MENYIKAPI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI 2004
( Upaya Mewujudkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan )
Oleh : H. MUNADI SUTERA ALI
ABSTAK
Pesantren dan Madrasah sebagai lembaga pendidikan hendaknya secara serius mempelopori Islamisasi Sains dan Teknologi, hal ini dikarenakan Madrasah dan Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam punya landasan yuridis yang kuat dan secara historis memang lembaga pendidikan madrasah telah mengakar sebagai lembaga pendidikan Islam, yang secara langsung muatan pendidikannya lebih banyak berbicara tentang ilmu ke-islam-an. serta dengan adanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Tahun 2004 dimana lembaga pendidikan yang bersangkutan memiliki keleluasaan menyusun sillaby sendiri per mata pelajaran.
Keseriusan untuk melakukan Islamisasi Sains dan teknologi ini, harus dituangkan dalam bentuk upaya kerja keras kalangan pesantren dan madrasah mengembangkan KBK 2004, mulai dari menyelaraskan Tujuan Pendidikan dan Pengajarannya dengan tujuan pendidikan Islam, kemudian pengembangan muatanya, strategi pembelajarannya ( termasuk di dalammnya standarisasi sarana dan prasarana pendukung ) sampai kepada masalah penilaian pelaksanaan dan hasil didikannya.
Jika KBK 2004 ini oleh kalangan dapat dimodefikasi dengan baik, maka kalangan Pesantren dan Madrasah akan menjadi pioner bagi islamisasi Sains dan teknologi yang telah lama dinantikan oleh umat Islam.
Kata Kunci :
Kurikulum Berbasis Kompetensi – Strategi Pembelajaran – Media Pembelajaran – Muatan Program
A. Pendahuluan
Sekarang banyak pakar Saintis Muslim menginginkan hilangnya dikotomis antara Ilmu pengetahuan Umum dan Ilmu Pengetahuan Agama, yang diinginkan adalah ilmu yang Islamis, ilmu yang dikembangkan dengan dasar-dasar norma/ nilai-nilai Islam.
Berbicara tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan ini, maka pembicaraan tidak bisa dilepaskan dari lembaga pendidikan yang menumbuh kembangkan dan mencetak ilmuan-ilmuan yang menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan tersebut. Dan ini kita pun akan tidak bisa melepaskan diri dari membicarakan kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Kurikulum menurut pendapat salah seorang ahli pendidikan muslim, adalah :
“ Kurikulum adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial, olehraga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-murid di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk berkembang menyeluruh dalam segala dan merubah tingkahlaku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan” .
Dengan demikian, jelaslah apa yang menjadi muatan kurikulumlah yang akan ditransferkan kepada peserta didik, baik berupa nilai, pengetahuan atau pun keterampilan, yang membentuk karakter peserta didik itu, manakala mereka menyelesaikan rangkaian pendidikannya dan terjun sebagai ilmuan akan memberi warna tertentu dalam mereka memandang dan mengembangkan ilmu pengetahuan mereka.
Dari definisi kurikulum di atas dapat dimengerti bahwa kurikulum itu mempunyai empat unsur atau aspek utama, yaitu :
1. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan itu. Dengan lebih tegas lagi orang yang bagaimana ingin kita bentuk melalui kurikulum itu ?
2. Pengetahuan (knowledge), informasi-informasi, data-data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu. Bagian inilah yang biasa disebut mata pelajaran. Bagian ini pula yang dimaksudkan dalam silabus.
3. Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh guru-guru untuk mengajar dan mendorong murid-murid belajar dan membawa mereka ke arah yang dikehendaki oleh kurikulum.
4. Metode dan cara penilaian yang dipergunakan dalam mengukur dan menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan yang direncanakan dalam kurikulum seperti ujian triwulan, ujian akhir dan lain-lain.
Singkatnya kurikulum itu mengandung tujuan, isi atau muatan kurikulum dan Strategi pembelajaran .
Madrasah dan Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional adalah lembaga pendidikan berciri khas Islam akan sangat memungkinkan untuk melakukan tugas ini. Sebab pertama punya landasan yuridis yang kuat (Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 ) untuk melakukan hal itu. Kedua secara historis memang lembaga pendidikan madrasah telah mengakar sebagai lembaga pendidikan Islam, yang secara langsung muatan pendidikannya lebih banyak berbicara tentang ilmu ke-islam-an. Ketiga dengan lahirnya kurikulum Madrasah tahun 1984 – 1994 dan Suplemen Kurikulum 1994 tahun 1999, telah terlihat upaya-upaya konkret ke arah integrasi ilmu pengetahuan agama dan umum dengan mengupayakan penghapusan dikotomis ilmu pengetahuan agama dan umum, maka upaya ini hendaknya terus dipertajam dengan penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Tahun 2004.
Dalam makalah ini, dengan sendirinya kita harus membicarakan tentang kurikulum Lembaga pendidikan Madrasah dan Pondok Pesantren itu, baik menyangkut tujuannya, muatannya atau pun strategi penerapannya.
B. Kurikulum Berbasis Kompetensi Pada Madrasah dan Pondok Pesantren
Secara Nasional pemerintah menetapkan kompetensi dasar standard untuk jenjang dan jenis pendidikan tertentu berikut dengan standard minimal untuk per mata pelajaran, sedangkan pengembangan syllabi untuk masing-masing tingkat dan jenis lembaga itu diserahkan kepada masing-masing lembaga yang bersangkutan, dan ini disamping sebagai sebuah tantangan yang cukup berat, juga secara implisit merupakan peluang untuk mengembangkan pola dan kualitas pendidikan dengan keunggulan-keunggulan yang diinginkan oleh lembaga itu.
Jika kita berkeinginan mengembangkan lembaga pendidikan yang Islami, maka kita harus merancang Kurikulum yang diharapkan dapat menjadi acuan diselenggarakannya lembaga pendidikan itu, yang memuat konsep-konsep ideal tentang itu, baik menyangkut tujuan pendidikannya, muatannya, strategi pembelajarannya (metode dan media pendukungnya), penilaiannya harus sesuai dengan pola kurikulum itu sendiri yang mengharapkan lahirnya kompetensi peserta didik setiap kali terjadi proses pembelajaran mereka.
Tujuan Pendidikan Madrasah dan Pondok Pesantren
Berbicara tentang tujuan pendidikan, tak dapat tidak mengajak kita bicara tentang tujuan hidup, yaitu tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Manusia dalam usahanya memelihara kelanjutan hidupnya mewariskan berbagai nilai budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian masyarakatnya bisa hidup terus. Tetapi bukan hanya itu fungsi pendidikan. Fungsi lain adalah pengembangan potensi-potensi yang ada pada individu-individu supaya dapat dipergunakan olehnya sendiri dan seterusnya oleh masyarakat untuk menghadapi tantangan-tantangan milieu yang selalu berubah. Seperti pengembangan akal kanak-kanak di sekolah menyebabkan ia dapat mencipta alat-alat modern untuk mengatasi masalah kehidupan dan berupaya meuju kehidupan yang lebih baik dengan mencipta teknologi modern untuk menanggulangi masalah tersebut dan mencapai kehidupan yang lebih baik. Sebab pendidikan pendidikan merupakan alat yang diperlukan manusia untuk memelihara hidup dan mencapai kehidupan yang lebih baik.
Kalau begitu tujuan pendidikan itu mestilah selaras dengan tujuan hidup. Dan Islam telah menggariskan tujuan hidup manusia. Tujuan hidup dalam Islam berbeda dengan tujuan hidup golongan yang tidak bertuhan. Tujuan hidup golongan anti Tuhan ini digambarkan dalam firman Allah SWT :
“Mereka berkata tidak ada hidup kecuali hidup kita di dunia ini. Kita mati, kita hidup, tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa. Sedang mereka dalam hal ini tidak tahu apa-apa. Mereka hanyalah menyangka-nyangka” (Q: 45: 23).
Tujuan pendidikan berdasar pada pandangan hidup seperti ini dengan tegas dinyatakan oleh John Dewey Mazhab; tokoh pragmatisme dalam filsafat, atau dalam pendidikan disebut progressivisma yang senantiasa mengukur sesuatu dari segi manfaatnya secara praktis dalam kehidupan (utilitarian), yakni :“ Since there is nothing to which is relative save more growth is nothing to which education is subordinate save more education. The education process has no end beyond itself – it its own end”.
Sementara Islam menegaskan bahwa tujuan hidup seorang muslim adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT, sebagaimana firman Nya yang artinya : “Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka mengabdi kepada Ku (Q.51: 56 ).
Mengabdi atau Menyembah atau dalam istilah agama disebut “beribadah” dalam pengertianya yang luas berarti mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada diri manusia menurut petunjuk Allah. Apakah sifat-sifat Allah itu ? Yaitu sifat dua puluh, tetapi diberi 99 nama dan disebut Al-Asma Al-Husna yaitu nama-nama Allah yang baik. Seperti : Ar-Rahman, Ar-Rahim, Al-Quddus, Al-Hay, Al-Muhyi, Al’Alim, Al-Qadir, Al-Khaliq, Malik Al-Mulki, dan lain-lain lagi.
Mengembangkan sifat-sifat rabbany pada manusia itulah ibadah, dimana manusia harus pertama melaksanakan ibadah mahdhah; pengabdian yang langsung secara vertical berhubungan dengan Allah, seperti: mendirikan Shalat, dengan shalat manusia menjadi suci, dari segi rohani, fikiran dan jasmani, bahkan sebelum shalat pun sudah seharusnya seorang muslim mensucikan dirinya baik dari hadats kecil maupun besar, dan diupayakan meningkatkannya dengan pensucian diri pada aspek rohaninya. Dalam shalat tidak boleh dilakukan dengan pura-pura atau riya (Lihat QS. 107: 6). Selain dari itu Shalat juga sebagai upaya pensucian roh, manakala roh menjadi suci orang akan terhindar dari perbuatan jahat dan mungkar (lihat QS. 29: 45). Jadi dengan menunaikan sembahyang manusia menjadi suci dari segala segi, jadi ia mengembangkan pada dirinya salah satu sifat Allah, yaitu Maha Suci (Al-Quddus). Begitu juga dengan ibadah-ibadah mahdhah lainnya.
Selain Ibadah Mahdhah, adalagi pekerjaan mu’amalah yang diniatkan untuk mencapai redha Allah SWT, juga dianggap sebagai cabang ibadah-ibadah yang secara vertical memang tidak langsung berhubungan dengan Allah SWT, namun tujuan akhirnya merupakan pengabdian kepada Allah SWT, karena ditujukan untuk mencapai cinta dan reda Allah SWT.
Kelompok Ibadah ini, adalah semua pekerjaan yang tadinya hanya mubah, tapi karena ditujukan untuk mencapai redha dan cinta Allah, maka bernilai ibadah seperti bertani, bertukang, berdagang, mengajar, berumah tangga, menuntut ilmu, dan lain sebagainya asal dengan syarat pertama sesuai dan tidak bertentangan dengan ketentuan Syariah, maka tentu sifat-sifat Tuhan yang banyak itu akan terus berkembang pada diri manusia dan ia semakin mendekati kesempurnaan. Seperti kata Al-Attas:
“ Man of Islam, Presupposes the emergence in him of a higher type man capable of lofty inspirations towards self-improvement-the self improvement that is no less than actualization of his latent power and capacity to become a perfect man. The man of Islam is a city dweller, a cosmopolitan, living a civilized life according to clearly defined foundations of social order and codes of conducts, is he to whom obedience of Divine Law endeavour towards realizing true justice and striving after right knowledge and cardinal virtues. The motive of conduct of such man is eternal blessesdness, entrance into a state of supreme peace”
Tujuan hidup seorang Muslim yang digambarkan oleh Al-Attas di atas itu sebenarnya sama artinya dengan do’a yang selalu kita baca dalam tiap sembahyang yang artinya: “wahai Tuhanku, sesungguhnya sembahyang, ‘ibadah hajiku, hidupku dan matiku, semuanya adalah untuk Allah, Tuhan seru sekalian ‘alam,”
Tujuan hidup Muslim ini menjadi pula tujuan pendidikan di dunia Islam sepanjang sejarahnya, semenjak zaman Nabi saw sampai sekarang telah dirumuskan sebagai berikut:
“Education should Ain at balanced growth of the total personality of man through the training of Man’s spirit, intellect, the rational self, feelings and bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spirituals, intellectual, imaginative, physical, scientific, lingistic, both individually and collectively and motivate all these aspects towards goodness and the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large”.
Tujuan pendidikan di atas dapat diterjemahkan secara operasional ke dalam syllabus dan mata pelajaran yang diajarkan di Madrasah dan Pondok Pesantren dan bahkan diberbagai tingkat pendidikan lainnya mulai dari lembaga pendidikan pra sekolah, lembaga pendidikan dasar, lembaga pendidikan menengah dan lembaga pendidikan tinggi, malah juga pada lembaga-lembaga pendidikan jalur luar sekolah, baik di rumah tangga atau pun di masyarakat dan lembaga kursus-kursus.
Muatan Program Dalam Kurikulum Madrasah dan Pondok Pesantren
Muatan Kurikulum adalah struktur program yang berisikan konsep-konsep pengetahuan yang akan diterima peserta didik selama menjalani proses pendidikannya di suatu lembaga pendidikan.
Konsepsi pngetahuan yang membuat adanya dikotomis ilmu pengetahuan adalah berasal dari pandangan barat tentang ilmu pengetahuan itu sendiri, yang semuanya berkisar pada kerangka berfikir mereka bahwa pengetahuan semata didapat lewat proses akal (acquired) tidak memberi tempat kepada wahyu Tuhan (revelation) sebagai sumber pengetahuan. Di sinilah letak perbedaan yang sangat mendasar antara pandangan Barat tentang ilmu pngetahuan dengan pandangan Islam.
Muatan kurikulum menjadi sangat urgen dibicarakan, untuk memberi jawaban tentang manusia yang dicita-citakan oleh pembuat kurikulum itu.
Pandangan Barat tentang ilmu pengetahuan, telah diwariskan oleh penjajah Belanda sehingga menjadikan muatan kurikulum kita terpilah menjadi ilmu pengatahuan umum (Mata Pelajaran Umum) dan Ilmu pengetahuan Agama ( Mata Pelajaran Agama).
Dalam al-Qur’an disebut bahwa agama Islam adalah agama fithrah. Firman Allah swt dalam al-Qur’an:
“ Hadapkanlah wajahmu kepada agama yang suci, yang merupakan “fithrah” Allah yang sesuai dengan kejadian manusia” (QS.Ar Ruum:30).
Ini berarti agama yang diturunkan oleh Allah melalui wahyu kepada nabi-nabinya adalah sesuai dengan fithrah atau sifat-sifat semula jadi manusia.
Dalam sebuah Hadits, sabda Nabi saw:
“ Tidak adalah bayi itu melainkan dilahirkan dengan fithrah. Sehingga maka ibu bapanya yang menjadikan ia Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari).
Ini berarti bahwa manusia lahir dengan potensi yang kita kataka tadi sifat-sifat Tahun yang diberikan kepada manusia, yang tergambar dalam sifat dua puluh yang mempunyai 99 macam itu, termasuk ilmu, berkuasa, bercakap, kasih-sayang dan lain-lain. Sedang dalam ayat yang kita sebut di atas agama yang diturunkan melalui wahyu itu disebut juga fithrah. Jadi fithrah ibarat sebuah mata uang yang bermuka dua. Muka pertama disebut wahyu, dalam konteks Islam disebut al-Qur’an dan Sunnah, sedang muka yang kedua disebut akal, atau yang tergambar pada sifat-sifat Tuhan (Divine Attributes) yang berjumlah 99 itu.
Ibnu Khaldun juga membagi ilmu itu kepada dua golongan besar, yaitu ilmu aqal (akal) ilmu naqal (wahyu). Imam Al-Ghazali membagi ilmu kepada ladunni dan insani . Sedang al-Attas membaginya kepada: ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah . Sedang second world conference on Muslim education, membaginya kepada ilmu abadi (perennial) ilmu dicari (acquired) dengan akal.
Dalam Second World Conference on Muslim Education dinyatakan bahwa segala pengetahuan yang ada ini diklassifikasikan kepada dua macam menurut sumbernya, yaitu ilmu abadi dan ilmu dicari dengan akal dengan katanya :
“Planning of education to be based on the classification of knowledge into two categories :
a. “Perennial”knowledge derived from the qur’an and the sunnah meaning all sharia – oriented knowledge relevant and related to them, and
b. “Acquired” knowledge susceptible to quantitative growth and multiplication, limited variation and cross – cultural borrowings as long as consistency with the Sharia as the sources of value is maintained.”
Pengetahuan perennial ; di terima melalui wahyu yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, sedang acquired ; diperoleh melalui imaginasi dan pengalaman indera. Hanya pengetahuan terakhir inilah yang kita pelajari dengan berdasarkan pandangan Barat dalam mempelajari Mata pelajaran Umum, sedang wahyu hanya di ajarkan pada Mata Pelajaran Agama dengan 7 pokok materi keislaman pada sekolah umum, dan dimadrasah Mata Pelajaran Agama dibagi ke dalam 5 Sub Mata Pelajaran Agama, pada hal menurut konsepsi Islam agar kurikulum itu bersifat Islam haruslah konsep Islam berpadu dengan mata pelajaran lain.
Strategi Pembelajaran Madrasah dan Pondok Pesantren
Strategi Pembelajaran, merupakan ujung tombak penerapan konsep-konsep dalam muatan kurikum, yang dalam kurikulum lembaga pendidikan di negara kita digambarkan dalam ‘rambu-rambu’ kurikum yang harus dipegang oleh seorang pendidik, dia menyangkut metodologi pengajaran , pengunaan media/ sumber pembelajaran dan penilaian proses pendidikan.
Pertama : metodologi; menyangkut pembicaraan bagaimana (how) mempelajari sesuatu, dengan kata lain bagaimana cara yang harus dikembangkan guru agar terjadi “proses belajar” (learning process) pada peserta didik.
Dalam istilah psikologi yang disebut “pelajar” (learner) adalah manusia yang belajar. Istilah belajar (learning) mempunyai berbagai teori. Ada teori S – R (stimulus – Response Theoty), teori Gestalt, teori lapangan (field theory),teori operant (operant theory) dan lain-lain sebagainya. Tentu jasa dalam ruang yang terbatas ini kita tidak diharapkan untuk menguraikan teori itu satu persatu. Tetapi yang dapat disimpulkan di sini bahwa teori-teori itu semua membuktikan bahwa “belajar” itu adalah suatu proses yang komplek, tidak sesederhana yang kita bayangkan. Tidak semudah memasukkan sampah dalam keranjang.
Dalam buku filsafat Pendidikan Islam dijelaskan bahwa metodologi mengajar dalam pendidikan Islam cukup kaya, terutama pada zaman keemasan Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang dibuktikan oleh filosof-filosof Islam ialah terkenal seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Maskawaih, al-Mawardi, Ibnu Sina, al-Gazali, Ibnu Rusyid, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Metode-metode pengajaran yang selalu kita dapati pada mereka misalnya adalah metode lingkaran (halaqah), metode mendengar, metode membaca, metode imla, metode hafalan, metode pemahaman, metode lawatan dan lain-lain lagi dengan harus mempertimbangkan suasana dan keadaan teknologi pada waktu dahulu itu. Metode imla (dictation) dan hafalan misalnya adalah perlu sekali pada waktu itu sebab belum ada percetakan dan Xerox seperti sekarang ini. Tentang metode halaqah (lingkaran) ternyata penemuan-penemuan psikologi mutakhir menunjukkan bahwa cara ini sangat effective kalau digunakan membahas suatu topik, sebab dalam bentuk lingkaran itu setiap peserta merasa setarap dengan peserta-peserta lain. Jadi sekatan-sekatan psikologi (psychological barrier) dihilangkan.
Media Pembelajaran ( Media Instuksional )
Penggunaan teknologi pendidikan (education technology) yang meliputi berbagai aspek seperti audio-visual material, teaching aids, dan lain-lain. Pendeknya meliputi segala hal yang akan membawa proses belajar-belajar bisa lebih effektif.
Media Instruksional, meliputi media audio, mdia visual, atau Audio Visual Aids dalam proses pembelajaran harus betul-betul dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada sekarang untuk memantapkan pelajaran itu. Jadi proses pembelajaran jangan hanya sekedar kuliah (lecture) tetapi segala macam audio visual digunakan, seperti slides, transparency charts, skenner, TV, radio, tape-recorder, dan lain-lain lagi. Namun dalam penggunaan berbagai pertama media ini haruslah dalam garisan bahwa media hanyalah alat untuk mencapai tujuan dan kedua alat untuk membangkitkan minat peserta didik agar terlibat aktif dalam proses mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Hal yang penting ditanamkan kepada peserta didik, bahwa manakala dia bersentuhan dengan produk sains dan teknologi modern, bahwa itu semua harus dapat dimanfaatkan untuk bagaimana meningkatkan kualitas usaha mencapai tujuan hidup untuk mengabdi kepada Allah SWT, dengan meniti dua jalur pertama pelaksanaan ibadah mahdhah atau jalur vertikal, kedua beribadah dengan memanfaatkan jalur horizontal, yakni dengan tujuan mengabdi kepada Allah SWT, sebanyak-banyaknya bisa mendatangkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kehidupan umat manusia dan makhluk Allah lainnya.
Penilaian
Aspek kurikulum pendidikan Islam yang paling banyak mendapat keritikan oleh pendidik-pendidik modern adalah aspek penilaian ini. Oleh sebab itu ada baiknya kita uraikan juga aspek ini, walaupun tumpuan pembicaraan kita barangkali pada fungsinya saja, sedang aspek-aspek lain akan kita sentuh sepintas lalu saja.
Penilaian sebenarnya berhubungan erat dengan tujuan pendidikan. Penilaian berusaha menentukan apakah tujuan pendidikan dicapai atau tidak. Misalnya kalau kita latih seorang menyetir mobil, maka penilaian adalah ujian menyetir yang kita berikan untuk mengetahui apakah orang tersebut sudah pandai menyetir ataukah belum. Kalau dia sudah tidak membuat kesalahan dalam starter, menekan minyak, memberi isyarat lampu berhenti dan lain-lain maka kita meluluskannya, sedang kalau masih membuat kesalahan, apalagi kalau ia melanggar tiang lampu, misalnya kita menggagalkannya. Dengan asumsi bahwa kalau ia tidak lagi membuat kesalahan, tentu dia akan selamat dan jalanan juga akan aman. Inilah salah satu fungsi penilaian, yaitu memilih (selection) orang-orang berdasar kesanggupannya untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Kalau tujuan pendidikan untuk mencari kerja maka hanya orang-orang yang mampu saja diluluskan memegang kerja itu, yang tidak jangan diberi atau dilatih lagi sampai ia sanggup.
Oleh sebab tujuan pendidikan Islam bukan sekedar mencari kerja, tetapi lebih-lebih adalah untuk berbakti kepada Allah, maka criteria yang dipakai juga harus berlainan, misalnya meletakkan kebijaksanaan (wisdom), budi mulia (virtue) dan lain-lain sebagai kriteria seleksi untuk memilih guru atau dosen atau lain-lain lagi. Sebab tanpa meletakkan criteria ini pendidikan Islam sendiri akan kehilangan ciri-cirinya yang khas.
Fungsi kedua dari pada penilaian adalah sebagai alat Penguatan (reinsforment) (reinforcement) bagi pelajar-pelajar. Yang saya maksudkan dengan Penguatan (reinsforment) adalah ganjaran bagi pekerjaan yang telah dilakukannya. Psikologi selalu berbicara tentang ganjaran untuk mengekalkan tingkahlaku yang diinginkan. Sebab kata ahli-ahli psikologi, pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk mengekalkan tingkahlaku yang baik (diinginkan) dan menghilangkan tingkahlaku yang baik (tidak diinginkan), Ganjaran itu ada bermacam-macam, ada yang bersifat material, seperti hadiah uang atau lain-lain, ada juga yang bersifat non-material seperti tepukan tangan sesudah orang berpidato, atau senyuman diberi kepada anak yang selalu dating tepat waktunya. Kata teori psikologi segala tingkahlaku yang dikuatkan (reinforced) akan tetap, jadi pendidikan mencapai tujuannya, sedang tingkahlaku yang tidak diteguhkan akan hilang. Ada juga yang mengatakan tidak meneguhkan tingkahlaku itu sama dengan menghukumnya (punishmentn).
Oleh sebab waktu bersekolah itu lama, yaitu enam tahun untuk Sekolah Dasar sampai ke Perguruan Tinggi barulah selesai pendidikan formal , sedang pendidikan tidak formal berjalan terus sampai keliang lahat, maka haruslah waktu itu diselang-selingi dengan Penguatan (reinsforment) atau ganjaran. Sebab Penguatan (reinsforment) bisa menghibur hati. Sebenarnya ganjaran melalui penilaian ini juga berlaku dari bawah dan berlaku setiap hari. Tidak usah selalu bersifat formal, kadang-kadang merupakan pekerjaan rumah saja. Dapat menyelesaikan soal-soal aljabar saja, sudah menggembirakan hati, jadi merupakan Penguatan (reinsforment) atau ganjaran juga. Jadi penilaian yang baik adalah yang berulangkali dan terus menerus, sehingga hidup itu tidak membosankan.
Itulah dua aspek terpenting penilaian dalam pendidikan. Selanjutnya bagaimana mengislamkannya ? Sudah disebutkan di atas bahwa penilaian ini berhubungan erat dengan tujuan pendidikan.
Dengan kata lain penilaian itu pertama diadakan untuk menentukan apakah tujuan pendidikan tercapai atau tidak. Pencapaian tujuan pendidikan Islam mempunyai keistimewaan yaitu untuk menyembah dan berbakti kepada Allah sepanjang hayat maka kriteria penilaian juga harus berlainan dengan pendidikan dari falsafat-falsafah lain. Bukan sekedar lulus ujian saja, walaupun ini juga diharuskan , tetapi harus dimasukkan juga kebijaksanaan (wisdom) dan budi mulia (virtues) sebagai kriteria. Malah mungkin kriteria terakhir ini lebih penting dari yang pertama. Kedua penilai juga dapat difungsikan sebagai penguatan (reinsforment). Sebagai Penguatan (reinsforment), maka penilaian dalam pendidikan Islam tidak semestinya bersifat materialistis, artinya ganjaran materi itu jangan terlalu diutamakan, kalaupun dipergunakan harus ditunjukkan bahwa ia hanyalah sebagai alat bukan tujuan.
C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan haruslah dimulai dengan penghapusan dikotomis berbagai mata pelajaran di lembaga Pendidikan, dan yang paling tepat adalah lembaga pendidikan Islam Pesantren dan Madrasah yang melakukan terobosan awal, dengan langkah yang harus dilakukan adalah menyikapi secara serius penyusunan kurikulum lembaga pendidikan 2004 ini mulai dari tujuan , muatannya, metodologi, media pembelajaran dan penilaian.
DAFTAR PUSTAKA
Al Bukhari, Abu abdillah bin Ismail, Sahih Bukhari, Ankara : Crescent Publishing House, 1976
Al Gazali, Ihya Ulum ad Din, Kairo, 1986
Al Nu’umy, Al Manahij wa al Thuruq al Tadris inda Al Kabisi wa Ibn Khaldun, wajarah al Daulah, Lybia, 1973
Al Attas, Islam and Sucalirism, Muslim Youth Movemenn Of Malaysia, 1978
Hasan Langgulung , Manusia dan Pendidikan; Analisis Psikologis dan Sosial; Pustaka Al Husna, 1988
_______________, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Al Ma’arif, Bandung, 1980
_______________, Teori-teori Kesehatan Mental, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1990
John Dewey, Democracy and Education, Mac Millan, London, 1916
Omar At Toumy al Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam ( Terjemah : Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1976
Second Word Confrence on Muslim Education, Under the Auspices of King Abdul Azis Univrsity & Quaidi Azam University, 15 th. To 20 th, Mach, 1980, Islamabad
15 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar