29 November 2008

STANDARD KOMPETENSI GURU DALAM KONTEKS GLOBALISASI DAN STANDARISASI

STANDARD KOMPETENSI GURU DALAM KONTEKS
GLOBALISASI DAN STANDARISASI

BAB I
LATAR BELAKANG MASALAH
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Sehingga globalisasi membuat pasar dan perusahaan tumbuh melampaui batas-batas negara. Hampir bisa dipastikan bahwa kebijakan ekonomi pun akan mengikuti tren ini dan dengan demikian ia menjadi suatu kebijakan dengan dimensi internasional. Koordinasi dan kerjasama internasional semakin dikedepankan dalam agenda kebijakan ekonomi. Tapi masih diperdebatkan bidang-bidang apa saja yang perlu diperhatikan untuk melakukan koordinasi internasional dan sejauh apa jangkauan koordinasi tersebut.
Jika amanah untuk mencetak SDM yang mumpuni untuk mampu bersaing di era global, maka yang paling orgen adalah pembenahan standarisasi tenaga kependidikan, dalam hal ini yang paling urgen lagi adalah standarisasi guru.
Persoalan standarisasi guru adalah pekerjaan utama yang harus dibenahi sesegeranya, dimana guru harus memiliki kualifikasi standard, yakni standard kompetensinya sebagai guru, yang dilihat dari segi kualitas kinerja mereka.

BAB II
URGENSI UJI KOMPETENSI & SERTIFIKASI GURU
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, khususnya dalam bidang informasi dan komunikasi, telah menjadikan dunia ini terasa semakin menjadi sempit dan transparan. Antara satu belahan dunia dengan belahan dunia lainnya dengan mudah dapat dijangkau dan dilihat dalam waktu yang relatif singkat.
Itulah globalisasi, yang di dalamnya membawa berbagai implikasi yang luas dan kompleks bagi kehidupan manusia. Implikasi nyata dari adanya globalisasi adalah terjadinya perpacuan manusia yang mengglobal. Seorang individu dalam berkarya tidak hanya dituntut untuk mampu berkiprah dan berkompetisi sebatas tingkat lokal dan nasional semata, namun lebih jauh harus dapat menjangkau sampai pada tingkat kompetisi global, yang memang di dalamnya berisi sejumlah tantangan dan peluang yang begitu ketat.
Pada saat yang bersamaan, kita pun saat ini sedang dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma baru dari sistem pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik menuju ke arah demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan mempunyai implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai persoalan akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan kewenangan yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri dan memacu partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan, sehingga pada gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang signifikan.
Dari sini timbul pertanyaan, bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya manusia ! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
Pada kenyataaannya, memang harus diakui bahwa saat ini tingkat kualitas sumber daya manusia kita sangat mengkhawatirkan, jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat regional ASEAN saja, posisi kualitas sumber daya manusianya di atas kita.
Dalam kenyataan selama ini saangat terasa dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran seringkali guru menjadi miskin kreativitas, dan tugas yang dilakukan lebih pada penyampai apa yang telah disajikan dari pusat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi sekali pun, apalagi dengan adanya kewajiban untuk memenuhi target-target materi kurikulum tertentu yang seringkali menimbulkan rasa stress, baik guru maupun siswa, sehingga tiodak jarang terjadi pemaksaan menjejali materi kepada siswa, mengerti atau tidak mengerti apa yang telah disampaikan, bukan urusan utama. Belum lagi kewajiban membuat berbagai perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara baku dan bermacam-macam jenisnya.
Disamping berbagai persoalan di atas, ditambah lagi kenyataan belum dapat dipastikan seberapa banyak di negara kita tercinta ini guru yang berpredikat sebagai guru profesional belum dapat dipastikan, padahal guru yang tidak profesional dikuatirkan akan melakukan berbagai tindakan yang salah dalam pendidikan, yang menurut DR. E. Mulyasa, M.Pd, paling tidak ada 7 kesalahan yang sering dilakukan guru, sbb. :
1. Mengambil jalan pintas dalam pembelajaran
2. Menunggu Peserta Didik Berprilaku Negatif
3. Menggunakan Destrukruktif Disiplin
4. Mengabaikan perbedaan peserta didik
5. Merasa paling pandai
6. Tidak adil (diskriminatif)
7. Memaksa hak peserta didik
Persoalan lain guru adalah menyangkut kesejahteraan; dimana tunjangan fungsional sangat jauh rendahnya dengan profesi lain, prosedur kepangkatan yang berbelit, yang akhirnya ujungnya adalah pungutan yang tidak jelaspun terjadi.
Akumulasi berbagai persoalan yang dihadapi guru berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru melaksanakan tugas semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif dan inovatif, ditambah dengan berbagai tindakan-tindakan yang tanpa disadarinya adalah sebuah kesalahan, sehingga melahirkan hubungan antara guru dan siswa yang humanis berjalan tersiok-siok.
Diera global saat ini, perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan sistem pendidikan harus dilakukan, termasuk di dalamnya usaha untuk menempatkan guru sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Karenanya guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas, fungsi dan kewajibannya, Guru harus didorong berbuat lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan demi keberhasilan para siswanya.
Begitu juga, bobot penilaian dan penghargaan kepada guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan subtansial yaitu sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara efektif dan sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang kondusif. Jadi, bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif semata, tapi guru dituntut untuk betul-betul dapat menjalankan perannya dalam prroses pembelajaran dengan sebaik-baiknya.
DR. E. Mulyasa, M.Pd, menyebutkan ada 20 peran yang idealnya dilakukan oleh seorang guru profesional, yakni sebagai : (1) pendidik, (2) Pengajar, (3) Pembimbing, (4) Pembimbing, (5) Pelatih, (6). Penasehat, (7). Inovator, (8). Model/ teladan/ uswah, (9) Pribadi, (10) Peneliti, (11) Pendorong Kreativitas, (12) Pembangkit Pandangan, (13) Pekerja Rutin, (14) Pemindah Kemah, (15) Pembawa Cerita, (16) Aktor, (17) Emansipator, (18) Evaluator, (19) Pengawet , dan (20) Kulminator.
Upaya pemberdayaan guru, baik dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi kenyataan, yang pada gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang sanggup mencetak sumber daya insani yang memiliki dan wawasan sanggup bersaing di era global.
Karenanya dalam Standar Kompetensi Guru bagian Komponen Pengelolaan Pembelajaran Dan Wawasan Kependidikan & Komponen Pengembangan Profesi disebutkan bahwa :
“Berbagai masalah yang berkaitan dengan kondisi guru, antara lain: (1) adanya keberagaman kemampuan guru dalam proses pembelajaran dan penguasaan pengetahuan, (2) belum adanya alat ukur yang akurat untuk mengetahui kemampuan guru, (3) pembinaan yang dilakukan belum mencerminkan kebutuhan, dan (4) kesejahteraan guru yang belum memadai. Jika hal tersebut tidak segera diatasi, maka akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan. “

Jadi persoalan mendasar untuk mencetak sumber daya insani yang sanggup bersaing di era global, tentu terpulang kepada bagaimana kemampuan mereka yang melakukan itu, yakni para guru. Ini berarti bahwa persoalan pokok terletak bagaimana menstandardkan kemampuan/ kompetensi guru sehingga memang diharapkan mampu melakukan tugas-tugas yang diamanahkan/ dituntut oleh masyarakat lokal, nasional dan bahkan internasional di era global ini.
Nanti sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan , dan dilakukan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang (1) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) sehat, (4) berilmu, (5) cakap, (6) kreatif, (7) mandiri, serta (8) menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Pofesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut: (1) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (2) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (3) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (4) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (5) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (6) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (7) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (8) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan (9) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban : (1) merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; (2) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (3) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; (4) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan (5) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Jadi pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional memang perlu dibuktikan dengan sebuah sertifikat guru. Sertifikat guru adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional. Sertifikat guru didapat melalui proses yang disebut sertifikasi guru, namun lebih dari sekedar sebuah sertifikat, kinerja standard dan sifatnya permanen dan kuntinyu dari seorang guru adalah hal yang lebih utama.














BAB III
UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
Standardisasi Kompetensi Guru di negara kita yang secara serius dilaksanakan bertujuan untuk :
1. Memformulasikan peta kemampuan guru secara Nasional yang diperuntukkan bagi perumusan kebijakan program pengembangan dan peningkatan tenaga kependidikan khususnya guru.
2. Memformulasikan peta kebutuhan pembinaan dan peningkatan mutu guru sebagai dasar bagi pelaksanaan peningkatan kompetensi, peningkatan kualifikasi, dan Diklat-Diklat tenaga kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan.
3. Menumbuhkan kreatifitas guru yang bermutu, inovatif, terampil, mandiri, dan Menggungjawab, yang dijadikan dasar bagi peningkatan dan pengembangan karir tenaga kependidikan yang profesional.

Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai landasan hukum penetapan Standar Kompetensi Guru adalah:
a. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
b. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional.
c. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
d. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 –2004 (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 206)
e. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan (Lembaran negara Tahun 1992 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3484) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2000 (Lembaran negara Tahun 2000 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3974)
f. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2000.
h. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
i. Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Nomor : 0433/P/1993, Nomor : 25 Tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
j. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor : 025/O/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
k. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No : 031/O/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jadi untuk mengatasi berbagai masalah yang berkaitan dengan kondisi guru, yang disebutkan di atas, yang nanti akan berdampak pada rendahnya kualitas pendidikan, sudah sangat didukung secara yuridis formal.
Secara sekilas dapat dijelaskan pilar yuridis formal standarisasi guru yang nampaknya secara serius akan dilakukan oleh pemerintah dapat kita lihat, umpanya :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal 1 ayat 17 : ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”.
Kemudian bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 35, ayat 1-4 berbunyi :
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005, BAB II tentang Lingkup, Fungsi, Dan Tujuan, pasal Pasal 2, berbunyi :
(2) Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
a. standar isi;
b. standar proses;
c. standar kompetensi lulusan;
d. standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. standar sarana dan prasarana;
f. standar pengelolaan;
g. standar pembiayaan;dan
h. standar penilaian pendidikan.
(3) Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
(4) Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Jadi berdasar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, standard pendidik dan tenaga kependidikan adalah bagian utama dari lingkup Sandard Nasional Pendidikan, dan dalam rangka menjamin dan mengendalikan mutu pendidikan akan dilakukan salah satunya adalah sertifikasi yang tentunya untuk mengukur kualitas yang terkait dengan lingkup sumber daya yang dalam hal ini adalah tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, yang tujuan akhirnya untuk memenuhi tuntutan kehidupan lokal, nasional dan global.
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 82 ayat (1) bahwa Pemerintah wajib mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang tersebut
Keluarnya Undang-Undang Guru dan Dosen, yang merupakan kebijakan untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru dimana guru harus memenuhi kualifikasi Strata 1 atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok guru.
Peningkatan kesejahteraan ini sebenarnya yang dituju adalah meningkatkan kualitas kompetensi mereka yang diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan.
Namun perlu dicermati, apakah dengan program sertifikasi guru/ dosen sebagai perwujudan standarisasi kompetensi dan kinerja guru, betul-betul akan meningkatkan mutu dan kinerja mereka ?. atau pertanyaannya di rubah menjadi Bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi guru ?
Untuk itu perlu digaris bawahi bahwa sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni terciptanya guru yang memenuhi kualifikasi standard yang dihajatkan masyarakat di era global ini.
Kalau sertifikasi dijadikan tujuan, dimungkinkan bahwa dengan sertifikasi tidak akan mampu menjadikan para guru yang dapat memenuhi kualifikasi standard yang dihajatkan masyarakat di era global ini, dan ini artinya sertifikasi mungkin dapat dibilang gagal.
Karenanya setelah dilakukan sertifikasi sebagai bagian upaya sistematis untuk memacu guru ke arah terciptanya guru yang memenuhi kualifikasi standard yang dihajatkan masyarakat di era global ini, diperlukan lagi adanya pembinaan secara sistematis untuk menunjang hal itu.
Pembinaan secara sistematis yang dimaksudkan tentu diacukan untuk peningkatan kualitas pelaksanaan tugasnya sebagai guru, seperti pertama : kemampuan guru dalam memanfaatkan dasar-dasar kemampuan dalam mengajar, yang seperti disebutkan oleh Dr. E. Mulyasa, M.Pd ada 8 kemampuan dasar yang menjadi dasar untuk menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan, yakni. : (1). Keterampilan bertanya, (2) memberi penguatan, (3). Mengadakan variasi, (4). Menjelaskan, (5). Membuka dan menutup pelajaran, (6). Membimbing Diskusi Kelompok Kecil, (7) Mengelola Kelas, dan (8) Mengajar Kelompok Kecil dan Perorangan.
Kedua ; kemampuan dalam mengembangkan pendekatan pembelajaran dan menentukan pilihan metode pembelajaran yang efektif, ketiga; kemampuan melakukan bimbingan terhadap siswa yang lamban atau pun yang sangat cerdas dan proses individualisasi pembelajaran, keempat; kemampuan melakukan tindakan kelas dan, kelima yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana mendongkrak kualitas pembelajaran itu sendiri.
Jadi pada intinya pembinaan haruslah secara sinergi diarahkan kepada upaya menumbuh kembangkan kompetensi dasar profesional guru.
Kompetensi dasar profesional guru yang dikehendaki adalah memiliki kemampuan untuk : (1) menguasai bahan; (2) mengelola program belajar mengajar; (3) mengelola kelas; (4). menggunakan media/ sumber; (5).menguasai landasan-landasan kependidikan; (6). mengelola interaksi belajar mengajar; (7). menilai prestasi untuk kepentingan pengajaran; (8).mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan; (9).mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah; dan (10).memahami dan menafsirkan hasil-hasil penelitian guna keperluan pengajaran.
Untuk menilai apakah seorang guru telah dianggap punya kemampuan standard dalam melaksanakan tugasnya dan upayanya meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran, maka dapat dilihat dari empat gugus kemampuan yang dapat dianggap sebagai kemampuan profesional, yaitu : (1). Merencanakan program belajar mengajar; (2). Melaksanakan dan memimpin proses belajar mengajar; (3). Menilai kemajuan proses belajar mengajar; dan (4).Menafsirkan dan memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar mengajar dan informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan proses belajar mengajar
Ada berbagai alternatif upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menumbuh kembangkan profesionalitas guru, antara lain : Pertama ; Melakukan Kegiatan Mandiri, dimana guru dalam idealnya harus punya kemampuan melihat dan membaca keadaan dirinya sendiri, yang menyangkut keadaannya sebagai pribadi (self Concept), keadaannya dengan ide pribadinya (self idea) dan dengan realita dirinya (self Reality). Dan manakala didapatinya bahwa dia punya kelemahan dalam melaksanakan tugasnya secara profesional, maka dia harus secara sadar mau mendisiplinkan dirinya, untuk secara mandiri mengupayakan bagaimana agar ia mampu melaksanakan tugasnya secara profesional, dengan mempelajari referensi-refensi, atau melakukan kegiatan tutor sebaya dengan teman seprofesi, yang memungkinkan peningkatan kemampuan profesionalnya itu.
Kedua; memanfaatkan forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG). Pada forum KKG dan MGMP dibentuk untuk membantu guru mencari jalan keluar terhadap segala permasalahan yang ditemui di lapangan, baik menyangkut penguasaan materi, penyusunan rencana pengajaran dan lain sebagainya, disamping sekaligus dapat dimanfaatkan untuk menjalin ukhuwwah Islamiyah antar sesama guru agama. Dan dengan perencanaan yang baik, forum ini dapat disinerjikan untuk kepentingan peningkatan profesionalisme guru agama.
Untuk efektivitas pemanfaatan forum ini bagi upaya peningkatan mutu Guru, dapat dilakukan langkah berikut :
a. Melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi guru agama kaitannya dengan profesinya sebagai guru agama, yang difasilitasi oleh guru inti.
b. Memecahkan masalah yang ditemui, melalui :
1) kegiatan sesama anggota forum difasilitasi oleh guru inti; atau jika tidak bisa
2) bantuan guru inti; atau kalau belum selesai juga
3) mendatangkan tenaga ahli tertentu.
Ketiga; memaksimalkan fungsi Pengawas, sebab fungsi pengawas yang harus diberikan kepada guru :
1. memberikan bimbingan kepada guru
2. membantu mereka memecahkan masalah-masalah pengajaran
3. menstimulasi dan mengarahkan para guru untuk mengkaji, mengevaluasi dan menyempurnakan baik sikap maupun praktek individual, maupun aktivitas-aktivitas dan prosedur-prosedur pengajaran mereka.

Dengan dijalankannya fungsi pengawas secara maksimal, maka upaya peningkatan profesionalisme guru akan dapat cepat terwujud, sebab pengawas akan mampu melakukan stimulasi, koordinasi dan bimbingan secara kontinyu kepada guru agama.
Keempat; melalui kegiatan yang direncanakan secara sistematis. Kegiatan yang direncanakan secara sistematis yang dimaksudkan adalah kegiatan seperti penataran, pendidikan dan latihan, In House Training, In Service Training, dan yang sejenisnya. Walau pun kegiatan ini sangat efektif dilaksanakan, tapi sangat tergantung kepada para pemegang kebijakan di suatu instansi, dan karena menyangkut proyek pendanaan yang besar, biasanya kemampuan dan jangkauan pelaksanaannya pun terbatas.
Kelima; melalui pemberian penghargaan terhadap prestasi. Peningkatan profesionalisme guru juga dapat dilakukan melalui pemberian penghargaan terhadap prestasi yang ditunjukkan dan dilakukan atau diperoleh guru, misalnya mengadakan pemilihan guru teladan, lomba pembuatan alat peraga, lomba pengembangan metodologi pembelajaran, pengorbitan guru yang kinerjanya bagus untuk memimpin sebuah sekolah, dan lain sebagainya.
Kegiatan Pemberian Penghargaan Terhadap Prestasi ini perlu dilakukan, sebab secara tidak langsung akan memberikan spirit guru untuk meningkatkan prestasinya dan tentu akan sangat berimbas besar terhadap peningkatan profesionalismenya.
Peningkaatan kinerja ini diharapkan akan dimulai manakala guru tergugah untuk mau memacu diri untuk lebih meningkatkan kualitas dirinya, kualitas mutu layanan pendidikan dan pengajaran yang ia lakukan, kreatifitasnya dalam mengembangkan proses pembelajaran.


BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan
1. Uji kompetensi & sertifikasi Guru adalah merupakan suatu keharusan campur tangan pemerintah bagi upaya mempercepat proses profesionalisasi tenaga kependidikan guru.
2. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni terciptanya guru yang memenuhi kualifikasi standard yang dihajatkan masyarakat di era global ini Rekomendasi, karenanya peningkatan mutu guru ke arah profesional pasca sertifikasi tetap harus dilakukan, baik melalalui kegiatan mandiri guru, MGMP/ KKG, memaksimalkan fungsi pengawas, dan lain sebagainya.
B. Rekomendasi
1. Pihak yang berwenang melakukan uji kompetensi dan sertifikasi guru, agar betul-betul dapat menjaga amanah Undang-undang dan Peraturan ini, sehingga tidak melenceng dari arah yang dikehendakim, yakni terciptanya guru yang memenuhi kualifikasi standard.
2. Pemerintah hendaknya memaksimalkan fungsi kepengawasan dalam rangka mengawal proses profesionalisasi guru utama pasca sertifikasi.
3. Pemerintah juga memfasilitasi pihak yang terkait dengan pengembangan profesi guru, bagaimana kedepannya mampu menciptakan iklim dan budaya yang menunjang ke aras profesionalisasi guru dalam melaksanakan tugasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir, Dr., (1992), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
Ali Saifullah HA, Drs., (1981), Antara Filsafat dan Pendidikan : Pengantar Filsafat Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.
Andreas Harefa., (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta : PT.Kompas.
E.Mulyasa, Dr, M.Pd; Menjadi Guru Profesional, menciptakan Pembelajaran Kreatif dan menyenangkan; Cet. VI; Remaja Rosda Karya; Bandung; 2007
Hasan Langgulung, Prof., Dr., (1986), Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Al-Husna.
Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Globalisasi
Http://www.duniaguru.com/kompetensi/standar_kompetensi_guru.htm - 23k
http://www.geocities.com/pengembangan_sekolah/standarguru.html
Idochi Anwar, Prof.,Dr., & Yayat Hidayat Amir, Drs., M.Pd., (2000), Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issue, Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
John Vaizey (1987), Pendidikan di Dunia Modern, Jakarta : Gunung Agung.
Piet A. Suhertian, Profil Pendidik Profesional, Andi Offsett, Jogjakarta, 1994
Pusat Data Dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas , Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2005 , Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta
Sardjan Kadir, Drs. & Umar Ma’sum, Drs., (1982), Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, Surabaya : Usaha Nasional
Soejono Trimo,Pengembangan Pendidikan, Remaja Karya, Bandung, 1986
Soetardjo, Menuju Pendidikan Nasional Yang relevan dan Bermutu, Balai Pustaka, Jakarta , 1993
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

RE ORIENTASI PARADIGMA MENYONGSONG KOMPETISI GLOBAL

A. Iftitah
Membangun budaya baru adalah sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia, sebab kebudayaan akan mempengaruhi kehidupan manusia yang dioperasionalkan melalui pranata-pranata sosial.
Keberadaan sebuah budaya menelusup kedalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia konteknya pada kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan.
Karenanya pembinaan sumber daya insani akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan budaya suatu masyarakat.
Untuk menata budaya kehidupan baru, diperlukan adanya re orientasi paradigma terhadap perubahan budaya itu sendiri, dan paradigma baru itu harus ditularkan secara sistemik, diawali dari perlunya perubahan individual, kemudian secara sistematik dan terencana harus dikembangkan melalui lembaga pencetak sumber daya insani yang mampu menjadi agent of chage bagi perubahan itu, dan itu adalah melalui lembaga pendidikan, jika ini dapat dilakukan secara bertahap akan secara meluas merubah paradigma social.


B. Persoalan Global
Saat ini kita telah mulai menapak masuk ke era global, yang dapat diartikan sebagai era proses tanpa henti – tak bisa dibendung – tak bisa ditolak, dimana ia bukan merupakan produk final, namun budaya manusia terus melaju untuk membentuk formasi sosial pada seluruh dimensi kehidupan manusia, baik tatanan politik, sosial budaya atau pun ekonomi. , sehingga bahkan menjadi gejala yang akan terjadi di kemudian hari berdasarkan sistem yang ada atau dominan dalam masyarakat, sehingga dapat dianggap sebagai suatu ideologi masyarakat, sebagai suatu proyeksi kehidupan masa depan
Berbagai persoalan global seperti menguatnya personal space yang menyebabkan terpasungnya kebebasan berekspresi untuk menyuarakan dan mengemukakan pendapat, jati diri dan kepribadian, sebagai dampak banyaknya tuntutan pesan dan tuntutan kehidupan modern yang harus dilakukan, yang akhirnya bermuara pada beratnya beban moral ditambah lagi dengan persoalan pergeseran nilai ke arah materialistik.yang seolah tarik menarik memasung kemampuan pengembangan ide pribadi. Kemudian pada era global ini terjadi proses membesarnya persaingan dan kompetisi baik ekonomi atau pun politik baik dilihat dengan pendekatan struggle of power atau pun dari pendekatan equiblirium pada tatanan hubungan antar bangsa di dunia, sehingga seluruh bangsa dan negara di dunia berupaya untuk bagaimana dapat menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi dan melakukan industrialisasi secara besar-besaran. Ditambah lagi dengan semakin canggihnya peralatan transportasi dan komunikasi serta informasi, maka arus lintas kultur – norma – kepentingan – ideologi antar bangsa intensitasnya semakin tinggi, sehingga suatu negara akan berada pada suatu kenyataan tidak bisa disembunyikannya lagi dari pengamatan internasional tentang adanya sebuah kebobrokan yang mungkin pada masa sebelumnya masih bisa ditutupi di negara tersebut, dan jadilah sebuah negara laksana sebuah global village saja layaknya, karenanya untuk menjaga nasionalisme pada suatu negara maka suatu bangsa idealnya harus memiliki kesiapan kultural untuk menjaga integritas nasionalnya.
Sementara kenyataan riil, yang tidak bisa dimunkiri, dianatanya eksekutif, legislatif, yudikatif pemerintah banyak yang keliru menjalankan tugasnya (say ‘good govemance’; persoalan KKN, korupsi, kolusi, nepotisme masih menggejala; money-laundering, perkara pencucian uang (spekulasi valuta, berdagang senjata, SDM termasuk prostitusi, narkotika dan usaha judi); adanya terorisme menggelayap dimana-mana; perusakan sumber daya alam, laut, hutan, gunung, sungai, tambang, air, pantai, hayati; perusakan sumber daya manusia ( jual beli narkotika, jual beli tenaga kerja, jual beli senjata , usaha judi, brain drain), sistem pendidikan yang kurang dana, kurang R & D (research & development); kurang gizi, penyakit menular knonis, kematian ibu dan bayi, dst; penyelundupan hasil bumi, hasil laut, hasil hutan, hasil industri, hasil tambang, dan berbagai-bagai masalah lainnya lagi, bahkan kebanyakan Negara berkembang (termasuk Indonesia) saat ini sedang menghadapi perubahan sosial yang ditandai dengan krisis multidimensional yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, belum lagi berkembangnya tuntutan masyarakat yang berlebihan yang menimbulkan semangat primordialisme dan munculnya konflik horizontal di berbagai daerah yang menyebabkan instabilitas nasional.
Kondisi globalisasi cenderung membawa manusia ke arah situasi alienasi, yang bisa dibedakan ke dalam tiga kelompok yaitu pertama mereka teralienasikan dari Tuhannya, karena prestasinya dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan teknologi, mereka menjadi aties. Kedua mereka terkena “future shock” dimana mereka teralienasikan dari lingkungannya. Ketiga mereka teralienasikan dari Tuhan dan lingkungannya, yang semua ini sebenarnya berawal dari persoalan kejiwaan yang manusia itu sendiri berperan memunculkan penyebabnya dan menjadi korbannya, sebagai akibat dari manusia sendiri yang mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi yang menolak realitas metafisik hanya berpijak pada realitas fisik atau premis positivisme.
Menurut Naisbit ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk
Karenanya Ani M Hasan mengemukakan, bahwa Pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.
Di dunia pendidikan dampak era global juga kadang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara kemampuan intelektual dengan bekal moral, sementara tuntutan dan kenyataan kehidupan harus direspon sesegeranya, sehingga tidak jarang jalan keluar dari persoalan-persoalan kehidupan adalah berupa perkelahian (antar pelajar), korupsi, mencari dan melakukan jalan pintas yang tidak dibenarkan dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam hidup, hal ini disebabkan oleh efek global terhadap terjadinya perubahan tatanan budaya, menuju ke arah globalisasi kebudayaan, yang ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan, adalah :
• Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
• Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
• Berkembangnya turisme dan pariwisata.
• Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
• Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
• Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA

Kekerasan-kekerasan yang terjadi dan menjalar ke mana-mana, berdasarkan salah satu definisi kekerasan menurut John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.
Jadi dampak global ini menampakkan terjadinya chaos (kekacauan), dimana dalam ilmu fisika dan matematika,diistilahkan dengan Chaos Theory yakni menguraikan perilaku tertentu nonlinear dynamical sistem yang pada kondisi-kondisi spesifik memperlihatkan dinamika yang sensitip ke syarat awal yang terkenal sebagai katup yang mempengaruhi. Wujud kepekaan ini, adalah perilaku dari sistem kacau nampak seperti acak, oleh karena adanya kesalahan yang tumbuh bersifat exponen di dalam syarat awal itu.
Karenanya Era Global dapat dianggap sebagai suatu era dengan mengedepankan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap semua aspek kehidupan sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka. Untuk menghadapi era global inilah diperlukan adanya perubahan paradigma sosial.
Re orientasi paradigma sosial haruslah dimulai dengan adanya re orientasi paradigma berfikir, kemudian re orientasi paradigma pendidikan dan paradigma ilmu dan secara bertahap akan terjadi perubahan sosial.
C. Persoalan Kekeliruan Paradigma
Paradigma Berfikir
Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita secara apa adanya. Pikiran adalah ruang kemungkinan (space of possibility), dan realitas adalah ruang tindakan yang telah jadi nyata (space of action). Seluruh realitas kita hanya bergerak pada ruang kemungkinan itu. Makin besar ruang kemungkinannya, makin besar ruang realitasnya. Bagaimana kita berpikir, begitulah kita akan bertindak. Jadi jauh sebelum sebuah realitas tercipta di alam kenyataan, ia terlebih dulu tercipta di alam pikiran kita. Sebaliknya, apa yang tidak pernah kita pikirkan tidak akan pernah jadi realitas di masa mendatang. Maka realitas-realitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pikiran yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu, dan tentu realitas-realitas kita di masa mendatang adalah buah dari benih-benih pikiran yang kita taman hari ini.
Karenanya jika disadari realitas rendahnya tingkat kemampuan bersaing publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir, yang sebelumnya ditanamkan, maka tentu adanya gerakan perubahan paradigma berfikir publik, dan kata kuncinya adalah perubahan paradigma berfikir ke arah penciptaan sumberdaya-sumberdaya manusia, jika tidak maka realitas keterpurukan selama ini berlarut-larut tidak bisa diatasi.
Paradigma Pendidikan
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia seperti dalam Human Development Index UNESCO tahun 2000 berada diurutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), atau menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia.
Memang saya kira banyak persoalan terkait dengan masalah pendidikan ini, namun yang paling inti adalah terjadinya kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan, karenanya perlu re orientasi paradigma pendidikan di Indonesia.
Paradigma pendidikan selama ini perlu diakui secara jujur adalah paradigma sekularisme dalam artian ”tidak secara otomatis anti agama” , hal ini dapat dibuktikan bahwa :
1. Memang UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” , tapi pada Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus, yang artinya secara jelas adanya membuat dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia saleh yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
2. Pengelolaan pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama.
3. BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya, dan ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Paradigma pendidikan yang material-sekularistik inilah sebenarnya yang melahirkan berbagai bentuk tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, karenannya perlu adanya re orientasi kembali paradigma pendidikan yang berkembang selama ini.
Paradigma Studi
Dalam kehidupan global tuntutan kemampuan persaingan sangat tinggi, sementara kita dihadapkan kenyataan yang tidak bisa dimunkiri, kualitas SDM kita masih di bawah rata-rata SDM negara lain, seperti saya kemukakan sebelumnya bahwa menurut Human Development Index UNESCO tahun 2000 kita berada diurutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), atau menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas kita berada pada ranking terakhir dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Rendahnya kualitas SDM kita ini, mengharuskan kita untuk mengubah nilai (values), sikap (attitudes) dan perilaku (behaviour) pada diri kita, kelompok kita, community kita maupun society kita, mungkin dan tentu bisa dimulai dengan mengubah nilai-nilai dalam diri kita masing-masing, !ewat pengkajian kembali seluruh rangkaian perjalanan hidup, dengan sikap damai, jujur, benar, dan terutama tabah, berani serta sabar. Mampu berperilaku, membuat keputusan-keputusan yang arif, bijak dan adil. Mampu bersikap terbuka, mau mendengar dan mengerti sejarah kemajemukan pendapat dan keragaman berpikir yang berbeda, mengisyaratkan arahan-arahan membuka kesempatan dan memberikan kehidupan dan dinamika pengembangan (development) yang bertahan kelanjutan, berdamai dan menjunjung keseimbangan lingkungan alam, sosial budaya, haruslah melalui proses edukasi, dan kata kuncinya adalah kemampuan proses edukasi melakukan reorientasi paradigma studi dalam proses edukasi tersebut, meninggalkan paradigma studi yang sekuler-materialistik, yang telah melahirkan berbagai persoalan yang berawal dari sumber daya manusia yang sekuler-materialistik tadi.

Paradigma Ilmu Pengetahuan
Dikhotomi ilmu akan berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.
Paradigma ilmu dan pendidikan yang dikotomis, di kalangan masyarakat berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari, sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari.
Paradigma dengan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi pendidikan, di mana pendidikan berlabel agama yang akan mampu mengantarkan peserta didik ke kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara pendidikan "umum" dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusifke arah kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian masyarakat, bahwa lembaga pendidikan umum lebih terjamin pada bidang mutu dan kesempatan memperoleh pekerjaan, ketimbang yang berlabel lembaga pendidikan agama., dan ini sangat berpengaruh bagi para pengambil kebijakan pendidikan yang sangat diskriminatif antara lembaga pendidikan umum dan agama, dan ini realitas yang tak bisa dimungkiri dan telah berjalan lama. Dan ketimpangan ini juga menjadi penyebab utama lemahnya mutu dan kinerja pengelolaan lembaga pendidikan agama.
Paradigma ilmu yang dikhotomis ini berdampak pada kerangka filsafat keilmuan, dimana kurang dikenalnya konsep paradigma, normal science, anomali, dan revolusi sains yang selama ini "mengatur" perkembangan dan pertumbuhan sains modern saat ini, dan bahkan berkembang gejala pemikiran yang mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah.
Paradigma dikotomis yang telah banyak melahirkan berbagai persoalan, seperti kesalahan pada cara pandang ilmum terjadinya diskriminasi lembaga, lemahnya mutu , mengacaukan paradigma kerangka filsafat ilmu serta berkembangnya gejala pemikiran mempertentangkan rasio (akliyyah) dan wahyu (naqliyyah), karenanya paradigma ilmu sudah seharusnya di reorientasi dengan paradigma baru.
Paradigma Sosial
Dalam tatanan kehidupan sosial kita dihadapkan kenyataan yang tidak bisa dimunkiri, diantaranya terjadinya say ‘good govemance’ pada eksekutif, legislatif, yudikatif; persoalan KKN, korupsi, kolusi, nepotisme masih menggejala; money-laundering, perkara pencucian uang (spekulasi valuta, berdagang senjata, SDM termasuk prostitusi, narkotika dan usaha judi); adanya terorisme menggelayap dimana-mana; perusakan sumber daya alam, laut, hutan, gunung, sungai, tambang, air, pantai, hayati; perusakan sumber daya manusia ( jual beli narkotika, jual beli tenaga kerja, jual beli senjata , usaha judi, brain drain), sistem pendidikan yang kurang dana, kurang R & D (research & development); kurang gizi, penyakit menular knonis, kematian ibu dan bayi, dst; penyelundupan hasil bumi, hasil laut, hasil hutan, hasil industri, hasil tambang, dan berbagai-bagai masalah lainnya lagi.
Sekilas kita lihat Teori Keteraturan vs Konflik. pertama kali oleh Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956), yang membedakan pendekatan dalam analisa sosiologi, dimana di satu sisi terdapat konsep yang konsentrasinya adalah menjelaskan sifat dari keteraturan sosial, dengan di sisi lain terdapat konsep yang terkonsentasi pada masalah perubahan, konflik, dan kekerasan(paksaan) dalam struktur sosial, yang kemudian oleh Cohen (1968) dikelaborasi beberapa ide dasar pada teori ”keteraturan” vs ”konflik”, dan mengkritik bahwa Dharendorf salah, karena memperlakukan teori ”keteraturan” vs ”konflik” secara terpisah, dimana menurutnya teori ”keteraturan” vs ”konflik” tidak bersifat ”mutually exclusive” (salah satu konsep bisa merupakan bagian dari konsep lain)., maka nampaknya realitas sosial era keteraturan telah mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik, dimana Status quo, Social Order, Konsensus, Integrasi sosial dan kohesi, Pemenuhan kebutuhan dan Aktualitas telah berubah menjadi Perubahan Radikal , Konflik Struktural, Adanya dominasi , Kontradiksi, Kehilangan, kerugian, atau perampasan dan Potensialitas.
Kesalahan paradigma sosial yang berawal dari kesalahan paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan menjadi penyebab berubahnya realitas sosial era keteraturan sehingga mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik (semraut) dan chaos (rumit), karenanya perlu adanya paradigma baru yang mampu mengembalikan ke tatanan sosial dengan wujud keteraturan yang baru.
D. Re Orientasi Paradigma
Beberapa persoalan paradigma seperti pertama realitas rendahnya tingkat kemampuan bersaing publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir, yang sebelumnya ditanamkan, maka tentu adanya gerakan perubahan paradigma berfikir publik, dan kata kuncinya adalah perubahan paradigma berfikir, kedua Paradigma pendidikan yang material-sekularistik inilah sebenarnya yang melahirkan berbagai bentuk tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, ; ketiga paradigma studi yang sekuler-materialistik, yang telah melahirkan berbagai persoalan yang berawal dari sumber daya manusia yang sekuler-materialistik; keempat Paradigma dikotomis yang telah banyak melahirkan berbagai persoalan, seperti kesalahan pada cara pandang ilmum terjadinya diskriminasi lembaga, lemahnya mutu , mengacaukan paradigma kerangka filsafat ilmu serta berkembangnya gejala pemikiran mempertentangkan rasio (akliyyah) dan wahyu (naqliyyah), ke lima paradigma sosial yang berawal dari paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan yang menjadi penyebab berubahnya realitas sosial era keteraturan sehingga mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik, telah menuntut adanya re orientasi paradigma.
Beberapa konsep dasar untuk melakukan re orientasi paradigma mulai dari paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan sampai kepada tatanan paradigma sosial, adalah :
Standarisasi Pendidikan
Tantangan yang dihadapi dunia pendidikan semakin hari semakin membesar, yang menyebabkan mau tidak mau akan terjadi pergeseran nilai baik menyangkut segi pengelolaan maupun in put masukannya (sumber belajar), karenanya Lembaga Pendidikan harus mau dan mampu menerima kenyataan ini dan harus segera membenahi diri untuk menuju dan menjadi lembaga pendidikan yang siap mengembangkan SDM yang siap bersaing di era global ini, dan ini mengharuskan adanya standarisasi mutu pendidikan.
Pilar standarisasi SDM secara serius dilakukan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal 1 ayat 17 : ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”.
Kemudian bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 35, ayat 1-4 berbunyi :
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005, BAB II tentang Lingkup, Fungsi, Dan Tujuan, pasal Pasal 2, berbunyi :
(1) Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
a. standar isi;
b. standar proses;
c. standar kompetensi lulusan;
d. standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. standar sarana dan prasarana;
f. standar pengelolaan;
g. standar pembiayaan;dan
h. standar penilaian pendidikan.
(2) Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
(3) Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Depdiknas memberikan arahan agar kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
Berfikir Naqliyyah dan Aqliyyah dengan dasar Ketauhidan
Upaya para pemikir Islam untuk mengembalikan ilmu pengetahuan ke dalam satu kesatuan, yaitu ilmu yang bernafaskan Islam dengan tetap majemuk dalam cabang-cabangnya, adalah didasarkan atas akidah agama, yang disadari atau tidak mesti memainkan peranan penting dalam pembentukan konsep ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin.
Keyakinan kaum muslimin bahwa Allah SWT adalah Esa. Dan hakikat tauhid adalah satu.Dan dalam konsepsi Islam tentang Zat Ilahi Yang Satu, terdapat pluralitas sifat Zat ini. Diantara sifat-sifat burhan adalah qidam, baqa, tidak bersusun, hidup, ilmu, iradat, qudrat, ikhtiar, esa. Sedangkan, dari sifat samiyah adalah kalam ‘berbicara’, bashar ‘melihat’, dan sama’ ‘mendengar’. Sebagaimana terdapat pluralitas sifat-sifat Zat ilahiyah yang Esa, pluralitas yang menguatkan keesaan zat, juga terdapat peluralitas nama-nama yang baik bagi Zat ini.
Allah SWT berfirman :
                                             

“ Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (dipermukaan) bumi sebagai pasak, dan mengembangbiakkan padanya berbagai jenis binatang. Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya berbagai ragam tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah maka perlihatkanlah olehmu kepada Ku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu ) selain Allah. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesesatan yang nyata.” (QS. Lukman : 10-11)

Allah SWT yang satu menciptakan kosmos sebagai satu penciptaan, tapi kemajemukan makhluk ciptaan Nya tidak diketahui jumlahnya kecuali oleh Nya sendiri yang Esa, ternyata ditengah kemajemukan makhluk itu ditemui kesatuan lagi dengan kemajemukan ciri dan kekhasan masing-masing, sungguh merupakan tanda kebesaran Nya.
Dari dasar akidah inilah akhirnya dalam pandangan kaum muslimin bahwa memang segalanya berdasarkan sunnatullah merupakan kesatuan dalam kemajemukan, Akidah Islam satu tapi majemuk dalam keyakinan, syariat Islam satu namun di dalamnya terdapat kemajemukan hukum Islam, kemanusiaan satu tapi majemuk dalam bentuk umat, bangsa, ras dan suku, Umat satu tapi majemuk dalam agama, bangsa, mazhab dan partai, dan seterusnya ... maka kecenderungan manusia kepada ilmu satu tapi majemuk dalam sudut pandangnya, sehingga melahirkan kemajemukan dalam cabang-cabangnya.
Penguasaan ilmu dan pemberian nilai islamis ini menjadi penting, sebab dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan inilah yang hanya dapat menjadikan sistem agama Islam menjadi sistem dunia, seperti dikatakan oleh Imam Ghazali :
“ Sistem agama tidak dapat diwujudkan kecuali dengan sistem dunia. Dan sistem dunia dibangun dengan ilmu pengetahuan. Ibadah tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ada kesehatan tubuh dan adanya kehidupan, serta adanya kadar kebutuhan, mulai dari pakaian, tempat tinggal, makanan dan keamanan. Agama tidak dapat terselenggara kecuali dengan terwujudnya keamanan atas pokok-pokok primer ini. Jika tidak maka orang yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menjaga dirinya dari pedang kezaliman, serta mencari penghasilan dari sumber-sumber yang sulit, kapan ia dapat tekun mencari ilmu dan bekerja ? Keduanya adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu sistem dunia adalah syarat bagi sistem agama.”

Ilmu Pengetahuan yang lahir berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan indrawi yang saat ini membangun negara-negara Barat menjadi modern, ternyata telah melahirkan kecenderungan materialisme yang pada dasarnya hanya membawa kebaikan sesaat bagi ummat manusia, sebab mereka hanya memandang ‘realita’ sebagai satu-satunya sumber Ilmu Pengetahuan, seperti pendapat mereka yang diungkapkan Dr.Murad Wahbah, bahwa :
“ Akal manusia telah melewati tiga periode : periode teologi, periode metafisika, dan periode realita.” Yang terakhir, realita, kemudian menjadi sumber satu-satunya ilmu pengetahuan yang benar. Kebenaran dalam pandangan mereka merupakan buah ekspremen belaka.”

Dengan re orientasi paradigma, para pakar dan praktisi pendidikan sudah saatnya mengembalikan paradigma berfikir naqliyyah dipadu dengan berfikir aqliyyah dan didasari ketauhidan yang hampir hilang yakni bahwa ilmu itu satu kesatuan berada diatas nilai-nilai Islam dan bersumber/ datang dari Allah dan jika sampai pada tingkat kebenaran yang sempurna merupakan bukti ke Esaan, adanya dan ke Maha Agungan Allah, walau datangnya dari sisi pandangan yang berbeda sehingga cabang ilmu itu pun berbeda, maka jika dari sini timbullah upaya sinergis bagaimana menghilangkan dikotomis ilmu dan mengembalikannya ke dalam satu kesatuan nilai, dengan tetap mengakui kemajemukan ilmu itu sendiri, dan inilah pilar utama membangun era baru.
Pengembangan pendekatan berfikir naqliyyah didasari ketauhidan tentu dipadukan dengan berfikir Aqliyyah, yakni terbebas dari kejumudan dan taklid buta; mengandalkan; mengedepankan nilai-nilai ilmiah.
Allah SWT sangat mengajurkan menggunakan pendekatan berfikir ilmiah ini, seperti yang digambarkan dalam firmannya berikut :
a. Larangan untuk bersikap jumud, seperti ftertera dalam QS.Al Isra : 36
        •         
” Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
b. Anjuran tidak jumud, dan harus berfikir aqliyyah, seperti tertera pada QS. An Najm: 28-30
           •          •               •     •       
28. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.
29. Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.
30. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.
c. Anjuran berfikir aqliyyah dan naqliyyah, seperti QS. Yunus : 35-36
    •                 •                  •        •     
35. Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekuturmu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? bagaimanakah kamu mengambil keputusan?
36. Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
d. Anjuran berfikir aqliyyah dan naqliyyah sehingga yakin akan sebuah kebenaran seperti tertera pada QS. Al An’am : 115-117
                                 
115. Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.
116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)

Dengan pengembangan pola pikir naqliyyah dan berfikir aqliyyah dengan landasan ketauhidan ini, diharapkan dapat melahirkan sains baru yang terlepas dari dikotomis, dan memilki nilai-nilai pengembangan, sbb :
1. Percaya Pada wahyu.
2. Sains adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial.
3. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid.
4. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial.
5. Pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap Oleh hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral.
6. Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.
7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang.
8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilai-nilai.
9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik.
10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral.
11. Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya
1. interdependensi antara keduanya.
12. Orientasi nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat.
13. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaanNya: manusia, hutan dan lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya, harus didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah usaha golongan tertentu.
14. Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuang- buang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral.
15. Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains. Keduanya semestinya diperbolehkan (halal), yakni, dalam batas-batas

Demokrasi Pendidikan
Kehidupan demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi individu yang berbeda dalam kebersamaan. Dengan demikian segala bentuk penyamarataan individu dalam satu uniformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat individu bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi, hal ini selaras dengan bunyi pernyataan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dari hak-hak warga negara dalam mengikuti pendidikan tersebut tersirat adanya dua hal penting yaitu: pertama, pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dalam batas tertentu dan dengan dibarengi adanya peluang untuk memilih satuan pendidikan sesuai dengan karakteristiknya.
Tapi perlu digaris bawahi bahwa demokratisasi pendidikan tidak hanya sekedar prosedur, tetapi juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusiayang diharapkan mampu mendorong munculnya individu yang kreatif, kritis, dan produktif tanpa harus mengorbankan martabat dan dirinya.
E. Khatimah
Ralitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pengembangan paradigma yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu, dan kehidupan sekarang tidak bisa dipisahkan dari proses globalisasi dengan segala implikasinya.
Karenanya untuk membangun order generasi baru yang punya kemampuan mengembangkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan menata kehidupan yang dapat berintegrasi secara kultural dengan sistem internasional, yang ditandai dengan kinerja institusi di dalam dan keluar harus rasional, dinamis dan kompetitif, serta moralitas yang tinggi, maka sudah seharusnya dilakukan re orientasi paradigma mulai paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan serta sosial.









DAFTAR BACAAN
Al Gazali, Al Iqtishad Fil Al I'tiqad, Maktabah Syubeikh, Kairo, tt
AL Gazali, Fadhailul Anam min Rasail Hujjah al Islam, Tunisia, tt
Ani M.Hasan, ; Profesionalisme Di Abad Pengetahuan , Jan 08, 2007 at 08:03 AM
Antonius Wiwan Koban; Kekerasan Struktural oleh Negara di Bidang Pendidikan ; http://www.sinarharapan.co.id/berita/0506/30/opi01.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Chaos_theory
http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi
http://www.ditpertais.netHuzni Thoyyar; Model-Model Integrasi Ilmu Dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam (Survey Literatur Terhadap Pemikiran Islam Kontemporer)
Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia : Pertautan Pengetahuan dan kepentingan, Kanisius, Yogjakarta, 1992
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999
Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, Kairo, 1994
Murad Wahbah, et.All., Al Qamus Al Falsafi, Kairo, 1966
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan kemoderenan, Paramadina, Jakarta,
Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas , Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2005 , Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta
Pusat Kurikulkum Balitbang Depdiknas; Makalah Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);2006
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

RE ORIENTASI PARADIGMA MENYONGSONG KOMPETISI GLOBAL

A. Iftitah
Membangun budaya baru adalah sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia, sebab kebudayaan akan mempengaruhi kehidupan manusia yang dioperasionalkan melalui pranata-pranata sosial.
Keberadaan sebuah budaya menelusup kedalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia konteknya pada kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan.
Karenanya pembinaan sumber daya insani akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan budaya suatu masyarakat.
Untuk menata budaya kehidupan baru, diperlukan adanya re orientasi paradigma terhadap perubahan budaya itu sendiri, dan paradigma baru itu harus ditularkan secara sistemik, diawali dari perlunya perubahan individual, kemudian secara sistematik dan terencana harus dikembangkan melalui lembaga pencetak sumber daya insani yang mampu menjadi agent of chage bagi perubahan itu, dan itu adalah melalui lembaga pendidikan, jika ini dapat dilakukan secara bertahap akan secara meluas merubah paradigma social.


B. Persoalan Global
Saat ini kita telah mulai menapak masuk ke era global, yang dapat diartikan sebagai era proses tanpa henti – tak bisa dibendung – tak bisa ditolak, dimana ia bukan merupakan produk final, namun budaya manusia terus melaju untuk membentuk formasi sosial pada seluruh dimensi kehidupan manusia, baik tatanan politik, sosial budaya atau pun ekonomi. , sehingga bahkan menjadi gejala yang akan terjadi di kemudian hari berdasarkan sistem yang ada atau dominan dalam masyarakat, sehingga dapat dianggap sebagai suatu ideologi masyarakat, sebagai suatu proyeksi kehidupan masa depan
Berbagai persoalan global seperti menguatnya personal space yang menyebabkan terpasungnya kebebasan berekspresi untuk menyuarakan dan mengemukakan pendapat, jati diri dan kepribadian, sebagai dampak banyaknya tuntutan pesan dan tuntutan kehidupan modern yang harus dilakukan, yang akhirnya bermuara pada beratnya beban moral ditambah lagi dengan persoalan pergeseran nilai ke arah materialistik.yang seolah tarik menarik memasung kemampuan pengembangan ide pribadi. Kemudian pada era global ini terjadi proses membesarnya persaingan dan kompetisi baik ekonomi atau pun politik baik dilihat dengan pendekatan struggle of power atau pun dari pendekatan equiblirium pada tatanan hubungan antar bangsa di dunia, sehingga seluruh bangsa dan negara di dunia berupaya untuk bagaimana dapat menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi dan melakukan industrialisasi secara besar-besaran. Ditambah lagi dengan semakin canggihnya peralatan transportasi dan komunikasi serta informasi, maka arus lintas kultur – norma – kepentingan – ideologi antar bangsa intensitasnya semakin tinggi, sehingga suatu negara akan berada pada suatu kenyataan tidak bisa disembunyikannya lagi dari pengamatan internasional tentang adanya sebuah kebobrokan yang mungkin pada masa sebelumnya masih bisa ditutupi di negara tersebut, dan jadilah sebuah negara laksana sebuah global village saja layaknya, karenanya untuk menjaga nasionalisme pada suatu negara maka suatu bangsa idealnya harus memiliki kesiapan kultural untuk menjaga integritas nasionalnya.
Sementara kenyataan riil, yang tidak bisa dimunkiri, dianatanya eksekutif, legislatif, yudikatif pemerintah banyak yang keliru menjalankan tugasnya (say ‘good govemance’; persoalan KKN, korupsi, kolusi, nepotisme masih menggejala; money-laundering, perkara pencucian uang (spekulasi valuta, berdagang senjata, SDM termasuk prostitusi, narkotika dan usaha judi); adanya terorisme menggelayap dimana-mana; perusakan sumber daya alam, laut, hutan, gunung, sungai, tambang, air, pantai, hayati; perusakan sumber daya manusia ( jual beli narkotika, jual beli tenaga kerja, jual beli senjata , usaha judi, brain drain), sistem pendidikan yang kurang dana, kurang R & D (research & development); kurang gizi, penyakit menular knonis, kematian ibu dan bayi, dst; penyelundupan hasil bumi, hasil laut, hasil hutan, hasil industri, hasil tambang, dan berbagai-bagai masalah lainnya lagi, bahkan kebanyakan Negara berkembang (termasuk Indonesia) saat ini sedang menghadapi perubahan sosial yang ditandai dengan krisis multidimensional yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, belum lagi berkembangnya tuntutan masyarakat yang berlebihan yang menimbulkan semangat primordialisme dan munculnya konflik horizontal di berbagai daerah yang menyebabkan instabilitas nasional.
Kondisi globalisasi cenderung membawa manusia ke arah situasi alienasi, yang bisa dibedakan ke dalam tiga kelompok yaitu pertama mereka teralienasikan dari Tuhannya, karena prestasinya dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan teknologi, mereka menjadi aties. Kedua mereka terkena “future shock” dimana mereka teralienasikan dari lingkungannya. Ketiga mereka teralienasikan dari Tuhan dan lingkungannya, yang semua ini sebenarnya berawal dari persoalan kejiwaan yang manusia itu sendiri berperan memunculkan penyebabnya dan menjadi korbannya, sebagai akibat dari manusia sendiri yang mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi yang menolak realitas metafisik hanya berpijak pada realitas fisik atau premis positivisme.
Menurut Naisbit ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk
Karenanya Ani M Hasan mengemukakan, bahwa Pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.
Di dunia pendidikan dampak era global juga kadang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara kemampuan intelektual dengan bekal moral, sementara tuntutan dan kenyataan kehidupan harus direspon sesegeranya, sehingga tidak jarang jalan keluar dari persoalan-persoalan kehidupan adalah berupa perkelahian (antar pelajar), korupsi, mencari dan melakukan jalan pintas yang tidak dibenarkan dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam hidup, hal ini disebabkan oleh efek global terhadap terjadinya perubahan tatanan budaya, menuju ke arah globalisasi kebudayaan, yang ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan, adalah :
• Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
• Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
• Berkembangnya turisme dan pariwisata.
• Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
• Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
• Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA

Kekerasan-kekerasan yang terjadi dan menjalar ke mana-mana, berdasarkan salah satu definisi kekerasan menurut John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.
Jadi dampak global ini menampakkan terjadinya chaos (kekacauan), dimana dalam ilmu fisika dan matematika,diistilahkan dengan Chaos Theory yakni menguraikan perilaku tertentu nonlinear dynamical sistem yang pada kondisi-kondisi spesifik memperlihatkan dinamika yang sensitip ke syarat awal yang terkenal sebagai katup yang mempengaruhi. Wujud kepekaan ini, adalah perilaku dari sistem kacau nampak seperti acak, oleh karena adanya kesalahan yang tumbuh bersifat exponen di dalam syarat awal itu.
Karenanya Era Global dapat dianggap sebagai suatu era dengan mengedepankan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap semua aspek kehidupan sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka. Untuk menghadapi era global inilah diperlukan adanya perubahan paradigma sosial.
Re orientasi paradigma sosial haruslah dimulai dengan adanya re orientasi paradigma berfikir, kemudian re orientasi paradigma pendidikan dan paradigma ilmu dan secara bertahap akan terjadi perubahan sosial.
C. Persoalan Kekeliruan Paradigma
Paradigma Berfikir
Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita secara apa adanya. Pikiran adalah ruang kemungkinan (space of possibility), dan realitas adalah ruang tindakan yang telah jadi nyata (space of action). Seluruh realitas kita hanya bergerak pada ruang kemungkinan itu. Makin besar ruang kemungkinannya, makin besar ruang realitasnya. Bagaimana kita berpikir, begitulah kita akan bertindak. Jadi jauh sebelum sebuah realitas tercipta di alam kenyataan, ia terlebih dulu tercipta di alam pikiran kita. Sebaliknya, apa yang tidak pernah kita pikirkan tidak akan pernah jadi realitas di masa mendatang. Maka realitas-realitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pikiran yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu, dan tentu realitas-realitas kita di masa mendatang adalah buah dari benih-benih pikiran yang kita taman hari ini.
Karenanya jika disadari realitas rendahnya tingkat kemampuan bersaing publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir, yang sebelumnya ditanamkan, maka tentu adanya gerakan perubahan paradigma berfikir publik, dan kata kuncinya adalah perubahan paradigma berfikir ke arah penciptaan sumberdaya-sumberdaya manusia, jika tidak maka realitas keterpurukan selama ini berlarut-larut tidak bisa diatasi.
Paradigma Pendidikan
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia seperti dalam Human Development Index UNESCO tahun 2000 berada diurutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), atau menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia.
Memang saya kira banyak persoalan terkait dengan masalah pendidikan ini, namun yang paling inti adalah terjadinya kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan, karenanya perlu re orientasi paradigma pendidikan di Indonesia.
Paradigma pendidikan selama ini perlu diakui secara jujur adalah paradigma sekularisme dalam artian ”tidak secara otomatis anti agama” , hal ini dapat dibuktikan bahwa :
1. Memang UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” , tapi pada Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus, yang artinya secara jelas adanya membuat dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia saleh yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.
2. Pengelolaan pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama.
3. BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya, dan ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Paradigma pendidikan yang material-sekularistik inilah sebenarnya yang melahirkan berbagai bentuk tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, karenannya perlu adanya re orientasi kembali paradigma pendidikan yang berkembang selama ini.
Paradigma Studi
Dalam kehidupan global tuntutan kemampuan persaingan sangat tinggi, sementara kita dihadapkan kenyataan yang tidak bisa dimunkiri, kualitas SDM kita masih di bawah rata-rata SDM negara lain, seperti saya kemukakan sebelumnya bahwa menurut Human Development Index UNESCO tahun 2000 kita berada diurutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), atau menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas kita berada pada ranking terakhir dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Rendahnya kualitas SDM kita ini, mengharuskan kita untuk mengubah nilai (values), sikap (attitudes) dan perilaku (behaviour) pada diri kita, kelompok kita, community kita maupun society kita, mungkin dan tentu bisa dimulai dengan mengubah nilai-nilai dalam diri kita masing-masing, !ewat pengkajian kembali seluruh rangkaian perjalanan hidup, dengan sikap damai, jujur, benar, dan terutama tabah, berani serta sabar. Mampu berperilaku, membuat keputusan-keputusan yang arif, bijak dan adil. Mampu bersikap terbuka, mau mendengar dan mengerti sejarah kemajemukan pendapat dan keragaman berpikir yang berbeda, mengisyaratkan arahan-arahan membuka kesempatan dan memberikan kehidupan dan dinamika pengembangan (development) yang bertahan kelanjutan, berdamai dan menjunjung keseimbangan lingkungan alam, sosial budaya, haruslah melalui proses edukasi, dan kata kuncinya adalah kemampuan proses edukasi melakukan reorientasi paradigma studi dalam proses edukasi tersebut, meninggalkan paradigma studi yang sekuler-materialistik, yang telah melahirkan berbagai persoalan yang berawal dari sumber daya manusia yang sekuler-materialistik tadi.

Paradigma Ilmu Pengetahuan
Dikhotomi ilmu akan berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.
Paradigma ilmu dan pendidikan yang dikotomis, di kalangan masyarakat berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari, sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari.
Paradigma dengan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi pendidikan, di mana pendidikan berlabel agama yang akan mampu mengantarkan peserta didik ke kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara pendidikan "umum" dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusifke arah kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian masyarakat, bahwa lembaga pendidikan umum lebih terjamin pada bidang mutu dan kesempatan memperoleh pekerjaan, ketimbang yang berlabel lembaga pendidikan agama., dan ini sangat berpengaruh bagi para pengambil kebijakan pendidikan yang sangat diskriminatif antara lembaga pendidikan umum dan agama, dan ini realitas yang tak bisa dimungkiri dan telah berjalan lama. Dan ketimpangan ini juga menjadi penyebab utama lemahnya mutu dan kinerja pengelolaan lembaga pendidikan agama.
Paradigma ilmu yang dikhotomis ini berdampak pada kerangka filsafat keilmuan, dimana kurang dikenalnya konsep paradigma, normal science, anomali, dan revolusi sains yang selama ini "mengatur" perkembangan dan pertumbuhan sains modern saat ini, dan bahkan berkembang gejala pemikiran yang mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah.
Paradigma dikotomis yang telah banyak melahirkan berbagai persoalan, seperti kesalahan pada cara pandang ilmum terjadinya diskriminasi lembaga, lemahnya mutu , mengacaukan paradigma kerangka filsafat ilmu serta berkembangnya gejala pemikiran mempertentangkan rasio (akliyyah) dan wahyu (naqliyyah), karenanya paradigma ilmu sudah seharusnya di reorientasi dengan paradigma baru.
Paradigma Sosial
Dalam tatanan kehidupan sosial kita dihadapkan kenyataan yang tidak bisa dimunkiri, diantaranya terjadinya say ‘good govemance’ pada eksekutif, legislatif, yudikatif; persoalan KKN, korupsi, kolusi, nepotisme masih menggejala; money-laundering, perkara pencucian uang (spekulasi valuta, berdagang senjata, SDM termasuk prostitusi, narkotika dan usaha judi); adanya terorisme menggelayap dimana-mana; perusakan sumber daya alam, laut, hutan, gunung, sungai, tambang, air, pantai, hayati; perusakan sumber daya manusia ( jual beli narkotika, jual beli tenaga kerja, jual beli senjata , usaha judi, brain drain), sistem pendidikan yang kurang dana, kurang R & D (research & development); kurang gizi, penyakit menular knonis, kematian ibu dan bayi, dst; penyelundupan hasil bumi, hasil laut, hasil hutan, hasil industri, hasil tambang, dan berbagai-bagai masalah lainnya lagi.
Sekilas kita lihat Teori Keteraturan vs Konflik. pertama kali oleh Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956), yang membedakan pendekatan dalam analisa sosiologi, dimana di satu sisi terdapat konsep yang konsentrasinya adalah menjelaskan sifat dari keteraturan sosial, dengan di sisi lain terdapat konsep yang terkonsentasi pada masalah perubahan, konflik, dan kekerasan(paksaan) dalam struktur sosial, yang kemudian oleh Cohen (1968) dikelaborasi beberapa ide dasar pada teori ”keteraturan” vs ”konflik”, dan mengkritik bahwa Dharendorf salah, karena memperlakukan teori ”keteraturan” vs ”konflik” secara terpisah, dimana menurutnya teori ”keteraturan” vs ”konflik” tidak bersifat ”mutually exclusive” (salah satu konsep bisa merupakan bagian dari konsep lain)., maka nampaknya realitas sosial era keteraturan telah mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik, dimana Status quo, Social Order, Konsensus, Integrasi sosial dan kohesi, Pemenuhan kebutuhan dan Aktualitas telah berubah menjadi Perubahan Radikal , Konflik Struktural, Adanya dominasi , Kontradiksi, Kehilangan, kerugian, atau perampasan dan Potensialitas.
Kesalahan paradigma sosial yang berawal dari kesalahan paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan menjadi penyebab berubahnya realitas sosial era keteraturan sehingga mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik (semraut) dan chaos (rumit), karenanya perlu adanya paradigma baru yang mampu mengembalikan ke tatanan sosial dengan wujud keteraturan yang baru.
D. Re Orientasi Paradigma
Beberapa persoalan paradigma seperti pertama realitas rendahnya tingkat kemampuan bersaing publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir, yang sebelumnya ditanamkan, maka tentu adanya gerakan perubahan paradigma berfikir publik, dan kata kuncinya adalah perubahan paradigma berfikir, kedua Paradigma pendidikan yang material-sekularistik inilah sebenarnya yang melahirkan berbagai bentuk tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, ; ketiga paradigma studi yang sekuler-materialistik, yang telah melahirkan berbagai persoalan yang berawal dari sumber daya manusia yang sekuler-materialistik; keempat Paradigma dikotomis yang telah banyak melahirkan berbagai persoalan, seperti kesalahan pada cara pandang ilmum terjadinya diskriminasi lembaga, lemahnya mutu , mengacaukan paradigma kerangka filsafat ilmu serta berkembangnya gejala pemikiran mempertentangkan rasio (akliyyah) dan wahyu (naqliyyah), ke lima paradigma sosial yang berawal dari paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan yang menjadi penyebab berubahnya realitas sosial era keteraturan sehingga mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik, telah menuntut adanya re orientasi paradigma.
Beberapa konsep dasar untuk melakukan re orientasi paradigma mulai dari paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan sampai kepada tatanan paradigma sosial, adalah :
Standarisasi Pendidikan
Tantangan yang dihadapi dunia pendidikan semakin hari semakin membesar, yang menyebabkan mau tidak mau akan terjadi pergeseran nilai baik menyangkut segi pengelolaan maupun in put masukannya (sumber belajar), karenanya Lembaga Pendidikan harus mau dan mampu menerima kenyataan ini dan harus segera membenahi diri untuk menuju dan menjadi lembaga pendidikan yang siap mengembangkan SDM yang siap bersaing di era global ini, dan ini mengharuskan adanya standarisasi mutu pendidikan.
Pilar standarisasi SDM secara serius dilakukan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal 1 ayat 17 : ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”.
Kemudian bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 35, ayat 1-4 berbunyi :
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005, BAB II tentang Lingkup, Fungsi, Dan Tujuan, pasal Pasal 2, berbunyi :
(1) Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
a. standar isi;
b. standar proses;
c. standar kompetensi lulusan;
d. standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e. standar sarana dan prasarana;
f. standar pengelolaan;
g. standar pembiayaan;dan
h. standar penilaian pendidikan.
(2) Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.
(3) Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Depdiknas memberikan arahan agar kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
Berfikir Naqliyyah dan Aqliyyah dengan dasar Ketauhidan
Upaya para pemikir Islam untuk mengembalikan ilmu pengetahuan ke dalam satu kesatuan, yaitu ilmu yang bernafaskan Islam dengan tetap majemuk dalam cabang-cabangnya, adalah didasarkan atas akidah agama, yang disadari atau tidak mesti memainkan peranan penting dalam pembentukan konsep ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin.
Keyakinan kaum muslimin bahwa Allah SWT adalah Esa. Dan hakikat tauhid adalah satu.Dan dalam konsepsi Islam tentang Zat Ilahi Yang Satu, terdapat pluralitas sifat Zat ini. Diantara sifat-sifat burhan adalah qidam, baqa, tidak bersusun, hidup, ilmu, iradat, qudrat, ikhtiar, esa. Sedangkan, dari sifat samiyah adalah kalam ‘berbicara’, bashar ‘melihat’, dan sama’ ‘mendengar’. Sebagaimana terdapat pluralitas sifat-sifat Zat ilahiyah yang Esa, pluralitas yang menguatkan keesaan zat, juga terdapat peluralitas nama-nama yang baik bagi Zat ini.
Allah SWT berfirman :
                                             

“ Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (dipermukaan) bumi sebagai pasak, dan mengembangbiakkan padanya berbagai jenis binatang. Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya berbagai ragam tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah maka perlihatkanlah olehmu kepada Ku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu ) selain Allah. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesesatan yang nyata.” (QS. Lukman : 10-11)

Allah SWT yang satu menciptakan kosmos sebagai satu penciptaan, tapi kemajemukan makhluk ciptaan Nya tidak diketahui jumlahnya kecuali oleh Nya sendiri yang Esa, ternyata ditengah kemajemukan makhluk itu ditemui kesatuan lagi dengan kemajemukan ciri dan kekhasan masing-masing, sungguh merupakan tanda kebesaran Nya.
Dari dasar akidah inilah akhirnya dalam pandangan kaum muslimin bahwa memang segalanya berdasarkan sunnatullah merupakan kesatuan dalam kemajemukan, Akidah Islam satu tapi majemuk dalam keyakinan, syariat Islam satu namun di dalamnya terdapat kemajemukan hukum Islam, kemanusiaan satu tapi majemuk dalam bentuk umat, bangsa, ras dan suku, Umat satu tapi majemuk dalam agama, bangsa, mazhab dan partai, dan seterusnya ... maka kecenderungan manusia kepada ilmu satu tapi majemuk dalam sudut pandangnya, sehingga melahirkan kemajemukan dalam cabang-cabangnya.
Penguasaan ilmu dan pemberian nilai islamis ini menjadi penting, sebab dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan inilah yang hanya dapat menjadikan sistem agama Islam menjadi sistem dunia, seperti dikatakan oleh Imam Ghazali :
“ Sistem agama tidak dapat diwujudkan kecuali dengan sistem dunia. Dan sistem dunia dibangun dengan ilmu pengetahuan. Ibadah tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ada kesehatan tubuh dan adanya kehidupan, serta adanya kadar kebutuhan, mulai dari pakaian, tempat tinggal, makanan dan keamanan. Agama tidak dapat terselenggara kecuali dengan terwujudnya keamanan atas pokok-pokok primer ini. Jika tidak maka orang yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menjaga dirinya dari pedang kezaliman, serta mencari penghasilan dari sumber-sumber yang sulit, kapan ia dapat tekun mencari ilmu dan bekerja ? Keduanya adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu sistem dunia adalah syarat bagi sistem agama.”

Ilmu Pengetahuan yang lahir berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan indrawi yang saat ini membangun negara-negara Barat menjadi modern, ternyata telah melahirkan kecenderungan materialisme yang pada dasarnya hanya membawa kebaikan sesaat bagi ummat manusia, sebab mereka hanya memandang ‘realita’ sebagai satu-satunya sumber Ilmu Pengetahuan, seperti pendapat mereka yang diungkapkan Dr.Murad Wahbah, bahwa :
“ Akal manusia telah melewati tiga periode : periode teologi, periode metafisika, dan periode realita.” Yang terakhir, realita, kemudian menjadi sumber satu-satunya ilmu pengetahuan yang benar. Kebenaran dalam pandangan mereka merupakan buah ekspremen belaka.”

Dengan re orientasi paradigma, para pakar dan praktisi pendidikan sudah saatnya mengembalikan paradigma berfikir naqliyyah dipadu dengan berfikir aqliyyah dan didasari ketauhidan yang hampir hilang yakni bahwa ilmu itu satu kesatuan berada diatas nilai-nilai Islam dan bersumber/ datang dari Allah dan jika sampai pada tingkat kebenaran yang sempurna merupakan bukti ke Esaan, adanya dan ke Maha Agungan Allah, walau datangnya dari sisi pandangan yang berbeda sehingga cabang ilmu itu pun berbeda, maka jika dari sini timbullah upaya sinergis bagaimana menghilangkan dikotomis ilmu dan mengembalikannya ke dalam satu kesatuan nilai, dengan tetap mengakui kemajemukan ilmu itu sendiri, dan inilah pilar utama membangun era baru.
Pengembangan pendekatan berfikir naqliyyah didasari ketauhidan tentu dipadukan dengan berfikir Aqliyyah, yakni terbebas dari kejumudan dan taklid buta; mengandalkan; mengedepankan nilai-nilai ilmiah.
Allah SWT sangat mengajurkan menggunakan pendekatan berfikir ilmiah ini, seperti yang digambarkan dalam firmannya berikut :
a. Larangan untuk bersikap jumud, seperti ftertera dalam QS.Al Isra : 36
        •         
” Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
b. Anjuran tidak jumud, dan harus berfikir aqliyyah, seperti tertera pada QS. An Najm: 28-30
           •          •               •     •       
28. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.
29. Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.
30. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.
c. Anjuran berfikir aqliyyah dan naqliyyah, seperti QS. Yunus : 35-36
    •                 •                  •        •     
35. Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekuturmu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? bagaimanakah kamu mengambil keputusan?
36. Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.
d. Anjuran berfikir aqliyyah dan naqliyyah sehingga yakin akan sebuah kebenaran seperti tertera pada QS. Al An’am : 115-117
                                 
115. Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.
116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)

Dengan pengembangan pola pikir naqliyyah dan berfikir aqliyyah dengan landasan ketauhidan ini, diharapkan dapat melahirkan sains baru yang terlepas dari dikotomis, dan memilki nilai-nilai pengembangan, sbb :
1. Percaya Pada wahyu.
2. Sains adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial.
3. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid.
4. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial.
5. Pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap Oleh hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral.
6. Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.
7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang.
8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilai-nilai.
9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik.
10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral.
11. Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya
1. interdependensi antara keduanya.
12. Orientasi nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat.
13. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaanNya: manusia, hutan dan lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya, harus didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah usaha golongan tertentu.
14. Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuang- buang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral.
15. Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains. Keduanya semestinya diperbolehkan (halal), yakni, dalam batas-batas

Demokrasi Pendidikan
Kehidupan demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi individu yang berbeda dalam kebersamaan. Dengan demikian segala bentuk penyamarataan individu dalam satu uniformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat individu bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi, hal ini selaras dengan bunyi pernyataan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dari hak-hak warga negara dalam mengikuti pendidikan tersebut tersirat adanya dua hal penting yaitu: pertama, pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dalam batas tertentu dan dengan dibarengi adanya peluang untuk memilih satuan pendidikan sesuai dengan karakteristiknya.
Tapi perlu digaris bawahi bahwa demokratisasi pendidikan tidak hanya sekedar prosedur, tetapi juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusiayang diharapkan mampu mendorong munculnya individu yang kreatif, kritis, dan produktif tanpa harus mengorbankan martabat dan dirinya.
E. Khatimah
Ralitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pengembangan paradigma yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu, dan kehidupan sekarang tidak bisa dipisahkan dari proses globalisasi dengan segala implikasinya.
Karenanya untuk membangun order generasi baru yang punya kemampuan mengembangkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan menata kehidupan yang dapat berintegrasi secara kultural dengan sistem internasional, yang ditandai dengan kinerja institusi di dalam dan keluar harus rasional, dinamis dan kompetitif, serta moralitas yang tinggi, maka sudah seharusnya dilakukan re orientasi paradigma mulai paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan serta sosial.









DAFTAR BACAAN
Al Gazali, Al Iqtishad Fil Al I'tiqad, Maktabah Syubeikh, Kairo, tt
AL Gazali, Fadhailul Anam min Rasail Hujjah al Islam, Tunisia, tt
Ani M.Hasan, ; Profesionalisme Di Abad Pengetahuan , Jan 08, 2007 at 08:03 AM
Antonius Wiwan Koban; Kekerasan Struktural oleh Negara di Bidang Pendidikan ; http://www.sinarharapan.co.id/berita/0506/30/opi01.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Chaos_theory
http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi
http://www.ditpertais.netHuzni Thoyyar; Model-Model Integrasi Ilmu Dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam (Survey Literatur Terhadap Pemikiran Islam Kontemporer)
Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia : Pertautan Pengetahuan dan kepentingan, Kanisius, Yogjakarta, 1992
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999
Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, Kairo, 1994
Murad Wahbah, et.All., Al Qamus Al Falsafi, Kairo, 1966
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan kemoderenan, Paramadina, Jakarta,
Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas , Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2005 , Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta
Pusat Kurikulkum Balitbang Depdiknas; Makalah Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);2006
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional