PERAN ULAMA DALAM PEMBERDAYAAN UMMAT SEBAGAI SUBYEK PEMBANGUNAN
Oleh : Drs.H.MUNADI
Abstrak :
Dalam konteks pembangunan nasional di era global saat ini kita dihadapkan pada upaya sistematis mengatasi dampak krisis dimensional pada hamper semua aspek kehidupan, khususnya pada bidang social ekonomi dan budaya masyarakat, dan akibat berbagai keterbelakangan masyarakat, jadilah kebanyakan masyarakat tidak merasa sebagai subyek dalam pembangunan, namun lebih dicenderungkan sebagai objek
Kelompok Ulama saat ini masih merupakan kelompok elite di masyarakat, dalam kehidupannya memiliki kultural dengan karakteristik tersendiri, yang selama ini kedudukan mereka dikukuhkan oleh tradisi sosial dan keyakinan budaya setempat
Untuk secara cepat membantu masyarakat agar menjadi subyek dalam pembangunan, maka diperlukan adanya kebijakan dari pemegang policy pembangunan untuk melibatkan ulama di dalamnya, namun dalam hal ini diperlukan adanya transformasi peran ulama, pada sisi masalah agama (pokok akidah/peribadatan) tetap sebagai orang yang membantu masyarakat menyelesaikan persoalan, tapi pada peran pembangunan social kemasyarakat, lebih pada peran participatory.
Kata Kunci :
Konflik Horisontal – Transformatif - nilai transedental - Partisipatif
.
A. Pendahuluan
Era saat ini adalah era pengetahuan; suatu era dengan menonjolkan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka
Masih kurangnya kesiapan umat/ bangsa dalam menghadapi era ini, menyebabkan bangsa ini adalah bagian dari banyak bangsa di dunia ini yang terpuruk karenanya.
Upaya industrialisasi yang merupakan skala prioritas pembangunan nasional adalah merupakan hal yang strategis dan sistematis dalam kerangka kerja transformasi, untuk peningkatan produksi dan peningkatan ekonomi bangsa yang sedang terpuruk ini.
Industrialisasi yang dilakukan, bagaimana pun juga senantiasa akan terkait dan berlangsung dalam lingkungan sosio kultural masyarakat itu. Dan pada gilirannya akan membawa dampak perubahan pada sosio kultural masyarakat tadi. Dan memang diakui, bahwa setiap usaha industrialisasi dengan segenap imbas perubahannya pada akhirnya akan membentur dan memaksa efek perubahannya ke ranah-ranah kultural
Kelompok Ulama saat ini merupakan kelompok elite di masyarakat, dalam kehidupannya utama di pedesaan memiliki kultural dengan karakteristik tersendiri, yang selama ini kedudukan mereka dikukuhkan oleh tradisi sosial dan keyakinan budaya setempat.
Perubahan paradigma pembangunan kearah industrialisasi dan pembangunan ekonomi, tak jarang disamping memberikan harapan baru bagi kehidupan yang lebih maju dan kemungkinan lebih baik, juga dapat mengganggu posisi mereka.
Dalam makalah ini, akan dikemukakan alternatif pendekatan pembangunan bidang industri dan peningkatan ekonomi serta penguatan peran kelompok ulama agar mereka bisa menjadi ‘agent of change’ pada pembangunan bangsa dan negara ini, yang diharapkan mampu ikut memberdayakan bangsa yang memang seyogyanya dilakukan oleh mereka.
B. Masalah Umat Dalam Pembangunan
Ada berbagai persoalan yang secara umum dihadapi oleh bangsa kita saat ini, yakni :
1. Semakin lemahnya institusi negara dalam melindungi dan melayani hak- hak rakyat, terutama rakyat lemah (powerless);
2. Masa transisi politik dan demokrasi, masih sangat kental dengan nuansa formalisme dan pragmatisme politik;
3. Meluasnya konflik sosial budaya dan perebutan sumber daya;
4. Merebaknya korupsi, kolusi dan nepotisme;
5. Memudarnya komitmen moral, etika politik, dan keteladanan;
6. Rendahnya kualitas kepemimpinan nasional dan daerah; dan memudarnya kepercayaan publik terhadapnya, termasuk kepada pimpinan agama;
7. Lambatnya perubahan perilaku birokrasi, dan buruknya pelayanan publik;
8. Semakin besarnya pengangguran;
9. Lemahnya supremasi hukum;
10. Tingginya tingkat kejahatan terhadap badan dan barang;
11. Tidak jelasnya arah otonomi daerah;
12. Rusaknya dan senmakin terbatasnya daya dukung lingkungan;
13. Dll.
Pembangunan selama ini dengan mengarah ke arah industrialisasi dan mengedepankan pertumbuhan ekonomi, akan lebih mengesankan bagi kelompok usahawan, tuan-tuan tanah, karena lebih dilihat dari kacamata ‘mendatangkan keuntungan material’, dan telah terlanjur memberi harapan kepada kelompok lapisan bawah; petani, buruh dan lain sebagainya, karena dimungkinkan dapat mendatangkan perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik.
Mau tak mau, karena industrialisasi dan pengembangan ekonomi tersebut merambah ke semua lini kehidupan kerakyatan, maka ulamapun harus mau bersosialisasi ke dalam hegemoni arus industrialisasi dan pengembangan ekonomi tersebut, sebab kosekuensinya jika mereka bersiteguh memegang prinsip kultur lama, bukan hanya tertinggal dari arus modernisasi, bahkan otoritas mereka juga akan rapuh sedikit dari sedikit dalam pandangan masyarakat yang telah terkontaminasi oleh supremasi era global dengan segala macam kemajuan informasi dan transformasi serta budayanya.
Kesenjangan kemampuan mengatasi tantangan hidup dan kesulitan yang dihadapi antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam masyarakat akan menimbulkan perbedaan sikap di antara kelompok itu. Disamping itu, ketimpangan konstribusi kepemilikan dan penguasaan fasilitas kehidupan dapat mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat mekanis dalam suatu masyarakat. Perbedaan ini merupakan faktor yang menyebabkan timbulnya polarisasi dan konflik antar sub kelompok atau antar kelompok dalam masyarakat Islam.
Dalam konteks agama, masalah keagamaan pertama seringkali ditempatkan sebagai sesuatu yang terpisah dari persoalan ekonomi, sosial dan politik. Lembaga keagamaan sakan-akan hanya mengurusi masalah ibadah yang normatif dengan menutup ruang gerak dalam urusan sosial kemasyarakatan, kedua Praktek keberagamaan masyarakat (secara individu maupun kolektif) masih sangat kental dengan nuansa tektual dan simbolik (ritual), belum mampu memberikan inspirasi dan pencerahan terhadap kontek problem kehidupan sosial masyarakat. ketiga Praktek keberagamaan masyarakat belum mampu menciptakan komitmen moral yang kuat sebagai landasan penyelesaian atas problem kehidupan sosial umat; Keempat; Dalam pembangunan agama lebih dianggap sebagai peredam situasi rohani bagi kekuatan-kekuatan kolektif lain, sehingga agama tidak berfungsi universal sebagaimana terakomulasi dalam ajaran al Qur’an. Akibatnya lembaga keagamaan tersisihkan dari arus industrialisasi dan pembangunan ekonomi, dan bahkan tidak jarang dianggap sebagai ‘penghambat’ modernisasi, mungkinkan ini menjadi penyebab mengapa di daerah-daerah agamis tertentu terjadi kerusuhan massal, yang banyak menelan korban; kesenjangan dan kecemburuan sosial akibat intervensi industrialisasi dan ekonomi yang merambah cepat dengan titik marginnya berada pada kelompok teguh beragama. Kelima Lembaga keagamaan, kadangkala secara sadar atau tidak sadar meninggalkan ummatnya atau lebih – lebih ditinggalkan ummatnya. Karena Lembaga keagamaan sering tidak bebas dari kooptasi pembangunan, dan sering dijadikan alat justifikasi atas policy pembangunan. Padahal lembaga ini hendaknya memainkan peran signifikan dalam rangka membantu memberikan pemahaman keagamaan bagi ummatnya.
Akar permasalahan ini, mungkin berawal dari kesalahan pendekatan dalam pembangunan. Pendekatan pembangunan di era orde baru, lebih diorientasikan kepada kekuatan ekonomi dan politik, sementara kekuatan moral lebih dimarginalkan. Sementara pendekatan moral tidak disukai oleh kekuatan ekonomi karena dianggap mengganggu mekanisme pasar. Begitu pula, pendekatan moral dipandang oleh kekuatan politik sebagai tidak mendukung pembinaan basis material bagi elite penguasa.
Perubahan peluang sosial ekonomi dalam berbagai sektor kehidupan, sebagai akselarasi modernisasi yang tidak bisa dihindarkan, ternyata tidak bisa ditanggapi secara merata oleh ummat. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan, perbedaan sikap dan perbedaan tempo penyesuaian diri terhadap gejala-gejala modus baru dalam kehidupan modern, menjadi penyebab bagi kesenjangan sosial budaya.
Kesenjangan kemampuan mengatasi tantangan hidup dan kesulitan yang dihadapi antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam masyarakat akan menimbulkan perbedaan sikap di antara kelompok itu. Disamping itu, ketimpangan konstribusi kepemilikan dan penguasaan fasilitas kehidupan dapat mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat mekanis dalam suatu masyarakat. Perbedaan ini merupakan faktor yang menyebabkan timbulnya polarisasi dan konflik antar sub kelompok atau antar kelompok dalam masyarakat Islam.
Karenanya ulama harus ikut terlibat dalam proses pembangunan dan modernisasi. Sebab perluasan jaringan modernisasi teknologi transportasi, komunikasi, media informasi dan pembaharuan pendidikan meningkatkan mobilitas sosial dengan daya jangkau yang luas dan konpleks. Hubungan umat dan ulama yang semula diikat oleh emosi keagamaan yang kuat kini semakin mencair. Ini berarti secara lambat tapi pasti, otoritas ulama sebagai sumber segalanya pun sedikit demi sedikit akan berubah, apabila ulama tidak bisa menyelaraskan pandangannya dengan pembangunan dan modernisasi, yang masyarakat menaruh harapan ‘kehidupan lebih baik’ dengan berada dan terlibat proses di dalamnya.
C. Tawaran Alternatif Memecahkan Masalah Dalam Pembangunan
Perubahan paradigma pendekatan dalam pembangunan, dari Pendekatan pembangunan yang lebih berorientasi kepada kekuatan ekonomi dan politik, harus menyertakan kekuatan moral ( moral force ) secara berimbang. Pendekatan moral force yang tadinya tidak disukai oleh kekuatan ekonomi karena dianggap mengganggu mekanisme pasar, harus dikembalikan sebagai dasar pijakan mengembangkan dan menumbuhkan industrialisasi dan pembangunan ekonomi.
Pengambil policy pembangunan jangan memanfaatkan lembaga keagamaan, untuk kepentingan sesaat, dengan menjadikan lembaga keagamaan hanya sebagai pembenar tindakan/ kebijakan pembangunan. Dan pimpinan lembaga keagamaan pun jangan demi kepentingan sesaat, mau meninggalkan ummatnya atau lebih – lebih ditinggalkan ummatnya, terjerat pada kooptasi pembangunan, atau menjadi alat justifikasi atas policy pembangunan.
Pemerintah dan pimpinan lembaga keagamaan, harus secara bersama-sama menyamakan langkah, bagaimana membantu memberikan pemahaman keagamaan bagi ummatnya, termasuk konteksnya dengan proses modernisasi yang dilakukan, sebab yang kekuatan personal sudah tidak mampu melakukannya, maka diperlukan adanya kekuatan melalui jalur sistematis dan kolektif yang bernafaskan ajaran agama, salah satunya adalah lembaga keagamaan. Langkah seperti ini, bila disinerjikan akan sangat membantu bagi kesuksesan pembangunan secara makro, bukan hanya dalam skope pembangunan mental spritual saja, sebab memang pada tatanan pembangunan, ummat memerlukan pemahaman secara universal terhadap agamanya, termasuk menterjemahkan nilai transendental, ke masalah praksis dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dalam tradisi sosial di lingkungan umat Islam, hierarcki wewenang dalam kehidupan sosial sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kemampuan keislaman seseorang (ulama) dalam mengkomunikasikan dan mensosialisasikan pengetahuannya demi kepentingan umat dan masyarakat.
Karenanya adalah satu keharusan bagi ulama untuk pertama untuk tidak lari dari persoalan dan proses modernisasi, kedua berupaya membantu umat memahami ajaran Islam secara universal, dengan salah satunya menterjemahkan nilai-nilai transendental agama ke dalam konteks praksis sosial kemasyarakatan yang semakin berkembang berbanding lurus dengan perkembangan kemajuan iptek dan peradaban manusia. Ketiga bersama pemerintah (pengambil kebijakan pembangunan harus mau merangkul ulama, bukan memperalat mereka ) menjadi pelaku utama dalam pembangunan dengan menyampaikan nilai-nilai yang harus dipegang dalam melaksanakan pembangunan, sekaligus penyampai informasi pembangunan dengan bahasa agama. Sebab memang sebagai referensi tindakan sosial, berbagai keputusan tindakan anggota masyarakat seringkali diserahkan kepada, dan lebih banyak ditentukan oleh ulama.
Ummat Islam juga sudah saatnya mengupayakan pembaharuan dalam pendidikan, seiring dengan modernisasi teknologi transportasi, komunikasi, media informasi dan pembaharuan pendidikan meningkatkan mobilitas sosial dengan daya jangkau yang luas dan kompleks. Dan seirama dengan ini hubungan umat dan ulama yang telah terikat dengan emosi keagamaan, tetap harus dibina dengan merasa dibantunya ummat memahami agama dalam konteks pembangunan dan modernisasi serta dengan kemampuannya menjawab segala permasalahan yang timbul akibat dari proses pembangunan dan modernisasi tersebut.
Pembaharuan pemikiran Islam kontemporer yang merupakan bagian dari proses heterodoksi gagasan perjuangan, khususnya di bidang pendidikan dan dakwah serta kegiatan pragmatis lainnya.
Langkah perjuangan ini adalah bukan persoalan ringan, karena menyangkut intervensi kekehidupan umat/ masyakat, dan yang paling bagus tipe intervensi tersebut adalah Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowering), agar masyarakat betul-betul merasakan bahwa mereka adalah pelaku pembangunan.
Pemberdayaan ummat, hendaknya menggunakan berbagai prinsip, seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Mahmudi, sbb. :
1. Memulai dengan tindakan mikro yang memiliki konteks makro/global.
2. Mengembangkan penguasaan pengetahuan taknis masyarakat.
3. Membangun kelembagaan masyarakat yang fungsional dan berkelanjutan.
4. Pengembangan kesadaran kolektif rakyat melalui pendidikan kritis masyarakat.
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menentukan penguasaan dan pengelolaan serta
6. kontrol terhadap sumberdaya (terutama sumberdaya ekonomi);
7. Pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan kondisi lokal (daerah).
8. Mengembangkan pendekatan kewilayahan/kawasan yang lebih menekankan pada kesamaan
9. dan perbedaan potensi yang dimiliki.
10. Membangun jaringan ekonomi strategis yang berfungsi untuk mengembangkan kerjasama.
11. dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan baik dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan.
Jadi peran ulama yang selama ini yang lebih dicenderungkan sebagai orang yang senantiasa menyelesaikan masalah agama dan social kemasyarakatan,, barangkali sudah harus digeserkan, dimana untuk masalah tertentu pada agama masih tetap berfungsi untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi ummat, tapi dalam konteks pembangunan kehidupan social ekonomi masyarakat, digeser ke arah bagaimana memberdayakan ummat untuk dapat menemukan dan melakukan sendiri alternatif pemecahan yang mereka hadapi.
Pergeseran bentuk ini, tentu akan berdampak pada kesiapan diri untuk menjadi seorang partisipatory yang baik, namun sisi lainnya tentu ummat secara langsung akan menikmati apa yang telah dilakukan oleh ulama tadi.
D. Penutup
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan :
1. Era global pada gilirannya akan membawa dampak perubahan pada sosio kultural masyarakat.
2. Kesenjangan kemampuan mengatasi tantangan hidup dan kesulitan yang masyarakat akan menimbulkan perbedaan sikap dan ketimpangan konstribusi kepemilikan dan penguasaan fasilitas kehidupan dapat mengancam kelangsungan solidaritas emosional yang bersifat mekanis dalam suatu masyarakat, dan dapat menyulut timbulnya konflik horisontal di masyarakat
3. Mengatasi konpliks horizontal di masyarakat, harus dilakukan dengan cara pemberdayaan masyarakat itu sendiri sebagai pelaku pembangunan, dan pada sisi ini diperlukan adanya transformasi peran ulama.
DAFTAR BACAAN
Ali, Fachry, Pasang Surut Peranan Politik Ulama, Prisma ( No.4 Tahun 1984), Jakarta, 1984
Ahmad Mahmudi, Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Parcipatory Action Research, diselenggarakan oleh IAIN Mataram bekerjasama dengan DITPERTA Islam Departemen Agama RI, di hotel Jayakarta Senggigi Lombok, Tanggal 12-15 Juni 2007
Anwar, D.F., Ka’bah dan Garuda : Dilema Islam di indonesia, Prisma ( No.4 Tahun 1984), Jakarta, 1984
Dahrendorf,R., Konflik dan Konflik dalam Masyarakat industri, (terjemah : Ali Mahdan), Rajawali, Jakarta, 1986
Mochtar Mas’ud, Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong Era Baru, Mizan, Bandung, 1995
Rais, Amin, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung, 1987
Shiddiq, Moch. , Pemulihan Khittah NU, Harian Kompas, 16 November 1987
Soetidjo, S. , Transformasi Masyarakat, Tiara Wacana, Jogjakarta, 1986,
Wignyosoebroto, Soetandyo , Kebudayaan dan Fungsinya sebagai Penghambat dan Pengendali Proses Industrialisasi, Seminar Mata Kuliah ISD, IAIN Sunan Ampel, 23 Desember 1996
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar