15 Desember 2008

ETIKA POLITIK & AKHLAK POLITIKUS

ETIKA POLITIK & AKHLAK POLITIKUS
Dr. H. ARTANI HASBI
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi Kalimantan Selatan

Disampaikan pada :
“ Forum Ilmiah Studium General Dalam Rangka Wisuda Sarjana ke XV Sekolah Tinggi Agama Islam Rasyidiyah Khalidiyah ( STAI RAKHA ) Amuntai Kalimantan Selatan


“Berbicara etika politik itu, seperti berteriak di padang gurun”. “Etika politik itu nonsense”. “Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan”. “Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tundung kepada yang seharusnya”. “Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara”. “Dalam konteks ini, bagaimana etika bisa berbicara”… Pandangan ini dikemukakan oleh Haryatmoko, dosen Filsafat Pascasajana Universitas Indonesia, dalam tulisannya di harian Kompas 29 Maret 2001.
Cesdekiawan muslim Nurchalis Madjid menguraikan tentang etika politik dalam arti implimentasi dari keadilan, dan ini adalah prinsip akhlak mulia.
Sebelum masuk pada pembahasan judul di atas, lebih dahulu dikemukakan urgensi dan akhlak dalam perspektif diskursus etemologis-filosofis-teologis.
I
Urgensi etika dan akhlak dalam logika politik dan logika agama dapat dikaji dalam Encyclopedia Britanica ; etika dinyatakan dengan tegas sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sisematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya. Sehingga oleh Lillie1, etika digolongkan sebagai ilmu pengetahuan normatif yang bertugas memberikan pertimbangan perilaku manusia dalam mansyarakat apakah baik atau buruk, benar, atau salah.
Pendapat Lillie di atas, berbeda dengan uraian yang dikemukakan oleh Austin Fogothey2, dan William Frankena3. Kalau Fogothey memberikan definisi bahwa etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat, yang meliputi antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu hukum. Perbedaannya terletak pada aspek keharusannya (ought). Berbeda dengan teologi moral, karena tidak bersandarkan pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi terbatas pada pengetahuan yang dilahirkan tenaga manusia sendiri. sedangkan Frankena menjelaskan bahwa etika sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran kefilsafatan tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral. Istilah moral dan etika sering dipadankan (disamakan) dengan kebenaran (right), kebaikan (good) yang berlawanan dengan kata ‘tidak bermoral’ (immoral) dan ‘tidak beretika’ (unethical).
Untuk lebih mempertajam pemahaman tentang etika, dapat dikemukakan istilah yang dekat, yaitu etiket (sopan santun). Dua kata ini (etika dan etiket) dalam bahasa Inggris “ethics” dan “itiquette” di samping terdapat perbedaan, ada persamaan yang mendasar, antara lain : keduanya menyangkut perilaku dan perbuatan manusia dan mengatur perilaku tersebut secara normatif, dan pada gilirannya dapat menentukan apa yang harus dan boleh dilakukan, atau apa yang tidak boleh dilakukan. Sedang perbedaannya minimal ada 4 (empat) macam, seperti yang diuraikan Achmad Charris Zubair dosen Filsafat UGM Yogyakarta, antara lain ;
Pertama, etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Di antara beberapa cara mungkin, etiket menunjukkan cara yang tepat, artinya, cara yang diharapkan dapat dibenarkan dalam suatu kalangan tertentu. Misalnya, jika menyerahkan seseuatu kepada atasan, harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan. Dianggap melanggar etika, bila seseorang menyerahkannya dengan tangan kiri. Tetapi etika tidak tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan. Etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. etika menyangkut bahasan apakah suatu perbuatan boleh dilakukan, ya atau tidak. Contoh ; mengambil barang milik orang lain tanpa izin, tidak pernah dibenarkan/diperbolehkan. “jangan mencuri adalah merupakan suatu norma etika”. Apakah mencuri dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan dilakukan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri (it self).
Kedua, etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya, ada banyak peraturan etiket yang mengatur cara makan. Dianggap melanggar etiket, bila kita makan sambil berbunyi atau meletakkan kaki di atas kursi, dan sebagainya. Tapi kalau makan seorang diri, tidak melanggar etiket, bila makan dengan cara demikian. Sebaliknya, etikat selalu berlaku dalam setiap keadaan, walaupun tidak ada saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. Larangan untuk mencuri selalu berlaku, dengan kesadaran ada orang lain, hadir melihat atau tidak. Begitu pula jika meminjam suatu barang kepunyaan orang lain, terdapat kesadaran untuk mengembalikan, walaupun pemiliknya sudah lupa.
Ketiga, etiket bersifatrelatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu tempat atau kebudayaan, bisa saja dianggap sopan pada tempat dan kebudayaan yang lain. Contohnya, makan dengan mempergunakan sendok atau makan hanya menggunakan tangan tanpa sendok ; lain halnya dengan etika. Terdapat sesuatu yang lebih dalam dan bersifat absolut. Contoh, “jangan mencuri” “jangan membunuh”, “jangan memfitnah”.
Keempat, etiket hanya memandang dari segi lahirnya saja, sedang etika menyangkut sesuatu yang mendalam. Kalau dengan etiket, bisa saja seseorang bagaikan “musang berbulu ayam”. Apa yang terlihat, terdengar dan tergambar, terkesan sangat sopan dan halus, tapi di dalamnya tersimpan suatu yang penuh dengan kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahatnya, justru meyakinkan orang lain. Bagi etiket terkadang mampu untuk bersatu (menyatu) dengan kemunafikan, tapi bagi etika adalah sangat tidak mungkin hal itu terjadi. Orang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh melakukan yang benar dan baik.
Pengertian benar, secara objektif adalah satu, tidak ada dua benar yang bertentangan. Apabila ada dua hal yang bertentangan, mungkin salah satunya saja yang benar atau kedua-duanya salah, yang benar adalah yang belum disebut. Apabila benar itu kriterianya peraturan, maka adalah wajar, kita menemukan benar yang berlainan di dunia ini. Bahkan mungkin bertentangan antara benar menurut suatu waktu dengan benar menurut waktu yang lain, atau benar menurut suatu golongan/kelompok dengan benar menurut golongan/kelompok yang lain, sebab peraturannya berlain-lainan. Apalagi apabila peraturannya bertentangan antara suatu tempat dengan yang lain atau suatu waktu dinamakan ‘benar’ (right). Kerena itu, kebenaran di dunia ini apabila hanya didasarkan peraturan yang dibuat oleh manusia adalah relatif, dan secara objektif, bahkan peraturan itu hanya satu dan tidak mungkin mengandung perlawanana di dalamnya ; hakekatnya yang benar itu adalah pasti dan hanya satu.
Kebenaran yang objektif, yang merupakan kebenaran yang pasti dan satu itu adalah kebenaran yang didasarkan kepada peraturan yang dibuat oleh Yang Maha Satu, Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, Yang Maha Benar. Karena itu satu-satunya kebenaran yang objektif adalah kebenaran yang dibuat oleh Yang Maha Satu, Yang Maha Benar itu. Sehingga peraturan yang buat manusia bersifat relatif itu menjadi benar apabila tidak bertentangan dengan peraturan yang objektif yang dibuat Yang Maha Satu, Yang Maha Benar; yaitu peraturan yang tidak bertentangan dengan wahyu, karena kebenaran mutlak adalah kebenaran dari Yang Maha Benar; sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :
ﻦﻳﺮﺗﻣﻤ ﻦﻧﻮﮑﺗ ﻼﻔ ﻚﺑﺮ ﻦﻣ ﻕﺣﻟﺍ
Artinya : “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (Q.S. al-Baqarah 2: 147).

Peraturan-peraturan dari Tuhan ini disampaikan kepada para utusn-Nya melalui wahyu; dan inilah yang menjadi dasar kebenaran dalam sikap perilaku orang yang beragama. Oleh itu, benar yang objektif adalah benar yang didasarkan atas peraturan yang dibuat oleh Tuhan. Sedangkan peraturan yang dibuat manusia, akan dijamin kebenarannya apabila peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan peraturan yang dibuat Tuhan. Peraturan yang dibuat Tuhan bersifat universal dan fleksibel, sehingga dapat memberikan kemudahan bagi makhluk-Nya untuk menerapkannya di tempat manapun, dan dalam kondisi atau waktu kapanpun.
Etika dalam ajaran Islam selalu disebut dengan ‘akhlak’ (etika Islam). Dalam hal ini disebabkan karena ‘akhlak’ diambil dari bahasa Arab dari akar kata khuluk yang berarti budi pekerti4.
Kata akhlak mengandung segi-segi persesuaian dengan khalqun dan erat hubungannya dengan khaliq dan makhluq. Setiap perbuatan dan perilakumanusia (makhluq), apakah secara individu maupun interaksi sosial tidak bisa terlepas dari pengawasan khaliq (Tuhan Maha Pencipta). Baik dan buruk, benar dan salah, bagaimana melaksanakan dan mencapai tujuan yang seharusnya, dapat dijelaskan dengan memahami pengertiaan akhlak, ini dikemukankan oleh Ahmad Amin dalam bukunya Al-Akhlaq5.
Begitu pula Ibnu Maskawih6 mengemukakan bahwa akhlak dapat berubah dengan kebiasaan dan latihan serta pelajaran yang baik. Manusia dapat diperbaiki akhlaknya dengan mengosongkan dirinya dari segala sifat tercela dan menghisinya dengan sifat-sifat terpuji dan luhur.
Sedangkan Imam al-Ghazali7 menegaskan bahwa akhlak suatu sifat yang tetap pada jiwa seseorang, dari jiwa tersebut timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dan tidak membutuhkan pemikiran. Dari pemikiran ketiga tokoh Muslim (Ibnu Maskawih, al-Ghazali dan Ahmad Amin) di atas, perlu dijelaskan kembali bahwa apa yang dimaksud dengan kebiasaan tersebut merupakan perbuatan yang harus diulang-ulang, dan mempunyai syarat-syarat antara lain :
Pertama, ada kecenderungan (keinginan) hati untuk mengerjakannya. Kedua, ada pengulangan yang cukup banyak sehingga menjadi bagian dari budaya pribadi dan dengan demikian secara mudah mengerjakannya tanpa memerlukan pikiran lagi. Ketiga, menangnya keinginan manusia dengan menetapkan suatu putusan atau pilihan setelah dia bimbang. Hal ini merupakan suatu proses dari sejumlah keinginan terhadap ada stimulan-stimulan melalui indera. Kemudian timbul kebimbangan, mana yang harus dengan kata lain, mana yang harus didahulukan, karna tidak mungkin mengerjakan semua keinginan dalam waktu yang sama.
Dari beberapa pengertian tentang etika dan akhlak di atas, diharapkan dapat digunakan dalam pembahasan “etika dan logika berpolitik”.
II
Akhir-akhir ini manuver politik yang dilakukan elite-elite politik (politikus) makin menambah semarak dinamikapolitik nasional. Manuver politik ini layak dicermati, mengingat dampaknya yang sangat luas pada instabilitas politik, sosial, ekonomi dan keamanan.
Konflik elite merupakan hal yang wajar dalam negara demokrasi. Konflik elite bisa terjadi dalam berbagai strata, baik secara horizontal di antara elite politik itu sendiri. yang paling parah jika konflik itu terjadi serentak; vertikal dan horizontal.
Namun demikian, banyak cendekiawan dan pakar ilmu politik menyatakan bahwa konflik elite pada satu sisi dapat membawa kepada perubahan yang produktif. Konflik yang serius, rasional, sungguh-sungguh objektif, maka penguasa negara otoriter menjadi rapuh dan jatuh. Tetapi di sisi lain konflik elite rentan pada sesuatu yang sangat berbahaya. Jika konflik elite terus berlanjut dalam waktu yang lama, negara dalam keadaan kritis multi dimensional dan keamanan tidak stabil, terjadilah kerusuhan, anarki, kekerasan dan hakim sendiri.
Menurut M.G. Button pakar ilmu politik kebangsaan Inggris menyebutkan bahwa konflik elite dapat dapat dicermati dari berbagai sisi, terutama dalam hubungannya dengan transisi menuju demokrasi. Ada tiga teori yang mewarnai wacana konflik elite dimaksud. Pertama, elite yang bersatu secara edeologi. Kedua, elite yang berkonflik. Ketiga, elite yang berkompetisi dalam prosedur demokrasi.
Dalam situasi konflik elite yang ketiga inilah urgensi etika politik sesuatu yang niscaya. Menciptakan kompetisi yang sehat, prosedural dan konstitusional bukankah suatu upaya mewujudkan etika politik ? Betapa kasar dan tidak santunnya suatu rekayasa politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma dan nilai hukum atau peraturan perundang-undangan. Di sini letak celah elite politik bisa berbicara dari dengan otoritasnya yang menjanjikan.
Elite politik berbicara dari sisi objek yang menjadi korban politik. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban, baik individu maupun kelompok. Korban akan bereaksi dan berupaya untuk membangkitkan simpati, yang disebut indegnation (terusik dan protes terhadap ketidak adilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik yang kasar dan tidak santun. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik.
Konflik elite dan pertarungan kekuasaan/kepentingan yang berlarut-larut, akan membangkitkan kesadaran yang mendesak dan tuntutan keadilan. Penyelesaian tidak akan terwujud bila tidak mengacu dan perpedoman pada etika politik. Sering terangkat luntaran pernyataan “perubahan harus konstitusional”, “mengikuti prosedur dan tata tertib”, hal ini menunjukan betapa pentingnya implementasi etika politik secara konkrit.
Tujuan utama etika politik adalah mengarakan ke hidup yang benar dan baik secara bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif dan struktur-struktur yang ada di tengah komunitas yang plural. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekedar etika individual yang kerdil dan penuh rekayasa sebagai penonjolan perilaku individu yang syarat dengan tendensi kesenangan temporer.
Tujuan utama etika politik di atas, pernah dikemukakan oleh Paul Ricoeur (1913) seorang antropolog terkenal yang menekankan tiga persyaratan mutlak yaitu, Pertama, upaya hidup baik dan benar secara bersama dan untuk orang lain …, Kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan …, Ketiga, membangun institusi-institusi yang adil.
Tiga persyaratan itu saling terkait. “hidup baik dan benar secara bersama dan untuk orang lain” tidak mungkin terwujud, kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup yang baik dan benar adalah cita edeal kebibasan, kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang bertanggung jawab dengan menghindarkan setiap warga negara (individu atau kelompok) dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap keritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir kali yang dimaksud adalah syarat mutlak secara fisik, sosial dan politik yang perlu dipenuhi demi pelaksanaan konkret sebuah kebebasan yang bertanggung jawab.
Etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual, tetapi terkait dengan tindakan koliktef (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pendapat tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan individu. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pendapatnya dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif. Hubungan antara pandangan atau pendapat seseorang dengan tindakan kolektif tidak secara langsung membutuhkan perantara. Tetapi ada perantara yang menjabatani pandangan peribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol merupakan nilai-nilai.
Menurut Frans Magnis Soseno; simbol-simbol dan nilai-nilai- itu, bisa simbol agama, kepercayaan, ediologi, demokrasi, nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan dan sebagainya; dinamakan dengan “symbolic universi of meaning”. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin agar menerima pandangan atau pendapanya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Di sinilah letaknya seni dalam berpolitik, karena kebutuhan kemampuan atau meyakinkan lewat bicara retorika dan persuasi; bukan manipulasi, kebohongan, paksaan dan kekerasan.
Etika politik akan sangat cermat terhadap manipulasi atau penyalahgunaan simbol dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif, dan … Last but not lest … di sinilah letak pentingnya akhlak politikus.
III
Kalau ditegaskan persyaratan pertama etika politik “hidup baik dan benar secara bersama dan untuk orang lain”, maka etika politik dipahami sebagai wujud dan sikap perilaku seorang politikus yang jujur, santun, memiliki integritas meyakinkan, menghargai dan menghormati orang lain, menerima pluralitas, peka terhadap ketidak adilan, berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan tidak mementingkan golongannya saja. Jadi, politikus yang menghayati dan menjalankan perilaku politiknya seperti di atas adalah tercatat sebagai negarawan yang berakhlak mulia (akhlaq al-karimah).
Perilaku politik elite hendaknya didasari oleh penghayatan seni berpolitik yang mengandung kesatuan. Kesatuan politik diukur oleh beberapa dalam kesadaran terhadap keutamaan akhlak mulia. Kesantunan itu sering tampak apabila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para perilaku politik. Tetapi pemahaman seperti ini akan menggeser arti dan hakikat etika politik yang berdasar akhlak mulia tersebut. Contoh sederhana misalnya suatu pernyataan menyatakan bahwa : “Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur”. Dari sudut koherensi, pernyataan itu benar, dan tidak terbantahkan. Tetapi jika dilihat dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan ( hipotesis irealis).
Etika politik yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkan real politic, akan gagal membawa kepada kesejahteraan umum, bahkan terkesan memaksakan kehendak untuk mencapai suatu tujuan kesuksesan, kemenangan dan memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Seorang Filosof Italia, Machiavelli menegaskan doktrin politiknya dalam hubungan antara kekuasaan dengan pertarungan kekuatan. Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subjek hukum, tetapi terdiri dari kelompok kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang benar adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apapun caranya. Segala cara dihalalkan. Tidak ada hukum, kecuali kekuatan yang memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak direkayasa untuk melegitimasi kekuatan itu, demi mencapai tujuan.
Gambaran Machiavelli ini seakan menyadarkan kita pada konflik elite bangsa Indonesia saat ini. Politik dan akhlak menjadi dua dunia yang sangat berbeda. Etika politik seakan relevan dan menjadi barang antik yang mahal harganya. Dan hanya dapat dibeli oleh politikus yang mampu merekayasa demi kepentingan politiknya.
Tetapi dalam teori ilmu politik, bahwa politikus itu bukanlah sebagai aktor pasif. Elite politik adalah individu-individu yang diharapkan mampu independen untuk dapat menjinakkan kekuatan-kekuatan yang saling berbeda kepentingan. Dan pada gilirannya etika politik yang didasiri akhlak mulia dari pada politikus secara bersama membangun institusi-instutisi yang lebih adil.
Membangun institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama secara bersama dan memiliki komitmen yang kuat terhadap penetapan prosedur yang adil. Adalah tidak mungkin terbangun institusi yang adil jika tidak ada keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang, dan kesadaran akhlak. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya seorang harus membagi kue tart secara adil kepada sembilan orang (termasuk sipembagi sendiri). maka menurut peraturan menetapkan “yang membagi harus mengambil pada giliran terakhir” ini merupakan prosedur yang adil dan berorieantasi pada akhlak mulia. Dengan ketentuan itu, bila sipembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil dari yang lain, maka tanpa harus diperintah oleh orang lain, dengan kesadaran akhlak, dia akan berusaha seadil-adilnya membagi kue itu secara transparan menjadi sama besarnya. Dengan demikian, walaupun ia mendapat giliran terakhir, secara kasat mata tidak akan dirugikan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik, karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalah gunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada kehebatan rekayasa politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik dan benar, sehingga keadilan distributif, komonikatif, dan keadilan sosial bisa terjamin secara faktual.
Sistem hukum yang baik dan benar, juga akan menghindarkan praktek busuk politikus. Sering terjadi, meski hukum sudah adil. Seorang koroptor divonis bebas oleh hakim karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, antara lain ; tidak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan ; dan penyelesaiannya harus mengacu pada prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil). Dalam logika agama hanya Allah yang menetapkan hukum dengan prosedur yang seadil-adilnya.
IV
Setiap individu yang beriman kepada Allah diharapkan mampu menjadi khalifah Allah di muka bumi untuk menerapkan norma-norma dan nilai-nilai keadilan.
Cendekiawan muslim Nurcholis Madjid menguraikan kata “keadilan” ditinjau dari segi kebahasaan. Dalam kitab suci al-Qur’an disebutkan perkataan “adil (‘ad’l), untuk makna keadilan dan berbagai nuansanya. Adapula perkataan “qisth”, “wasth”, dan “mizan”. Semua pengertian berbagai kata itu bertemu dalam suatu ide umum sikap tengah yang berkesinambungan dan jujur. Kalau diteliti lagi secara etimologis bahasa Arab, bahwa “wasith” terambil “wasth”. Dalam bahasa Indonesia disebut “wasit” artinya “penengah” atau orang yang berdiri di tengah, yang mengisyaratkan keadilan. Begitu pula “’ad’l” sinonim dengan kata “inshaf” (berasal dari “nishf” yang artinya “setengah”), dan orang yang adil disebut “munshif”. (dari “inshaf” itulah timbul kata “insaf” dalam bahasa Indonesia yang berarti “sadar”, karena memang orang yang adil, yang sanggup berdiri di tengah tanpa secara apriori memihak, dan menyadari persoalan yang dihadapi membutuhkan sikap tengah untuk memutuskan sesuatu menjadi tepat dan benar).
Menurut Murtadla al- Muthahari, terdapat empat pengertian pokok tentang adil dan keadilan :
Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan seimbang (mawzun, balance), tidak pincang. Dalam suatu kesatuan secara bersama-sama menuju tujuan yang sama, dengan persyaratan yang sama, mempunyai ukuran yamg tepat, dan diharapkan mampu untuk mempertahankan diri sesuai dengan fungsinya, sehingga bagian-bagian dari kesatuan tersebut hanyalah sebagai alat. Muthahhari menegaskan, bahwa keadilan dalam makna keseimbangan itu berlaku terutama untuk kesatuan bagian wujud fisik, termasuk alam raya. Seperti firman Allah menyatakan : “Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, Dia meletakkan keseimbangan (mizan)”8. maka keadilan dengan makna keseimbangan adalah lawan dar kekacauan atua ketidakserasian. Begitu juga keserasian sosial, harmonisasi kehidupan bermasyarakat, dalam arti, keamanan, ketertiban, kemantapan serta keberhasilan mencapai tujuan dan sebagainya, bisa terwujud melalui sistem politik yang adil.
Kedua, keadilan mengandung makna persamaan. Tetapi bukan persamaan mutlak terhadap semua orang, dalam arti yang sempit. Muthahhari menjelaskan, bahwa keadilan dalam persamaan bukan memberlakukan semua sama tanpa memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, tugas dan fungsi seseorang. Misalnya seorang pemimpin diberlakukan persis sama dengan seorang pesuruh. Hal ini bukan keadilan tetapi kezaliman. Pengertian keadilan dalam persamaan ialah memberlakukan sama kepada mereka yang mempunyai hak yang sama (karena kemampuan, tugas dan fungsi yang sama).
Ketiga, keadilan dalam perhatian kepada hak-hak pribadi, dan memberikan haknya karena dia yang mempunyai hak tersebut. (“I’tha kull dzi haqq haqqahu”). Apabila tidak demikain berarti kezaliman, yaitu perampasan hak bagi orang yang berhak dan pelanggaran hak-hak oleh orang yang tidak berhak. Menurut Muthahhari, ada dua hal yang harus dijelaskan ; (1) Masalah hak dan pemilikan (al-huquq wa al-uluwiyyat, rights and properties) Hak dan pemilikan seseorang sesuai dengan usaha dan hasil usahanya. Begitu juga hak pemilikan yang bersifat alami, misalanya hak bayi untuk mendapatkan susu. Adalah suatu yang zalim seorang ibu apabila tidak memeberi susu terhadap bayinya. (Kalau si bayi “hanya” setuju minum ASI). (2) Masalah kekhususan hakiki manusia, yaitu kualitas manusiawi trtentu yang harus dipenuhi oleh dirinya dan diakui oleh orang lain untuk dapat mencapai tujuan hidupnya yang lebih tinggi ( mencapai prestasi atau karier). Menghalangi adalah kezaliman.
Keempat, Keadilan Tuhan (al- ‘ad’l al-Ilahi), berupa kemurahan Allah dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada sesuatu atau etingkat dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya sendiri atau pertumbuhan danperkembangan ke arah kesempurnaan.9
Prinsip keadilan menurut logika agama, akan mempertajam pemahaman terhadap diskursus etika politik yang mau tidak mau, setuju atau tidak setuju membutuhkan kesadaran akhlak mulia.
Wallahu a’lam bi al-shawab








DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Amin, Al- Akhlak, (Kairo, Dar al- Kutub al- Mishriyah, t.t.)
Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta, Rajawali Pers, 1987)
Austin Fogothey, Right and Reason, (St. Louis, USA : Press of the V.C. Mosby, 1976)
Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, ( Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994)
Encyclopdia Britanica, Vol.III, (London, Inc.1972)
Frans Von Magnis, Etika Umum, (Yogyakarta, Yayasan kanisius, 1975)
Ibnu Miskawaih, Tahdhib al- Akhlaq, ( Berut : Dar al- Kutb al- Ilmiah, 1985)
Imam al- Ghazali, Ihya ‘Ulum al- Din, jilid III. (Kairo, Dar al- Sya’b, t.t)
Johannes, Richard L, Etika Komunikasi, (Bandung, Remaja Rosdakarya< 1992)
Nurcholish Madjid, Islam Doktren dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992)
William Frankena, Ethics, (New Jersey : Prentice Hall, 1973)
William Lillie, An Introduction to Ethics, (New York : Barnes Noble, 1957)
w. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung, Remajakarja, 1986)












DAFTAR KUTIPAN

1 “the normative science of the conduct of human beings living in societeis is a scince which judge this conduct to be right or wrong, to be good or bad, or in some similar way. Thisdefinition says, first of all, that athiccs is a science,and a science may be definned as a systematic and more or less complete body of knomledge about a particular set of related events or objects” (william Lillie, An Introduction to Ethics (New York : Barnes Noble, !957), hal. 1-2.
2 Austi Fogethey, Right and Reason ( St. Louis, USA : Press of the V.C. Mosby, 976), hal.3-4.
3 William Frankena, Ethics (New Jersey: Prentice Hall, 1973) hal. 5-6.
4 kata budi peketi dalam bahasa Indonesia, merupakan kata majemuk dari kata ‘budi’ dan ‘pekerti’. Kata budi berasal dari bahasa Sansekerta, bentuk isim-fa’il ( subjek) atau alat, yang berarti ‘yang sadar’ atau ‘yang menyadarkan’ atau ‘alat kesadaran’. Bentuk masdarnya budh yang berarti ‘kesadaran’. Sedang bentuk maf’ulnya (objek) adalah budha artinya ‘yang disadarkan’. Pekerti, berasal dari bahasa Indonesia yang berarti ‘kelakuan’. Menurut terminologi : kata ‘budi pekerti’ yang terdiri budi dan pekerti; dapat dijelaskan bahwa ‘budi’ ialah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio, disebut caracter. Jadi, budi pekerti adalah merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.
5 Ilmu akhlak ialah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang harus dilaksanakan oleh sebagian manusia terhadap sebagiannya, menjelaskan tujuan yang hendaknya dicapai oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan yang lurus yang harus diperbuat. Amin, Al-Akhlak, (Kairo, Dar al-Kutub al- Mishriyah, t.t.), hal.12
6 Ibnu Miskawaih, Tahdib al- Akhlaq, (Beirut: Dar al-Kutb al- Ilmiah, 1985), hal.14
7 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al- Din, Jilid III ( Kairo, Dar al- Sya’b, t.t), hal.52
8 Surat al- Rahman, 55: 9.
9 Nurcholish Madjid, Islam, Doktren dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992), hal.513-517.

Tidak ada komentar: