MENGEMBANGKAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM PESANTREN
Dalam Kerangka Sub Sistem Pendidikan Nasional
Oleh : H Munadi Sutera Ali
A. Pendahuluan
Manakala manusia hidup dan ingin mengupayakan bagaimana kehidupan yang lebih baik, maka manusia akan senantiasa membicarakan mengenai masalah pendidikan.
Cita-cita untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik , telah mampu mengantarkan manusia menciptakan berbagai macam jalan yang semakin lama, semakin maju, dan canggih untuk mencari makna dari nilai-nilai luhur yang dicita-citakan itu. Namun kenyataannya, manusia belum pernah memperoleh jawaban yang pasti kapan kehidupan yang lebih baik yang dicita-citakan itu ujungnya, yang ternyata kehidupan yang lebih baik itu terus bergeser dan bertambah lingkupnya, berbanding lurus dengan upaya yang dilakukan manusia tadi. Maka jadilah manusia (sepanjang adanya) senantiasa berada di dalam selalu proses ‘yang terus menerus’ menuju kehidupan yang lebih baik yang dicita-citakannya.
Dengan dibekalinya paling tidak tiga potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir, yaitu pertama potensi konstruksi jasmaniah yang lengkap dengan alat indrawinya, kedua potensi rohaniah dengan berbagai dimensi yang ada di dalamnya (akal – perasaan – kehendak ) dan ketiga potensi alam lingkungan yang telah lebih dahulu diadakan, jauh sebelum manusia dilahirkan, maka memang manusia memungkinkan untuk berupaya mencapai kehidupan yang lebih baik tadi.
Manakala manusia senantiasa mencita-citakan ingin menuju kehidupan yang lebih baik, maka manusia pun akan senantiasa berada dalam sebuah proses pendidikan, sebab manusia harus senantiasa belajar dan belajar, yang juga berbanding lurus dengan upaya pencapaian kehidupan yang lebih baik yang dicita-citakan tadi.
Ajaran Islam menyatakan bahwa Allah menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling dimuliakan oleh-Nya melebihi makhluk-makhluk lain.
Firman Allah :
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka dari darat dan di lautan. Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyak mahkluk lain yang telah Kami ciptakan.” Q.S. al-Isra’/17;70).
Kelebihan itu antara lain, dengan diberikan akal dan daya kehidupan dalam arti membentuk peradaban. Manusia mampu menciptakan dunia kehidupannya sendiri, dan menetapkan nilai-nilai luhur yang ingin dicapai lengkap dengan strategi untuk mencapai cita-cita hidupnya. Kemampuan demikian tidak dimiliki oleh binatang, apalagi tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati. Hidup merupakan sunnah Allah yang tidak bisa diadakan perubahan oleh manusia ( lihat QS.al Fath : 23 ), tapi perubahan kehidupan menuju kehidupan yang lebih baik juga sunah Allah ‘untuk dapat diupayakan’ oleh manusia, sebagaimana firman Nya :
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri manusia sendiri.” (Q.S. al-Ra’d/13:11).
Dengan menjadikan ‘pengabdian’ sebagai eksistensi penciptaan manusia (lihat QS. Al Dzariat :56) , keluhuran ajaran Islam telah menempatkan ‘kualitas usaha’ di atas ‘kualitas hasil’ ( secara implisit, kalau kualitas usaha baik, dimungkinkan kualitas hasil baik), maka adalah kewajiban kaum muslimin untuk senantiasa meningkatkan ‘kualitas usaha’ secara terus menerus menuju ‘ kualitas hasil’ kehidupan yang lebih baik.
Sebagaimana dikemukakan di atas tadi, bahwa proses pendidikan tak bisa dilepaskan dari proses menuju kehidupan yang lebih baik, maka adalah kewajiban muslim di Indonesia untuk senantiasa meningkatkan ‘kualitas usaha’-nya di bidang perbaikan pendidikan Islam, sehingga dapat mengantarkan kehidupan kaum muslimin dan umat manusia ke arah kehidupan yang lebih baik sesuai dengan yang dicita-citakan.
Makalah ini ingin memberikan sumbangan pencarian makna dengan menyajikan bagaimana kedudukan Lembaga Pendidikan Islam Pesantren sebagai sub-sistem Pendidikan Nasional dengan bahan pertimbangan realitas Pesantren saat ini, menyajikan berbagai upaya yang mungkin dilakukan agar Lembaga Pendidikan Islam Pesantren dapat memberikan konstribusi yang sangat besar bagi pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional.
B. Landasan Pemikiran
Hampir seluruhnya Lembaga Pendidikan Islam Pesantren pada awalnya dibangun oleh masyarakat, yang tujuannya untuk pendidikan agama Islam bagi anak-anak mereka. Memang dari segi historis tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian
Lembaga Pendidikan Pesantren sebagaimana di masa perjuangan banyak memberikan andil besar bagi kemerdekaan bangsa ini, maka pada saat ini, idealnya dia dapat lebih banyak berbuat memberikan andil bagi lahirnya generasi pejuang mencapai tujuan kemerdekaan itu. Maka adalah suatu keharusan bagi para pengelola pesantren untuk senantiasa melakukan terobosan baru yang lebih baik dengan berijtihad, agar keberadaan pesantren itu, memang dapat menentukan konstalasi kehidupan berbangsa dan bernegara di
Menurut Mastuhu, sebagaimana dikutif Ahmad Tafsir, ada beberapa prinsip yang berlaku pada pendidikan pesantren. Kesemua prinsip ini menggambarkan ciri utama tujuan pesantren, sebagai berikut :
1. Memiliki kebijaksanaan menurut agama Islam. Anak didik dibantu agar mampu memahami makna hidup, keberadaan, peranan, serta tanggung jawabnya dalam kehidupan masyarakat.
2. Memiliki kebebasan yang terpimpin. Setiap manusia memiliki kebebasan itu tetapi kebebasan itu harus dibatasi karena kebebasan memiliki potensi anakisme. Keterbatasan (ketidak bebasan) mengandung kecenderungan mematikan kreativitas, karena itu pembatasan harus dibatasi. Inilah yang dimaksud dengan kebebasan terpimpin. Kebebasan yang terpimpin seperti ini watak ajaran Islam. Manusia bebas menetapkan aturan hidup tetapi berbagai hal manusia menerima saja aturan yang datang dari tuhan.
3. Berkemampuan mengatur diri sendiri. Di Pesantren, santri mengatur sendiri kehidupannya menuruti batasan yang diajarkan agama. Ada unsur kebebasan dan kemandirian di sini. Bahkan masing-masing pesantren juga mengatur dirinya sendiri. Masing-masing pesantren memiliki otonomi. Setiap pesantren mengatur kurikulumnya sendiri, mengatur kegiatan santrinya, tidak harus sama antara satu pesantren dengan pesantren lainnya. Menarik juga kenyataan, pada umumnya masing-masing santribangga dengan pesantrennya dan menghargai pesantren lain. Sejauh ini belum pernah terjadi perkelahian atau saling mengejek antar santri pondok pesantren yang berbeda, sebagaimana sering terjadi di antara sekolah-sekolah umum di kota. Kebanggaan santri terhadap pesantrennya masing-masing umumnya terletak pada kehebatan dan kealiman kiainya, kitab yang dipelajari, kerukunan bergaul, rasa senasib sepenanggungan, kedisiplinan, kerapian berorganisasi, dab … kesederhanaan. Menarik sekali, kesederhanaan dijadikan kebanggaan. Saya terharu tatkala mengetik bagian ini, terhanyut dalam emosi. Alangkah indahnya sikap itu. Dimana itu ditemukan selain di pesantren ? Tidakkah itu akan tergusur oleh globalisasi?
4. Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Dalam pesantren berlaku prinsip : Dalam hal kewajiban, individu harus menunaikan lebih dahulu, sedangkan dalam hal hak, individu harus mendahulkukan kepentingan orang lain sebelum kepentingan diri sendiri. Kolektivisme itu ditanamkan antara lain melalui pembuatan tatatertib, baik tentang tata tertib belajar maupun kegiatan lainnya. Kolektivisme itu dipermudah terbentuk oleh kesanmaan dan keterbatasan fasilitas kehidupan.
5. Menghormati orang tua dan guru. Ini memang ajaran Islam. Tujuan dicapai antara lain melalui penegakan berbagai pranata di pesantren seperti mencium tangan guru, tidak membantah guru. Demikian juga terhadap orang tua. Nilai ini agaknya sudah banyak terkikis di sekolah-sekolah umum di kota.
6. Cinta kepada Ilmu. Menurut al Qur’an ilmu (pengetahuan) datang dari Allah. Banyak hadits yang mengajarkan pentingnya menuntut ilmu dan menjaganya. Karena itu orang-orang pesantren cenderung memandang ilmu sebagai sesuatu yang suci dan tinggi.
7. Mandiri. Jika mengatur diri sendiri kita sebut otonomi , maka mandiri yang dimaksud adalah berdiri atas kekuatan sendiri. Sejak awal santri telah dilatih untuk mandiri. Mereka kebanyakan memasak sendiri, mengatur uang belanja sendiri, mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar dan pondoknya sendiri, dan lain-lain. Metode sorogan yang individual juga memberikan kemandirian. Melalui metode ini santri maju sesuai dengan kecerdasan dan keuletan sendiri. Tidak diberikan ijazah yang memiliki civil effek juga menanamkan pandangan pada santri bahwa mereka kelaknya secara ekonomi harus berusaha mandiri, tidak mengharap menjadi pegawai negeri.
8. Kesederhanaan. Dilihat secara lahiriah sederhana memang mirip dengan miskin. Padahal yang dimaksud sederhana di pesantren adalah sikap hidup, yaitu sikap memandang sesuatu, terutama materi, secara wajar, proporsional, dan fungsional. Sebenarnya banyak santri yang berlatar belakang orang kaya, tetapi mereka dilatih hidup sederhana. Ternyata orang kaya tidak sulit menjalani kehidupan sederhana bila dilatih seperti cara pesantren itu. Apa yang melatih mereka ? Kondisi pesantren itulah yang melatih mereka. Disini kita melihat bahwa pesantren adalah suatu sistem; yang kondisi itu merupakan salah satu elemennya (yang belum disebut dalam teori Zamakhsari). Kesederhanaan itu sesungguhnya merupakan realisasi ajaran Islam yang pada umumnya diajarkan oleh para shufi; hidup cara shufi memang merupakan suatu yang khas pesantren umumnya.[2]
Prinsip yang berlaku pada pendidikan pesantren tersebut yang sekaligus dapat menggambarkan ciri utama tujuan pesantren, adalah modal dasar yang sangat penting bagi pesantren untuk terus mengembangkan diri, baik untuk peningkatan kualitas kelembagaan atau lulusan.
Keunggulan utama pada pendidikan pesantren menurut saya adalah penanaman keimanan.[3] Dan penanaman iman ini bukan pekerjaan menanamkan konsep dikepala sebagaimana kebanyakan dalam pengajaran sekarang, tetapi justeru ditanamkan lewat kondisi kehidupan budaya pesantren keseluruhan. Inilah konstribusi terbesar pesantren bagi pendidikan bangsa ini sebagaimana yang diinginkan oleh Tujuan Pendidikan Nasional, dan adalah selayaknya ini terus dikembangkan dengan harapan dapatnya out put pesantren masuk ke berbagai pilahan kehidupan berbangsa bernegara, sehingga dapat memberi warna atau bahkan menentukan warna kehidupan di berbagai pilahan kehidupan berbangsa dan bernegara itu, dengan ciri khas Islamnya.
Untuk dapat mewujudkan cita-cita tersebut Lembaga Pendidikan Islam harus melakukan langkah inovatif dan terencana secara matang. Hal yang pertama dilakukan adalah penanganan kelembagaan sudah harus secara profesional dan Institusional. Dengan demikian pengelola Lembaga Pendidikan Islam Pesantren dalam mengambil suatu keputusan kerja didasarkan pada kompetensi yang dimiliki dan dapat serta mudah mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukan itu.
Pembaharuan lainnya adalah menyangkut orientasi visi-misi pesantren ke depan, yang tidak hanya kepada bidang ukhrawiyah semata, tapi juga ke dunyawiyah, dengan tidak meninggalkan ciri khas pesantren itu, yaitu Islam-nya. Dan memang ciri khas itu tidak boleh berubah, karena akan merusak/ bahkan hilangnya sistem pendidikan Islam di lembaga itu sendiri.
Sistem pendidikan Islam dinamis, memiliki dua ciri pokok :
“(I) dia mempunyai ciri-ciri dasar yang tidak berubah, yang membedakannya dengan sistem-sistem lain; jika ciri-ciri dasar ini hilang, maka hilang pula sistem tersebut; (ii) dia mempunyai satu mekanisme untuk merubah ciri-ciri yang tidak mendasar; jika mekanisme pengubah itu tidak terdapat, maka sistem itu tidak akan dapat menyesuaikan dirinya dengan perubahan waktu dan ruang. Jika demikian, sistem akan mandeg dan kemudian menghilang.”[4]
Perubahan orientasi tadi, tentu harus dibarengi dengan langkah inovatif dalam bidang strategi, penyediaan sarana pendukung, penyediaan sumber belajar, dan penguatan serta pembaharuan metodologi belajar.
Lembaga Pendidikan Islam pesantren, harus mau dan mampu menentukan strategi yang tepat, sehingga terasa berjalan beriringan dengan strategi yang ditempuh oleh Pendidikan Nasional. Sehingga memang keberadaan Lembaga Pendidikan Islam pesantren merupakan sub sistem yang menentukan dalam sistem pendidikan Nasional kita.
Perubahan strategi tadi kemungkinannya akan memberikan efek besar bagi out put Lembaga Pendidikan Islam ke depan, untuk dapat masuk ke berbagai kehidupan dengan ciri khasnya. Tapi ini harus dipersiapkan dengan penyediaan sumber belajar yang lengkap serta perubahan dalam metodologi pendidikan dan pembelajaran, guna menyiapkan out put yang ‘senantiasa siap menyesuaikan diri’ dengan lingkungan di mana ia berada.
Pada zaman pertengahan Islam sudah ada ruangan yang luas untuk tempat perkuliahan, sudah ada asrama mahasiswa, juga ada rumah-rumah pengajar, dilengkapi pula dengan tempat-tempat rekreasi, kamar mandi, dapur dan ruang makan.[5] Perpustakaan Madrasah Nizamiyah Bagdad terdapat kira-kira 6000 judul. Di Madrasah al Muntasiriyah Bagdad bahkan ada pemandian dan rumah sakit yang selalu ada dokternya.[6] Merupakan bukti bahwa tidak harusnya, lembaga pesantren dan segala sarana/ prasarananya berada pada garis kesederhanaan, tapi kesederhana ini harus tetap menjadi ‘sikap hidup’ warga pesantren.
C. Lembaga Pendididikan Islam Pesantren di Indonesia
1. Lembaga Pendidikan Islam Pesantren dan UUSPN
Sejak diberlakukannya Undang-undang RI. Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan sebagai undang-undang tanggal 31 Maret 1989 berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, telah diletakkan dasar-dasar aturan lembaga formal pendidikan Islam Madrasah dan aturan jenis dan kurikulumnya. Lembaga pendidikan Islam Madrasah berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut, adalah sama dengan lembaga pendidikan umum, kecuali yang membedakannya adalah ‘yang berciri khas Islam’. Sementara pendidikan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang bukan Madrasah, seperti pondok pesantren, secara eksplisit tidak ada, namun walau pun begitu tetap dimengerti bahwa secara implisit ia bagian dari sistem pendidikan nasional kita, yang tentunya pelaksanaannya diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional kita yang termuat dalam undang-undang tersebut.
2. Realitas Penyelenggaraan Lembaga Pendidikan Islam Pesantren
a. Kelembagaan
Kebanyakan kelembagaan Sistem Pendidikan Islam Indonesia juga teraliennasi, dan tidak jelas bedanya dengan pranata-pranata social Islam lain. Kebanyakan kelembagaan bersifat non-formal dan milik pribadi, tidak professional dan bukan menjadi milik institusi.
b. Orientasi Sistem
Orientasi Sistem Pendidikan Islam lebih banyak berkonsentrasi pada urusan ukhrawiyah, nyaris lepas dari urusan dunyawiyah. Karena memang Lembaga Pendidikan Islam Pesantren pada awalnya dibangun oleh masyarakat, yang tujuannya hanya untuk pendidikan agama Islam bagi anak-anak mereka.
Oreintasi keukhrawian ini terus berjalan seiring dengan tidak diakuinya pendidikan Islam sebagian bagian dari sistem Pendidikan Hindia Belanda. Pemerintah Belanda takut terhadap perkembangan Islam, karena semakin banyak orang Islam yang pandai akan membahayakan kedudukannya. Hal ini kemudian ternyata benar. Dalam sejarah kemerdekaan bangsa, kekuatan utama untuk mengakhiri penjajahan pertama-tama datang dari orang-orang Islam yang lebih dalu memiliki kesempatan belajar, dan pada waktu revolusi kemerdekaan pesantren sebagai pusat Pendidikan Islam Indonesia menjadi pusat-pusat gerilyawan. Praktis tentara pada awalnya berasal dari santri.
d. Strategi
Masih terlihat adanya gejala-gejala dikhotomi antara keduanya. Strategi yang dipilih oleh Lembaga Pendidikan Islam pesantren, masih terlihat berjalan beriringan dengan strategi yang ditempuh oleh Pendidikan Nasional.
Meskipun sudah ada UU No. 2/1989 tentang berlakunya system Pendidikan Nasional, lengkap dengan peraturan-peraturan pemerintah yang mengiringinya, namun masih terasa bahwa mereka berjalan sendiri-sendiri, hal ini dipengaruhi oleh keadaan yang terwariskan sejak zaman penjajah.
e. Sumber Belajar
Pada awalnya santri hanya menerima materi dari sumber tunggal, yakni kiai, namun kini para santri telah menerima materi keilmuan dari berbagai sumber, dan kiai bukanlah satu-satunya sumber belajar. Mereka dapat belajar dari siapa saja dengan bahasa yang mereka kuasai. Perpustakaan telah semakin menjadi pusat kegiatan belajar mandiri, walau pun masih terasa masih rendahnya minat baca di kalangan mereka.
f. Metodologi Pembelajaran
Metodologi pembelajaran yang berlaku saat ini kebanyakan tampak masih “klasik”. Dalam arti mewariskan sejumlah materi ajaran agama yang diyakini benar untuk disampaikan kepada anak didik tanpa memberikan kesempatan kepadanya agar disikapi secara kritis. Metodologi mengajar dan belajar Sistem Pendidikan Islam Pesantren sampai kini masih bercorak menghafal, mekanis, dan lebih mengutamakan pengkayaan materi.
D. Upaya Peningkatan Mutu Lembaga Pendidikan Islam
1. Kelembagaan
a. Dengan berkembangnya zaman, kebutuhan untuk mempertegas batas-batas lembaga pendidikan Islam pesantren dan pranata sosial keagamaan adalah kebutuhan mendesak.
b. Pengelolaan kelembagaan secara professional harus ditumbuh kembangkan pula.
c. Sudah saatnya pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam, mementingkan segi kualitatif dengan tentu tidak mengabaikan segi kuantitatif.
2. Orientasi
a. Orientasi penyelenggaraan Pendidikan Pesantren dengan memberikan porsi yang seimbang antara urusan dunyawiyah dengan urusan ukhrawiyah. Iptek, pemikiran, keterbukaan, dan antisipasi kedepan.
b. Mengupayakan hilangnya dikotomi antara ilmu agama dan umum baik secara filosofi maupun akademis, dengan penekanan pada integritas antara keduanya sehingga diharapkan dari pesantren terasa bahwa Ilmu pengetahuan dan teknologi dipandu oleh iman dan taqwa kepada-Nya.
3. Strategi
a. Sistem Pendidikan Islam Pesantren
b. Lembaga Pendidikan Islam pesantren harus mampu membawa cita-cita nasional, mewujudkan bangsa yang modern dengan tetap berwajah iman dan taqwa, dengan langkah awalnya harus mau merubah metodologi pembelajaran yang memadukan antara pendekatan tradisional-absolut dengan pendekatan modern-ilmiah.
4. Sumber Belajar
a. Mengupayakan sumber belajar yang beragam dan berkualitas, agar mereka dapat belajar dari apa dan siapa saja dengan bahasa yang mereka kuasai .
b. Mentradisikan perpustakaan sebagai pusat kegiatan belajar mandiri.
5. Metodologi Belajar
Menumbuh kembangkan sikap kritis bertanggung jawab, dengan menerapkan pendekatan Pembelajaran Siswa Aktif (PSA) agar mereka berkemampuan memilih, serta lebih mengutamakan proses belajar dalam perspektif “menjadi” di atas perspektif “memiliki”.
E. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa :
1. Kewajiban muslim di Indonesia untuk senantiasa meningkatkan ‘kualitas usaha’-nya di bidang perbaikan pendidikan Islam, sehingga dapat mengantarkan kehidupan kaum muslimin dan umat manusia ke arah kehidupan yang lebih baik sesuai dengan yang dicita-citakan.
2. Kedudukan Lembaga Pendidikan Islam Pesantren sebagai sub-sistem Pendidikan Nasional dimungkinkan dapat memberikan konstribusi yang sangat besar bagi pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional.
3. Upaya yang mungkin dapat dilakukan Lembaga Pendidikan Islam Pesantren sebagai sub-sistem Pendidikan Nasional sehingga dimungkinkan dapat memberikan konstribusi yang sangat besar bagi pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional, adalah :
v Pembaharuan sistem Kelembagaan, dengan mengedepankan aspek institusional dan profesionalisme kerja, dengan mengedapankan standard kualitatif dengan tidak mengesampingkan seluruhnya standar kuantitatif.
v Reorientasi penyelenggaraan Pendidikan Pesantren dengan memberikan porsi yang seimbang antara urusan dunyawiyah dengan urusan ukhrawiyah.
v Dan Mengupayakan hilangnya dikotomi antara ilmu agama dan umum baik secara filosofi maupun akademis, dengan penekanan pada integritas antara keduanya sehingga dirasakan Ilmu pengetahuan dan teknologi dipandu oleh iman dan taqwa kepada-Nya.
4. Sistem Pendidikan Islam Pesantren Indonesia hendaknya secara kualitatif bagaimana mengisi agar sistem Pendidikan Nasional terisi oleh nilai-nilai yang semakin identik dengan ajaran Islam.
v Merubah metodologi pembelajaran yang memadukan antara pendekatan tradisional-absolut dengan pendekatan modern-ilmiah
v Mengupayakan sumber belajar yang beragam dan berkualitas.
v Mentradisikan perpustakaan sebagai pusat kegiatan belajar mandiri.
v Menumbuh kembangkan sikap kritis bertanggung jawab di kalangan santri.
[1] M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah, P3M, Jakarta, 1985, halaman 3
[2]DR.Ahmad Tafsir,Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992, halaman 201-202
[3] DR Ahmad Tafsir, ibid, halaman 203
[4] Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Asraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Gema Risalah Press, Bandung, 1993, halaman 65
[5] Muhammad Athiyah Al Abrasyi (terjemahan:A.Gani), Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan bintang jakarta, 1974, halaman 82
[6] Ibid, halaman 84-85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar