PANDANGAN PARA ULAMA TENTANG PENGETAHUAN
Oleh H.Munadi Sutera Ali
- Pendahuluan
Salah satu komponen operasional sistem pendidikan Islam, adalah materi yang telah disusun secara sistematis dalam kurikulum, yang akan disajikan kepada peserta didik dalam proses kependidikan dan suatu sistem institusional pendidikan.
Materi pokok dalam pendidikan Islam diambil dari al Qur’an, karenanya materi pendidikan harus betul-betul dapat dipahami, dihayati, diyakini dan diamalkan oleh peserta didik dalam kehidupannya sebagai seorang muslim.
Dengan dasar pandangan seperti ini, jenis ilmu apa pun yang dikembangkan para pemikir muslim yang sumbernya berasal dari al Qur’an adalah ilmu atau sains islami. Namun selanjutnya berkembang dengan berbagai karaktristik tertentu, sehingga sains itu menjadi beragam adanya, dengan tetap berpijak pada landasan yang satu, yaitu al Qur’an.
Kenyataan yang ada saat ini, telah terjadi dikotomis pengetahuan, dengan adanya pemisahan antara Pengetahuan Agama dan Pengetahuan Umum, dalam struktur penyusunan program pada kurikulum di sekolah, sehingga akan membentuk pribadi peserta didik yang memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, manakala mereka menyelesaikan proses pendidikan di dalam sebuah lembaga pendidikan, yang dikotomis tadi.
Dengan pendekatan holistik, pengetahuan (Sains) tadi diupayakan untuk dirajut kembali sesuai dengan dasar asal, sehingga materi pendidikan harus betul-betul dapat dipahami, dihayati, diyakini dan diamalkan oleh peserta didik dalam kehidupannya sebagai seorang muslim, walau mereka nantinya memasuki berbagai dunia profesinya.
Dalam makalah ini akan dikemukakan pandangan para tokoh pendidikan Islam tentang pengetahuan ini, untuk menjadi pekerjaan rumah yang harus dibereskan oleh para pemikir Islam, bagaimana mengembalikan Sains yang terpilah menjadi dua tadi, kembali dalam satu kesatuan, sebagai sains Islami yang memiliki kesamaan sumber.
B. Pengetahuan menurut Al-Ghazali
Dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din,[1] al-Ghazali, mengklasifikasi pengetahuan berdasarkan nilai pengabdian dan kegunaannya bagi pencapaian suatu tujuan. Dengan memperhadapkan satu pengetahuan pada pengetahuan yang lain, akan diketahui nilai tambah (fadhilah) masing-masing dan pada gilirannya hal itu akan membentuk sequence pengetahuan yang menjadi bahan ajar. Kerangka analisisnya dimulai dengan mengklasifikasi segala sesuatu yang bernilai dalam tiga tingkat tujuan :
1. Sesuatu yang hendak dicapai karena dirinya sendiri (ma’yuthlab lidzatihibernilai intrinsic).
2. Sesuatu yang hendak dicapai di samping karena dirinya sendiri (ma’yuthlab ligayrihi), juga karena merupakan alat untuk mencapai sesuatu yang lain. Jadi bernilai intrinsik dan instrumental.
3. Sesuatu yang hendak dicapai karena merupakan alat untuk mencapai yang lain (ma’yuthlab ligayrihi, bernilai instrumental semata).
Langkah berikutnya ialah menetapkan pengetahuan yang dapat mencapai tujuan tersebut.
Beliau berpandangan bahwa yang paling bernilai bagi manusia ialah kebahagiaan abadi di akhirat. Pandangan ini tidak berarti bahwa ia tidak mementingkan kehidupan dunia. Justru pada pendapatnya, “dunia merupakan lading akhirat”. Artinya, dunia merupakan alat yang mengantar manusia untuk mencapai kebahagiaan tersebut, tentunya bagi orang yang menjadikan dunia sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh sebab itu, ia menyimpulkan bahwa tujuan manusia terakumulasi dalam kepentingan al-din (agama, baca:akhirat) dan kepentingan dunia. Dua kepentingan tersebut tidak mungkin terwujud tanpa berbuat (‘amal) untuk mewujudkannya, dan perbuatan tidak mungkin terwujud tanpa pengetahuan (‘ilm) tentang perbuatan itu sendiri.
Atas dasar pandangan tersebut, al-Ghazali mengklasifikasi pengetahuan ke dalam dua kelompok besar, yaitu pengetahuan tentang jalan mencapai kebahagiaan akhirat (‘ilm thariq al-din) dan pengetahuan tentang jalan mencapai kesenangan dunia (‘ilm thariq al-dunya). Para ahli pengetahuan kelompok pertama disebutnya dengan ulama akhirat (‘ulama al-akhirah), dan kelompok kedua dengan ulama dunia (‘ulama al-dunya).
Selanjutnya al-Ghazali mengklasifikasi pengetahuan berdasarkan hukum mempelajarinya ke dalam kelompok fardhu ‘ain dan kelompok fardhu kifayah
1. Kelompok Fardhu ‘Ain
Setiap orang yang telah akil balig wajib mempelajari pengetahuan pada kelompok fardhu ‘ain. Yang dimaksud dengan pengetahuan ini ialah :
Pengetahuan tentang kualifikasi melaksanakan kewajiban. Barangsiapa telah mengetahui pengetahuan yang wajib dan waktu diwajibkannya, maka ia telah mengetahui ilmu yang termasuk kelompok fardhu ‘ain.
Setiap orang akil balig dibebani kewajiban melaksanakan tiga aktivitas: meyakini (i’tiqad), berbuat (fi’il), dan meninggalkan (tark). Hal-hal yang terlingkup oleh setiap aktivitas ini ada yang wajib dilaksanakan langsung (fardh ‘ala al-fawr) karena sesuai dengan kondisi actual (yang sedang terjadi), dan ada yang wajib dilaksanakan dengan masa tangguh (fardh ‘ala al-tarakhi) karena waktu pelaksanaannya belum tiba.
Seorang akil, umpamanya pada pagi hari telah sampai kepada masa balig, baik karena bermimpi maupun karena usia. Pada saat itu ia berada dalam kondisi actual berupa kewajiban mempercayai dan meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Untuk dapat melaksanakan kewajiban ini ia wajib mempelajari pengetahuan tentang dua kalimat syahadat dan memahami maknanya. Untuk memperoleh pengetahuan tersebut ia tidak wajib melakukan pembahasan dan penelitian dalil-dalil sendiri, tetapi cukup dengan meniru atau mendengar.
Dalam hal yang terlingkup dalam aktivitas berbuat (fi’il) seperti shalat, pada pagi hari itu orang akil balig tersebut di atas belum berkewajiban mempelajari pengetahuan tentang shalat zhuhur karena waktunya belum tiba. Apabila ia mempelajari pengetahuan ini sebelum waktunya tiba, maka belajarnya hanya dipandang sebagai wajib dalam masa tangguh (fardh ‘ala al-faur). Apabila waktu zhuhur telah tiba, dalam arti ia berada dalam kondisi actual, ia hendaknya memperbaharui (tajdid) pengetahuannya tentang shalat zhuhur.
Dengan prinsip ini, mempelajari pengetahuan tentang haji belum “wajib secara langsung” bagi orang yang belum mampu dan bukan pada musim haji; demikian pula mempelajari pengetahuan tentang zakat bagi orang yang tidak mempunyai harta, dan mempelajari pengetahuan tentang puasa Ramadhan bagi orang yang berada di luar bulan Ramadhan.
Dalam hal yang terlingkup dalam aktivitas meninggalkan (tark) pun kewajiban disesuaikan dengan kondisi yang sedang terjadi (ma’yatajaddad min al-hal). Orang bisu tidak wajib mempelajari pengetahuan tentang perkataan yang dilarang, orang buta tidak wajib mempelajari pengetahuan tentang hal-hal yang diharamkan untuk dilihat, dan orang lumpuh yang tidak bisa duduk tidak wajib mempelajari tempat-tempat yang diharamkan untuk diduduki.
2. Kelompok Fardhu Kifayah
Pengetahuan pada kelompok ini cukup dipelajari oleh sebagian anggota penduduk suatu negeri. Apabila di antara penduduk suatu negeri tidak ada yang mempelajari pengetahuan ini, maka semua penduduk negeri tersebut berdosa. Namun, apabila ada seseorang di antara mereka yang mempelajarinya, maka telah cukup dan kewajiban tidak lagi menjadi beban penduduk lainnya.
Al-Ghazali mendefinisikan pengetahuan kelompok ini sebagai berikut :
Adapun pengetahuan pada kelompok fardhu kifayah ialah setiap pengetahuan yang dibutuhkan demi tegaknya urusan-urusan duniawi.
Contoh pengetahuan ini ialah pengobatan (al-thibb) dan berhitung (al-hisab). Pengobatan dibutuhkan untuk memelihara kelangsungan hidup; dan berhitung dibutuhkan dalam muamalat, pembagian wasiat dan harta warisan, dan lain-lain. Di samping itu, beberapa jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti pertanian, pertenunan, pemerintahan, bahkan pembekaman dan penjahit juga dimasukkan kedalam kelompok pengetahuan ini.
Al-Ghazali juga mengklasifikasi pengetahuan berdasarkan sumbernya. Dengan dasar ini ia mengelompokkan pengetahuan menjadi dua :
a. Pengetahuan Syar’iyyah
Pengetahuan ini bersumber pada pemberitaan para nabi; bukan pada petunjuk akal seperti berhitung, bukan pada petunjuk pengalaman emperik seperti pengobatan, bukan pula pada pendengaran seperti bahasa.
Pengetahun syar’iyyah dibagi ke dalam empat kelompok:
1) Ushul (pokok) yaitu al-Qur’an, Sunnah Rasulullah saw, ijma’ umat, dan atsar shahabat.
2) Furu’ (cabang) yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan akal melalui pemahaman terhadap makna yang terkandung didalam ushul, bukan terhadap teksnyalangsung. Pengetahuan kelompok ini ada yang berkenan dengan kemaslahatan urusan dunia sebagaimana diliput dalam kitab-kitab fiqih, ada pula yang berkenaan dengan kemaslahatan urusan akhirat, yaitu pengetahuan tentang kondisi dan tingkah laku hati yang melahirkan tingkah laku anggota tubuh.
3) Muqaddimat (prasarat) yaitu pengetahuan yang berfungsi sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan yang digali dari ushul, seperti bahasa dan nahu. Menurut sumbernya dua pengetahuan ini bukan syar’iyyah, tetapi menjadi syar’iyyah karena fungsinya itu.
4) Mutamminat (pelengkap). Pengetahuan ini ada yang melengkapi pengetahuan tentang al-Qur’an seperti qiraat dan makhraj (mengenai hukum). Ada pula pengetahuan yang melengkapi atsar dan akhbar sebagaimana terkandung dalam ilmu hadis.
b. Pengetahuan Ghair Syar’iyyah
Pengetahuan ini bersumber pada selain pemberitaan dari pada nabi. Menurut sifatnya, pengetahuan ini ada yang terpuji, ada yang tercela, dan ada yang mudah. Pengetahuan yang terpuji berkenaan dengan kemaslahatan urusan dunia, yaitu pengetahuan yang dihukumi fardhu kifayah dan yang dihukumi fardhu (dipandang baik saja) karena merupakan pendalaman terhadap pengetahuan fardhu kifayah. Pengetahuan yang tercela seperti sihir dan magik. Pengetahuan yang mubah seperti syair yang “baik” dan sejarah.
Dari uraian di atas tampak bahwa perhatian al-Ghazali terhadap pengetahuan dititiktekankan pada aspek manfaatnya bagi manusia, baik manfaat ukhrawi maupun duniawi. Sehubungan dengan persoalan sequence pengetahuan dalam kurikulum, ia mengacu kepada urgensitas. Dengan acuan itulah ia menempatkan pengetahuan yang dihukumi fardhu lebih tinggi ketimbang pengetahuan yang dihukumi fadhilah saja. Bahkan dalam pengetahuan-pengetahuan yang dihukumi fardhu pun ia mendahulukan pengetahuan yang fardhu ‘ala al-fawr atas pengetahuan yang fardhu ‘ala al-tarakhi.
Fathiyyah Hasan Sulaiman mengemukakan kesannya bahwa pemikiran al-Ghazali tentang nilai-nilai pengetahuan dan kegunaannya telah mendahului pemikiran Herbert Spencer, seorang filofof Inggris yang muncul pada akhir abad XIX. Oleh sebab itu, Sulaiman membantah klaim Spencer yang mengatakan bahwa ia adalah orang pertama yang mengemukakan apemikiran seperti itu.[2]
C. Pengetahuan menurut Ibnu Khaldun
Pola yang digunakan al-Ghazali ketika mengklasifikasi pengetahuan ke dalam pengetahuan syar’iyyah dan ghair syar’iyyah menjadi pola yang diikuti pada masa-masa sesudahnya. Bahkan, ketika Ibnu Khaldun muncul, semua perencanaan pendidikan dibuat menurut pola itu. [3] Ibnu Khaldun mengklasifikasi pengetahuan ke dalam dua kelompok, yaitu al-‘ulum al-naqliyyah (pengetahuan-pengetahuan penukilan) dan al-‘ulum al-aqliyyah (pengetahuan-pengetahuan rasional).
1. Kelompok al-‘ulum al-naqliyyah
Yang dimaksud dengan pengetahuan pada kelompok ini ialah segala pengetahuan yang ditransmisi manusia dari peletaknya dan diwarisi dari generasi ke generasi. Jadi semua pengetahuan ini bersumber pada pemberitaan Tuhan sebagai peletak syariat. Peranan akal di dalamnya hanya mengaitkan cabang kepada pokoknya. Oleh sebab itu, pengetahuan ini disebut pula al-‘ulum al-syar’iyyah yang isinya ialah penjelasan tentang akidah, kewajiban-kewajiban agama dan hukum-hukum syar’i.
Secara rinci dapat dikatakan bahwa pengetahuan pada kelompok ini ialah pengetahuan keagamaan dengan segala macamnya yang mencakup al-Qur’an, al-Sunnah, ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ushul fiqih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan ilmu tentang takbir mimpi; serta berbagai pengetahuan pembantunya seperti bahasa dan nahwu.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut memiliki urgensitas bagi kehidupan manusia karena berkaitan dengan agama yang membantu setiap individu untuk hidup secara baik, mulia dan terpelihara dari kekeliruan. Oleh sebab itu, setiap muslim diwajibkan mempelajarinya.
2. Kelompok al-ulum al-‘aqliyyah
Pengetahuan pada kelompok ini merupakan hasil aktivitas berfikir manusia; dicapai oleh manusia secara bertahap sejak awal perkembangannya melalui aktivitas berfikir dengan segala fakultas mentalnya. Dengan demikian, pengetahuan pada kelompok ini bersifat alami bagi setiap manusia sebagai makhluk berfikir, tidak khusus bagi penganut agama tertentu, dan tidak mempunyai kaitan dengan agama apa pun.
Kelompok al-‘ulum al-aqliyyah disebut juga ‘ulum al-falsafah wa al-hikmah. Kelompok pengetahuan ini terdiri atas fisika dengan segala cabangnya, ketuhanan (metafisika), matematika dengan segala cabangnya, dan ilmu mantiq. Yang terakhir, ilmu mantiq, dipandang Ibnu Khaldun sebagai alat untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain dalam kelompok ini.
Ibnu Khaldun memandang semua pengetahuan tersebut sebagai pengetahuan yang telah matang dan urgen bagi kehidupan masyarakat beradab. Oleh sebab itu, manusia pada umumnya perlu mempelajari pengetahuan tersebut. [4]
Pemikiran tersebut merupakan pemikiran yang berani dari Ibnu Khaldun karena sebagaimana ia kemukakan sendiri-bertentangan dengan kebiasaan masyarakat umum yang mendahulukan pengajaran al-Qur’an dengan harapan memperoleh berkah dan pahala. Dalam pada itu, ia sendiri memandang kebiasaan tersebut sebagai factor penghalang bagi pelaksanaan pemikirannya. [6]
C. Pengetahuan menurut Al-Zarnuji
Semua ulama mengatakan bahwa menuntut ilmu (belajar) merupakan kewajiban setiap muslim. Berbagai ayat dan hadits dikemukakan untuk mendukung konsep wajib belajar itu. Kemudian ketika menghadapi persoalan pengetahuan apa yang wajib dipelajari setiap muslim, para ulama pun berbeda pendapat. Ada yang menekankan aspek keimanan, dan ada pula yang menekankan aspek fiqih. Dalam pada itu, penekanan-penekanan itu pun kurang memberi penjelasan.
Al-Zarnuji tidak menekankan salah satu aspek, tetapi mengintegrasikan aspek iman, ilmu, dan amal. Integrasi ini terlihat dari konsepnya tentang ‘ilm al-hal yaitu pengetahuan tentang hal-hal yang sedang dialami oleh seseorang, seperti masalah kufur, iman, shalat, zakat dan puasa. Inilah yang wajib dituntut oleh setiap muslim. Dalam hubungan ini, dia mengatakan:
Ilmu yang paling utama ialah ilmu tentang pekerjaan yang dihadapi dan amal yang paling baik ialah memelihara keadaan yang dihadapi (jangan sampai menjadi sia-sia dan rusak).
Apabila seseorang sedang melaksanakan shalat, umpamanya, maka ia harus memahami syarat dan rukunnya, kemudian dalam keadaan apa ia melakukannya; apakah dalam keadaan sehat ataukah sakit, berpergian atau tidak. Hal-hal yang membuat suatu kewajiban menjadi sempurna juga menjadi wajib diketahui. Jika demikian halnya dengan hal-hal yang berhubungan dengan ibadah ritual seperti shalat dan puasa,maka demikian pula halnya dengan berdagang. Seorang pedagang yang sedang melakukan perdagangan wajib mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya itu seperti masalah riba serta barang-barang yang boleh dan tidak boleh diperdagangkan. Begitu juga seorang muslim wajib mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku hati seperti tawakkal, menyerahkan diri kepada Allah, mengembalikan segala sesuatu kepada-Nya dan takut kepada-Nya. [7]
D. Penutup
Dari uraian ini pendapat para tokoh pendidikan di masa lalu, dapat dipahami bahwa , jenis ilmu apa pun yang dikembangkan bersumber dari Allah SWT (al Qur’an). Kemudian selanjutnya berkembang dengan berbagai karaktristik tertentu, sehingga sains itu menjadi beragam adanya.
Dalam rangka membentuk pribadi peserta didik yang seyogyanya tidak memisahkan antara urusan dunia dan akhirat, manakala mereka menyelesaikan proses pendidikan di dalam sebuah lembaga pendidikan, dan melakukan tugas-tugas profesional di berbagai bidang kehidupan, maka adalah suatu hal yang sangat urgen untuk dipikirkan, bagaimana upaya menghilangkan dikotomis dalam penyusunan muatan program pada kurikulum yang ada, dengan kesamaan pandangan bahwa ilmu pngetahuan (sains) berasal dari Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullathif al-Thibawi, Muhadharat fi Tarkh al-‘Arab wa al-Islam, (Dar al-Andalus, 1979
Al Gazali, Kitab al-‘Ilm dari kitab al-Ihya’.
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terjemahan Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993)
al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, pada hamisy (tepi) kitab Syarahnya, karya Ibrahim ibn Isma’il (
Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran al-Ghazali mengenai Pendidikan dan Ilmu, terjemahan Hery Noer Aly dari Madzahib al-Tarbiyah Bahtsun fi al-Madzhab al-Tarbawi inda al-Ghazali, (Bandung: Diponegoro, 1986)
____________________________, Madzahib fi al-Tarbiyah Bahtsun fi al-Madzhab al-Tarbawi ‘inda ibna Khaldun, (Mesir: Maktabah Nahdhah, tt.)
[1] Lihat Kitab al-‘Ilm dari kitab al-Ihya’.
[2] Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran al-Ghazali mengenai Pendidikan dan Ilmu, terjemahan Hery Noer Aly dari Madzahib al-Tarbiyah Bahtsun fi al-Madzhab al-Tarbawi inda al-Ghazali, (Bandung: Diponegoro, 1986), h. 45
[3] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terjemahan Sori Siregar, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 32
[4] Lihat pembahasan ini pada karya Fathiyyah Hasan Sulaiman, Madzahib fi al-Tarbiyah Bahtsun fi al-Madzhab al-Tarbawi ‘inda ibna Khaldun, (Mesir: Maktabah Nahdhah), h. 29-37. Lihat juga terjemahannya oleh penulis diterbitkan oleh CV. Diponegoro, Bandung.
[5] Ibid.,, h. 43
[6] Abdullathif al-Thibawi, Muhadharat fi Tarkh al-‘Arab wa al-Islam, (Dar al-Andalus, 1979, h. 103
[7] Lihat al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, pada hamisy (tepi) kitab Syarahnya, karya Ibrahim ibn Isma’il (Bandung: Al-Ma’arif, tth), h 4-9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar