15 Desember 2008

PERANAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM MENGATASI JUVENILE DELIQUENCY

PERANAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM MENGATASI JUVENILE DELIQUENCY *)
Oleh : Drs. Munadi

A. Pendahuluan
Pada awalnya juvenile delinquency diartikan sebagai kenakalan anak-anak, namun manakala masyarakat merasakan dampak negatif yang ditimbulkannya, maka timbul kesimpang siuran dalam mengartikan juvenile delinquency tersebut, sebab rata-rata pelakunya adalah para remaja yang tentu dilihat dari umur, sudah tidak bisa lagi disebut sebagai anak-anak.
Pergeseran pengertian juvenile delinquency, dari kenakalan anak menjadi kenakalan remaja, dapat dipahami karena para delinkuen kebanyakan bukan anak-anak, tapi para remaja, walau dalam praktik hukum di pengadilan dianggap termasuk yurisdiksi pengadilan anak (‘Juvenile Court).
Terlepas dari adanya kerancuan pengertian tersebut, yang jelas dambaan seluruh masyarakat pada dasarnya sama, yaitu terciptanya kehidupan yang damai, untuk menciptakan kedamian itu diperlukan adanya norma-norma/ hukum/ aturan. Untuk menegakkan hukum/ norma/ aturan dalam kehidupan diperlukan adanya kesadaran berperilaku sesuai dengan norma/ hukum/ aturan yang berlaku bagi anggota masyarakat itu.
Sehubungan dengan hal tersebut dikatakan bahwa
“ tempat dari kesadaran hukum adalah sebagai perantara atau mediator antara hukum dengan perilaku manusia. Hukum, baik sebagai kaidah maupun perilaku yang ajeg atau unik, mempunyai tujuan agar kehidupan manusia dalam masyarakat berlangsung dalam keadaan damai. Kedamaian tersebut akan tercapai dengan mengusahakan, agar hukum itu dipatuhi”.

Perbuatan para delinkuen bukan hanya berakibat negatif pada pelaku, tapi lebih jauh lagi perbuatan melawan hukum/ norma/ tata aturan yang ada di masyarakat, yang dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai bentuk ‘kejahatan’ yang telah merusak kedamaian hidup dan kehidupan masyarakat tersebut, sehingga adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh semua orang sebagai anggota masyarakat untuk mengupayakan bagaimana tindak delinkuensi ini bisa ditekan dan bahkan kalau bisa hilang sama sekali.
Dalam makalah ini akan dikemukakan salah satu alternatif upaya bagaimana tindak delinkuensi ini bisa ditekan dan dieleminir, dengan memanfaatkan pendekatan moral dan pemahaman ajaran Agama Islam, melalui integralisasi keyakinan dan internalisasi nilai-nilai akhlak dalam pendidikan agama Islam.
B. Juvenile Delinquency sebagai sebuah kejahatan
DR.Soerjono Soekanto,SH,MA menyebutkan bahwa :
“ Juvenile Delinquency adalah tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dilakukan oleh anak, khususnya remaja. “

Senada dengan hal ini menurut Drs. Bimo Walgito bahwa suatu perbuatan itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup, atau suatu perbuatan yang anti sosial di mana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif, karenanya ada yang mengatakan bahwa termasuk dalam pengertian ‘Juvenile Delinquency’ adalah anak-anak terlantar yang membutuhkan bantuan, pengemis dan gelandangan.
Dari sudut pandang hukum positif, pemahaman pengetian juvenile delinquency, adalah bahwa :
1. ‘Juvenile Delinquency’ berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh anak-anak remaja
2. ‘Juvenile Delinquency’ itu adalah offenders (pelaku pelanggaran) yang terdiri dari anak (berumur di bawah 21 tahun = pubertas), yang termasuk yurisdiksi pengadilan anak (‘Juvenile Court).

yang secara langsung akan berefek pada pemberian sanksi hukum kepada para delikuen tersebut.
Terlepas dari pengertian yang bertalian erat dengan hukum positif, para pakar psikologi telah mengklasifikasi penempatan perorangan berdasarkan interval umur, sbb. :
“ Pra Pubertas :
Wanita : 10,5 – 13 tahun
Laki-laki : 12 - 14 tahun
Pubertas :
Wanita : 13 – 15,5 tahun
Laki-laki : 14 - 16 tahun
Krisis Remaja :
Wanita : 15,5 – 16,5 tahun
Laki-laki : 16 - 17 tahun
Adolesen :
Wanita : 16,5 – 17 tahun
Laki-laki : 17 - 21 tahun

Kebanyakan para delinkuen adalah mereka yang berdasarkan usia kronologisnya berada pada rentang/ interval umur remaja, maka sebagian pakar menganggapnya bukan lagi kenakalan tapi sudah merupakan kejahatan. Karenanya menurut Prof.Dr. Fuad Hasan : Juvenile Delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan.
Dari peralihan pemahaman pengertian ‘kenakalan’ kepada pengertian ‘kejahatan’ ini, dimungkinkan akan memberikan efek yang berbeda terhadap kemungkinan tindakan yang akan dilakukan untuk mengelemenir tindakan delikuen sampai ketitik nadir.
C. Berbagai Penyebab Tindakan Delikuen
Penyebab timbulnya juvenile delinquency (kenakalan remaja), antara lain:
1. Masalah yang datang dari Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan paling utama dalam membentuk jiwa dan kepribadian anak. Keluarga yang baik tentu akan sangat menguntungkan bagi pembentukan jiwa dan kepribadian, sementara keadaan keluarga yang jelek akan sangat tidak menguntungkan bagi pembentukan jiwa dan kepribadian anak.
Kedaan keluarga yang memberi efek negatif bagi pembentukan dan perkembangan pribadi anak, biasanya adalah disintegrasi di dalam keluarga , yang dapat disebabkan oleh :
a. broken home; struktur keluarga yang tak lengkap, seperti ada yang meninggal dunia, bercerai atau ada yang tidak bisa hadir di tengah keluarga dalam rentang waktu yang cukup panjang, atau
b. quasi broken home; kedua orang tua yang terlalu sibuk dengan tugas dan pekerjaannya, sehingga kesempatan memperhatikan anak sangatlah kurang.
Pada dua penyebab di atas, perbuatan deliquent dapat muncul yang dilatar belakangi oleh tidak diterimanya kasih sayang yang penuh oleh sang anak, sehingga dia menyalurkan keinginan tersebut dengan berbagai cara dan kesempatan, manakala itu juga tidak terpuaskan, maka ia akan mewujudkannya dalam bentuk tindakan lain, yang kadang kala termasuk dalam perbuatan deliquent yang merugikan.
2. Masalah yang datang dari Lembaga Pendidikan Formal
Secara umum, upaya yang dilakukan oleh sekolah adalah dalam rangka membentuk kepribadian yang utuh bagi para peserta didiknya, namun tidaklah dapat dimungkiri di sekolah juga sering dapat menbentuk anak (tentu relatif kecil) untuk menjadi delikuen.
Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya delikuen bagi peserta didik, adalah :
a. Pengaruh Teman
Dalam keseharian anak senantiasa berinteraksi dengan teman-temannya, dan karena memang tidak semua anak yang berada di sekolah sudah baik prilakunya, sehingga hal yang tidak dapat dimungkiri sering akan membawa pengaruh negatip bagi kepribadian anak.
Besarnya pengaruh teman ini dapat dibuktikan dengan adanya perilaku seperti rasa senasib sepenanggungan yang diakui tingkat solidaritasnya sangat tinggi, namun berkembang ke arah negatif dan delikuen, yaitu rasa solider ‘membela teman’ yang berkembang ke arah pembelaan yang tidak mau melihat yang ‘salah’, maka terjadilah fenomena baru saling keroyok antar kelompok di suatu sekolah dan bahkan antar sekolah. Dan bahkan bisa menimbulkan gejala distorsi moral lainnya seperti perilaku terlalu bebas, sangat berani membantah, tidak tetap pendirian dan bahkan mudah putus asa.
b. Tindakan tenaga pendidik
Tidak dapat dimungkiri ditengah sekian banyak pendidik yang profesional, ada segelintir pendidik yang tidak/ belum profesional, yang tindakan kadang kala dapat membuat anak putus asa, seperti menghukum tidak didasarkan atas dasar pendangan ‘harus mendidik’, memperlakukan anak yang bersalah seperti seorang pesakitan, jarang masuk mengajar dan lain sebagainya, akan mengundang jiwa anak untuk menantang dan melanggar disiplin yang berlaku, dan ini kalau tidak teratasi dengan cepat bisa mengarah dan berkembang ke tindakan-tindakan delikuen.
c. Lingkungan Sekolah
Keadaan lingkungan sekolah yang kurang nyaman, ditambah lagi dengan kegiatan yang sangat padat tapi tidak dikemas dalam bentuk menyenangkan, menyebabkan anak merasa tidak betah bahkan merasa tidak aman berada di sekolah, ini sering menyebabkan anak mau secepatnya tidak berada di sekolah, yang menyebabkan terjadinya anak yang membolos, yang akhirnya dapat mengundang tindakan deliquen.
3. Masalah yang datang dari Masyarakat
Perkembangan iptek dan kemodernan tata kehidupan, telah memberi pengarus pada akselarasi perubahan sosial, yang ditandai dengan berbagai peristiwa yang dapat menimbulkan ketegangan jiwa, seperti persaingan perekonomian, ketenaga kerjaan, berita media massa, ketimpangan sosial dan lain-lain.
Ketegangan-ketegangan yang terjadi di masyarakat, akan banyak mempengaruhi kejiwaan para remaja, seperti adanya yang merasa rendah diri atau direndahkan, dsb., yang mengundang lahirnya tindakan-tindakan delikuen.
Berbagai Wujud tindakan delikuen yang sering dilakukan oleh para remaja, antara lain : Kejahatan dengan kekerasan, Pembunuhan, Pencurian, Penggelapan, Penipuan, Pemerasan, Gelandangan, Penggunaan Narkoba, dll.
D. Pendidikan Agama sebagai Pilihan Alternatif
Untuk membantu anak remaja dalam mengendalikan diri dan membentuk kepribadian mereka, maka pada saat mereka menginjak usia remaja, dengan krisis kejiwaan yang mereka hadapi, maka diperlukan adanya didikan agama yang lebih intens kepada mereka.
Yang paling urgen dalam pendidikan agama disini bukanlah pelajaran agama yang diberikan secara sengaja dan teratur oleh guru sekolah saja. Akan tetapi adalah penanaman jiwa agama secara benar yang dimulai dari rumah tangga – dilanjutkan oleh sekolah – dan masyarakat, sebagai upaya terpadu bagi pembentukan sifat dan sikap yang baik bagi anak.
Jika tidak dikenalkannya si anak akan jiwa agama yang benar, akan lemahlah hati nuraninya (super ego), karena kosong dari nilai-nilai yang baik. Jika hati nuraninya lemah, atau unsur pengontrol dalam diri si anak kosong dari nilai-nilai yang baik, maka sudah barang tentu akan mudah mereka terperosok ke dalam kelakuan-kelakuan yang tidak baik dan menurutkan apa yang menyenangkannya waktu itu saja, tanpa memikirkan akibat selanjutnya.
Untuk mengisi nurani anak dengan nilai-nilai yang baik, yang dapat mewujudkan sifat dan sikap yang baik pada anak, maka ada dua peran utama dari pendidikan agama, yakni pertama melakukan integralisasi keimanan sebagai dasar tumbuh dan berkembangnya kesehatan mental, dan kedua internalisasi akhlak melalui pembiasaan.
Integralisasi Keimanan
Banyak kemungkinan upaya yang dapat dilakukan dalam upaya bagaimana mengeleminir munculnya tindakan delinkuen di kalangan remaja, yang salah satunya yang dimungkinkan adalah menumbuh kembangkan kesadaran beragama lewat Pendidikan Agama Islam. Dan diakui bahwa azas umum penanggulangan kejahatan, yaitu :
“ Satu : Cara Moralis, dilaksanakan dengan penyebar luasan ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat menekan nafsu untuk berbuat kejahatan.
Dua : Cara abolisionistis, berusaha memberantas, menanggulangi kejahatan dengan sebab musababnya, umpamanya kita ketahui bahwa faktor tekanan ekonomi (kemelaran) meruapakan salah satu penyebab kejahatan, maka usaha untuk mencapai tujuan dalam menguranhgi kejahatan yang disebabkan faktor ekonomi merupakan cara abolisionis.”

Pada masa adolesen (antara 13-21 tahun) anak-anak sedang mengalami goncangan jiwa, manakala jiwa mereka tertekan dan mengalami ketegangan, sering mereka tidak mampu lagi mengendalikannya secara stabil, maka sering tindakan delikulen dimunculkan dalam perilaku sebagai wujud penyaluran goncangan jiwa tadi.
Masalah kesehatan / ketenangan jiwa adalah masalah erat kaitannya dengan masalah supra logis, yaitu keimanan dan kepercayaan yang merupakan awal beragamanya seseorang.
Keimanan dan kepercayaan ini menjadi integral dari kepribadian, asal bukan pengakuan di lisan semata, sebab penyelewengan-penyelewengan yang datangnya dari orang-orang yang mengaku ber Tuhan itu karena kurang tertanamnya jiwa agama (mental religius) dalam kepribadiannya . Pengakuan yang berlawanan dengan keadaan yang sesungguhnya, akan mengakibatkan terganggunya kesehatan mentalnya dan dapat mempengaruhi kelakuan dan sikapnya dalam hidup, bahkan akan mempengaruhi kesehatan badannya.
Disamping itu, ada beberapa alasan lain mengapa kesadaran beragama dijadikan alasan untuk mengeleminir munculnya tindakan delikuen di kalangan remaja , yakni : pertama dengan kesadaran yang dilandasi keyakinan yang benar dan tinggi terhadap suatu agama, maka pemeluknya akan mempunyai tempat menyalurkan tekanan-tekanan yang menimpa jiwanya kepada Tuhan yang diyakininya, hal ini selaras dengan apa yang dikemukan oleh Harun Nasution, bahwa agama merupakan pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi. Kedua agama merupakan suatu sistem tingkah laku ( code of conduct ), yang memungkinkan pemeluknya yang punya kesadaran beragama tinggi, lebih memilih taat pada agamanya ketimbang melakukan tindakan delikuen. Ketiga, kemungkinan timbulnya rasa takut bersalah dan senantiasa diawasi oleh Tuhan, akan menghindarkan pemeluk agama untuk melakukan perbuatan delikuen. Keempat, kepercayaan akan meredam dan menghilangkan kelabilan dan kegelisahan jiwa, serta mendatangkan ketenangan. Jika ini didapatkan tentu orang tidak akan pernah melakukan tindakan delikulen.
Hal demikian dapat dipahami karena memang agama adalah hubungan manusia dengan suatu kekuatan suci yang lebih tinggi dari dia, darimana ia merasa tergantung dan berusaha mendekatinya. . Apalagi bagi anak-anak yang sedang tumbuh, agama mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu untuk penenang jiwa. .
Dengan tingginya kesadaran beragama (yang dilandasi keyakinan) akan menjadikan pemeluknya hidup dengan rukun bersama dengan manusia lain, sebab dalam ajaran agama tidak ada perintah saling membenci, apalagi mengganggu hak-hak orang lain. Tetapi perintah Tuhan itu adalah untuk kasih mengasihi, sayang menyayangi dan cinta mencintai, karena sesuai dengan kodrat dalam diri manusia itu ada rasa cinta dan rasa kasih. Dari dalam pergaulan hidup itu harus menunjukkan adanya kemanusiaan yang adil dan beradab bukan kemanusiaan yang penuh kedhaliman/ kejahatan dan kebiadaban.
Kebutuhan tertinggi manusia akan agama adalah menemukan dimensi kebenaran Tuhan Yang Satu, dan upaya menemukan dimensi kebenaran Tuhan Yang Satu ini adalah merupakan puncak penemuan akan kebutuhan agama pada seseorang. Dan upaya ke arah ini harus melalui jalan supra logis yang berada pada dataran atas dari kemampuan akal dan intelektual.
Kemampuan akal tentu saja tetap digunakan untuk “membantu” upaya pencapaian ke arah dimensi kebenaran Tuhan Yang Satu ini, sebagai sarana untuk melihat tanda-tanda ciptaan Nya yang membuktikan adanya Dia sang Pencipta, namun pada akhirnya yang bekerja menentukan keputusan, pilihan dan cara tindak, semuanya ditentukan oleh emosi, perasaan dan nilai. Tujuan dan fungsi berfikir adalah untuk melayani manusia, tetapi perasaan atau intuisi kitalah yang merupakan hakim yang paling baik atas keefektifan pelayanan itu, karenanya pendidikan agama, utama pada aspek yang menyangkut keyakinan harus dapat menghidupkan kerja dhamir atau intuisi ini, sehingga agama dihayati dengan penuh keyakinan.
Jadi untuk menghindarkan para remaja melakukan tindakan delinkuen, maka Pendidikan Agama harus dapat mengintegrasikan keyakinan yang mantap dalam pembentukan kepribadian para remaja, sehingga mereka dapat memperoleh kesehatan mental, sehingga bukan hanya akan mudah membina dan membiasakan sifat dan sikap yang baik, tapi secara langsung akan mampu menghindarkan mereka dari tindakan delenkuen.
Internalisasi Nilai-nilai Akhlak
Bagian pendidikan agama lainnya yang sangat penting dalam upaya menanggulangi dan menghindarkan para remaja dari tindakan-tindakan delinkuen adalah proses internalisasi nilai-nilai akhlak, dengan mengutamakan nilai-nilai keislaman, dan tentu dengan tidak menyisihkan dimensi kultural dan aspek tradisional yang tidak berlawanan secara prinsipil dengan ajaran agama Islam.
Secara moralistik, internalisasi nilai-nilai akhlak merupakan salah satu cara untuk membentuk mental manusia agar memiliki pribadi yang bermoral; berbudi pkerti luhur; dan bersusila, yang berarti pula adalah cara yang paling tepat untuk membina mental dan kepribadian anak remaja.
Internalisasi nilai-nilai akhlak Islami, merupakan cara yang tepat untuk membina sikap mental dan kepribadian remaja khususnya dan manusia pada umumnya, ke arah sikap mental dan kepribadian yang Islami; sesuai tuntunan al Qur’an dan as Sunnah, diharapkan dari titik ini, para remaja akan terhindar dari hal-hal yang dapat menghambat perkembangan mentalnya dan melakukan tindakan-tindakan negatif dan delinkuen.
Media yang dapat digunakan yakni lewat contoh-contoh, latihan-latihan dan praktek nyata yang dilakukan oleh orang tua mereka di dalam lingkungan keluarga; oleh para pendidik di sekolah dan oleh anggota masyarakat di lingkungan sekitar mereka.
Diantara nilai-nilai yang harus diinternalisasikan kepada mereka adalah nilai-nilai kejujuran, kasih sayang dengan segala cakupan nilai positifnya, tidak berlebih-lebihan, menghormati orang tua, taat pada syari’at agama, memelihara kesucian diri, bertakwa dengan segala perwujudannya, dan sikap senantiasa mendahulukan kepentingan orang lain dan kemaslahatan yang lebih besar dari pada mementingkan diri sendiri dan kepentingan sesaat.
Untuk itu pendidikan agama harus dilaksanakan dengan mengacu pada ‘metode terpadu’ yaitu ; pertama menekankan pengembangan pola berfikir ilmiah, di mana peserta didik diajak untuk senantiasa terbiasa berfikir deduktif, induktif, kausalitas dan berfikir kritis terhadap sesuatu hal yang mereka pelajari, kedua menyeimbangkan dengan pelatihan dan keharusan melaksanakan ketentuan doktrin spritual dan norma peribadatan. Ketiga mempolakan dukungan lingkungan sekolah dengan semua tenaga kependidikan untuk menumbuhkan kesadaran beragama di kalangan anak didiknya, termasuk penerapan norma-norma agama dalam lingkungan pergaulan antar civitas sekolah.
E. Penutup
1. Juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan anak remaja yang dapat disebut sebagai tindak kejahatan, bukan dianggap sebagai sebuah kenakalan.
2. Diantara penyebab timbulnya juvenile delinquency adalah:
a. Masalah yang datang dari Lingkungan Keluarga yang disintegrasi, seperti broken home dan quasi broken home
b. Masalah yang datang dari Lingkungan Sekolah, akibat adanya pengaruh teman, kesalahan tindakan mendidik dan ketidak mampuan lembaga sekolah memberi rasa aman dan menyenangkan.
c. Masalah yang datang dari Lingkungan Masyarakat, berupa hal-hal yang dapat mendatangkan ketegangan jiwa.
3. Juvenile delinquency dapat dielemenir munculnya dengan salah satu alternatif yang dapat dilakukan, yaitu dengan meningkatkan peran pendidikan agama, utama sekali dengan menekankan integralisasi keimanan dan internalisasi nilai akhlak.





























DAFTAR PUSTAKA
Basyir, Ahmad Azhar, Manusia Kebenaran Agama dan Toleransi, Jakarta : Perpustakaan Pusat UI,1982
Bono, De , Pelajaran berfikir, Jakarta : Erlangga, 1990
Charlis, Sehaefer, Bagaimana Mempengaruhi Anak Pegangan Praktis Bagi Orang Tua, Dahara Priza, 1989
Dahlan, M.D.,Prinsip-prinsip dan teknik Belajar : Analisa Terbentuknya Tingkah Laku, FIP Bandung, : FKIP – Jur.BP, 1979
Daradjat, Zakiah , Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/ mental ,Jilid I, Jakarta : Bulan Bintang, 1974
__________________,Ilmu Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1976
__________________,Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, Jakarta : Bulan Bintang , 1982
Dirdjosiswoyo, Soejono, Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Alumni, 1983
Monk, FJ.,et All.,Psikologi Perkembangan, Jogjakarta : UGM Press, 1982
Nasution, Harun , Islam di Tinjau dari Beberapa Aspek, Jakarta : Universitas Indonesia, 1988
Simanjuntak, B., Latar Belakang Kenakalan Anak – Etimologi Juvenile, Jakarta : Aksara Baru, 1984
______________, Pengantar Kriminologi dan sosiologi, Jakarta : Aksara Baru, 1984
Soekanto, Soerjono ., Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta :Rajawali, 1983
Sukarna, Ideologi, Bandung : Alumni, 1981
Surakhmad, Winarno, Psikologi Pemuda, Bandung:Jemmars, 1980
Walgito, Bimo , Kenakalan Anak (‘Juvenile Delinquency’), Jogjakarta : Yayasan Penerbit Fak.Psychologi UGM, 1982

Tidak ada komentar: