Pada akhir-akhir ini muncul golongan yang disebut dengan golongan ingkaru al Sunnah, padahal al Sunnah atau hadits-hadits Rasululah SAW. adalah sumber hukum kedua setelah al Qur’an, karenanya terdapat beberapa macam ibadah, mu’malah dan akhlakyang tidak harus diamalkan lagi.
Golongan yang mengingkari al Sunnah itu pada mulanya mereka mengkritikpara muhadditsin yang mereka nilai sebagai penelitian ilmiah, pada gilirannya mereka menolak atau mengingkari Sunnah-sunnah Rasulullah SAW.
Nampaknya munculnya golongan itu diilhami oleh pemikiran para orientalis barat memang diantaranya tidak objektif didalam penelitian ilmiah. Tetapi banyak juga dianatara para orientalis itu benar-benar objektif di dalam pemikiran mereka. Sayangnya diantara para ulama muslim ada yang terpengaruh dengan pendapat para orientalis yang objektif itu sehingga terjadilah gesekan dengan pendapat para muhadditsin.
Diantara para peneliti muslim yang banyak sedikitnya terpengaruh dengan para orientalis tersebut adalah Ahmad Amin. Penulis kitab “Fajru al Islam, Dhaiha al Islam, Dhuhru al Islam, dan lain-lain, ini mengingkari para muhadditsin khususnya Imam al Bukhari.( )
Tulisan ini bertuuan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang dianggap oleh Ahmad Amin sebagai suatu kelemahan metodologis penelitian hadits yang dilakukan olehpara muhadditsin, dan bagaimana penolakan para ulama terhadap pendapat Ahmad Amin tersebut
Kritik Ahmad Amin Terhadap Muhadditsin
Ahmad Amin dalam bukunya Fajru al Islammelancarkan kritik kepada para muhadditsin khususnya Imam Bukhari, bahwa para muhadditsin itu terlalu banyak menyerakhan penelitiannya kepada kritik isnad ketimbang kritik matan. Oleh karena itu kesahihan suatu hadits masih perlu diraguka. Kritik matan yang kurang mendapat perhatian para muhadditsin adalah misalnya :
1. Apakah suatu hadits yang diriwayatkan sesuai dengan situasi dan kondisi ketika haits itu diucapkan oleh Rasulullah SAW. ?
2. Apakah fakta-fakta kesejarahan mendukung makna hadits yang diriwayatkan itu
3. Apakah suatu hadits ungkapan bahasanya merupakan ungkapan cara berfikir tertentu berbeda dengan kebiasaan ungkapan yang Nabi pergunakan?
4. Apakah hadist seperti Fiqihdi dalam isi dan redaksionalnya ?
Pertanyaan – ertanyaan yang merupakan kritik Ahmad Amin terhadap para muhadditsin mendapat jawaban dan sanggahan dari para ulama ahli hadits.
Jawaban Para Ulama Terhadap Kritik Ahmad Amin
1. Sebenarnya para muhadditsin menyatakan bahwa tanda dan bukti dari hadits maudlu adalah suatu hadits yang maudlu apabila isi hadits tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisi kesjahteraan, misalnya Rasulullah SAW. mewajibkan penduduk membayar jizyah, dengan bermacam-macam keringanan, serta disaksikan oleh Sa’ad bin Mu’az dan ditulis oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Hadits ini ditolak atau dinyatakan maudlu’ karena tidak sesuia dengan fakta kesejahteran. Kewajiban membayar fidyah terhadap penduduk suatu negeri yang ditaklukkan dan tidak bersedia masuk Islam tidak dikenalkan pada waktu penaklukan
2. Kritik Ahmad Amin terhadap para muhadditsin yang tidak memperhatikan situasi dan kondisiserta fakta-fakta kesejarahan telah disanggah oleh para muhadditsinseperti contoh diatas sedangkan mengenai ungkapan bahasa suatu hadits tidak sesuai dengan ungkapan bahasa yang biasa Nabi pergunakan hal ini termasuk didalam studi tentang rikkahfi al laffzi. Menurut Ibnu Hajar sebenarnya rikkah atau cacat itu ada pada arti tidak pada lafaz saja. Memang suatu hadits yang rikkah pada makna hadits tersebut dihukumkan maudhu’, tetapi rikkah pada lafaz saja masih bisa ditoleren karena mungkin hadits tersebut diriwayatkan sccara makna bukan secara lafaz.
3. Masalah hadits yang serupa dengan matan fekih di dalm syarat-syaratnya dan yangberhubungan dengan syarat-syarat tersebut sebenarnya para muhadditsin telah membuat suatu persyaratan yang cukup ketat, yaitu hadits yang diriwayatkan itu tidak sesuai dengan paham perawi yang dinilai fanatik dengan mazhabnya. Sejumlah haditsditolak karena hadits itu hanya memperkuat paham mazhab si perawi hadits tersebut, misalnya hadits yang menyatakan bahwa berkumur-kumur dan memasukkan air kehidung hukumnya wajib bagi orang junub, demikian juga hadits yang menyatakan, jika ada setitik darah pada pakian orang yang shalat, pakian itu wajib dicuci dan sembahyangnya di ulang.
Kritik Ahmad Amin terhadap Imam Bukhari yaitu bahwa Imam Bukhari tidak memperhatikan matan hadits dan hanya memperhatikan sanad hadits saja tidak diterima oleh para ulama hadits.
Sutau contoh hadits yangberbunyi :
“Tidak ada suatu diri yangbertahan hidup setelah 100 tahun” (sahih Bukhari)
Kedalam hadits ini diriwayatkan bukan Imama Bukhari saja tetapi juga oleh Abu Daud dan Imam Tarmuzi hanya saja penafsiran hadits itu yang berbeda-beda sehingga ada yang menafsirkan dengan tafsir yang tidak masuk akal misalnya sesudah 100 tahun tiada seorang pun yang masih hidup atau hari kiamat.
Sebenarnya hadits ini diriwayatkan melalui jalur yang cukup banyak dan artinya yang disepakati oleh para ahli hadits adalah bahwa Nabi Muhammad SAW. memberitakan bahwa orang-orang yang hidup semasa dengan beliau sesudah 100 tahun kemudian tak seorang pun diantara mereka yang bertahan hidup. Hal ini dibuktikan kebenarannya di dalam sejarah bahwa para shahabat yang hidup semasa dengan Nabi Muhammad SAW. setelah 100 tahun kemudian ternyata tak seorang pun yang masih bertahan hidup, semuanya meninggal dunia. Justru hadits ini merupakan suatu tanda kebenaran nubuwwah Nabi Muhammad SAW. bukan suatu berita yang mengandung dusta atau tidak ditunjang oleh kebenaran sejarah.
Musthafa al Siba’ bahkan mengatakan bahwa hadits ini merupakan mu’jizat Nabi Muhammad SAW. dan tuduhan penulis buku Fajru al Islam adalah merupakan tuduhan yang dusta.
Adupun hadits yang berbunyi :
“ Siapa yang makan 7 biji korma pada waktu pagi maka dia tidak diganguoleh racun dan sihir dari pagi sampaimalam” (diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab tentang kedokteran dan diriwayatkan leh Imam Muslim dan Imam Ahmad ”
Sebahagian para ulama hadits emngkhususkan korma yang dimaksud oleh Nabi adalah korma Madinah yang yang disebut ‘ajwah, tetapi sebahagian lagi mengatakan bahwa korma yang dimaksud adalah korma keseluruhannya.
Ibnu al Qayyam berkata : ‘Ajwah Madinah adalah sebaik-baik korma, mengandung persenyawaan zat gula dengan zat-zat lain yang berguna bagi kesehatan jasmni. Memakannya scara terus menerus dapat melemahkan bahkan membunuh cacing yang merusak jaringan tubuh. Andaikan yang berkta tentang korma ini dari pada ahli dari Barat tentu akan mudah diterima, tetapi kerena perkataan ini dari seorang yang sederhana dari
MusthafaSiba’I embantah pernyataan Ahmad Amin dalam bukunya al Sunnah wa makanatuha fi tasyri Islamiy, hal 236-273, beliau berkata, penulis kitab Fajru al Islam sangat berani mendustakan hadits ini, selama sanad hadits ini shahih danjuga matannya diterima. Tentang matannya beliau mempersilahkan meneliti kandungan dan khasiat dari korma Madinah ‘Ajwah yang terkenal itu. Tidak perlu diabuat-buat terkaan sebelum dilakukan penelitian ilmiah terhadap korma tersebut.
Selanjutnya Ahmad Amin menjelaskan pada hal.529 bahwa banyaknya hadits-hadits tafsir yang katanya diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal padahal beliau berkata : hadits-hadits itu tidak shahih menurut beliau. Hadits-hadits seperti itu jumlahnya beribu-ribu hadits. demikian juga hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebanyak 7.000 hadits, 3.000 hadits diantaranya yang terulang dan beliau memilih dari 600.000 hadits yang beredar diwaktu itu. NampaknyaAhmad Amin memfocuskan kritiknya kepada dua masalah : 1). Hadits-hadits tafsir, 2). Hadits-hadits Bukhari.
Tentang hadits-hadits tafsir sebenarnya para ulama telah menentukan syarat-syarat yang cukup ketat untuk dijadikan suatu hadits sebagai penafsiran al Qur’an.
Imam Abu Ja’far Thabari berkata : Bahkan apa saja yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya kecuali dengan penjelasan Nabi Muhammad SAW. sendiri.
Abu Hayyon al Andalusi berkata : Penjelasan yang mubham, penetuan yang mujmal, sebab teurunya ayat, naskh mansukh,semuanya itu dapat diketahui melalui hadits-hadits Rasulullah SAW.
Berkata al Suyuthi di dalam al Itqan menerangkan pendapat Ibnu Taimiyah : Harus diketahui bahwa Nabi Muhammad SAW. menjelaskan kepada para shahabat beliau makna al Qur’an sebagaimana juga dijelaskan kepada mereka lafaz-lafaznya. Itulah maksdu dari ayat al Qur’an yang berbunyi : “Agar kamu jelaskan kepada mereka apa-apa yang diturunkan kepada mu ”.
Al Zarkasyi membagi tafsir al Qur’an kepada dua bagian (1). Tafsir bi’al Manqul yaitu tafsir yang mempergunakan hadits-hadits Nabi, pendapat shahabat dan tabi’in (2). Tafsir dengan yang bukan dari Nabi, shahabat dan tabi’in. Namun kebanyakan para ulama mengharuskan tafsir dengan apa yang datang dari Nabi Muhammad SAW. Namun hadits yang dijadikan penafsir al Qur’an adalah hadits yang shahih menurut pemikiran para mufasir tersebut. Maksudnya setelah mereka seleksi secara ketat, jika ternyata hadits tersebut shahih barulah hadits tersebut dijadikan hadits penafsir ayat-ayat al Qur’an.
Adapun kritik Ahmad Amin terhadap Imam Ahmad yang katanya pernah berkata : tiga perkara yang tidak ada dasarnya, pertama al tafsir, al malahim dan maqazi, atau tiga kitab yang tidak ada dasarnya akan dijelaskan pada penjelasan berikut.
1. Siapa yang meneliti kitab Musnad kitab hadits Ahmad bin Hambal akan menemui hadits-hadits tentang tafsir, malahim dan maqazi. Hal ini bertentangan dengan ucapan yang katanya dikatakan oleh Imam Ahmad bin hambal, maksudnya Imam Ahmad bin Hambal tidak pernah berkata demikian.
2. Suatu hadits yang tidak shahih bukan berarti hadits tersebut maudlu’ atau dhaif’, suatu contoh Ibnu Hajar berkata didalam kitab Nataija al afkar bahkan Imam Ahmad Berkata, Aku tidak tahu uatu hadits tentang membaca Basmallah dikala berwudhu. Ibnu Hajar berkata : bukan berarti ketidaktahuan menetapkan sesutau yang menjadi ketiadaan hukum dari ketidaktahuan tersebut. Tegasnya ketidaktahuan tentang adanya sesuatu hadits misalnya membaca basmallah ketika ingin berwudhu bukan berarti tidak ada hukum membaca basmallah ketika ingin berwudhu.
3. Bahwa Imam Ahmad belum pernah berkata : bahwa tidak ada hadits yang boleh dijadikan sebagai penafsir ayat. Kalau benar perkataan ImamAhmad bahwa tiga masalah yang tidak mempunyai dasar maksudnya mungkin adalah menurut pendapat beliau tidak ada buku khusus yang mebicarakan tentang ketiga ilmu itu yakni ilmu tafsir, ilmu malahim dan ilmu maqazi. Dalam hal ini bahkan berarti Imam Ahmad menolak keberadaan ketiga ilmu tersebut, atau barangkali menurut Imam Ahmad bahwa hadits-hadits yang shahih tentang ketiga ilmu itu sangat sedikit inilah pendapat kebanyakan para ulama hadits, namun bagaimana pun mereka tetap menolak kritik yang dilancarkan oleh Ahmad Amin.
Adapun kritik Ahmad Amin terhadap Imam Bukhari tentang bagaimana Imam Bukhari bisa memilih hadits-hadits shahih dari 600.000 hadits sebagai suatu kerja yang sangat melelahkan akan bisa dijelaskan sebagai berikut :
Memang tidak bisa diingkari bahwa hadits-haditsyang beredar ditengah-tengah masyarakat cukup banyak pada masa Imam Bukhari, Demikian juga suatu pernyataan yang menyatakan bahwa Imam Ahmad dapat mengahapal lebih banyak dari 700.000 hadits, juga dikalahkan dari Abi Zar’ah bahwa Imam Bukhari dapat menghapal 200.000 hadits dha’if dan 100.000 hadits shahih.
Sebenarnya banyaknya hadits-hadist itu bukan berarti banyaknya jumlah dan macam-macam hadits, yang dimaksud adalah banyaknya mukharrij, jalur dari perawinya yang dipelajari oleh para ahli hadits, misalanya : hadits . diriwayatkan dari 700 jalur, jadi yang banyak itu adalah turuqnya atau jalurnya bukan jumlah hadits atau macam haditsnya.
Kitab al Jami’ al Shahih karangan Imam Bukhari hanya memuat 2602 hadits semua shahih, Imam Muslim hanya meriwayatkan 4000 hadits.
Daftar Kutipan
1. HM.Syuhudi Isma’ail kaedah Kesahihan Sanad Hadits (Telaah Keritis dan Tinjauan dengan pendekatanIlmu Sejarah), Bulan Bintang,
2. Ibid . h. xiv
3. Ahmad Amin, Fajrul Islam, Kairo, Maktabah al Nahdhat al Mishriyyah, 1975 M. h. 217-218 / Dhuhal Islam 1974 M. Juz II, h. 130-134
4. Muhammad Adib Shaleh, Lamahat Fi Ushul al Hadits, h. 10
5. Ibnu Shaleh, Ulumu Hadits, h. 12
6. Shubhi Shaleh, Ilmu Hadits Wa Mushthalahuhu, h. 107
7. Bandungkan dengan Muhammad ‘Ajjaj al Khathib, Ushulul Hadits (Ulumul Wa Musthalahuhu), Darul Fikri, 1979, h. 7
8. Hafiz Hasan al Mas’udy, Minhatul Mughits, h. 3. Lihat : Ahmad Umar Hasyim, Qawaid Ushulil Hadits. h. 7
9. Muhammad ‘Ajjaj al Khathib , op cit, h. 8
10. Ibid, h. 9
11. Ibid, h. 255
12. Ibid,
13. Al Mubarkafury, Muqaddimah Tuhfatul Ahwazi, h. 3
14. Bandingkan dengan Lamahat Fi ‘Ulumul Hadits oleh Muhammad Adib Shaleh, h. 79
15. Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushalahul Hadits, PT. Al Ma’arif,
16. Nuruddin ‘Ithr, Ulum al Hadits, PT. Remaja Rosdakarya,
17. Fatchur Rahman, Op cit, h. 298-299
18. M.’Ajjaj al Khathib, Op cit, h. 288
19. Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar