08 November 2008

GEZAG DALAM PENDIDIKAN

GEZAG DALAM PENDIDIKAN

Menurut kamus wikipedia.com, bahwa kata guru berasal dari bahasa Sangsekerta yakni guru yang juga berarti guru, tetapi artinya harfiahnya adalah "berat" adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam Bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru.

Dalam pembahasan ini guru merujuk pada defenisi yang kedua, karena saya akan mencoba menyorot guru kita yang berada pada institusi formal pendidikan kita, yakni mereka yang mengajar dalam lingkup sekolah atau madrasah maupun pendidikan tinggi. Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru (termasuk dosen) seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal.

Semua orang meyakini bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran. Guru dapat berperan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan kecerdasan lainnya bahkan kecerdasan spritual siswanya. Guru pula yang mengembangkan minat, bakat, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswanya. Keyakinan ini muncul dikarenakan bahwa manusia senantiasa membutuhkan orang lain untuk maju atau berkembang, demikian halnya dengan peserta didik yang membutuhkan jasa seorang guru.

Guru merupakan elemen penting dalam pendidikan. Kita dapat membaca, menulis berpikir secara jernih dan sistematis berkat jasa dari seorang guru yang telah mengajarkan kita tentang banyak hal. Dalam skala yang lebih besar, guru meyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan bangsa dan negara. Di era sekarang, yang menuntut kita untuk mempunyai pengatahuan yang lebih, maka peran guru juga demikian beratnya karena guru harus mempersipkan manusia-manusia yang mampu untuk berkompetisi secara sehat dan mempunyai moralitas, integritas yang baik dan serta menjaga dimensi spritualitasnya.

Dalam melaksanakan tugas sebagai guru, hal penting yang harus diperhatikan bagi seorang guru adalah persoalan kewibawaan. Pendidik harus meliliki kewibawaan (keluasan batin dalam mendidik) dan menghindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan semata-mata pada unsure kewenangan jabatan. Kewibawan justru menjadikan suatu pancaran batin yang dapat memimbulkan pada pihak lain untuk mengakui, menerima dan “menuruti” dengan penuh pengertian atas keluasaan tersebut, tetapi tidak sampai guru dijadikan sebagai sesuatu yang sangat agung yang terlepas dari kritik. Kewibawaan guru akan lebih berarti jika membuat siswanya dapat melakukan koreksi atau kritik terhadap dirinya.

Kewibawaan pendidik hanya dimiliki oleh mereka yang dewasa. Yang dimaksud dengan kedewasaan disini adalah kedewasaan pikiran. Kedewasaan pikiran hanya akan tercapai oleh individu yang telah melakukan proses atau dialektika dengan realitas social yang pernah dilaluinya. Misalnya ketika masih mahasiswa aktif melakukan diskusi-diskusi dengan berbagai kelompok dalam kampus atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang sifatnya memacu perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik atau terlibat dalam advokasi-advokasi kemahasiswaan.

Menurut penulis, ada tiga sendi kewibawaan, yaitu

1. Kepercayaan Diri, pendidik harus percaya bahwa dirinya bisa mendidik dan juga harus percaya bahwa peserta didik dapat mengembangkan dirinya sehingga dalam proses pembelajaran guru berfungsi sebagai pembangkit potensi peserta dididik.

2. Kasih sayang mengandung makna, yaitu penyerahan diri kepada yang disayangi/peserta didik dan melakukan proses pembebasan terhadap yang disayangi dalam batasan-batasan yang tidak merugikan peserta didik dan kesediaan untuk berkorban dalam bentuk konkretnya berupa pengabdian dalam kerja.

3. Kemampuan (kompetensi) guru dapat dikembangkan melalui beberapa cara, antara lain pengkajian terhadap ilmu pengetahuan kependidikan, mengambil manfaat dari pengalaman kerja, senantisa megikuti alur perkembangan ilmu pengetahuan, agar guru mengajar sambil belajar hal-hal yang baru, sehingga guru tidak hanya seperti burung beo yang pengetahuannya tidak pernah bertambah.

Apa yang dimaksud dengan kompetensi itu ? Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work. Sementara itu, dari Trainning Agency sebagaimana disampaikan Len Holmes (1992) menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.”

Dari kedua pendapat di atas kita dapat menarik benang merah bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan.

Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.

Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan seseorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan..

Lebih jauh, Raka Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu :

1. Kompetensi profesional; memiliki pengetahuan yang luas dari bidang studi yang diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses belajar mengajar yang diselenggarakannya.

2. Kompetensi kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas.

3. Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Dengan demikian, seorang guru akan mampu menjadi seorang pemimpin yang menjalankan peran : ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani

Sementara itu, dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :

1. Kompetensi pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

2. Kompetensi kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.

3. Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.

4. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional.

Sebagai pembanding, dari National Board for Profesional Teaching Skill (2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika, yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan What Teachers Should Know and Be Able to Do, didalamnya terdiri dari lima proposisi utama, yaitu:

Teachers are Committed to Students and Their Learning yang mencakup : (a) penghargaan guru terhadap perbedaan individual siswa, (b) pemahaman guru tentang perkembangan belajar siswa, (c) perlakuan guru terhadap seluruh siswa secara adil, dan (d) misi guru dalam memperluas cakrawala berfikir siswa.

Teachers Know the Subjects They Teach and How to Teach Those Subjects to Students mencakup : (a) apresiasi guru tentang pemahaman materi mata pelajaran untuk dikreasikan, disusun dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain, (b) kemampuan guru untuk menyampaikan materi pelajaran (c) mengembangkan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan berbagai cara (multiple path).

Teachers are Responsible for Managing and Monitoring Student Learning mencakup: (a) penggunaan berbagai metode dalam pencapaian tujuan pembelajaran, (b) menyusun proses pembelajaran dalam berbagai setting kelompok (group setting), kemampuan untuk memberikan ganjaran (reward) atas keberhasilan siswa, (c) menilai kemajuan siswa secara teratur, dan (d) kesadaran akan tujuan utama pembelajaran.

Teachers Think Systematically About Their Practice and Learn from Experience mencakup: (a) Guru secara terus menerus menguji diri untuk memilih keputusan-keputusan terbaik, (b) guru meminta saran dari pihak lain dan melakukan berbagai riset tentang pendidikan untuk meningkatkan praktek pembelajaran.

Teachers are Members of Learning Communities mencakup : (a) guru memberikan kontribusi terhadap efektivitas sekolah melalui kolaborasi dengan kalangan profesional lainnya, (b) guru bekerja sama dengan tua orang siswa, (c) guru dapat menarik keuntungan dari berbagai sumber daya masyarakat.

Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan yang prinsipil. Letak perbedaannya hanya pada cara pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Raka Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sementara dari NBPTS tidak mengenal adanya pengelompokan jenis kompetensi, tetapi langsung memaparkan tentang aspek-aspek kemampuan yang seyogyanya dikuasai guru.

Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus.

Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung

Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai.

Namun kalau kita perhatikan, sampai saat ini kenyataannya guru seolah mengalami degradasi wibawa.

Berkaca dari masa lampau, guru adalah figur yang selalu disanjung, mendapat penghormatan tinggi bagi siswa, wali siswa dan masyarakat umum. Guru merupakan tempat bertanya siswa, berperan sebagai sintrum pengetahuan dari berbagai permasalahan, baik individu maupun masyarakat umum. Namun, guru saat ini telah berubah menjadi profesi yang sakral. Peran guru bagi siswa laksana peran kontrak antara buruh dan majikan. Di samping itu, dalam kehidupan bermasyarakat guru tidaklah memiliki arti apa-apa lagi, sebab seolah guru menjadi “menara gading” sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Hingga wajar banyak pendapat bahwa guru saat ini tidaklah dominan dalam proses pendidikan.

Secara radikal tokoh pendidikan asal Amerika Latin seperti Ivan Illich dan Paulo Freire menganggap bahwa guru telah menjadi “agen penindasan”, yang menjadi pemaksa cita-cita yang harus dijalankan oleh generasi muda. Guru sedemikian ini telah merusak struktur berpikir dan cita-cita anak didik. Maka dari itu, mereka menyarankan agar guru lebih baik tidak ada, biarlah anak belajar sendiri dan mendidik dirinya sendiri. Pendapat ini sangatlah wajar, sebab di mata peserta didik saat ini guru hanya sekadar profesi.

Walau demikian, apakah saat ini guru menjadi tidak penting? Dan apakah guru hanya sebagai profesi? Bagaimana mengembalikan wibawa guru? Pertanyaan ini merupakan refleksi sebagai upaya mengembalikan citra guru dimata peserta didik dan masyarakat umum.

Konsep peniadaan guru mustahil terlaksana. Pendidikan sebagai sistem untuk pendidikan massa, bukan pendidikan bagi segelintir individu yang senantiasa menanti kehadiran guru. Karena setiap individu tidak mempunyai kemampuan yang sama untuk menyerap informasi, mewarisi ilmu pengetahuan, budaya dan ideologi suatu bangsa. Karena proses pendidikan tanpa guru, tak mustahil justru akan terjadi stagnasi peradaban, atau bahkan akan terjadi perkembangan nilai-nilai kebudayaan yang bersifat destruktif bagi perjalanan peradaban manusia. Jadi intinya tesis yang dilontarkan oleh Ivan Illich dan Paulo Freire tertolak dalam konsepsi guru. Intinya bahwa dalam proses pendidikan atau persekolahan, guru tetap penting.

Yang terpenting dalam peran guru harus menyadari bahwa pendidikan adalah proses pendewasaan guru terhadap siswa melalui usaha meningkatkan diri dalam segala aspeknya menjadi pribadi yang unggul, yakni yang berakhlak dan berperadaban. Maka peran guru sebagai pendidik adalah teladan bukan penindas. Sebagai pendidik guru bukanlah berarti pengajar an sich. Konsekuensi keteladanan guru dapat diwujudkan melalui peranannya sebagai pelatih, pembimbing dan manajer belajar.

Dengan ketiga peran guru ini, maka diharapkan para siswa mampu mengembangkan potensi diri masing-masing, mengembangkan kreativitas, dan mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif, sehingga mampu bersaing dalam masyarakat global. Maka dari itu hakekatnya guru bukan sebuah profesi. Bila guru dianggap profesi, maka nilai-nilai profesi inilah yang sebenarnya membuat degradasi kewibawaan guru.

Dalam masyarakat kita sekarang ini, kata “profesi” mengalami distorsi. Ada dua jenis distorsi, pertama dianggap identik dengan pekerjaan, dengan mata pencarian atau okupasi. Distorsi kedua ialah bahwa profesi dipandang sebagai keseluruhan pengetahuan dan keterampilan teknis yang harus dikuasai untuk melakukan suatu pekerjaan, dan tidak ada hubungannya dengan persoalan-persoalan etika yang melekat pada pekerjaan itu. Kedua distorsi ini bersumber kepada pemahaman yang salah mengenai makna kata “profesi”. Karena profesi dipahami hanya sebatas pekerjaan.

Jadi sungguh suatu kesalahan besar kalau seseorang menganggap mengajar atau guru sebagai profesi yang dimaknakan sebagai sebuah pekerjaan seperti pekerjaan lainnya. Profesi Guru harus tetap dimaknakan sebagai pendidik, sebab pendidik bukan pekerjaan lahir biasa. Kalau profesi laksana terjadi kontrak kerja, padahal paradigma guru adalah pendidik, yakni prores saling menerima dan saling memberi. Sebagai seorang pendidik sudah selayaknya mendapatkan kesejahteran, sebab pendidik bertugas membentuk generasi penerus bangsa.

Disamping itu, seorang guru yang baik adalah mereka yang memiliki keahlian berkat pendidikan dan latihan-latihan yang disiplin selama bertahun-tahun, maka ia mengajarkan apa yang telah didapatkannya. Inilah yang disebut dengan profesional, yaitu secara ekonomis terjamin kesejahteraannya, dan secara politis terjamin hak-hak kewarganegaraannya. Seorang guru yang profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, misalnya, kualifikasi sebagai pendidik, memiliki kompetensi keilmuan, memiliki kemampuan berkomunikasi, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap peran pendidiknya, dan selalu melakukan pengembangan diri melalui organisasi, media elektronik, buku, seminar dan semacamnya.

Degradasi wibawa guru tidak terlepas dari kesejahteraan guru. Dari segi ekonomi, kesejahteraan guru harus terus ditingkatkan sehingga mereka memenuhi kebutuhan pokoknya secara memadai. Seorang guru dalam bekerja hanya semata-mata mengabdikan dirinya untuk kepentingan masa depan anak bangsa, tanpa harus memikirkan ekonomi diri dan keluarganya. Maka seorang guru setidak-tidaknya mempunyai gaji yang cukup, asuransi hidup dan kecelakaan, jaminan kesehatan, dan jaminan intensif lainnya.

Persoalan yang harus sama-sama diakui bahwa guru saat ini banyak yang kurang kualifikasi dan kompetensinya, rendahnya etos kerja dan komitmen guru dan juga kurangnya penghargaan masyarakat terhadap guru sebagai pendidik. Untuk itu, perlu upaya peningkatan perbaikan yang dilakukan bersama oleh pemerintah, orangtua dan masyarakat secara terus menerus.

Terlepas dari berbagai kelemahan dan kelebihan guru, kita harus menyadari, mengakui, dan menerima kondisi guru saat ini dengan apa adanya. Sebab yang paling penting harus kita lakukan adalah masa depan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dimana guru merupakan pekerjaan yang lahir dari panggilan hati yang didasari dengan bagaimana cara belajar dengan capaian ilmu pendukung yang luas dan mendalam. Sebagai upaya mengembalikan kewibawaan guru, peran guru masa depan harus diarahkan untuk mengembangkan tiga potensi dirinya secara terus menerus, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual, sebagai landasan long life education (pendidikan sepanjang hidup).

Dari penjelasan diatas dapat kita simbulkan bahwa peran utama guru adalah mendidik diri sendiri dan peserta didik dalam proses pendewasaan diri dalam berbagai aspek kehidupan secara terus menerus. Namun, tetap berusaha meningkatkan ketiga potensi (kecerdasan intelektual, emosi dan spritual) yang dimiliki guru guna mencapai pribadi unggul, yakni pribadi yang berakhlak dan berperadaban.

Tidak ada komentar: