PENDAHULUAN
Berdasarkan sensus tahun 1980 penduduk Kalimantan Selatan berjumlah 2.070.822 jiwa 98 % beragama Islam.1 Di tengah masyarakat yang cukup agamis itu ditemui banyak kegiatan pengajian keagamaan di antaranya pengajian Ilmu Tauhid. Pengajian Imu Tauhid ini telah berlangsung lama dan mendapat perhatian kaum muskimin. Pengajian itu tidak lepas. Dari kitab-kitab dasar yang digunakan.2 Kitab-kitab Tauhid yang digunakan itu umumnya mengacu kepada kitab Matan Umm al Barahim yang telah populer disebut Matan al Sanusi, karya Abi Abdillah bin Washy al Shaleh bin Yusuf al Sanusi al Maliki al Magribi al Tiimasani (al Jazair), wafat tahun 895 H,3 dan beberapa kitab keringkasan (khulusah), penjelasan (syarah) dan ulasannya (hasyiyah), termasuk beberapa kitab tauhid tulisan ulama Banjar (Pribumi).
Sebagai salah seorang warga masyarakat Kalimantan Selatan bersyukur dan merasa bangga sekali dengan banyak kegiatan pengajian Ilmu Tauhid tersebut, sehingga darinya diharapkan terbinanya katauhidan masyarakat dengan baik (muwahid), bebas dari paham primitip dan paham-paham lainnya yang bertentangan dengan tauhid. Kemudian diharapkan amal-amal shaleh sebagai “buah” dari tauhid atau imannya itu.
Hasil positif “pembinaan” tersebut memang sangat dirasakan, meskipun sisa-sisa paham primitipisme sebagi warisan nenek moyang tardahulu masih kelihatan terutama dalam upacara “adat” atau “lingkaran hidup” hal ini seperti ditunjuk oleh beberapa hasil penelitian mahasiswa dalam pembuatan skripsi, misalnya : Upacara Mandi Sembilan, Upacara Mandi Hamil, Upacara Mandi Pangantin di beberapa Kabupaten Dati II di Kalimantan Selatan, termasuk dala hal ini upacara bapalas dalam menanggulangi bencana di Desa Madang Kecamatan Keluayang diangkat oleh Ardiansyah Alumni Fakultas Dakwah IAIN Antasari. Apabila disorot dari Aqidah Islam beberapa unsur dari aspek upacaranya menunjuk paham dinamisme dan animisme. Hal terakhir ini termasuk tindakan syirik atau paling tidak menunjukkan kegejala-gejala kesyirikan.
Apakah hal ini merupakan indikator kurang efektifnya pengajian tauhid yang ada membina ketauhidan masyarakat dan membebaskan mereka dari paham-paham yang bertentangan dengan aqidah Islam, merupakan sebuah “tanda tanya” dan memerluka penelitian tersendiri. Dalam tulisan yang sangat sederhana ini penulis hanya ingin mendiskripsikan kitab-kitab tauhid yang dipergunakan dalam pengajian itu, kemudian mendiskripsikan gambaran isisnya dan dalil apa saja yang digunakan dalam memeperkuat uraian yang dikemukakan. Jadi sama sekali tidak bermaksud untuk “menilai” kitab yang ditulis para ulama dan al mukarramah tersebut, meskipun ada “kesan” yang mengatakan bahwa kitab-kitab tersebut untuk dekade sekarang ini hanya memberi kepuasan rasio, dan tidak pernah memberikan spiritual. Karenanya muncul beberapa pemikiran, bahwa kitab-kitab dasar sebagai pegangan pengajian tauhid itu untuk saat sekarang dirasakan kurang memadai lagi dan menghendaki pembaharuan. 4 pada aspek-aspek tertentu.
KITAB – KITAB TAUHID POPULER
1. Gambaran umum
Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Ushuluddin tahun 1982 dengan sampel lokasi kabupaten Hulu Sungai utara, Kabupaten Banjar dan Kotamadya Banjarmasin, ditemui ada 109 kelompok pengajian tauhid, dan tercatat ada 24 kitab tauhid yang dipergunakan.5 Kitab-kitab tersebut 6 ada 14 buah berbahasa Arab ada 10 berbahasa Melayu. Dari segi pengarang , ada 18 buah karangan ulama non pribumi dan ada enam buah karangan ulama Banjar(pribumi). Dari segi isi, seluruhnya mengacu kepad pemikiran Abi Abdillah Muhammad bin Yusuf al Sanusi salah seorang tokoh aliran Asy’ariyah (ahlusunnah) 7 yang tertuang dalam karyanya bernama Matan Umm al Barahim. Karena beberap karakteristik alairan Asy’ariyah yang bercorak Sanusyiah (ahlusunnah) yang berkembang dalam masyarakat Islam di Kalimantan Selatan adalah aliran Asy’ariyah yang bercorak Sanusiyah. 8
2. Kitab Tauhid yang terbanyak digunakan
Diantara 24 tauhid tersebut, yang terbanyak digunakan : empat yang berbahas Arab dan
a. Yang berbahasa Arab
1). Kifayatul al ‘Awam karya Syekh Muhammad al Fudhali cetakan Syirkah Maktabah Indonesia, Cerebon, tanpa tahun, terdiri 88 halam dilengakapi daftar isi di bagian belakang dan tanpa bab. Isi ringkasannya : pembagian hukum (akal, syara’, adat), pembagian sifat Tuhan yang dua puluh (wajib, mustahil, harus), tentang rasul dan sifat-sifatnya, sedikit tentang iman kepada qadha dan qadhar. Di bagian akhir dikemukan tentang definisi ima. Dalil yang memperkuat uraian umumnya terdiri dari dalil aqli dan hanya dua ayat al Qur’an yang merupakan dalil naqli, yaitu di halaman 58 dan 70
2). Al Syarkawi ‘Ala al Hudhudi karya SyekhAbdullah al Syarqawi, terbitan Dar al Ihya al kutub al Arabi Isa bab al Halabi wa Syirkah. Kitab terdiri dari 100 halaman ini tanpa daptar isi dan bab, uraiannya bersambung terus menerus. Isinya ampir sama dengan kitab nomor satu diatas, kecuali memasukkan sekilas tentang iman kepada Malaikat, Kitab, dan hari akhir (halaman : 126) dan tidak memuat tentang iman kepada taqdir. Dalil yang dipergunakan untuk memeprkuat uraian umunya adalah dalil aqli, yang berupa dalil naqli hanya dua ayat al Qur’an di halaman 109 dan 111, dan sebuah hadits Qudsi di halaman 118.
3). Aqidah al Sanusiyah Matan Umm al Barahim oleh Abi Abdillah Muhammad al Sanusi., dicetak olah Syirkah Bankul Indah Surabaya, tanpa tahun. Halaman berjumlah 32 halaman , tanpa daftar isi dan bab. Dari kitab (Matan al Sanusiyah) inilah para ulama mengulasnya berupa khulasah (ringkasan), syarah (penjelasa), maupun hasyiyah (ulasan-ulasan). Isinya menampilkan bagian hukum, siaft Allah yang dua puluh, sifat-sifat rasul, pembagian-pembagiannya. Menyebut juga masalah iman kepda malaikat, kitab dan hari akhir, tanpa uraian dan tidak menyinggung masalah iman kepada taqdir.
Khusus terbitan Bankul Indah Surabaya ini, huruf/bahasa Arabnya ditulis agak besar dan jarang, dibawahnya diberi arti dengan tulisan Arab Melayu. Dalil yang dipergunakan untuk memperkuat uraian umumnya dalil aqli, dan hanya ada satu firman Allah berupa hadits Qudsi di halaman 19.
4). Hasyiyah al Dusuki al Umm al Barahim, karya Syekh Muhammad al Dusuki, cetakan Maktabah Tsiqafiyah Syirkah ‘Ulwi
a. Yang berbahasa Arab Melayu karya Ulama banjar
1). Kifayatul al Mubtadiien Fi I’tiqad al Mu’minin, karya H.Abdurrahman bin H.Muhammad Ali Sungai Banar Amuntai Hulu Sungai Utara. Diterbitkan atas izin H.Ibrahim Zuhri Mahfudz Banjarmasin, tanpa tahun. Kitab setebal 43 halaman ini tanpa daftar isi dan bab kecuali ada pasal-pasal. Isinya : pembagian hukum, sifat Allah dan Rasul dan pembagian-pembagiannya. I’itqad Ahl Dhalalah dan Ahl Sunnah, faedah memeliharanya, kelebihan Zikrullah, di akhir dengan fadhilat bacaan-bacaan tertentu. Uraian tentang sifat Allah dan Rasul dikuatkan dengan dalil aqli dan dalil naqli, meskipun tanpa menyebut
2). Siraj al Mubtadiien Fi ‘Ada’id al Mu’minin karya H. Asy’ari bin H.Sulaiman, Tangga Ulin Hulu Sungau Utara ,cetakan VIII tahun 1975/1995. kitab terdiri dari 65 halaman tanpa daftra isi dan bab. Isinya setelah pembagian hukum adalah uraian tentang sifat Tuihan dan Rasul kemudian pembagian-pembagiannya, sekilas tentang iman kepada malaikat. Iman kepada taqdir tidak disinggung-singgung untuk menguatkan uraian terutama tentang sifat Allah dan Rasul didukung dalil aqli dan naqli, selebihnya hanya dalil aqli kecuali ada satu ayat tentang malaikat di halaman 60 menyebutkan bahwa tidak ada yang tahu tentang bilangan malaikat kecuali Allah, itu pun tidak menyebut surat dan nomor ayat termasuk tidak memberikan tafsirnya.
3). Hidayat al Mubtadiien dan Tuhfat al Ikhwan karya H.Muhammad Sarni bin H.Jarmani bin H.Muhammad Siddiq al Alabi, Amuntai Hulu Sungai utara. Diterbitkan oleh toko buku Murni Banjarmasin. Kitab yang masing-masing setebalnya 16 dan 48 halaman itu dicetak menjadi satu. Untuk buku pertama tanpa daftar isi dan bab, untuk buku kedua mempunyai daftar isi meskipun tidak ada bab. Kedua kitab tesebut berisi uraian tentang sifat dua puluh, rasul dan sifat-sifatnya, iman kepada malaikat, kitab dan hari kiamat, begitu juga dengan qadha dan qadar 9. pembahasan tentang sifat dua puluh didukung dalil aqli dan naqli tidak menyebut
4). Miftah al Jannah karya Muhammad Thayyib bin Mas’ud al Banjari, cetakan Maktabah Ahmad bin Sa’ad Nabhan wa Auladuh, Surabaya, tanpa tahun. Kitab setelab 43 halaman ini disertai dengan daftar isi di bagaian belakang. Isinya : pembagian hukum, masalah sifat dua puluh, sifat rasul yang hanya terdiri dari sidiq, amanah dan tabligh tanpa fathanah. Iman kepada malaikat, kitab dan hari akhir disebutkan hanya selintas, sedangkan iman kepada qadha dan qadar sama sekali tidak ada. Di bagian lainnya berisi uraian tentang fiqih dan tajwid yaitu halaman 27 sampai 43. Uraiannya ada bab dan pasal-pasal. Dalil pendukung uraian,umumnya terdiri dari dalil aqli. Dalil naqlinya minim sekali, hanya ada ayat al Qur’an di halaman 10, 12 dan 13, ditemukan juga sebuah hadits di halaman 14 dan sebuah hadits Qudsi di halaman 12.
5). Risalah Khulasah karya H. Saberan bin H.Kaderi Antasan Kecil Barat Banjarmasin., tanpa menyebutkan penerbit dan tahun terbitnya. Sesuai namanya Risalah Khulasah yang berarti risalah ringkas terdiri 16 halaman. Kandungan isinya diwakili pembagian sifat Tuhan kepada istigna dan iftiqar, kemudian baru uraian tentang sifat dua puluh, tentang rasul dan sifat-sifatnya, sekilas tentang iman kepda malaikat, kitab dan hari kiamat. Iman kepada Qadha dan Qadar tidak disinggung-singgung. Dalam mengemukkan uraian menggunakan dalil aqli dan sedikit dalil naqli yaitu berupa dua ayat al Qur’an di halaman 4 dan 9 kemudian ada sebuah hadits di halaman 11.
Demikian diskrpsi singakt kitab-kitab tauhid yang populer dipergunakan dipengajian-pengajian tauahid di kalimantan Selatan. Apabila dilihat dari segi sistematika, isi dan dalil yang dipergunakan dapat dirangkum bahwa pada umumnya kitab-kitab tersebut kurang sistematika (tanpa daftar isi, tanpa bab tanpa pasal ), hal ini menyuitkan pembaca dan meyulitkan mecari masalah-masaah tertentu dengan cepat. Isinya pada umumnya terdiri dari : pembagian hukum (akal, syara’, adat) kemudian uraian tentang sifat-sifat Allah dan pembagian-pembagiannya, sifat-sifat rasul, jumlah dan nama-nama mereka, kema’suman dan kemukzijatannya. Kurng/sedikit sekali dibicaran tentang iman kepada malaikat, kitab dan hari kiamat. Khusus iman kepada qadha dan qadar umumnya tidak disinggung-singgung. Dalil untuk yang digunakan memperkuat uraian umunya dlah dalil aqli, kurang sekali menggunakan dalil naqli berupa ayat al Qur’an maupun al hadits. kecuali kitab tulisan ulama Banjar yang agak banyak memuatnya itupun tanpa menyebutkan
BEBERAPA PEMIKIRAN
1. Cara mengenal Allah
Tauhid secara bahasa berarti “mengesakan” yaitu mengesakan Allah, mengesa- kan Allah dalam aqidah Islam berarti meng’itiqadkan keesaan Allah, yaitu bahwa Dia Tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Pengakuan tersebut merupakan ajaran yang bersifat esensial dalam Islam. Karenany begi Nabi Muhammad SAW. diangkat menjadi rasul, seru utamnya adalah penaklukan penyembahan berhala dan pernyataan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang aha Esa. 10 dan setiap manusia pada prinsipnya dituntut untuk mengi’tiqadkannya.
Sebagai “modal dasar” pengakuan itu, sejak dini, manusia dibekali oleh Allah kesiapan alami untuk menesakan-Nya (Q.S. Al A’araf : 172). “Kesiapan alami” itupopuler dengan sebutan “fitrah”, sebagaimana sabda Rasulullah : Setip manusia lahir dalam kondisi fitrah. 11 Fitrah adalah potensi dasar yang ada dalam jiwa seseorang sejak masa azali. 12 dalam diskusi dosen-dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari tahun 1991 disimpulkan, bahwa fittrah itu adalah potensi dasar yag bersih bagai tabularasa yang menerima/mengakui ada dan esa-Nya Allah.
Fitrah itu dalam perkembangannya mendapat pengaruh intren maupun ekstren sesuai pola pikir manusia dan perkembangan zaman.
Membangun umat tauhid (mu’minun haqqa) yang bebas dari tidakan kesyirikan adalah kewajiaban kita semua, dan hal ini antara ain salah satu sebab dilaksanakannya pengajian tauhid di kalimantan Selatan khususnya, sejak dulu hingga sekarang dengan leteratur rujuian seperti yang dikemukakan di atas.
Salah satu karakteristik pokok “mu’minun haqqa” adalah berimana kepada Allah, yang menurut Said Sabiq disebutnya makrifatullah atau mengenal Alla. 13 Untuk bisa mengenal Allah dalam arti “menyakini ada-Nya, menyakini esa-Nya dan Dia memiliki sifat kesempurnaan”ada beberapa cara, dan di dalam literatur tauhid populer di kalimantan Selatan alternatif yang diajukan adalah memakrifati sifat-sifat Allah.
Semua kitab tauhid populer yang ada di Kalimantan Selatan menguraikan panjang lebar tentang sifat-sifat Allah ini, dan dikenal dengan pelajaran “Sifat Dua Puluh”. Dikatakan bahwa Tuhan memiliki 20 sifat yang wajib, 20 sifat yang mustahil dan sifat yang jaiz (harus). Sifat dua puluh tersebut dibagi kepada : nafsiyah yaitu wujud, salabiyah yaitu qidam, baqa, mukhalafatuhu lil hawadits, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyat, ma’aani, yaitu qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam. Kemudian ma’nawiyah yaitu qadirun, muridun, ‘alimun, hayyun, sami’un, bashirun dan mutakallimun.
Mengenal Allah dengan memakrifati sifat-sifat-Nya sebagaimana yang dikemukakan dalam kib-kitab tauhid populer yang ada di Kalimantan Selatan, adalah salah satu alternatif, dan masih ada alternatif lain yang tidak disinggung dalam kitab-kitab tersebut. Menurut Said Sabiq mengenal Allah bisa dilakukan dengan cara : menggunakanakal fikiran dan memeriksa secara teliti apa-apa yang diciptakan Allah, kemudian emakrifati nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. 14
Dalam al Qur’an ditemukan banyak ayat yang mengajak manusia untuk memikirkan memikirkan alam ii, ayat-ayatnya disebut dengan “ayat-ayat kauniyah”. Misalnya tentang apa saja yang ada dibumi ini (Q.S. Yunus :101, al A’araf : 185). Adanya pergantian malam dan siang (Ali ‘Imran : 190) bagaimana Tuhan menciptakan manusia pertama (Q.S. An Nisa : 1, as Sajadah : 7, al Hijr : 28 – 29) , bagaimana Tuhan menciptakan manusia keturunan manusia pertama (as Sajadah : 12-14, as Sajadah : 9).
Mengenal Allah dengan memikirkan kenyataan alam sebagai yang ditunjukkan oleh “ayat-ayat kauniyah” secara tegas tidk disinggung oleh kitab-kitab tauhid populer tersebut.
Selanjutnya mengenal Allah dengan memakrifati nama-nama-Nya 9al asma al husna) dasarnya tegasnya sekali dalam al Qur’an.
Al Asma al Husna itu dasar hadits nabi ada 99 : dan terbagi kepada tiga : ada nama Zat, ada nama sifat seperti as Sami’ dan ada nama perbuatan (kerja)seperti al Jaami’. Dengan demikian menurut Abdul Muhaimin As’adal asma al Husna bisa sebagai penjabaran dari Sifat Dua Puluh. 16
Mengenal Allah melalui al asma al husna tidak disinggung-singgung dalam kitab-kitab tauhid populer sebagai salah satu alternatif. Hal ini barang kali merupakan salah satu penyebabnya. Pendekatan al asma al husna sebagai salah satu cara mengenal Allah “kurang mendapat tempat dikalangan umat Islam”. 17 satu-satunya cara untuk mengenal Allah menurut kitab-kitab tauhid populer tersebut adalah memakrifati sifat-sifat-Nya, dan dalil yang digunakan untuk memperkuat uraian umumnya dalah dalil aqli.
Dalil aqli tampak sekali mendominasi uraian dalam kitab-kitab Tauhid populer tersebut, dalam matan Sanusiah sendiri maupun dalam Khulasah Syarah dan Hasyiyahnya, kecuali kitab-kitab karya orang pribumi di man dalil naqlinya sedikit agak banyak.
Minimnya dalil naqli dalam kitab matan dan syarahnya kentara sekali. Dalam kitab nomor 1) Hanya ada 2 ayat al Qur’an, begitu juga dalam kitab nomor 2) Kecuali juga ada 2 buah hadits qudsi. Kitabnomor 3)
Allah itu Maha Gaib, karena itu pembuktian ia ada dan Maha Esa membutuhkan dalil yang bukan saja memuaskan rasio namun qalbu atau pritual sekligus. Karenanya memerlukan dalil aqli dan naqli.
Dalil aqli dalam literatur-literatur tauhid populer sudah memadai untuk membuktikan ada dan esa-Nya Allah. Meskipun dalil kesaksian, kejadian (secara luas), inayah, burhanul gayah dan beberapa pengakuan intelektual modern seperti yang sering disinggung dalam beberapa kitab aidah, kurang dimanfaatkan, padahal dalil-dalil tersebut juga tergolong klasifikasi dalil aqli.
Dalil naqli berkenaan dengan iman kepada Allah, lebih lagi tentang sifat-sifat Allah banyak sekali ditemukan di dalam al Qur’an, dan dalil-dalil ini umumnya tidak dimuat dalam kitab-kitab tauhid populer tersebut.
Al Qur’an menyatakan bahwa Allah itu ada (Q.S. as sajada : 4 al a’raf : 45) kekal (Q.S. ar rahman : 27) bersalahan yang baharu (Q.S. as syura :11) Maha Esa (Q.S. al ikhlas :1- 4) kuasa (Q.S. al baqarah : 255) berkehendak (Q.S. yasin : 82) tahu/mengetahu (Q.S. al mulk : 13) hidup (Q.S. al baqarah : 255) mendengar dan meliohat (Q.S. al isra :1) berkata-kata (Q.S. an nisa : 164) dan lain-lain. Ayat-ayat ini umumnya tidak disebut dalam kitab-kitab tauhid populer, karena itu dikatakan ajaran sifat dua puluh karya as Sanusi, khulasah syarah dan hasyiyahnya mengacu kepada hukum akal 18 dan beralasan jadinya pendapat yang mengatakan bahwa kebanyakan etode yang digunakan umat Islam untuk mengenal Allah selama ini didominasi oleh pendekatan rasional 19 meskipun pada dasarnya metode tersebut diakui sebagai salah satu alternatif untuk mengenal Allah.
2. Iman kepada rasul
Iman kepada rasul adalah aspek terpenting dalam aqidah Islam setelah iman kepada Allah, yaitu bahwa Allah telah mengutus sejumlah rasul/nabi yang berfungsi memberi petunjuk kejalan yang lurus.
Iman kepada rasul ini cukup banyak diuraikan didalam kitab-kitab tauhid populer yang ada di Kalimantan Selatan. Menyangkut inti risalah yang dibawa, jumlah, sifat-sifat, rasul yang ulul azmi, kemukjizata, kemasuman, dan lain-lain, lebih lagi menyangkut nabi terakhir Muhammad SAW. Dalam uraian tidak disinggung aspek praktis dari iman kepada rasul-rasul itu, dan pembahasannya pun umumnya didukung oleh dalil aqli.
Sebenarnya banyak ayat yang menceritakan tentang rasul ini, secara umum maupun secara khusus terhadap nabi Muhamad SAW. Inti ajaran yang dibawa yaitu agar menyembah Allah dan jang mempersekutukann-Nya (Q.S. al a’raf :73, 85, al anbiaya : 25, an nisa : 136) tentang jumlah yang sebagian diceritakan dan sebagian tidak (Q.S. al mu’min : 78, yunus : 47, fathir : 24, al baqarah : 253) sifat-sifat mereka : siddiq ((Q.S. as shaffat : 37, al fath : 28, yasin :52). Amanah (Q.S. ad dukhan : 18), tabligh (Q.S. al ahzab : 39), fathanah (Q.S. al anbiya : 52), punya sifat kemanusiaan namun tidak menurunkan artabat mereka (Q.S. al furqan : 20), rasul ulul azmi (Q.S. al ahqaf), mukjizat nabi Shaleh (Q.S. as syu’ara : 153-156), mukjizat Musa (Q.S. as syu’ara : 29-33), mukjizat Isa (Q.S. ali imran : 49), mukjizat nabi Muhammad SAW berupa al Qur’an (Q.S. hud : 13-14, al baqarah, 23, al isra : 88) dan lain-lain
Iman kepada rasul bukan sekedar mengahafal dan mengenal nama dan riwayatnya secara teoritis, namun menuntut juga aspek praktisinya, menyadiri dan menyakini petunjuk dibawahnya mengabil iktibar, tentang kesucian, perjuangan dan akhlak-akhlaknya kemudian menubuh-suburkan dalam diri. 20 Lebih lagi terhadap nabi Muhammad SAW kita wajib meneladaninya, akhlaknya, hubungannya dengan Allah dan dengan manusia (Q.S. al ahzab : 21)
Dalil naqli dan aspek praktisi dari iman kepada rasul tersebut tidak banyak diungkap dalam literatur tauhid populer.
Menyangkut pelajaran tauhid yang uraiannya didominasi dalail aqli dan sedikit sekali menggunakan dalil naqli(al Qur’an maupun al Hadits) Muhammad Al Ghazali dalam kitabnya Aqidat al Muslim berkomentar : menyakasikan hasil yang dicapai pelajaran-pelajaran tauhid dari kitab yang ditentukan itu meterinya memang dapat melatih otak, namun terputusnya hubungan dengan qalbu. Seseorang siswa (mahasiswa) mampu menyebut dalil adanya Allah tetapi tidak terasa dalam jiwanya kebesaran al Khali, tidak ada rasa cinta dan takut dan tidak mampu memotovasi seseorang untuk berbuat taqwa dan menjauhi perbuatan dosa.
Karena itu kanya, ia akan berusaha embasahi kekeringan otak itu dengan siraman yang hidup….. yaitu menjadikan keterangannya dari ala Qur’an dan al Hadits 21 disamping dall aqli tersebut.
Apa yang disinyalir Muhammad al Ghazali ini senada dengan keluhan sebagai dosen Fakultas Ushuluddin, juga senada denga keluhan dosen Imu Tauhid (Ilmu kalam) seIndonesia pada waktu pertemuan Konsersium Ilmu kalam Juli 1993 di Ciawi Bogor. Hal ini adalah masalah kita bersama yang perlu dicarikan pemecahannya.
3. Arkan al iman
mauatan lokal ilmu tauhid (agak meluas sebutlah Ilmu Aqidah/Ilmu Ushuluddin) mencakup : makrifah al mabda’, makrifah al wasithah, makrifah al ma’ad.22 Sebutan lain al Ilahiyat, al Nubuwat, al Rohaniyat, al Sam’iyat.23 Menurut Said Sabiq disebutnya enam makrifah yaitu makrifah kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari kiamat, dan taqdir 24 dan dalam masa tersusunnya tradisi keilmuan, aqidah Islam itu ikut tersusun yang kemudian dikenal dengan arkan al Iman 25 seperti susunan enam makrifah di atas.
Iman kepada Allah dan rasul banyak disinggung dalam kitab-kitab tauhid populer, namun enam rukun iman lainnya sedikit sekali diungkap apalagi tentang iman kepada qadha dan qadar. Kalau begitu demikian Drs.H.M.Laily Mansur LPH. Masyarakat kalimantan Selatan hanya memahami aqidah Islam secara agak luas dalam aspek Tuhan dan raul-Nya saja, sedang aspek-aspek lain seperti malaikat, kitab, hari kiamat dan taqdir terlalu amat sedikit dan tidak memadai. 26 Memahami aqidah Islam memerlukan keutuhan dan keterpaduan.
Ajaran Islam secara garis besar terdiri dari aqidah Islam syari’ah. Aqidah yang bersifat teoritis dan dituntut untuk dipercayai, diidentikkan oleh al Qur’an dengan sebutan iman, dan syari’ah yang berupa hukum agama yang diamalkan dalam perbuatan amal dual hal yang berkaitan erat. Iman menduduki posisi dasar dan amal menduduki posisi cabang, keduanya bagai buah dengan pohon. 28 Begitu eratnya hubungan antara kedunya, maka banyak ditemuai dalam al Qur’an lafal “amanu” lalu diikuti dengan lafal “amalusshalihat” (Q.S. an nahl : 97, al baqarah : 125, maryam : 96 gafir : 58 al anbiya : 21, al ‘ashar : 2-3) dan sebagainya
Maksudnya, apabila seorang telah beriman keada Allah dan para rasul yang diutus-Nya untuk menyampaikan risalah-Nya kepada manusia melalui malaikat yang dituangkan dalam kitab suci-Nya yang bersifat informasi tentang danya kehidupan sesudah mati serat informasi tentang segala sesuatu yang telah direncanakan dan ditentukan Allah, pasti mendorongnya untuk melakukan amal shaleh, mencari ridha Allah dan memepersiapkan diri buat menemui-Nya dan menepuh jalan lurus-Nya. Hal ini sesuai dengan tujuan diciptakan-Nya manusia untuk mengabdi kepada-Nya (Q.S. al zariyat : 56). Iman hendaknya dii’tiqadkan dalam qalbu, dibuhul dalam hati, dipegang dalam perasaan. Dengan kata lain iman harus terbukti dengan amal shaleh. Menurut H.Abd. Malik Amad, iman kepada Allah dengan roh, rohani, dengan pikiran, ru’yan, dengan perasaan, zuqan dan dengan perbuatan, wa’amalan. 29 Hal ini seperti dikaitkan dengan aktivitas kehidupan terkandung makna, bahwa setiap gerak dan aktivitas berpusat pada kesatuan pokok yang datang dari Allah. Misalnya berpakian, garis pokok berpakian hanya satu yang menutup aurat. Model dan potongan boleh berbeda. Bila tidak memenuhi kriteria “menutup aurat”, bukanlah pakian umat tauhid lagi dan dianggap sudah keluar dari pimpinan tauhid, gerak dan cara hidup hendaklah disesuaikan dengan apa yang dikehendaki Allah, inilah akhlak umat tauhid namanya.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Secara umu, kitab-kitab tersebut mengacu kepada pemikiran al Sanusi salah seorang tokoh aliran Asy’ariyah (ahlussunnah) yang termuat dalam karyanya Matan al Sanusi/Matan Umm al Barahim. Kitab-kitab tersebut berisi : pembagian hukum, sifat Allah dan rasul dan pembagian-pembagiannya, sedikit sekli menyinggung iman kepada malaikat, kitab, hari kimat, apalagi tentang taqdir. Inti uraiannya hanya mengenal Allah dengan memakrifati sifat-sifat-Nya, dan iman kepada rasul secara teoritis tanpa menyinggung aspek praktisinya.
Dalil yang digunakan dalam memperkuat uraian umumnya didominasi oleh dalil aqli, dalil naqlinya sedikit sekali.
2. Saran – saran.
Hendaknya tetap menjadikan kitab - kitab tesebut sebagai rujukan dalam pengajian dengan menambah uraian pada aspek-aspek tertentu sebagai kelengakapn dan penyempunaan. Karena alternatif yang diajukan kitab tersebut dalam mengenal Allah hanya dengan memakrifati siaft-sifat-Nya, maka dalam uraian perlu ditambah dengan alternatif lain, yaitu memikirkan kenyataan-kenyataan alam sebagainana ditunjuk oleh ayat-ayat kauniyah dan memakrifati asma-asma-Nya.
Dalil yang digunakan hendaknya berimbang antara dalil aqli dan dalil naqli, dengan demikian diharapkan akan memberikanb kepuasan rasio dan spiritual. Dalil aqli yang sudah ada tetap dipertahankan dengan menambah dalil kesaksian, dalil inayah, dalil kejadian dan pengakuan intelektual modern yang masih termasuk klasifikasi dalil aqli, menyangkut dalil naqli disamping menampilkan ayat/hadits yang ada hubunganya dengan pembahasan juga melengakapi dengan terjemah dan penjelasannya (tafsir).
Karena kitab-kitab tersebut umunya hanya memuat aspek iman kepada Allah dan rasul, dirasa perlu adanya kitab yang memuat aspek-aspek aqidah Islam secara lengakap (arkanul Islam) sehingga masyarakat mempunyai pemahaman yang utuh tentang aqidah Islam sehingga segala sikap dan tingkah lakunya bersumber dari aqidahnya itu.
CATATAN KAKI
1. Monografi Perikanan Laut Dati Kalimantan selatan : oleh Dinas Perikanan Laut Kalimantan Selatan, 1972, hlm. 16
2. H.M.Laily mansur, Pengajian Ilmu Tauhid dan Pengembangannya, Makalah Diskusi dosen-dosen Fakultas Ushuluddin, IAIN Antasari, Banjarmasin, 1989 hlm. 1
3. Ibid, hlm.13
4. Ibid, hlm.1
5. Tim Penelitian Faultas Ushuluddin, Aliran-Aliran Ilmu Tauhid yang Berkembang pada Masyarakat Islam Kalimantan Selatan, IAIN Antasari, Banjarmasin, 1982, hlm.12
6. Kitab-kitab tersebut adalah : Kifayatul al Awam, Hasyiyah ala matan Al Sanusiayah, Hasyiyah ala al Hudhudi, al Umm al Barahim, Sirajul Huda, Aqidat al Najin, Syarah Umm al Barahim, Kifayatul al Mubtadiien, matan Fi Syaralal Daur al Farid, Miftah al Jannah, Syarah Tijan al Durar, Tuhfah al Ikwan, Kitab Sifat Dua Puluh, Fath al Majid Syarh, Kitab al Tauhid, Al Aqidat al Islamiyah, Risalat al Khulasah, Nur al Zhalam, al Hushun al Hamidiyah, Hasyiyah ala Kifayatul al Awam, Ibtadaau al Tauhid, al aqaid al Islamiyah dan al Ibanah an Ushul al Diyanah.
7. A.hanafi, Pengantar Theologi Islam, Pustaka al Husna, jakarta, cet II, 1980, hlm. 110.
8. Tim penelitian Fakultas Ushuluddin, op cit, hlm. 29
9. Uraian tentang iman kepada qadha dan qadar sediti agar panjang di banding kitab lain. Dikatakan, wajib kita mengi’tiqadkan bahwa segala yang berlaku di alam ini iktiar atau idhtirar semuanya ditaqdirkan Allah dengan Qudrat-Nya yang Qadim dan Iradat-Nya yang azali, bukan dengan qudrat dan iradat yang baharu sebab segala yang baharu sekali-kali tidak memberi bekas. Firman Allah “Dan Allah lah yang enciptakan kamu dan menciptakan perbuatan-perbuatan kamu”.
10. Ali Mutafa al Gurabi, Tarikh al Firad al Islamiyah. M. Muhammad Ali Sabih wa Auladuh, Mesir, thn, hlm. 8
11. Muslim, Shahih Muslim, PT.Al Ma’rif, Bandung, tth, hlm. 495
12. Ahmad Mustafa al Maragi, Tafsir al maragi, juz XXI, tth. Hlm. 117
13. Said Sabiq, Al Aqa’id Al Islamiyah, Terj.Mohd Abdai Rathomi, CV. Diponegoro, Bandung, cet.I, 1974 hlm. 31
14. Ibid, hlm. 31
15. H.M.Zurkani Jahja, Mengenal Allah Dengan Al Asma Al Husna (Sebuah Tinjauan Tentang dasar dan Relevansinya), Makalah Diskusi Dosen-Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari, Banjarmasin, 1988, hlm. 8
16. Abd.Muhaimin As’ad, Khasiat dan Fadhilat al Asma Al Husna, Bulan terang 99, Surabaya, 1986 hlm. 8, menurut Said Sabiq, al asma al husnatersebut, yang berhubungan dengan Zat al khalik, al mushawwir, yang berhubungan dengan sifat kecintaan dan keramahmatan, al rauf, al lattif, yang berhubungan dengan keagungan dan kemuliaan Allah, al azhim, al qawy yang berhubungan dengan ilmu-Nya dan cara Allah, al rabib, yang berhubungan dengan kekuasaan dan cara-Nyamengatur sesuatu, al qadir, al malik dan lain-lain.
17. H.M.Zurkani jahja, op cit, hlm.2
18. Ibid, hlm. 2
19. Ibid, hlm.2
20. H.Abd. Malik Akhmad, Tauhid Membina Pribadi Muslim dan Masyarakat, al Hidayah, Jakarta, cet IV, 1980, hlm.93
21. Muhammad al Gazzali, Aqidah al Muslim, dar al bayan, Kuwait, 197031390, hlm.8
22. H.Abdul Muthalib Muhyiddin, Risalah Ushuluddin, Warga Richa, Amuntai, 1968, hlm. 24-24
23. Syekh Hasan al Banna, Aqidah Al Islam, Terh. Mohd. Hasan Baidawie, PT. Al Ma’arif, Bandung, cet, I 1980, hlm. 14
24. Said Sabiq, op cit, hln. 18 - 19
25. H.M. Laily Mansur, op cit, hlm. 8
26. Ibid, hlm. 4
27. Hamka, Studi Islam, Pustaka Panjismas, cet . II,
28. Humaidi Tatpangarsa, Kuliah Akidah Lengkap, Bina Ilmu, Surabaya, cet. IV, 1982, hlm. 37
29. H.Abd.Malik Ahmad, op cit, hlm. 33
ISRAILIYAT : SUATU PROBLEMA DALAM TAFSIR
Oleh : H.Mohd.Saberan Afandi
I. PENDAHULUAN
Keberadaan Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir Al Qur’an merupakan suatu kenyataan. Sejak ‘ashru al tadwin 1 sampai sekarang berpuluh-puluh macam kitab tafsir telah dihasilkan oleh para pengabdi Al Qur’an, namun sebagian besar di dalamnya terdapat apa yang disebut “Israiliyat” yang dianggap sebagai unsur-unsur Yahudi dan Kristen dalam penafsiran Al Qur’an. Memang tidak sama intensitas pemuatan Israiliyat dalam kitab-kitab tersebut, sesuai dengan sikap atau pandangan penulisnya terhadap masalah itu. Malah dalam Tafsir Al Manar, dimana penulisnya sangat getol menghantam keberadaan Israiliyatdalam kitab-kaitab tafsir terdahulu, ternyata juga terdapat di dalamnya sumber-sumber Israiliyat dalam mentafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al Qur’an.2 Kenyataan ini mengandung suatu pertanyaan pokok yang mendasar : “Apkah sebenarnya pengertian (definisi) Israiliyat sebagai terminologi dalam Ilmu Tafsir Al Qur’an ?”
Seiring dengan pertanyaan pokok tersebut di atas, terseret pula suatu pertanyaan lain yang erat sekali hubungaannya, yaitu : “Bagaimana sikap yang besar terhadap Israiliyat tersebut dalam kerangka penafsiran Al Qur’an” Sebenarnya Rasulullah telah memberikan semacam pegangan dalam menjawab pertanyaan terakhir ini. Antara lain sebagaimana yang dicatatkan oleh Imam Bukhary dalam Shahihnya, suatu riwayat dari Abu Hurairah RA. Sehubungan dengan tafsir ayat 136 Al Baqarah, di mana sahabat tersebut memberitahukan kepada Rasulullah bahwa Ahli Kitab membaca Kitab Taurat yang berbahasa “Ibrani dan mentafsirkannya dengan Bahasa Arab untuk konsumsi ummat Islam. Menanggapi berita tersebut Rasulullah SAW lalu bersabda :
Sikap tidak membenarkan dan tidak mendustakan terhadap apa saja yang diterima dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagaimana yang ditegaskan oleh hadits tersebut di atas, ternyata mengandung beberapa pertanyaan pula, antara lain : “Apakah sikap itu berlaku untuk semua berita, atau hanya untuk berita-berita tertentu saja ?”. Dan bagaimana terhadap berita-berita dari mereka yang ada konfirmasinya dari sumber Islami, apakah juga harus bersikap “tawaqquf” seperti itu. Atau dengan pertanyaan lain “bagaimana mengaplikasikan isi hadits tersebut dalam mentafsirkan Al Qur’an yang ada sumbernya dari Ahli Kitab ?”
Segala pertanyaan di atas, yang muncul disekitar pengertian Israiliyat dan sikap terhadapnya, inilah yang penulis anggap sebagai suatu problem dalam karya pentafsiran Al Qur’an. Dan tulisan ini berpretensi untuk mencoba membahasanya, meskipun dengan bahan yang sangat terbatas.
II. PENGERTIAN ISRAILIYAT
Menurut lexicologinya, Israiliyat adalah mashdar shina’y. dari Israil yang merupakan gelar Nabi Ya’kub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim As. Nabi Ya’kub adalah nenek moyang bagsa Yahudi, karena kedua belas bangsa Yahudi yang terkenal itu berinduk kepadanya.
Menurut Al Zahaby dalam bukunya yang berjudul Al Tafsir Wa Al Mufassirun Israiliyat secara sepintas mengadung pengertian : Pengaruh kebudayaan Yahudi dalam penafsiran Al Qur’an. Tetapi dia memberi pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai berikut :
Untuk menjelaskan pengertian ini, Al Zahaby menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebudayaan Yahudi dan kebudayaan Nasrani itu. Kebudayaan Yahudi menurut pendapatnya berpangkal pada Kitab Taurat yang diberitakan Al Qur’an sebagai suatu Kitab Suci yang diantaranya berisi macam-macam hukum syari’at yang diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi Musa AS.6 Kemudian Kitab Taurat dipergunakan sebagai predikat terhadap semua Kitab Suci Agama Yahudi, termasuk di dalamnya Kitab Zabur dan lainnya kemudian dikenal dengan sebutan : Kitab Perjanjian Lama. Di samping Taurat yang diterima bangsa Yahudi secara tertulis, mereka juga mempunyai pelbagai ajaran dan keterangan yang diterima dari Nabi secara lisan, dari mulut ke mulut, yang kemudian beberapa abad lamanya, dibukukan dengan nama Talmud. Selain itu bangsa Yahudi juga mempunyai kekayaan seni sastra mereka berupa seritera-ceritera, legenda-legenda, sejarah dan sebagainya. Semua itu memperkaya apa yang disebut “kebudayaan Yahudi” Adapun kebudayaan Nasrani menurut Al Zahaby berpangkal kepada Kitab Injil, yang didalam Al Qur’an diberitakan sebagai suatu Kitab Suci yang diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi Isa AS.7 Sedangkan Kitab-Kitab Injil yang Kanonik dikalangan Nasrani, termasuk di dalamnya Surat-Surat Rasul, yang kemudian dikenal dengan : Kitab Perjanjian Baru. Sedangkan Kitab Suci di kalangan Nasrani mencakup Perjanjian lama dan Perjanjian Baru. Di samping itu, mereka juga mengenal adanya pelbagai keterangan atau penjelasan dari Injil-Injil tersebut, berupa ceritera-ciritera, berita-berita, ajaran-ajaran yang semuanya mereka anggap diterima dari Nabi Isa. Inilah semua yang menjadi sumber kebudayaan Nasrani.8
Pengertian Israiliyat yang dikemukakn oleh Al Zahaby ini, nampaknya masih bersifat umum dan bebas nilai. Maksudnya, apa yang diterima dari sumber Yahudi dan Nasrani itu mencakup semua, termasuk di dalamnya yang berupa ceritera, legenda, sejarah, yang menyangkut hukum atau aqidah dan lain-lain. Begitu pula di dalam pengertian itu tidak ada penilaian, seperti yang bisa diterima atau yang ditolak.
Dalam makalahnya yang berjudul “Al Israiliyat Fi Al Tafsir Wa Hadits” yang disampaikan dalam Kongres IV Lembaga Riset Islam Universitas Al Azhar pada tahun 1968 Al Zahaby yang lebih mengkhususkan pengertian Israiliyat kepada : Ceritera atau berita yang diriwayatkan dari sumber Israil (Yahudi).9 Kekhususan pengertian Israiliyat di sini lebih sejiwa dengan pengertian sebelumnya, karena para sahabat Rasulullah yang pertama kali mengambil Israiliyat dalam penafsisran Al Qur’an hanya membatasi kepada ceritera-ceritera dan berita-berita para Nabi-Nabi terdahulu, atau hal-hal yang tidak mengenai hukum dan akidah.10 tetapi kemudian Al zahaby dalam makalah itu menjelaskan bahwa pengertian Israiliyat itu berkembang menuju kepada suatu pengertian yang berkonotasi jelek, yaitu :
Menurut Al Zahaby pengertian Israiliyat seperti yang dijelaskan terdahulu hanya kepada dongeng-dongeng kuno, baik yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani, maupun dari sumber lainnya seperti
Kalau diperhatiakan pengertian Israiliyat terakhir ini, nampaknya sudah keluar dari konteksnya semula, karena sumber Israiliyat mencakup semua sumber Yahudi dan Nasrani, maupun sumber-umber lainnya. Begitu pula pengertian terlalu ditekankan kepada penilaian yang bertumpu pada dampak negatifnya, dimana faktor subjektivitas seseorang sangat kuat bermain, sehingga terasa kurang ilmiah. Sebagai contoh aplikasinya ayat-ayat dari Perjanjian Lama yang dipergunakan untuk mentafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, tidak dianggap Israiliyat, kalau dianggap tidak membawa ekses bagi aqidah kaum Muslimin. Sebaliknya, bisa saja suatu hadits yang dianggap shahih, kalau dinilai bisa membahayakan aqidah kaum Muslimin, maka jadi dikategorikan ke dalam Israiliyat. Justeru itu, penulis menganggap pengertian Israiliyat yang terakhir ini, kurang tepat dan bisa membawa kepada kekacauan terminologi. Dan pengertian pertama yang dikemukakan Al Zahaby sendiri, dianggap lebih tepat, karena persyaratan sebagai suatu definisi yang sempurna lebih terpenuhi, khususnya syarat ‘jami’ dan mani’nya. Dan didasarkan atas pengertian inilah, tulisan ini diteruskan pembahasannya.
III. ISRAILIYAT DALAM DIMENSI SEJARAH
Suatu pembahasan Israiliyat, sulit melepaskannya dari dimensi sejarahnya. Karena aspek kesejarahannya dari Israiliyat bisa membantu tegaknya Israiliyat pada proporsi yang sebenarnya, sehingga dapat diberikan penilaian seobjektif mungkin. Tetapi karena luasnya pembahasan ini, di sini hanya dibatasi keadan dua hal yang dinggap penting, yaitu : latar belakang sejarah masuknya Israiliyat ke dalam penafsiran Al Qur’an dan mengenal beberapa tokoh penting di sekitar Israiliyat pada masanya yang pertama.
A. Latar Belakang Sejarah
Menurut Al Zahaby, salah satu sumber tafsir Al Qur’an pada Masa Sahabat ( ) adalah Ahli Kitab (Yahudi dan Nasarani). 13 Pendapat ini nampaknya didasarkan atas fakta sejarah, bahwa sementara tokoh-tokoh mufasir Al Qur’an pada masa itu ada yang bertanya dan menerima keterangan-keterangan dari tokoh-tokoh Ahli Kitab yang telah masuk Islam, untuk menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al Qur’an. Di antaranya, Ibnu Abbas yang terkenal sebagai tokoh mufassir terkemuka pada masa itu, banyak juga mempergunakan sumber ini dalam karya tafsirnya. 14
Berdasarkan pendapat ini, maka masuknya Israiliyat ke dalam penafsiran Al Qur’an sudah dimulai sejak masa sahabat, yaitu setelah Rasulullah wafat. Dan kalau dikaji faktor-faktor apa yang melatar belakangi tindakan para sahabat tersebut, maka dapat dikategoreikan dalam dua aspek besar : yaitu kultural dan struktural pada masa itu.
Yang termasuk aspek kultural, antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Secara umum kebudayaan bangsa Arab, baik sebelum maupun pada masa lahirnya agama Islam, relatif lebih rendah ketimbang kebudayaan Ahli Kitab, karena kehidupan mereka yang nomad dan buta huruf dan ilmu pengetahuan yang hampir mencekam seluruh penduduk. Meskipun pada umumnya Ahli Kitab di Arabia juga tak terlepas dari kehidupan nomad mereka, namun mereka relatif lebih mempunyai ilmu pengetahuan, khususnya tentang sejarah masa lalu sebagaimana yang diketahui oleh umumnya Ahli Kitab waktu itu. Justeru itu wajar adanya kecenderungan kebudayaan yang rendah menyerap kebudayaan yang lebih tinggi kalau keduanya bertemu dalam suatu dimensi ruang dan waktu tertentu. 15
2. Isi al Qur’an di antaranya mempunyai titik-titik persamaan dengan isi kitab-kitab terdahulu seperti Taurat dan Injil yang diperpegangi oleh Ahli Kitab pada masa itu utamanya pada ceritera-ceritera para Nabi dan Rasul terdahulu. Hanya saja berbeda dalam penyajiannya. Al Qur’an pada umumnya menyajikan secara Ijaz, sepotong–sepotong disesuaikan dengan tempatnya sebagai nasehat dan pelajaran bagikaum Muslimin. Sedangkan dalam Kitab Suci Ahli Kitab penyajian agak komplit seperti dalam penulisan sejarah. Justeru itu wajar kalau ada kecenderungan untuk melengkapi isi ceritera dalam Al Qur’an dengan bahan ceritera yang sama dari sumber kebudayaan Ahli Kitab. 16
3. Adanya beberapa hadits Rasulullah yang bisa diperpegangi para sahabat untuk menerima dan meriwayatkan sesuatu yang bersumber dari Ahli Kitab, meskipun dalam batas-batas tertentu, yang bisa dipergunakan untuk mentafsirkan Al Qur’an. Masalah hadits-hadits tersebut dibicarakan lebih luas dalam bagian yang lain dari tulisan ini. 17
Sedangkan dari aspek struktural dapat dikemukakan antara lain :
1. Struktur pemukiman penduduk
2. Adanya route perdagangan bangsa Arab, khususnya bangsa Quraisy yang berpusat di Mekkah sejak masa Jahiliyah ke utara dan ke selatan pada musim-musim tertentu, mengakibatkan pertemuan mereka dengan orang-orang Ahli Kitab di ujung route-route perdagangan tersebut. Hal ini memungkinkan adanya pengaruh kebudayaan Ahli Kitab kepada kebudayaan bangsa Arab.
3. Struktur sosial ummat Islam sejak masa Rasulullah, dimana didalamnya termasuk orang-orang Ahli Kitab yang telah menganut agama Islam. Malah diantara tokoh-tokoh mereka di kalangan Ahli Kitab itu mendapat kehormatan pula dalam masyarakat Islam, karena ketinggian ilmunya dan keteguhannya dalam mengamalkan ajaran islam. Justeru itu wajar sementara sahabat mempergunakan ilmu pengetahuan mereka yang lebih tinggi tentang ceritera-ceritera para Nabi di kalangan Bani Israil yang ada dalam kalangan masyarakat Islam sendiri (yang berasal dari Ahli Kitab) untuk memperjelas bagian-bagian tertentu dari ceritera-ceritera yang ada di dalam Al Qur’an.19
Meskipun di antara Mufassir pada masa sahabat ada mengambil dari sumber Ahli Kitab dalam menafsirkan Al Qur’an, namun masih sedikit sekali dan dalam batas-batas kebolehan yang digariskan oleh Rasulullah lewat hadits yang mereka perpegangi, Mislanya, mereka tidak menanyakan dari sumber itu tentang masalah hukum dan aqidah, kecuali hanya untuk konfirmasi semata ; mereka hanya menanyakan penjelasan terhadap ceritera-ceritera dalam Al Qur’an yang masih bersifat Mujmal ; mereka tidak menerima terhadap penjelasan Ahli Kitab yang bertentangan dengan hukum dan aqidah yang sudah ditetapkan.20
Adapun pada masa Tabi’in, makin banyak orang-orang Ahli Kitab yang memeluk Islam, dan makin besar kecenderungan para mufassir masa itu untuk mengambil Israiliyat maka sumber Ahli Kitab makin banyak dipergunakan. Malah pada masa itu, mereka kurang memperhatikan tentang kebenaran sumber dan isinya, sehingga tercampur baurlah yang hak dengan yang batil, yang benar dengan yang bohong, yang logis dengan yang tidak masuk akal. Di antara mereka itu ialah : Muqatil ibnu Sulaiman dan Muhammad ibnu Ishaq. Meskipun kedua karya dari kedua mufassir itu tidak diketemukan sampai sekarang, namun kemudian datang Ibnu Jarir Al Thabary banyak juga mengambil riwayat dari mereka dan dimasukkannya ke dalam kitab Tafsirnya yang terkenal itu. 21
B. Tokoh – Tokoh Israiliyat
Menurut Al Qattan, kebanyakan riwayat yang disebut Israiliyat itu dihubungkan kepada empat nama yang terkenal yaitu : Abdullah ibnu Salam, Ka’bu Al Akhbar, Wahab ibnu Munabbih dan Abdu Al Malik ibnu Abdu Al Aziz ibnu Juraij.22 Berikut ini akan dikemukakan selintas tentang identitas ke empat tokoh tersebut, terutama penilaian Ahli Hadits tentang ‘adalah mereka, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar keabsahan riwayat mereka.
1. Abdullah ibnu Salam
Nama lengkapanya : Abu Yusuf Abdullah ibnu Salam ibnu Al Harits Al Israily Al Anshari. Namanya semula “Al Hashin” diganti oleh rasulullah menjadi Abdullah tatkala dia datang menyatakan Islamnya sesaat sesudah Rasulullah di Madinah dalam peristiwa hijrah.
Statusnya cukup tinggi di mata Rasulullah. Ada dua ayat Al Qur’an diturunkan berkenaan dengan dirinya.23 Dia termasuk di antara para sahabat yang diberi kabar gembira masuk Surga oleh Rasulullah. Dalam perjuangan menegakkan Islam, dia termasuk mujahid di Perang Badar : dan ikut menyaksikan penyerahan Bait Al Maqdits ke tangan kaum Muslimin bersama Umar ibnu Khattab. Dan pada waktu khalifah Utsman ibnu Affan dikepung oleh kaum pemberontk, dia keluar menemui mereka izin khalifah untuk membubarkannya, tetapi nasehat-nasehatnya sudah tidak didengar oleh mereka, malah dia sendiri diancam mau dibunuh. Dai meninggal di Madinah pada tahun 43 H.
Sebagai seorang sahabat Rasulullah, Abdullah ibnu Salam juga banyak meriwayatkan hadits dari beliau. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan daripadanya oleh kedua puteranya : Yusuf dan Muhammad, ‘Auf ibnu Malik, Abu Hurairah, Abu Bardah ibnu Abi Musa, ‘Atha ibnu Yasar dan lain-lain. Imam Al Bukhary juga memasukkan beberapa buah hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah dalam Jami’ Shahihnya.
Dari segi ‘adalahnya tidak ada yang meragukannya di kalangan Ahli Hadits dan Tafsir. Ketinggian ilmu pengetahuannya diakui sebagai seorang yang paling ‘alim di kalangan bangsa Yahudi pada masa sebelum masuk Islam ; dan sesudah Islam dia diakui oleh Mu’az ibnu Jabal sebagai salah seorang dari empat orang sahabat yang punya otoritas di bidang ilmu dan iman. Dalam kitab-kitab Tafsir banyak memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepadanya ; di antaranya : TafsirAl Thabary. Meskipun demikian, ada juga kemungkinan di antara riwayat-riwayat tersebut tidak mempunyai sanad yang benar sampai kepadanya. Oleh sebab itu, menurut Al Zahaby, bisa saja ada di antara riwaya-riwayat itu yang tidak bisa diterima.24
2. Ka’bu Al Akhbar
Nama lengakpnya ; Abu Ishaq Ka’bu ibnu Mani’ Al Himyary. Kmudian terkenal dengan gelar : Ka’bu Al Akhbar atau Ka’bu Al khabar, karena kedalaman ilmunya. Dia berasal dari YahudiYaman, dari keluarga Dzi Ra’in, dan ada pula yang mengatakan dari Dzi Kila’. Mengenai saat masuk Islamnya, ada beberapa versi tentang dirinya. Menurut Ibnu Hajar, dia masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibnu Khattab, lalu berpindah ke Madinah, ikut dalam penyebaran Islam ke Syam, dan Akhirnya pindah ke sana pada masa pemerintahan Utsman ibnu Affan, sehingga meninggal pada tahun 32 H. di Homs dalam usia 140 tahun.
Ibnu Sa’ad memasukkan Ka’bu Al Akhbar dalam tingkatan pertama dari Tabi’in di Syam. Sebagai seorang Tabi’in, dia ada meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah secara mursal, dari ‘Umar, Shuhaib dan ‘Aisyah. Dan hadits-haditsnya banyak diriwayatkan oleh Mu’awiyah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, ‘Atha ibnu Rabah dan lain-lain.
Dari segi kedalaman ilmunya, beberapa orang sahabat seperti Abu Darda dan Mu’awiyah mengakuinya. Malah menurut Abdullah ibnu Zubair, dia mempunyai semacam prediksi yang tepat terjadi. Disamping itu, pada masa Islamnya dia masih tetap membaca dan mempelajari Taurat dan sumber-sumber Ahli Kitab lainnya.
Adapun dari segi ‘adalahnya, tokoh ini nampak seorang yang kontroversial. Al Zahaby tidak sependapat ahli yang menuduh Ka’ab sebagai seorang pendusta, malah meragukan keislamannya. Antara lain dia beralasan bahwa para sahabat yang besar-besar seperti Ibnu’ Abbas dan Abu Hurairah, mustahil kalau mereka mengambil riwayat dari seorang Ka’ab yang pendusta. Malah para Muhadditsin seperti Imam Muslim yang memasukkan beberapa hadits dari Ka’ab ke dalam Shahihnya, sebagaimana yang lainnya seperti Abu Daud, Tirmizi dan Nasai juga berbuat yang serupa dalam Sunan masing-masing. Sehingga menurut Al Zahaby, tentu saja mereka tersebut menganggap Ka’ab sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah. Di lain pihak, Ahmad Amin dan Rasyid Ridla 26 menuduh Ka’ab sebagai seorang pendusta, tak bisa diterima riwayatnya, malah berbahaya bagi umat Islam, Antara lain mereka beralasan, karena ada sementara muhadditsin yang sama sekali tidak menerima riwayatnya, seperti Ibnu Qutaibah dan Al Nawawi, sedangkan Al Thabary hanya sedikit meriwayatkan daripadanya, malah dia dituduh terlibat dalam pembunuhan Khalifah Umar ibnu Khattab, karena adanya ramalan yang disampaikannya kepada khalifah beberapa hari sebelum terbunuhnya ternyata tepat. 27 Tapi alasan Ahmad Amin dan Rasyid Ridla yang memperkuat pendapat Ibnu Taimiyah sebelumnya, dibantah dengan tegas oleh Al zahaby, yang tetap beranggapan bahwa Ka’ab Al Akhbar adalah seorang tokoh yang cukup adil dan tsiqah. 28 Meskipun demikian tokoh Ka’ab Al Akhbar tetap dianggap sebagai tokoh Israiliyat yang kotroversial.
3. Wahab Ibnu Munabbih
Nama lengkapnya ; Abu Abdillah Wahab ibnu Munabbih ibnu Sij ibnu Zinaz Al Yamani Al Sha’ani. Lahir pada tahun 34 H. dari keluarga keturunan persia yang migrasi ke Yaman, dan meninggal pada tahun 110 H. Ayahnya, Munabbih ibnu Sij masuk Islam pada masa Rasulullah SAW.
Wahab termasuk di antara tokoh ulama pada masa Tabi’in. sebagai seorang muhaddits dia banyak meriwayatkan hadits-hadits dari Abu Hurairah, Abu Sa’id Al Hudry, Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Amru ibnu Al ‘Ash, Jabir, Anas dan lain-lain. Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang anaknya : ‘Abdullah dan ‘Abdu Al Rahman, ‘ Amru ibnu Dinar dan lain-lain. Imam Bukhary, Muslim, Nasa’i, Tirmizi dan Abu Daud memasukkan hadits-hadits yang diriwayatkannya ke dalam kitab kumpulan hadits masing-masing. Berarti mereka menilainya sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah.
Sebagaimana Ka’ab, maka Wahab juga mendapat sorotan tajam dari sementara ahli menuduhnya sebagai seorang pendusta dan berbahaya bagi Islam dengan ceritera-ceritera Israiliyat yang banyak dikemukakan. Tetapi, Al Zahaby juga membela Wahab, walaupun dia juga mengakui ketokohan Wahab di bidang ceritera-ceritera Israiliyat, namun dia tetap menganggap pribadi Wahab sebagai seorang yang adil dan tsiqah sebagaimana penilaian mayoritas (jumhur) Muhadditsin, seperti tersebut di atas, di samping mengakui kealiman dan kesufian hidupnya. 29 dengan demikian juga seorang tokoh yang kontroversial.
4. ‘Abdu Al Malik Ibnu ‘Abdu Al Aziz Ibnu Juraij
Nama lengkapnya : Abu Al Wahid (Abu Al Khalid) ‘Abdu Al Malik Ibnu ‘Abdu Al Aziz Ibnu Juraij Al Amawy. Dia berasal dari bangsa Romawi yang beragama Kristen. Lahir pada tahun 80 H. di Mekkah dan meninggal pada tahun 150 H.Dia terbilang salah seorang tokoh ulama di Mekkah, dan sebagai pelopor penulisan kitab di daerah Hijaz. Sebagai seorang muhadditsin dia banyak meriwayatkam hadits dari ayahnya, ‘Atha ibnu Abi Rabah, Zaid Abi Aslam, Al Zuhry dan lain-lain. Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang anaknya ; ‘Abdu Al Aziz dan Muhammad, Al Auzzai’iy, Al Laits, Yahya ibnu Sa’ad Al Anshary dan lain-lain. Pada masa Tabi’in dia tercatat sebagai seorang tokoh Israiliyat. Dana Ibnu Jarir Al Thabary banyak mengambil riwayatnya sehubungan dengan penafsiran ayat-ayat yang berkenaan dengan Nasrani. Disini dia dikenal dengan sebutan Ibnu Juraij.
Dari segi ‘adalah dia juga seorang kontroversial. Tapi lebih banyak yang menganggap lemah, seperti Ahmad Ibnu Hanbal yang menilai hadits-haditsnya banyak yang maudlu’. Kelemahanya, menurut penilaian Imam Malik, dia tidak kritis dalam mengambil riwayat dari seorang. Sehingga Al Zahaby memperingatkan para Mufassir supaya menghindari masuknya riwayat Ibnu Juraij dalam karyanya, supaya jangan dianggap sebagai suatu karya yang lemah dan tidak mu’tamad. 30
IV. P E N U T U P
A. Kesimpulan
1. Untuk mendapatkan penafsiran ayat-ayat al Qur’an yang benar khususnya ayat-ayat yang diperkirakan ditafsirkan menurut versi tokoh-tokoh Israiliyat diperlukan studi kesejarahan tentang penafsiran-penafsiran tersebut.
2. Abdullah Ibnu Salam, Ka’bu al Akhbar, Wahab bin Munabbih, Abdu al Malik ibnu ‘Abdu al Azaz ibnu Juraij adalah tokoh-tokoh Israiliyat.
3. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh tokoh-tokoh tersebut harus diteliti dengan dua metode : a). sanad, b). matan atau oleh para muhadditsin dan para mufassirin.
B. Saran – saran
Kepada para pembaca kitab tafsir-tafsir yang diperkirakan dipengaruhi oleh tokoh-tokoh Israiliyat dianjurkan kritis di dalam memahami pendapat-pendapat mereka.
CATATAN KAKI
1. Maksudnya “masa Penulisan” yaitu pengumpulan hadits-hadit yang berkenaan dengan penafsiran Al Qur’an di jadikan suatu bagian dari penulisan hadits waktunya sekitar akhir masa Daulat Umayyah dan awal masa Abbaiyah. Lihat : Mohd. Al Zahaby, AlTafsir Wa Al Mufassirun, (Kairo Daru Al Kutub Al Hadits Al Haditsah, 1961, Jilid I), hlm. 140-141
2. Misalnya dalam menafsirkan ayat 88-89 Surah Yunus Lihat Rasyid Ridla, Tafsir Al Qur’an Al Hakim, (Mesir : Daru Al Manar, Juz II, Cet. IV, 1373), hlm. 482-483
3. Lihat : Ibnu Hajr Al ‘Asqalany, Fathu Al Bary, (Kairo : Mathba’ah Al Khairiyah, 1325 H., Juz VIII), hlm.120
4. Rasyid Ridla, op cit, juz I, hlm. 289.
5. Al Zahaby, op cit, hlm. 165
6. Surah Al Maidah ayat : 44 dan 45
7. Surah Al Hadid Ayat : 27
8. Al Zahaby, op cit, hlm. 165-166
9. Al Zahaby, “Al Israiliyat Fi Al Tafsir Wa Al Hadits”, Majalt Al Azhar, Sya’ban 1388 / Oktober 1968, hlm 496 (selanjutnya disebut : Al Azhar)
10. Al Zahaby, Al Tafsir Wa Al Mufassirun, (selanjutnya disebut : Al Tafsir), hlm. 173-174
11. Al Zahaby, Al Azhar, hlm. 497
12. Ibid, hlm. 497
13. Al Zahaby, Al Tafsir, hlm. 61
14. Ibid, hlm. 173
15. Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 491-498. Lihat Ibid, hlm. 177-178
16. Ibid, hlm. 61-62
17. Ibid, hlm. 171-173
18. Al Zahaby, Al Azhar, hlm. 497
19. Ibid, hlm. 497
20. Ibid, hlm. 169-171
21. Ahmad Amin, Dluha Al Islam, (Mesir : Mathba’ah Lajnah Al Ta’lif Wa Nasyr, 1952, Jilid II), hlm. 310
22. Manna’ Al Qattan, Mabahits Fi ‘ulumi Al Qur’an, (Mesir : Masyurat Al ‘Ashri Al Hadits, 1973, Cet ke-2), hlm. 355
23. Yaitu : Surah Al Ra’du ayat 43 ; dan Surah Al Ahqaf ayat 10
24. Al Zahaby, Al Tafsir, hlm. 184-187
25. Ahmad Amin, Fajru Al Islam, hlm. 198. Lihat, Ibid, hlm. 189
26. Rasyi Ridla, op cit, Juz I, hlm. 9-10
27. Lihat : Al Zahaby, loc cit.
28. Ibid, hlm. 194
29. Ibid, hlm. 195-197
30. Ibid, hlm. 198-200. Lihat, Ahmad Amin, Dluha Al Islam, II, hlm. 310
Tidak ada komentar:
Posting Komentar