun imam menolak penyaksiannya karena ketidaktahuan imam terhadap orang yang mengaku melihat hilal. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang berhak menentukan wal puasa dan hari raya adalah imam berdasarkan penyaksian orang yang ‘adil bahwa dia sungguh-sungguh melihat bulan atau hilal. Dituntut pula orang bersaksi itu hendaklah terhitung banyak misalnya sampai tiga orang.

E. Penutup

1. Kesimpulan :

a. Jumhur al Ulama berpendapat bahwa ru’yat adalah satu-stunya cara untuk menentukan awal bulan

b. Sebahagian kecil para ulama berpendapat bahwa ilmu hisab boleh dijadikan alat untuk menentukan awal bulan.

c. Para imam berwewenang menerima penyaksian orang melihat hilal dan menetapkan awal puasa dan hari raya.

2. Saran – saran

Dianjurkan untuk lebih mengembangkan wawasan keilmuan dan selalu toleransi terhadap orang lain.

Catatan kaki :

1. Ibnu Katsir, Tafsiru al Qur’ani al ‘Azim, Daru al Ihya al Kutubi al ‘Arabiyyah, Mesir, Vol : I, t.th., hal. 225.

2. Muhammad Ali al Shabuni, Rawai’ul al Bayani Fi Tafsiri Ayati al Ahkami Makatabatu al Ghazaliyi, Damaskus Syria, Vol : I, 1997, hal. 210

3. Ibid, hlm. 211

4. Abdu al Rahman al Jaziri, Kitabu al Fiqhi ‘Ala al Mazahibi al Arba’ah, Al Maktabatu al Tijariyyati al Kubra,Mesir, Vol : I, t.th., hal. 548

5. Ibnu Rusydi, Bidayatu al Mujtahid, (kitabnya terbakar).

6. Abdu al Rahman al Jaziri, op cit, hal. 549

7. op cit, hal. 549

8. op cit, hal. 549

9. op cit, hal. 550

10. Muhammad ‘Ali al Shabuni, Al Thadlomunu al Islamiyyu, Wazaratu al Haji wa al Awqaf, Mekkah, 1993, hal. 28

11. Muhammad ‘Ali al Shabuni, op cit, hal. 211

Tidak ada komentar: