03 Februari 2008

PENYIMPANGAN SIKAP (PERILAKU) KEAGAMAAN

Analisis Psikologis : PENYIMPANGAN SIKAP (PERILAKU) KEAGAMAAN

Oleh H.Munadi Sutera Ali

  1. Pendahuluan
Sikap keagamaan merupakan perwujudan dari pengalaman dan penghayatan seseorang terhadap agama, dan agama menyangkut persoalan bathin seseorang, karenanya persoalan sikap keagamaan pun tak dapat dipisahkan dari kadar ketaatan seseorang terhadap agamanya.
Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara unsure kognisi (pengetahuan), afeksi (penghayatan) dan konasi (perilaku) terhadap agama pada diri seseorang, karenanya ia berhubungan erat dengan gejala jiwa pada seseorang.
Sikap keagamaan sangat dipengaruhi oleh faktor bawaan berupa fithrah beragama; dimana manusia punya naluri untuk hidup beragama, dan faktor luar diri individu, berupa bimbingan dan pengembangan hidup beragama dari lingkungannya.
Kedua factor tersebut berefek pada lahirnya pengaruh psikologis pada manusia berupa rasa takut, rasa ketergantungan, rasa bersalah, dan sebagainya yang menyebabkan lahirnya keyakinan pada manusia. Selanjutnya dari keyakinan tersebut, lahirlah pola tingkah laku untuk taat pada norma dan pranata keagamaan dan bahkan menciptakan norma dan pranata keagamaan tertentu.
Dalam kehidupan di masyarakat, sering ditemui perilaku/ sikap keagamaan yang menyimpang, maka dalam makalah ini dengan kajian psikologis, akan dibahas tentang hal tersebut, berikut dengan penyebabnya, yang diharapkan dari sini dapat digali berbagai alternatif yang dimungkinkan untuk menghindari penyimpangan tingkah laku keagamaan tersebut.

B. Pembentukan dan Penyimpangan Sikap Keagamaan

Dr. Mar’at mengemukakan ada 13 pengertian sikap, yang dirangkum menjadi 4 rumusan berikut :

Pertama sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan (di rumah, sekolah, dll) dan senantiasa berhubungan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa atau pun ide, sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek. Kedua, Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu, dengan memiliki kadar intensitas yang tidak tentu sama terhadap obyek tertentu, tergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi berbeda belum tentu cocok. Ketiga, sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu, karena ia merupakan bagian dari konteks persepsi atau pun kognisi individu. Keempat sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan, karenanya sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan tidak memadai. [1]
Dari rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara komplek. [2] Komponen kognisi akan menjawab apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Komponen konasi berhubungan dengan kesediaan atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek. [3]
Faktor penentu sikap, baik sikap positif atau pun sikap negatif, adalah motif, yang berdasarkan kajian psikologis dihasilkan oleh penilaian dan reaksi afektif yang terkandung dari sebuah sikap. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt behavior) sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (covert behavior).[4]
Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu obyek. Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan pengaruh bawaan (factor intern) seseorang, serta tergantung kepada obyek tertentu. [5] Karena Sikap dipandang sebagai perangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu [6]
Pemberian dasar jiwa keagamaan pada anak, tidaklah dapat dilepaskan dari peran orang tua sebagai pendidik di lingkungan rumah tangga. Pengenalan agama sejak usia dini, akan sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan kesadaran dan pengalaman beragama pada anak tersebut. Karenanya adalah sangat tepat, Rasul SAW menempatkan orang tua sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola tingkah laku keagamaan seorang anak, sebagaimana sabdanya : “setiap anak dilahirkan atas fithrah, dan tanggung jawab kedua orang tuannyalah untuk menjadikan anak itu nashrani, Yahudi atau Majusi.[7] Dimana fithrah yang dapat diartikan sebagai potensi untuk bertauhid (dapat disebut sebagai jiwa keagamaan), merupakan potensi physikis pada manusia, yang diakui adanya oleh para ahli psikologi transpersonal. Aliran psikologi ini juga mencoba melakukan kajian ilmiah terhadap demensi yang selama ini merupakan kajian dari kaum kebathinan, rohaniawan, agamawan dan mistikus.[8] Jadi, keluarga sebagai lingkungan yang pertama ditemui anak, sangat berperan dalam pembentukan pola perilaku/ sikap anak. Adanya perbedaan individu, pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan situasi lingkungan yang dihadapi oleh masing-masing.[9]
Karena itu, pembinaan dan pengembangan fithrah sebagai potensi psikis manusia, untuk melahirkan sikap dan pola tingkah laku keagamaan, dapat dibentuk dengan mengkondisikan lingkungan sesuai dengan ketentuan norma-norma agama. Dan norma-norma tersebut akhirnya terintegrasi dalam kepribadian individu yang bersangkutan.
Walau norma-norma agama telah menjadi bagian dari kepribadian seseorang, pada kenyataannya sering ditemukan adanya penyimpangan-penyimpangan, yang disebabkan oleh sikap yang bersangkutan (baik perseorangan atau kelompok) terhadap keyakinan agamanya mengalami perubahan.
Penyimpangan sikap keagamaan dapat menimbulkan tindakan yang negatif, apalagi penyimpangan itu dalam bentuk kelompok. Memang, penyimpangan dalam bentuk kelompok ini, sering diawali oleh penyimpangan individual, tapi individual tersebut mempunyai pengaruh besar. Seseorang yang mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain, sebagai bagian dari tingkat pikir transenden. [10] Akan sangat berpengaruh terhadap penyimpangan kelompok.

Sikap keagamaan sangat erat hubungannya dengan keyakinan/ kepercayaan. Dan keyakinan merupakan hal yang abstrak dan susah dibuktikan secara empirik, karenanya pengaruh yang ditimbulkannya pun lebih bersifat pengaruh psikologis.
Keyakinan itu sendiri merupakan suatu tingkat fikir yang dalam proses berfikir manusia telah menggunakan kepercayaan dan keyakinan ajaran agama sebagai penyempurna proses dan pencapaian kebenaran dan kenyataan yang terdapat di luar jangkauan fikir manusia.
[11] Karenanya penyimpangan sikap keagamaan cenderung di dasarkan pada motif yang bersifat emosional yang lebih kuat dan menonjol ketimbang aspek rasional.
Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang ( tingkat fikir materialistik dan tingkat fikir transendental relegius ), sehingga akan mendatangkan kepercayaan/ keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok). Jika keyakinan itu bertentangan atau tidak sejalan dengan keyakinan ajaran agama tertentu, maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang.

Penyimpangan sikap keagamaan ini, disamping menimbulkan masalah pada agama tersebut, juga sering mendatangkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat.

C. Penyebab Terjadinya Penyimpangan sikap Keagamaan

Perubahan sikap keagamaan adalah awal proses terjadinya penyimpangan sikap keagamaan pada seseorang, kelompok atau masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah walaupun sulit.[12]Karenanya perubahan sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

1. adanya kemampuan lingkungan merekayasa obyek, sehingga menarik perhatian, memberi pengertian dan akhirnya dapat diterima dan dijadikan sebagai sebuah sikap baru.

2. terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang dilakukannya sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan mempertimbangkan untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru. Dan ini memungkinkan seseorang untuk bersikap yang menyimpang dari sikap keagamaan sebelumnya yang ia yakini sebagai suatu kekeliruan tadi.

3. penyimpangan sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status sosial, dimana mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya.

4. penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh besar), ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat, maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk menampilkan sikap yang sama, walau pun disadari itu merupakan sikap yang menyimpang dari sikap sebelumnya.

D. Beberapa Solusi Alternatif

Sikap keagamaan akan tidak mengalami distorsi, manakala norma/nilai yang melandasi keyakinan yang melahirkan sikap itu mampu menjawab berbagai hal yang menyebabkan terjadinya perubahan/ pergeseran sikap tadi.
Suatu sikap akan tidak bergeser, walau adanya lingkungan merekayasa obyek, untuk menarik perhatian, kalau norma/ nilai yang mendasari keyakinan untuk lahirnya sebuah sikap keagamaan, dapat menampilkan daya tarik lebih besar dari apa yang ditampilkan oleh lingkungan.
Kemampuan penyampai informasi dan komunikator nilai/ norma agama untuk meyakinkan kebenaran agama, dengan dapatnya teruji pada kehidupan, akan menghindarkan terjadinya proses konversi agama pada seseorang.

Pentingnya memperhatikan masalah status social dalam kehidupan beragama , adalah hal yang mutlak dilakukan, jika tidak diinginkan adanya mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya. Hal ini juga telah disampaikan Rasul SAW., bahwa ‘kefakiran dekat dengan kekufuran’ (al Hadits). Dan kekufuran berarti penyimpangan dari sikap sebelumnya. Karenanyanya, juga kehidupan keagamaan juga harus mengedepankan kemaslahatan kehidupan masyarakat,

E. Penutup

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa :

1. Penyimpangan sikap keagamaan, ditentukan oleh terjadinya penyimpangan pada tingkat fikir seseorang , sehingga akan mendatangkan kepercayaan/ keyakinan baru kepada yang bersangkutan (baik indivual maupun kelompok).

2. Diantara penyebab terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, antara lain :

a. adanya kemampuan lingkungan menarik perhatian

b. terjadinya konversi agama

c. karena pengaruh status social

d. Hal-hal yang dinilai sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat

3. Untuk menghindari terjadinya penyimpangan sikap keagamaan, ada beberapa solusi alternatif, antara lain :

a. Menyajikan agama dengan performa yang senantiasa menarik

b. Menyajikan agama dalam bentuk sesuatu kebenaran yang tidak pernah bergeser dan senantiasa teruji dan dapat diuji.

c. Mengupayakan pengangkatan status social pengikut suatu agama.

d. Menampilkan nilai/ norma agama dengan mengedepankan apa yang dinilai sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 1995

Kasmiran Wuryo, Pengantar Ilmu Jiwa Sosial, Erlangga, Jakarta, 1982

Philip G.Zimbardo, 1979, Essentials of Psychology and life, Foresman & Company, London

Prof. Dr. Mar’at, Sikap Manusia : Perubahan serta pengukurannya, Balai Aksara-Yudhistira dan Sa’adiyah, Jakarta

Prof.Dr.Muhammad al Toumy al Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam (terjemah : Hasan Langgulung), Bulan Bintang,Jakarta, 1979



[1] Prof. Dr. Mar’at, Sikap Manusia : Perubahan serta pengukurannya, Balai Aksara-Yudhistira dan Sa’adiyah, Jakarta, 1982, halaman 20 - 22

[2] Ibid, halaman 22

[3] Ibid, halaman 21

[4] Opcit, halaman 17

[5] Ibid , Halaman 21

[6] Ibid, Halaman 19

[7] Prof.Dr.Muhammad al Toumy al Syaibani, Filsafat Pendidikan Islam (terjemah : Hasan Langgulung), Bulan Bintang,Jakarta, 1979, halaman 141

[8] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 1995, halaman 53-54

[9] (lihat) Philip G.Zimbardo, 1979, Essentials of Psychology and life, Foresman & Company, London, halaman 296.

[10] Kasmiran Wuryo, Pengantar Ilmu Jiwa Sosial, Erlangga, Jakarta, 1982, halaman 104

[11] Ibid, halaman 104

[12] Loc.cit, halaman 18

Tidak ada komentar: