15 Desember 2008

PENDIDIKAN AGAMA DI RUMAH TANGGA

PENDIDIKAN AGAMA DI RUMAH TANGGA

A. Pengertian Pendidikan Agama
Secara umum pendidikan ialah usaha atau proses membimbing secara sadar dari si pendidik terhadap anak didik jalam rangka mencapai kedewasaan jasmani dan ruhani. Tetapi bila pengertian pendidikan itu dihubungkan dengan agama Islam, maka pengertiannya akan menjadi lebih luas.
Sebelum membicarakan pengertian pendidikan agama, maka terlebih dahulu penulis kemukakan pengertian pendidikan secara etimologi dan terminologi.
Secara etimologi, pendidikan berasal dari kata “didik” mendapat awalan “pe” dan akhiran “an”. Jadi pendidikan adalah “mendidik, memelihara, dan memberi latihan (ajaran, pimpimnan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran”.1)
Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pendidikan adalah “proses perubahan sikap dan laku seseorang atau kelompok oraang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses perbuatan cara mendidik”.2)
Jadi, pendidikan adalah usaha mempersiapkan anak melalui pemberian pengetahuan dan latihan menuju kedewasaan. Dalam hal pendidikan ini, ada pendidik dan ada anak didiksi terdidik, yang jadi pendidik tentu saja manusia karena manusia punya akal sehingga mampu berpikir bagaimana seharusnya membimbing dan mengarahkan anak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Seperti pendapat H.M Arifin, M. Ed. di mana dia mengatakan bahwa pendidikan adalah “ikhtiar manusia untuk membantu dan mengarahkan fitrah manusia supaya berkembang sampai pada titik maksimal yang dapat dicapai sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan”.3)
Dalam pengertian di atas menerangkan bahwa pada diri seorang manusia (anak) sudah ada suatu fitra yang bisa dikembangkan, tinggal lagi bagaimana pendidik memanfaatkannya, memberi tuntunan dan mengarahkan untuk mencapai tujuan yang diciti-citakan di sini adalah terbentuknya kepribadian yang utama. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ahmad D Marimba, bahwa pendidikan adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani maupun rohani si terdidik, dengan tujuaan terbentuknya kepribadian yang utama”.4)
Setelah diketahui pengertian pendidikan secara umum, maka akan dihubungkan dengan “agama”. Kata agama berasal dari bahasa sansekerta, yaitu A = tidak, gama = kocar-kacir. Jadi, “agama” yaitu sesuati pedoman yang apabila dianut oleh suatu kaum tidak akan kocar-kacir …”.5)
Dan pengertian dari pendidikan itu dikaitkan agama (Islam), yaitu agama yang paling tinggi yang disyariatkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dan nabi-nabi sebelumnya yang di dalamnya berisikan peraturan-peraturan baik berupa perintah maupun larangan yang harus ditaati, maka pengertiannya mempunyai arti tersendiri, yaitu pendidikan yang diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Apabila dengan pendidikan Islam diharapkan dapat terbentuknya kepribadian menurut ukuran-ukuran Islam, sehingga ia benar-benar menjadi dewasa yang berbudi luhur menurut ukuran agama Islam.
Sedangkan pengertian pendidikan agama (Islam) adalah suatu aktivitas atau usaha dan bimbingan yang dilakukan secara sadar serta berncana oleh si pendidik terhadap anak didik yang sesuai dengan norma-norma yang ditentukan oleh ajaran agama tersebut, yang kemudian agama itu dijadikan pedoman dalam hidupnya. Sebagai bahan perbandingan, dalam buku Pedoman Guru SD, disebutkan bahwa :
Pendidikan agama Islam adalah usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelag menjadi manusia Muslim, bertakwa kepada Allah Swt, berbudi luhur, dan berkepribadian utuh yang memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam dalam kehidupannya. 6)

Abdur Rachman Shaleh juga mengemukakan, bahwa :

Pendidikan agama Islam adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik/murid agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai way of life (jalan kehidupan). 7)
Agama memberikan motivasi hidup dan kehidupan serta merupakan alat pengembangan dan pengendalian diri yang amat penting. Oleh sebab itu, agama perlu diketahui, dipahami, diyakini dan diamalkan oleh seseorang, agama dapat menjadi dasar kepribadian sehingga menjadi manusia yang utuh. Manusia yang dimaksud utuh di sini adalah terbentuknya kepribadian utama yang menurut ukuran-ukuran Islam. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ahmad D Marimba, bahwa pendidikan Islam adalah “bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum ajaran Islam menurut terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”. 8)
Kepribadian utama disebut juga kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih, memutuskan, berbuat secara bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.

B. Dasar dan Tujuan Pendidikan Agama Islam
1. Dasar Pendidikan Agama Islam
pendidikan agama Islam mempunyai dasar dan pondasi yang kokoh dan kuat untuk menjalin keutuhannya serta kelestariannya, dasar yang dimaksud adalah Al- Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana diterangkan oleh Ahmad D Marimba : … ialah firman Tuhan dan Sunnah Rasulullah Saw, kalau pendidikan agama diibaratkan bangunan, maka isinya Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjadi fondamennya”. 9)
dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan agama Islam berdasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena Al-Qur’an merupakan sumber kebenaran yang tak diragukan lagi keasliannya. Sementara As-Sunnah merupakan ajaeran yang bersumber dari ucapan, sikap dan perbuatan dari Rasulullah Saw yang erat sekali dengan Al-Qur’an dalam fungsi dan peranannya terhadap Al-Qur’an itu sendiri. Jadi Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber pokok bagi penganutnya untuk membawa dan membimbing ke arah keselamatan dunia dan akhirat. Sebagaimana bunyi hadits Rasulullah Saw, di bawah ini :


2. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Segala usaha yang terjadi dalam pendidikan harus diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai, karena suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak mempunyai arti apa-apa. Dalam setiap usaha pendidikan, si pendidik harus selalu membimbing si terdidik kearah tujuan yang ingin dicapai, sebab tujuan merupakan gambaran/sasaran yang harus dicapai oleh pendidikan, sebagai suatu sistem dan merupakan suatu unsur yang sangat menentukan sistem pendidikan sendiri. Tujuan adalah harapan masyarakat terhadap hasil pendidikan baik dalam arti kuantitatif maupun kuanlitatif. Di samping itu tujuan berfungsi untuk mengarahkan mengontrol dan memudahkan evaluasi terhadap hasil yang ingin dicapai.
Sebelum membicarakan tujuan pendidikan agama Islam, terlebih dahulu melihat fungsi dan tujuan pendidikan Nasional menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Yaitu :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.11)

Sedangkan tujuan pendidikan agama Islam dapat dilihat pendapat beberapa para ahli.

Mahmud Yunus mengemukakan tujuan pendidikan agama Islam adalah :

Mendidik anak-anak, pemuda-pemudi dan orang dewasa, supaya menjadi seorang muslim sejati, beriman tangguh, beramal shaleh dan berakhlak mulia, sehingga ia menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup di atas kaki sendir, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah airnya, bahkan sesama umat manusia. 12)

Kemudian Ahmad D Marimba menyatakan, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah “terbentuknya kepribadian muslim”. 13) Sedangkan Sofyani mengemukakan, tujuan pendidikan Islam adalah “agar anak memiliki dan menguasai pengetahuan agama dan kebudayaan Islam, sehingga dapat membentuk pribadinya menjadi hamba Allah untuk mencapai keridhaan-Nya dalam kehidupan dunia dan akhirat”. 14)
Dari ketiga pengertian di atas, pada prinsipnya pendidikan agama Islam diarahkan pada terbentuknya manusia yang beriman, pengabdi, dan beradab. Atau dengan kata lain pendidikan Islam diarahkan kepada pembinaan manusia beragama yang mampu melaksanakan ajaran Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tingkah laku atau tindakan dalam seluruh kehidupan dalam mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam surat Az-Zariat ayat 56 yang berbunyi :

Pada ayat lain disebutkan, yaitu surat Ali Imran ayat 102 yang berbunyi :

Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup seorang muslim, yakni menjadi hamba Allah yang menyerahkan dirinya kepada Allah dan yang dimaksudkan di sini adalah setiap muslim yang takwa serta berbuat amal shaleh semata-mata hanya karena Allah. Hal ini jelas terwujud sebagai penyerahan diri bagi setiap muslim yang shaleh. Oleh sebab itu maka tujuan tersebut baru akan tercapai bila kepribadian muslim telah terjelma dalam cara berbuat, berfikir, mengeluarkan pendapat, sikap, minat, falsafah hidup serta kepercayaan yang disinari oleh ajaran-ajaran agama Islam. Dengan demikian agar dapat menjalankan funsinya sebagai hamba Allah yang taqwa, karena tunduk dan patuh untuk mengikuti perintah Allah dan meninggaalkan ssegala larangan-Nya sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Dalam ayat lain yakni surat Al-Qashash ayat 77 Allah berfirman :

Ayat tersebut menjelaskan bahwa orang Islam untuk mencapai hidupnya tidaklah hanya mengejaar dunia saja, tetapi juga ada alam lain yang lebih kekal dan abadi yang harus mendapat perhatian. Sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 201 yang berbunyi :

Dari beberapa penjelasan aayat tersebut di atas, maka dapatlah penulis mengambil kesimpulan, bahwa tujuan pendidikan agama Islam adalah terbentuknya manusia yang berkepribadian sesuai dengan ajaran Islam, sehingga mendapatkan kebahagiaan hidup, baaik di dunia maupun di akhirat.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pendidikan Agama di Rumah Tangga.
Setiap kegiatan selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama dalam pelaksanaan pendidikan agama terhadap anak-anak di rumah tangga. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan agama terhadap anak-anak di rumah tangga menurut hemat penulis adalah :
1. Latar belakang pendidikan orang tua yang memadai;
2. Keadaan ekonomi orang tua yang tidak terlalu rendah;
3. Waktu yang tersedia yang bisa digunakan;
4. Minat anak untuk belajar yang selalu bisa dipacu;
5. Motivasi oraang tua dalam hal-hal yang possitif;
6. Lingkungan sosial keagamaan yang orang-orangnya agamis.
Demi jelasnya apa yang disebutkan di atas, berikut akan diuraikan satu demi satu.
1. Latar belakang pendidikan orang tua yang memadai
Seorang pria dan wanita yang berjanji di hadapan Tuhan untuk hidup sebagai suami isteri, berarti di juga bersedia memikul tanggung jawab sebagai seorang ayah dan ibu dari anak-anaknya yang bakal dilahirkan, ini berarti bahwa pria dan wanita yang terikat dalam perkawinan siap sedia untuk menjadi orang tua yang tak dapat dipindahkan salah satu kewajiban dan hak utama dari orang tua yang tak dapat dipindahkan adalah mendidik anak-anaknya, maka diperlukan adanya beberapa pengetahuan tentang pendidikan, misalnya apakah mendidik itu, apa tujuannya dan bagaimana cara mendidik dan sebagainya. 19)

Orang tua yang tahu miniman tentang seluk-beluk pendidikan atau orang tua yang berpendidikan lebih tinggi pada umumnya akan lebih baik jika dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan rendah dalam hal melaksanakan kewajiban terhadap anak-anaknya, sebab orang tua yang lebih tinggi pendidikannya lebih banyak pula pengalaman dan lebih luas pula pengetahuan serta pandangan lebih maju dalam menilai sesuatu. Apalagi sejak kecil sudah memiliki pendidikan agama yang kuat, maka setelah berkeluarga akan lebih mudah menerapkannya terhadap anaknya sendiri.
Sebagian orang tua semacam inilah yang menganggap bahwa pendidikan itu sangat penting artinya bagi si anak, sehingga mereka betul-betul melaksanakan dan memperbaiki serta memperhatikan terhadap pendidikan anak-anaknya sebab mereka telah mengalami dan merasakan hasilnya. Sebaliknya orang tua yang rendah pendidikannya akan menganggap bahwa pendidikan itu kurang begitu penting, sehingga mereka kurang memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Bahkan ada pula orang tua yang senang melihat anaknya sejak kecil sudah bisa berusaha mendapatkan uang demi kepentingan kehidupan sehari-hari tanpa menghiraukan kepentingan si anak, sehingga anak tidak mendapatkan bimbingan dan pendidikan dari orang tuanya yang pada akhirnya kehidupan anak berakibat fatal.
Walaupun demikian masih ada orang tua yang mempunyai pandangan seperti orang tua yang berpendidikan lebih tinggi, hal ini makin saja disebabkan oleh faktor lain yang mempengaruhi cara berfikir mereka.
Satu hal yang perlu diingat bahwa orang tua dalam melaksanakan pembinaan dan pendidikan pada anak-anaknya itu terlebih dahulu mengetahui sifat-sifat atau karakteristik masing-masing anak, di samping itu juga perlu mengenal fase-fase pertumbuhan dan perkembangan anak, juga tidak kalah pentingnya kondisi orang tua pada waktu itu. Jadi tugas orang tua di samping mengenal kepribadian anak juga harus tahu keadaan pribadi disri sendiri pada saat melaksanakan pembinaan dan pendidikan agama pada anak.
2. Keadaan ekonomi orang tua yang tidak terlalu rendah;
Persoalan ekonomi adalah persoalan penting bagi setiap orang, lebih-lebih bagi orang tua, karena orang tua mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga. orang tua yang mempunyai ekonomi cukup atau lebih dari cukup, mereka akan mampu membiayai pendidikan anak-anaknya dengan setinggi-tingginya, karena mereka tidak mempunyai kesulitan dalam membiayai keluarga dan anak-anaknya.
Anak yang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokok, misalnyanya makanan, pakaian, perlindungan, kesehatan, dan lain-lain. Juga kebutuhan fasilitas belajar, hanya dapat terpenuhi jika keluarga mempunyai uang untuk itu. Jadi keluarga yang ekonominya ccukup, hubungan antara orang tua dengan anak akan lebih baik, sebab orang tua tidak ditekan di dalam mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, sehingga pengertiannya dapat dicurahkan kepada anak-anaknya. Sebaliknya bagi orang tua yang mempunyai tingkat ekonomi yang terlalu rendah, mereka tidak dapat memandang lebih jauh dalam hal memberikan pendidikan kepada anak-anaknya dan mereka tidak pernah meramalkan pendidikan anak mereka yang lebih baik dari mereka, karena mereka sendiri habis disita oleh pekerjaan sehari-hari untuk mencari biaya hidup yang tak pernah berkecukupan.
Walaupun tidak dapat dipungkiri tentang adanya kemungkinan anak yang serba kekurangan yang selalu menderita akibat ekonomi yang lemah, justru keadaan yaang begitu menjadi cambuk baginyaa untuk belajar lebih giat dan akhirnya sukses besar. Sebaliknya keluarga yang kaya raya, orang tua sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anak. Anak hanya bersenang-senang dan berfoya-foya, akibatnya anak kurang dapat memusatkan perhatiannya kepada belajar, hal tersebut juga dapat mengganggu belajar anak. 20)

3. Waktu yang tersedia yang bisa digunakan
Anak merupakan amanah Allah yang diberikan kepada orang tua yang haarus dibimbing dan dididik untuk menjadi anak yang shaleh, yang nanti pada akhirnya para orang tua akan mempertanggung jawabkannya di depat Allah Swt, atas amanah yang diberikan kepada mereka.
Anak yang shaleh adalah anak yang prilakunya sesuai dengan ajaran aagama Islam. Sesuai dengan hadits Nabi yaang berbunyi :


Untuk menjadikan anak yang shaleh, tentu saja memerlukan bimbingan dan pendidikan, terutama pendidikan dari orang tua. Dan untuk melaksanakan semua itu memerlukan waktu, agar dapat berkumpul dan berkomunikasi antara orang tua dan anak. Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama menciptakan komunikasi antara orang tua dan anak. Sebab dengan adanya waktu bersama, barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan antara keluarga. bagaimanapun juga tak seorangpun dapat menjalin komunikasi dengan anak bila mereka tidak pernah bertemu walaupun bercakap-cakap.
Dan yang perlu diingat dalam berkomunikasi seyogianya orang tua bersikap menghormati anak. Hal ini tidak berarti bahwa orang tua harus menuruti kehendak anak, tidak boleh menegur atau memarahinya. Tegur dan dan marahilah anak bila perlu dan berikanlah pengertian mengapa orang tua bersikap demikian. Jangan segan-segan memberikan pujian dan penghargaan bila anak itu pantas menerimanya. Penghargaan dan pujian itu pantas diberikan kepada anak yang telah mencapai prestasi disebabkan oleh usahanya sendiri.
Bagi orang tua yang jarang berkumpul dengan keluarga memang mempunyai kesulitan dalah pembagian waktu itu, mereka hampir tida ada kesempatan untuk membimbing dan mendidik anak, karena terus disibuki dengan masalah-masalah yang dihadapi, sehingga kepentingan anak menjadi terabaikan.
Seorang babap yang baik betapapun sibuknya dengan kepentingan sendiri dengan pekerjaan, ia pasti akan selalu meyisihkan waktunya untuk membimbing anaknya. Soal pengaturan waktu bukan menjadi persoalan, selain itu komunikasi antara ibu dengan anak, atau lamanya bapak dengan anak, bukalah semata-mata ditentukan oleh lamanya waktu yang dipakai tetapi ditandai dengan ketepatan bentuk cara berkomunikasi tersebut.22)

Ada juga orang tua walaupun berada di rumah dan punya waktu banyak, namun tidak bisa memanfaatkannya (waktu) dengan baik untuk memberikan didikan dan bimbingan kepada anaknya. Ini tentu saja merugikan anak, karena itulah ketepatan mengatur waktu luang, walaupun sedikit tetapi dapat dipergunakan dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk berkumpul, becengkrama dengan anggota keluarga. waktu senggang itulah kiranya yang paling tepat bagi orang tua (ayah dan ibu) memberikan didikan dan bimbingan, karena dalam suasana gembira, santai, itu akan lebih mudah masuk ke dalam jiwa anak-anak dibandingkan dengan memberikannya pada waktu tegang.
Maka jelaslah bahwa keutuhan keluarga dalam artian kehadiran ayah dan ibu di dalam keluarga sangat berpengaruh pada diri anak-anak. Di samping itu yang tak kalah pentingnya keutuhan interaksi antara keluarga yang satu dengan anggota keluarga lainnya, juga mempengaruhi terhadap diri anak, karena seperti diketahui bahwa keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar berinteraksi sebagai makhluk sosial dan memberikan dasar-dasar pembentukkan tingkah laku, moral, ketentraman dan ilmu pengetahuan pada anak. Pengalaman interaksi positif di dalam keluarga akan menentukan pola tingkah laku anak terhadaap orang lain dalam masyaarakat pada masa yang akan datang.
4. Minat anak untuk belajar yang selalu dapat dipacu
dalam melaksanakan suatu pekerjaan, perbuatan dan sebagainya akan dapat lancar dan berhasil dengan baik, apabila orang yang melakukannya itu ada minat terhadap pekerjaan tersebut. Demikian juga halnya dengan belajar, pelajaran iti berjalan lancar apabila pada diri anak ada minat.
Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat anak, anak tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya, tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu.
Minat menurut Slameto adalah :
“suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.” 23)

Sedangkan menurut Agus Sujanto, minat adalah “suatu pemusatan perhatian yang tidak disengaja yang terlahir dengan penuh kemauannya dan tergantung dari bakat dan lingkungannya”. 24)
Sesuatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa anak lebih menyukai suatu hal dari pada yang lain, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Anak yang memiliki terhadap subyek tertentu cederung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subyek tersebut.
Jadi walaupun berbagai faktor belajar sudah menunjang, tetapi kalau anak tidak berminat, hasilnya tidaklah dapat mencapai seperti subyek tersebut yang diinginkan.
Jika ada anak yang kurang berminat terhadap pelajaran, dapatlah diusahakan agar ia mempunyai minat yang lebih besar dengan cara menjelaskan hal-hal yang menarik dan
berguna bagi kehidupan serta hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita serta kaitannya dengan pelajaran yang dipelajari.
Mengingat pentingnya minat dalam belajar, menurut para ahli minat itu perlu dibangkitkan. Nasution mengatakan, bahwa
Minat dibangkitkan dengan cara :
a. Bangkitkan suatu kebutuhan (kebutuhan untuk menghargai keindahan untuk mendapatkan penghargaan dan sebagainya).
b. Hubungkan dengan pengalaman yang lampau.
c. Beri kesempatan untuk mendapat hasil.
d. Gunakan berbagai bentuk mengajar seperti diskusi, kerja kelompok, membaca, demonstrasi, dan sebagainya. 25)

Namun perlu didasari bahwa minat seyogianya sesuai dengan kemampuan yang ada, sebab bila minat dan kemampuan tidak seimbang salah-salah anak menjadi sinting.
5. Motivasi orang tua dalam hal-hal yang positif.
Motif berarti gerakan atau sesuatu yang bergerak. Dalam psikologi motif berarti rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku.
Motovasi merupakan istilah yang lebih umum dari pada motif, yang menncakup seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan atau akhir dari pada gerakan atau perbuatan. Menurut Drs. J.T. Lobby Loekmono, motivasi adalah “merupakan dorongan dari dalam yang menimbulkan kekuatan individu untuk bertindak atau bertingkah laku guna memenuhi kebutuhannya”.26)
Dalam belajar memerlukan adanya motivasi, makin tepat motivasi yang diberikan makin berhasil pelajaran itu. Motivasi merupakan intensitas usaha anak dalam belajar. Anak yang mempunyai intelegensi yang tinggi mungkin gagal dalam belajar, karena kekurangan motivasi. Karena itu hasil yang baik akan tercapai dengan motivasi yang kuat. Anak yang gagal tidak begitu saja dipersalahkan, mungkin orang tua atau gurulah yang tidak berhasil memberikan motivasi yang dapat membangkitkan kegiatan pada diri anak, karena memberi motivasi bukanlah pekerjaan yang mudah. Motivasi berhasil bagi seseorang atau suatu kelompok mungkin tidak berhasil bagi anak atau kelompok lain.
Oleh karena itu, begitu pentingnya motivasi bagi anak dalam belajar, maka bagi para orang tua hendaknya sering-sering memberikan motivasi yang positif kepada anaknya, sehingga apa yang diinginkan tercapai dengan baik. Adapun motivasi mempunyai tiga fungsi:
a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai pengerak atau motor yang melepaskan energi.
b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.
c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dijalankan yang serasi guna mencapai tujuan itu, dengan menyampingkan perbuatan-perbuatan yang tak bermanfaat bagi tujuan itu.27)

Motivasi ada dua macam, motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik, motivasi yang bersal dari dalam, sedangakan motivasi ekstrinsik, motivasi yang berasal dari luar, misalnya apa motif atau sebab anak belajar ?
a. Ia belajar karena didorong oleh keinginan untuk mengetahuinya.
b. Ia belajar karena ingin mendapat angka yang baik, naik kelas, dan mendapat ijazah.28)
Pada contoh pertama, anak belajar karena didorong oleh motivasi intrinsik, yakni ia ingin mendapatkan pencapaian tujuan yang terkandung dalam perbuatan belajar itu sendiri. Sebaliknya pada contoh kedua anak belajar didorong oleh motivasi ekstrinsik, yaitu tujuan-tujuan itu terletak di luar perbuatan belajar itu sendiri karena tujuan untuk mencapai penghargaan berupa angka, karena ingin dilihat oleh orang lain, dan sebagainya.
6. Lingkungan sosial keagamaan yang orang-orangnya agamis
Lingkungan sosial ialah lingkungan yang terdiri dari individu atau sekelompok individu, interaksi antara individu-individu tersebut menimbulkan proses dan bahkan proses itu menyangkut proses sosial yang disebut pergaulan, di mana situasi tersebut berhubungan erat dengan masalah pendidikan. Menurut Zakiyah Daradjat “dalam pergaulan tidak selalu berlangsung pendidikan walaupun di dalamnya terdapat faktor-faktor yang berdaya guna untuk mendidik. Pergaulan merupakan unsur lingkungan yang turut serta mendidik seseorang”.29)
Dalam pergaulan itu sendiri terdapat pengaruh yang mempunyai nilai paedagogik dan ada juga terdapat pengaruh yang tidak paedagogik.
Apabila anak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kedamaian, harmonis, orang-orang yang agamis serta orang tua yang mengasuhnya taat melaksanakan perintah Allah. Kemudian teman pergaulannya terdiri dari orang yang berpendidikan dan berkelakuan baik, keadaan seperti inilah yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian anak dan pengaruh tersebut tentu saja pengaruh yang baik. Tetapi sebaliknya keadaan lingkungan yang tidak damai, kacau, tidak agamis serta keluarganya berantakan, ditambah lagi teman pergaulannya orang-orang yang tidak baik misalnya suka bergadang, pecandu, rokok, film, minum-minuman keras, dan sebagainya. Ini semua akan berpengaruh tidak baik kepada anak.

D. Peranan Orang Tua dalam Pendidikan Agama Di Rumah Tangga
Rumah tangga merupakan lembaga pertama, di mana anak-anak menerima pendidikan. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak dan moral anak. Jadi, segala tingkah laku dan perbuatan dalam keluarga terutama orang tua menjadi contoh yang akan ditiru anak. Di samping itu juga, keluarga merupakan pangkal ketentraman dan kebahagian hidup anak.
Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan secara kodrati suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak.
Orang tua atau ibi dan ayah memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak lahir, ibinyalah yang selalu ada di sampingnya. Oleh karena itu ia meniru perangai ibunya, apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik, maka seorang anak akan lebih cinta kepada ibunya. Ibu merupakan orang yang mula-mula dikenal anak, yang mula-mula menjadi temannya dan yang mula-mula dipercayainya. Adapun yang dilakukan ibu dapat dimanfaatkannya, kecuali apabila ia ditinggalkan. Dengan memahami segala sesuatu yang terkandung di dalah hati anaknya, juga jika anak telah mulai besar, disertai kasih sayang, dapatlah ibu mengambil hati anaknya untuk selama-lamanya.
Pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula. Di mata anaknya ia seorang yang tertinggi gengsinya dan terpandai di antara orang-orang yang dikenalnya. Cara ayah melakukan pekerjaannya sehari-hari berpengaruh pada pekerjaan anak-anaknya. Ayah merupakan penolong utama, lebih-lebih bagi anak yang agak besar, baik laki-laki maupun perempuan, bila ia mau mendekati dan dapat memahami anaknya.
Oleh karena itu, yang mula-mula harus diterapkan orang tua kepada anak-anaknya sejak kecil adalah kebiasaan-kebiasaan yang baik terutama sekali dalam masalah akhlak dan tingkah laku. Kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak tentunya harus sesuai dengan jiwa ajaran Islam, sebab apabila orang tua memberikan contoh dari sikap yang baik dalam kehidupan mereka sehari-hari sejak kecil tentu hal itu akan menjadi dasar pokok dalam pembentukan kepribadian anak di waktu dewasa nanti, begitu pula sebaliknya.
Jadi tugas orang tua adalah membiasakan anak-anaknya dengan hal-hal yang baik seperti mengerjakan ajaran agama, terutama dalam ibadah secara konkrit (seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an dan berakhlak mulia). Sebab hal-hal yang baik apalagi dibiasakan tentu akan berakibat baik bagi anak, demikian pula sebaliknya. Dalam hal shalat ini dari segi paedagogik tugas orang tua menurut ajaran Islam, menyuruh anaknya melakukan shalat jika anak sudah berusia 7 tahun, dan dipukul jika anak sudah berusia 10 tahun. Sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi :



Anak itu bersih, suci, tinggal lagi bagaimana orang tua mewarnai apa dijadikan putih ataupun hitam. Seperti yang dikemukakan oleh H.M. Arifin :
Melatih anak-anak adalah suatu hal yang sangat penting sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tuanya. Hati anak suci bagaikan mutiara cemerlang, bersih dari uliran dan gambaran, ia dapat memberi dan menerima segala yang diukirkan atasnya dan condong kepada apa yang dicondongkan kepadanya. Maka jika ia dibiasakan ke arah kebaikan dan diajarkan kebaikan jadilah ia baik dan berbahagia dunia dan akhirat, sedang ayah serta para pendidik-pendidiknya turut mendapat bagian pahalanya. Tetapi bila dibiasakan jelek atau dibiarkan dalam kejelekan, maka celaka dan rusaklah ia, sedang wali atau pemeliharanya mendapat beban dosanya.31)

Oleh karena itu, besarnya peranan orang tua atau keluarga dalam pendidikan khususnya pendidikan agama. Maka orang tua harus tahu berlaku sebagai pendidik dan dituntut pengetahuan dan kesadaran yang tinggi akan tugas dan kewajiban terhadap anak-anak secara penuh dalam rumah tangga.

E. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Pendidikan Agama Di Rumah Tangga
Dalam melaksanakan tugas pendidikan dalan keluarga orang tua harus sadar dan benar-benar merasa bertanggung jawab agar pendidikan yang berlangsung di rumahnya bisa berjalan lancar dan tercipta suasana yang harmonis, karena pengaruh keluarga sangat besar bagi perkembangan jiwa anak.
Tanggung jawab orang tua terhadap anak didasarkan atas motivasi cinta kasih, yang pada hakekatnya juga dijiqai oleh tanggung jawab moral. Secara sadar orang tua mengemban kewajiban untuk memelihara dan membina anaknya sampai ia mampu berdiri sendiri (dewasa) baik secara fisik sosial ekonomi maupun moral.
Tanggung jawab pendidikan Islam yang menjadi beban orang tua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam rangka :
1. Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia.
2. Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmaniah maupun rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan penyelewingan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafah hidup dan agama yang dianutnya.
3. Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki pengetahuan dan kecakapan seluasnya dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.
4. Membahagiakan anak, baik dunia maupun akhirat, sesuai dengan pandangan dan tujuan hidup muslim.32)

Mengenai pelaksanaan kewajiban terhadap keluargan, semuanya akan diminta pertanggung jawaban terhadap keluarga. Oleh karena itu, orang tua yang mempunyai anak diwajibkan menjaga dan memelihara anak mereka agar terhindar dari maksiat dan kemungkaran. Firman Allah dalam surat al-Tahrim yang berbunyi :
يا ايها الذين أمنوا قوا انفسكم واهليكم نارا …
Memelihara yang dimaksud adalah memelihara seorang anak dalam artian mendidik, menjaga dan membimbing dan mengatur diri sendiri, jangan sampai terjerumus ke jalan yang tidak diridhai Allah Swt.
Melatih anak-anak adalah suatu hal yang sangat penting, karena akan merupakan titipan atau amanah dari Allah Swt, yang diserahkan kepada orang tua. Jadi kalau anak dibiasakan dengan hal-hal yang baik-baik seperti melaksanakan ajaran agama terutama ibadah shalat, puasa, membaca al-Qur’an, dan sebagainya, maka ia akan baik, begitu juga sebaliknya, sebab keadaan anak masih suci bagaikan kertas putih tanpa coretan, maka orang tualah yang menentukan ke mana ia mau. Nabi Muhammad Saw bersabda :


Dari hadits di atas, tergambar bahwa orang tua baik atau tidak, karena merekalah yang menentukan masa depan anak-anaknya apakah akan dijadikan baik atau buruk, sesuai dengan keinginan orang tua. Jadi orang tua hendaknya selalu mengawasi dan membimbing anak-anaknya, terutama dalam rumah tangga, sebab ayah dan ibu baru akan berhasil dapat membimbing anak jika ia betul-betul mengarahkan dan memberikan perhatian penuh terhadap anak-anaknya. Sehubungan dengan ini Kartini Kartono mengemukakan bahwa ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam membimbing anak dalam belajar, yaitu kesabaran dan kebijaksanaan :
1. Kesabaran
Janganlah menyamakan jalan pikiran kita dengan jalan pikiran yang dimiliki anak. Di samping itu perlu diadakan kesadaran, bahwa kecerdasan setiap anak tidaklah sama, walaupun usianya sama. Dengan melalui sifat-sifat yang ada pada anak, akan mempermudah untuk membimbingnya. Dan jangan sekali-kali membentak-bentak pada saat anak belum mengerti tentang apa yang ditanyakan.
2. Kebijasanaan
Kita perlu bijaksana untuk mengerti kemampuan yang dimiliki anak (masih sangat terbatas). Sikap kasar justru tidak akan membantu, sebab anak menjadi bertambah gelisah dan takut, sehingga apa yang diperoleh dari bimbingan itu hanya akan merupakan tekanan jiwa dalam dirinya35)

Di samping itu orang tua sebagai pemimpin, juga diminta pertanggung jawabannya terhadap apa yang dipimpinnya. Rasulullah Saw bersabda :


Sedangkan yang menjadi dasar-dasar dari tanggung jawab keluarga terhadap pendidikan anaknya meliputi :
1. Dorongan / motivasi cinta kasih yang menjiwai hubungan orang tua dengan anak. Cinta kasih ini mendorong sikap dan tindakan rela menerima tanggung jawab dan mengabdi hidupnya untuk sang anak.
2. Dorongan / motivasi kewajiban moral, sebagai kunsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Tanggung jawab moral ini meliputi nilai-nilai relegius spritual yang dijiwai Ketuhanan Yang Maha Esa dan agama masing-masing di samping didorong oleh kesadaran memelihara martabat dan kehormatan keluarga.
3. Tanggung jawa sosial sebagai bagian dari keluarga yang pada gilirannya juga menjadi bagian dari masyarakat, bangsa dan negara, bahkan kemanusiaan. Tanggung jawab sosial ini merupakan perwujudan kesadaran tanggung jawab kekeluargaan yang diikuti oleh darah keturunan dan kesatuan keyakinan.37)

Tugas orang tua terutama ayah, di mana dia menjabat sebagai pemimpin yang padanya dipikulkan tanggung jawab yang besar. Dan sebagai umat Islam wajib berusaha agar peraturan-peraturan yang dibawa oleh Rasulullah Saw tersebut dapat berjalan dengan baik, baik di rumah tangga, lingkungan maupun negara.
Jadi jelaslah sebagai orang tua diharapkan bisa melakukan tugasnya yang merupakan tanggung jawabnya dengan baik dan benar, sehingga anak-anak mereka kuat, kokoh dan tidak mudah goyah oleh apapun juga.











SUMBER KUTIPAN BAB II

1.WJS. Poerwadarminta, Kamus Bahasa Indonesi, Cet V, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 250.

2.Anton M. Moeliono, et.al., Kamus Besar Bahasa Indosesia, Cet II, Balai Pustaka, 1989, hal. 204.

3.Drs. H.M. Arifin M.Ed., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkuan Sekolah dan Keluarga, Cet II, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hal. 12.

4.Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet VI, PT. Al- Ma’rif, Bandung, 1986, hal. 19.

5.Drs RHMS Soemantri et.al., Buku Pedoman Guru Agama SD, Cet II CV. Dermaga, Jakarta, 1983, hal. 5.

6.Ibid., hal. 9.

7.Drs. Abd. Rachman Shaleh, Didaktik Pendidikan Agama, Cet VIII, Bulan Buntang, 1976, hal. 19.

8. Ahmad D Marimba, Op. Cit., hal. 23.

9.Ibid., hal. 42.

10.Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Cet VI, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hal. 40.

11. Undang-undang RI No.20 Tahun 2003 tentaang Sistem Pendidikan Nasional, Penerbit CV. Mini Jaya Abadi, 2003. hal. 9.

12.Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Cet XII, P.T. Hidakarya, Agung, Jakarta, 1980, hal. 13.

13.Ahmad D Marimba, Op. Cit., hal. 46.

14.Drs. Sopyani, Ilmu Pendidikan Islam, (Diktat) Fakultas Tarbiyah, IAIN Antasari, Banjarmasin, 1989, hal. 22.

15.Depertemen Agana RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Penerbit Gema Risalah Press Bandung, 1989, hal. 862.

16.Ibid,. hal. 92.

17.Ibid,. hal. 623.

18.Ibid,. hal. 49.

19.Drs. Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu anak, cet. II, Cv. Rajawali, Jakarta, 1989, hal. 37.

20.Drs. Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, cet. I, P.T. Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 66.

21.Abi Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, juz 2. Darur Fikri Bairul 1993, hal. 70.

22.A. Muri Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Ghalia Indonesia, 1982, hal. 27.

23.Drs. Slameto, Op. Cit., hal. 182.

24.Drs. Agus Sujanto, Psikologi Umum, cet. VI, PT Aksara Baru, Jakarta, 1986, hal. 92.

25.Prof. DR. S. Nasution, M.A., Didaktik Azas-azas Mengajar, cet.V, Jemmars, Bandung, 1983, hal. 85.

26.Drs. J.T. Lobby Loekmono, Belajar Bagaimana Belajar, P.T. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal. 42.

27. Prof. DR. S. Nasution, M.A., Op. Cit., hal. 79.

28.Ibid., hal. 80.

29.Dr. Zakiah Dardjat, DKK., Ilmu Pendidikan Islam, cet.II. Bumi Aksara, 1992, hal. 63.

30.Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats, Sunan Abu Daud, Juz. I. Bab. Shalat, Hadits no. 495, Darul Fikri, t.th. hal. 133.

31.Drs. H.M. Arifin M.Ed., Op. Cit., hal. 75.

32.Dr. Zakiah Daradjat, Op. Cit., hal. 38.

33.Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hal. 951.

34.Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Asy-Syayuti, Al-Jami’ush Shagir, jilid II, Darul Fikri, t.c.,t.th … hal. 287.
35.Drs. Kartini Kartono, Op. Cit., hal. 90.

36.Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, Jilid I, cet. I, Pustaka Amini – Jakarta, 1994, hal. 315.

37.TIM Dosen FIP – IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1976, hal. 17.

Tidak ada komentar: