03 Februari 2008

परदिगमा PENDIDIKAN

PARADIGMA MENYONGSONG KOMPETISI GLOBAL

Oleh H.Munadi Sutera Ali


A. Iftitah

Membangun budaya baru adalah sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia, sebab kebudayaan akan mempengaruhi kehidupan manusia yang dioperasionalkan melalui pranata-pranata sosial.

Keberadaan sebuah budaya menelusup kedalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia konteknya pada kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan.

Karenanya pembinaan sumber daya insani akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan budaya suatu masyarakat.

Untuk menata budaya kehidupan baru, diperlukan adanya re orientasi paradigma terhadap perubahan budaya itu sendiri, dan paradigma baru itu harus ditularkan secara sistemik, diawali dari perlunya perubahan individual, kemudian secara sistematik dan terencana harus dikembangkan melalui lembaga pencetak sumber daya insani yang mampu menjadi agent of chage bagi perubahan itu, dan itu adalah melalui lembaga pendidikan, jika ini dapat dilakukan secara bertahap akan secara meluas merubah paradigma social.

B. Persoalan Global

Saat ini kita telah mulai menapak masuk ke era global, yang dapat diartikan sebagai era proses tanpa henti – tak bisa dibendung – tak bisa ditolak, dimana ia bukan merupakan produk final, namun budaya manusia terus melaju untuk membentuk formasi sosial pada seluruh dimensi kehidupan manusia, baik tatanan politik, sosial budaya atau pun ekonomi.[1] , sehingga bahkan menjadi gejala yang akan terjadi di kemudian hari berdasarkan sistem yang ada atau dominan dalam masyarakat, sehingga dapat dianggap sebagai suatu ideologi masyarakat, sebagai suatu proyeksi kehidupan masa depan [2]

Berbagai persoalan global [3] seperti menguatnya personal space yang menyebabkan terpasungnya kebebasan berekspresi untuk menyuarakan dan mengemukakan pendapat, jati diri dan kepribadian, sebagai dampak banyaknya tuntutan pesan dan tuntutan kehidupan modern yang harus dilakukan, yang akhirnya bermuara pada beratnya beban moral ditambah lagi dengan persoalan pergeseran nilai ke arah materialistik.yang seolah tarik menarik memasung kemampuan pengembangan ide pribadi. Kemudian pada era global ini terjadi proses membesarnya persaingan dan kompetisi baik ekonomi atau pun politik baik dilihat dengan pendekatan struggle of power atau pun dari pendekatan equiblirium pada tatanan hubungan antar bangsa di dunia, sehingga seluruh bangsa dan negara di dunia berupaya untuk bagaimana dapat menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi dan melakukan industrialisasi secara besar-besaran. Ditambah lagi dengan semakin canggihnya peralatan transportasi dan komunikasi serta informasi, maka arus lintas kultur – norma – kepentingan – ideologi antar bangsa intensitasnya semakin tinggi, sehingga suatu negara akan berada pada suatu kenyataan tidak bisa disembunyikannya lagi dari pengamatan internasional tentang adanya sebuah kebobrokan yang mungkin pada masa sebelumnya masih bisa ditutupi di negara tersebut, dan jadilah sebuah negara laksana sebuah global village saja layaknya, karenanya untuk menjaga nasionalisme pada suatu negara maka suatu bangsa idealnya harus memiliki kesiapan kultural untuk menjaga integritas nasionalnya.

Sementara kenyataan riil, yang tidak bisa dimunkiri, dianatanya eksekutif, legislatif, yudikatif pemerintah banyak yang keliru menjalankan tugasnya (say ‘good govemance’; persoalan KKN, korupsi, kolusi, nepotisme masih menggejala; money-laundering, perkara pencucian uang (spekulasi valuta, berdagang senjata, SDM termasuk prostitusi, narkotika dan usaha judi); adanya terorisme menggelayap dimana-mana; perusakan sumber daya alam, laut, hutan, gunung, sungai, tambang, air, pantai, hayati; perusakan sumber daya manusia ( jual beli narkotika, jual beli tenaga kerja, jual beli senjata , usaha judi, brain drain), sistem pendidikan yang kurang dana, kurang R & D (research & development); kurang gizi, penyakit menular knonis, kematian ibu dan bayi, dst; penyelundupan hasil bumi, hasil laut, hasil hutan, hasil industri, hasil tambang, dan berbagai-bagai masalah lainnya lagi, bahkan kebanyakan Negara berkembang (termasuk Indonesia) saat ini sedang menghadapi perubahan sosial yang ditandai dengan krisis multidimensional yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, belum lagi berkembangnya tuntutan masyarakat yang berlebihan yang menimbulkan semangat primordialisme dan munculnya konflik horizontal di berbagai daerah yang menyebabkan instabilitas nasional.

Kondisi globalisasi cenderung membawa manusia ke arah situasi alienasi, yang bisa dibedakan ke dalam tiga kelompok [4] yaitu pertama mereka teralienasikan dari Tuhannya, karena prestasinya dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan teknologi, mereka menjadi aties. Kedua mereka terkena “future shock” dimana mereka teralienasikan dari lingkungannya. Ketiga mereka teralienasikan dari Tuhan dan lingkungannya, yang semua ini sebenarnya berawal dari persoalan kejiwaan yang manusia itu sendiri berperan memunculkan penyebabnya dan menjadi korbannya, sebagai akibat dari manusia sendiri yang mengembangkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi yang menolak realitas metafisik hanya berpijak pada realitas fisik atau premis positivisme.

Menurut Naisbit ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; [5] (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk

Karenanya Ani M Hasan mengemukakan, bahwa [6] Pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan makin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.

Di dunia pendidikan dampak era global juga kadang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara kemampuan intelektual dengan bekal moral, sementara tuntutan dan kenyataan kehidupan harus direspon sesegeranya, sehingga tidak jarang jalan keluar dari persoalan-persoalan kehidupan adalah berupa perkelahian (antar pelajar), korupsi, mencari dan melakukan jalan pintas yang tidak dibenarkan dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam hidup, hal ini disebabkan oleh efek global terhadap terjadinya perubahan tatanan budaya, menuju ke arah globalisasi kebudayaan, yang ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan, adalah :

¨ Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.

¨ Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.

¨ Berkembangnya turisme dan pariwisata.

¨ Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.

¨ Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.

¨ Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA [7]

Kekerasan-kekerasan yang terjadi dan menjalar ke mana-mana, berdasarkan salah satu definisi kekerasan menurut John Galtung, pakar kajian kekerasan dan perdamaian, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung. [8]

Jadi dampak global ini menampakkan terjadinya chaos (kekacauan), dimana dalam ilmu fisika dan matematika,diistilahkan dengan Chaos Theory [9] yakni menguraikan perilaku tertentu nonlinear dynamical sistem yang pada kondisi-kondisi spesifik memperlihatkan dinamika yang sensitip ke syarat awal yang terkenal sebagai katup yang mempengaruhi. Wujud kepekaan ini, adalah perilaku dari sistem kacau nampak seperti acak, oleh karena adanya kesalahan yang tumbuh bersifat exponen di dalam syarat awal itu.

Karenanya Era Global dapat dianggap sebagai suatu era dengan mengedepankan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap semua aspek kehidupan sosial. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka. Untuk menghadapi era global inilah diperlukan adanya perubahan paradigma sosial.

Re orientasi paradigma sosial haruslah dimulai dengan adanya re orientasi paradigma berfikir, kemudian re orientasi paradigma pendidikan dan paradigma ilmu dan secara bertahap akan terjadi perubahan sosial.

C. Persoalan Kekeliruan Paradigma

Paradigma Berfikir

Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita secara apa adanya. Pikiran adalah ruang kemungkinan (space of possibility), dan realitas adalah ruang tindakan yang telah jadi nyata (space of action). Seluruh realitas kita hanya bergerak pada ruang kemungkinan itu. Makin besar ruang kemungkinannya, makin besar ruang realitasnya. Bagaimana kita berpikir, begitulah kita akan bertindak. Jadi jauh sebelum sebuah realitas tercipta di alam kenyataan, ia terlebih dulu tercipta di alam pikiran kita. Sebaliknya, apa yang tidak pernah kita pikirkan tidak akan pernah jadi realitas di masa mendatang. Maka realitas-realitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pikiran yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu, dan tentu realitas-realitas kita di masa mendatang adalah buah dari benih-benih pikiran yang kita taman hari ini.

Karenanya jika disadari realitas rendahnya tingkat kemampuan bersaing publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir, yang sebelumnya ditanamkan, maka tentu adanya gerakan perubahan paradigma berfikir publik, dan kata kuncinya adalah perubahan paradigma berfikir ke arah penciptaan sumberdaya-sumberdaya manusia, jika tidak maka realitas keterpurukan selama ini berlarut-larut tidak bisa diatasi.

Paradigma Pendidikan

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia seperti dalam Human Development Index UNESCO tahun 2000 berada diurutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), atau menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.

Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia.

Memang saya kira banyak persoalan terkait dengan masalah pendidikan ini, namun yang paling inti adalah terjadinya kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan, karenanya perlu re orientasi paradigma pendidikan di Indonesia.

Paradigma pendidikan selama ini perlu diakui secara jujur adalah paradigma sekularisme dalam artian ”tidak secara otomatis anti agama” , hal ini dapat dibuktikan bahwa :

1. Memang UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” , tapi pada Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus, yang artinya secara jelas adanya membuat dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia saleh yang berkepribadian Islam sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi.

2. Pengelolaan pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama.

3. BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya, dan ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Paradigma pendidikan yang material-sekularistik inilah sebenarnya yang melahirkan berbagai bentuk tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, karenannya perlu adanya re orientasi kembali paradigma pendidikan yang berkembang selama ini.

Paradigma Studi

Dalam kehidupan global tuntutan kemampuan persaingan sangat tinggi, sementara kita dihadapkan kenyataan yang tidak bisa dimunkiri, kualitas SDM kita masih di bawah rata-rata SDM negara lain, seperti saya kemukakan sebelumnya bahwa menurut Human Development Index UNESCO tahun 2000 kita berada diurutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999), atau menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas kita berada pada ranking terakhir dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.

Rendahnya kualitas SDM kita ini, mengharuskan kita untuk mengubah nilai (values), sikap (attitudes) dan perilaku (behaviour) pada diri kita, kelompok kita, community kita maupun society kita, mungkin dan tentu bisa dimulai dengan mengubah nilai-nilai dalam diri kita masing-masing, !ewat pengkajian kembali seluruh rangkaian perjalanan hidup, dengan sikap damai, jujur, benar, dan terutama tabah, berani serta sabar. Mampu berperilaku, membuat keputusan-keputusan yang arif, bijak dan adil. Mampu bersikap terbuka, mau mendengar dan mengerti sejarah kemajemukan pendapat dan keragaman berpikir yang berbeda, mengisyaratkan arahan-arahan membuka kesempatan dan memberikan kehidupan dan dinamika pengembangan (development) yang bertahan kelanjutan, berdamai dan menjunjung keseimbangan lingkungan alam, sosial budaya, haruslah melalui proses edukasi, dan kata kuncinya adalah kemampuan proses edukasi melakukan reorientasi paradigma studi dalam proses edukasi tersebut, meninggalkan paradigma studi yang sekuler-materialistik, yang telah melahirkan berbagai persoalan yang berawal dari sumber daya manusia yang sekuler-materialistik tadi.

Paradigma Ilmu Pengetahuan

Dikhotomi ilmu akan berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.

Paradigma ilmu dan pendidikan yang dikotomis, di kalangan masyarakat berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari, sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari.

Paradigma dengan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi pendidikan, di mana pendidikan berlabel agama yang akan mampu mengantarkan peserta didik ke kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara pendidikan "umum" dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusifke arah kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian masyarakat, bahwa lembaga pendidikan umum lebih terjamin pada bidang mutu dan kesempatan memperoleh pekerjaan, ketimbang yang berlabel lembaga pendidikan agama., dan ini sangat berpengaruh bagi para pengambil kebijakan pendidikan yang sangat diskriminatif antara lembaga pendidikan umum dan agama, dan ini realitas yang tak bisa dimungkiri dan telah berjalan lama. Dan ketimpangan ini juga menjadi penyebab utama lemahnya mutu dan kinerja pengelolaan lembaga pendidikan agama.

Paradigma ilmu yang dikhotomis ini berdampak pada kerangka filsafat keilmuan, dimana kurang dikenalnya konsep paradigma, normal science, anomali, dan revolusi sains yang selama ini "mengatur" perkembangan dan pertumbuhan sains modern saat ini, dan bahkan berkembang gejala pemikiran yang mempertentangkan secara diametral antara rasio dan wahyu serta antara ayat-ayat qauliyah dengan ayat-ayat kauniyah.

Paradigma dikotomis yang telah banyak melahirkan berbagai persoalan, seperti kesalahan pada cara pandang ilmum terjadinya diskriminasi lembaga, lemahnya mutu , mengacaukan paradigma kerangka filsafat ilmu serta berkembangnya gejala pemikiran mempertentangkan rasio (akliyyah) dan wahyu (naqliyyah), karenanya paradigma ilmu sudah seharusnya di reorientasi dengan paradigma baru.

Paradigma Sosial

Dalam tatanan kehidupan sosial kita dihadapkan kenyataan yang tidak bisa dimunkiri, diantaranya terjadinya say ‘good govemance’ pada eksekutif, legislatif, yudikatif; persoalan KKN, korupsi, kolusi, nepotisme masih menggejala; money-laundering, perkara pencucian uang (spekulasi valuta, berdagang senjata, SDM termasuk prostitusi, narkotika dan usaha judi); adanya terorisme menggelayap dimana-mana; perusakan sumber daya alam, laut, hutan, gunung, sungai, tambang, air, pantai, hayati; perusakan sumber daya manusia ( jual beli narkotika, jual beli tenaga kerja, jual beli senjata , usaha judi, brain drain), sistem pendidikan yang kurang dana, kurang R & D (research & development); kurang gizi, penyakit menular knonis, kematian ibu dan bayi, dst; penyelundupan hasil bumi, hasil laut, hasil hutan, hasil industri, hasil tambang, dan berbagai-bagai masalah lainnya lagi.

Sekilas kita lihat Teori Keteraturan vs Konflik. pertama kali oleh Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956), yang membedakan pendekatan dalam analisa sosiologi, dimana di satu sisi terdapat konsep yang konsentrasinya adalah menjelaskan sifat dari keteraturan sosial, dengan di sisi lain terdapat konsep yang terkonsentasi pada masalah perubahan, konflik, dan kekerasan(paksaan) dalam struktur sosial, yang kemudian oleh Cohen (1968) dikelaborasi beberapa ide dasar pada teori ”keteraturan” vs ”konflik”, dan mengkritik bahwa Dharendorf salah, karena memperlakukan teori ”keteraturan” vs ”konflik” secara terpisah, dimana menurutnya teori ”keteraturan” vs ”konflik” tidak bersifat ”mutually exclusive” (salah satu konsep bisa merupakan bagian dari konsep lain)., maka nampaknya realitas sosial era keteraturan telah mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik, dimana Status quo, Social Order, Konsensus, Integrasi sosial dan kohesi, Pemenuhan kebutuhan dan Aktualitas telah berubah menjadi Perubahan Radikal , Konflik Struktural, Adanya dominasi , Kontradiksi, Kehilangan, kerugian, atau perampasan dan Potensialitas.

Kesalahan paradigma sosial yang berawal dari kesalahan paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan menjadi penyebab berubahnya realitas sosial era keteraturan sehingga mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik (semraut) dan chaos (rumit), karenanya perlu adanya paradigma baru yang mampu mengembalikan ke tatanan sosial dengan wujud keteraturan yang baru.

D. Re Orientasi Paradigma

Beberapa persoalan paradigma seperti pertama realitas rendahnya tingkat kemampuan bersaing publik dan kapasitas serta citra kita sebenarnya merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir, yang sebelumnya ditanamkan, maka tentu adanya gerakan perubahan paradigma berfikir publik, dan kata kuncinya adalah perubahan paradigma berfikir, kedua Paradigma pendidikan yang material-sekularistik inilah sebenarnya yang melahirkan berbagai bentuk tatanan kehidupan yang jauh dari nilai-nilai agama, ; ketiga paradigma studi yang sekuler-materialistik, yang telah melahirkan berbagai persoalan yang berawal dari sumber daya manusia yang sekuler-materialistik; keempat Paradigma dikotomis yang telah banyak melahirkan berbagai persoalan, seperti kesalahan pada cara pandang ilmum terjadinya diskriminasi lembaga, lemahnya mutu , mengacaukan paradigma kerangka filsafat ilmu serta berkembangnya gejala pemikiran mempertentangkan rasio (akliyyah) dan wahyu (naqliyyah), ke lima paradigma sosial yang berawal dari paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan yang menjadi penyebab berubahnya realitas sosial era keteraturan sehingga mencapai titik jenuh dan berubah ke era konflik, telah menuntut adanya re orientasi paradigma.

Beberapa konsep dasar untuk melakukan re orientasi paradigma mulai dari paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan sampai kepada tatanan paradigma sosial, adalah :

Standarisasi Pendidikan

Tantangan yang dihadapi dunia pendidikan semakin hari semakin membesar, yang menyebabkan mau tidak mau akan terjadi pergeseran nilai baik menyangkut segi pengelolaan maupun in put masukannya (sumber belajar), karenanya Lembaga Pendidikan harus mau dan mampu menerima kenyataan ini dan harus segera membenahi diri untuk menuju dan menjadi lembaga pendidikan yang siap mengembangkan SDM yang siap bersaing di era global ini, dan ini mengharuskan adanya standarisasi mutu pendidikan.

Pilar standarisasi SDM secara serius dilakukan oleh pemerintah dengan dikeluarkannya :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I pasal 1 ayat 17 : ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. ”. [10]

Kemudian bab IX tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 35, ayat 1-4 berbunyi :

(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. [11]

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005, BAB II tentang Lingkup, Fungsi, Dan Tujuan, pasal Pasal 2, berbunyi :

(1) Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:

a. standar isi;

b. standar proses;

c. standar kompetensi lulusan;

d. standar pendidik dan tenaga kependidikan;

e. standar sarana dan prasarana;

f. standar pengelolaan;

g. standar pembiayaan;dan

h. standar penilaian pendidikan.

(2) Untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan dilakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi.

(3) Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. [12]

Depdiknas memberikan arahan agar kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. [13]

Berfikir Naqliyyah dan Aqliyyah dengan dasar Ketauhidan

Upaya para pemikir Islam untuk mengembalikan ilmu pengetahuan ke dalam satu kesatuan, yaitu ilmu yang bernafaskan Islam dengan tetap majemuk dalam cabang-cabangnya, adalah didasarkan atas akidah agama, yang disadari atau tidak mesti memainkan peranan penting dalam pembentukan konsep ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin.

Keyakinan kaum muslimin bahwa Allah SWT adalah Esa. Dan hakikat tauhid adalah satu.Dan dalam konsepsi Islam tentang Zat Ilahi Yang Satu, terdapat pluralitas sifat Zat ini. Diantara sifat-sifat burhan adalah qidam, baqa, tidak bersusun, hidup, ilmu, iradat, qudrat, ikhtiar, esa. Sedangkan, dari sifat samiyah adalah kalam ‘berbicara’, bashar ‘melihat’, dan sama’ ‘mendengar’.[14] Sebagaimana terdapat pluralitas sifat-sifat Zat ilahiyah yang Esa, pluralitas yang menguatkan keesaan zat, juga terdapat peluralitas nama-nama yang baik bagi Zat ini.[15]

Allah SWT berfirman :

t,n=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÎŽötóÎ/ 7uHxå $pktX÷rts? ( 4s+ø9r&ur Îû ÇÚöF{$# zÓźuru br& yÏJs? öNä3Î/ £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@ä. 7p­/!#yŠ 4 $uZø9tRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB $oY÷Gu;/Rr'sù $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 8l÷ry AOƒÍx. ÇÊÉÈ #x»yd ß,ù=yz «!$# ÎTrâr'sù #sŒ$tB t,n=y{ tûïÏ%©!$# `ÏB ¾ÏmÏRrߊ 4 È@t/ tbqßJÎ=»©à9$# Îû 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇÊÊÈ

“ Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (dipermukaan) bumi sebagai pasak, dan mengembangbiakkan padanya berbagai jenis binatang. Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya berbagai ragam tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah maka perlihatkanlah olehmu kepada Ku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu ) selain Allah. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesesatan yang nyata.” (QS. Lukman : 10-11)

Allah SWT yang satu menciptakan kosmos sebagai satu penciptaan, tapi kemajemukan makhluk ciptaan Nya tidak diketahui jumlahnya kecuali oleh Nya sendiri yang Esa, ternyata ditengah kemajemukan makhluk itu ditemui kesatuan lagi dengan kemajemukan ciri dan kekhasan masing-masing, sungguh merupakan tanda kebesaran Nya.

Dari dasar akidah inilah akhirnya dalam pandangan kaum muslimin bahwa memang segalanya berdasarkan sunnatullah merupakan kesatuan dalam kemajemukan, Akidah Islam satu tapi majemuk dalam keyakinan, syariat Islam satu namun di dalamnya terdapat kemajemukan hukum Islam, kemanusiaan satu tapi majemuk dalam bentuk umat, bangsa, ras dan suku, Umat satu tapi majemuk dalam agama, bangsa, mazhab dan partai, dan seterusnya ... maka kecenderungan manusia kepada ilmu satu tapi majemuk dalam sudut pandangnya, sehingga melahirkan kemajemukan dalam cabang-cabangnya.

Penguasaan ilmu dan pemberian nilai islamis ini menjadi penting, sebab dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan inilah yang hanya dapat menjadikan sistem agama Islam menjadi sistem dunia, seperti dikatakan oleh Imam Ghazali :

“ Sistem agama tidak dapat diwujudkan kecuali dengan sistem dunia. Dan sistem dunia dibangun dengan ilmu pengetahuan. Ibadah tidak dapat dilaksanakan kecuali jika ada kesehatan tubuh dan adanya kehidupan, serta adanya kadar kebutuhan, mulai dari pakaian, tempat tinggal, makanan dan keamanan. Agama tidak dapat terselenggara kecuali dengan terwujudnya keamanan atas pokok-pokok primer ini. Jika tidak maka orang yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menjaga dirinya dari pedang kezaliman, serta mencari penghasilan dari sumber-sumber yang sulit, kapan ia dapat tekun mencari ilmu dan bekerja ? Keduanya adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan akhirat. Oleh karena itu sistem dunia adalah syarat bagi sistem agama.”[16]

Ilmu Pengetahuan yang lahir berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan indrawi yang saat ini membangun negara-negara Barat menjadi modern, ternyata telah melahirkan kecenderungan materialisme yang pada dasarnya hanya membawa kebaikan sesaat bagi ummat manusia, sebab mereka hanya memandang ‘realita’ sebagai satu-satunya sumber Ilmu Pengetahuan, seperti pendapat mereka yang diungkapkan Dr.Murad Wahbah, bahwa :

“ Akal manusia telah melewati tiga periode : periode teologi, periode metafisika, dan periode realita.” Yang terakhir, realita, kemudian menjadi sumber satu-satunya ilmu pengetahuan yang benar. Kebenaran dalam pandangan mereka merupakan buah ekspremen belaka.”[17]

Dengan re orientasi paradigma, para pakar dan praktisi pendidikan sudah saatnya mengembalikan paradigma berfikir naqliyyah dipadu dengan berfikir aqliyyah dan didasari ketauhidan yang hampir hilang yakni bahwa ilmu itu satu kesatuan berada diatas nilai-nilai Islam dan bersumber/ datang dari Allah dan jika sampai pada tingkat kebenaran yang sempurna merupakan bukti ke Esaan, adanya dan ke Maha Agungan Allah, walau datangnya dari sisi pandangan yang berbeda sehingga cabang ilmu itu pun berbeda, maka jika dari sini timbullah upaya sinergis bagaimana menghilangkan dikotomis ilmu dan mengembalikannya ke dalam satu kesatuan nilai, dengan tetap mengakui kemajemukan ilmu itu sendiri, dan inilah pilar utama membangun era baru.

Pengembangan pendekatan berfikir naqliyyah didasari ketauhidan tentu dipadukan dengan berfikir Aqliyyah, yakni terbebas dari kejumudan dan taklid buta; mengandalkan; mengedepankan nilai-nilai ilmiah.

Allah SWT sangat mengajurkan menggunakan pendekatan berfikir ilmiah ini, seperti yang digambarkan dalam firmannya berikut :

a. Larangan untuk bersikap jumud, seperti ftertera dalam QS.Al Isra : 36

Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ

” Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

b. Anjuran tidak jumud, dan harus berfikir aqliyyah, seperti tertera pada QS. An Najm: 28-30

$tBur Mçlm; ¾ÏmÎ/ ô`ÏB AOù=Ïæ ( bÎ) tbqãèÎ7­Ftƒ žwÎ) £`©à9$# ( ¨bÎ)ur £`©à9$# Ÿw ÓÍ_øóムz`ÏB Èd,ptø:$# $\«øx© ÇËÑÈ óÚ̍ôãr'sù `tã `¨B 4¯<uqs? `tã $tR̍ø.ÏŒ óOs9ur ÷ŠÌãƒ žwÎ) no4quŠysø9$# $u÷R9$# ÇËÒÈ y7Ï9ºsŒ Oßgäón=ö7tB z`ÏiB ÄNù=Ïèø9$# 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ãNn=÷ær& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î7y uqèdur ÞOn=÷ær& Ç`yJÎ/ 3ytF÷d$# ÇÌÉÈ

28. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.

29. Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi.

30. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

c. Anjuran berfikir aqliyyah dan naqliyyah, seperti QS. Yunus : 35-36

ö@è% ö@yd `ÏB /ä3ͬ!%x.uŽà° `¨B üÏöku n<Î) Èd,ysø9$# 4 È@è% ª!$# Ïöku Èd,ysù=Ï9 3 `yJsùr& üÏöku n<Î) Èd,ysø9$# ,ymr& cr& yìt6­Gム`¨Br& žw üÏdÍku HwÎ) br& 3yökç ( $yJsù ö/ä3s9 y#øx. šcqßJä3øtrB ÇÌÎÈ $tBur ßìÎ7­Gtƒ óOèdçŽsYø.r& žwÎ) $Zsß 4 ¨bÎ) £`©à9$# Ÿw ÓÍ_øóムz`ÏB Èd,ptø:$# $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# 7LìÎ=tæ $yJÎ/ tbqè=yèøÿtƒ ÇÌÏÈ

35. Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekuturmu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? bagaimanakah kamu mengambil keputusan?

36. Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.

d. Anjuran berfikir aqliyyah dan naqliyyah sehingga yakin akan sebuah kebenaran seperti tertera pada QS. Al An’am : 115-117

ôM£Js?ur àMyJÎ=x. y7În/u $]%ôϹ Zwôtãur 4 žw tAÏdt6ãB ¾ÏmÏG»yJÎ=s3Ï9 4 uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$# ÇÊÊÎÈ bÎ)ur ôìÏÜè? uŽsYò2r& `tB Îû ÇÚöF{$# x8q=ÅÒム`tã È@Î6y «!$# 4 bÎ) tbqãèÎ7­Ftƒ žwÎ) £`©à9$# ÷bÎ)ur öNèd žwÎ) tbqß¹ãøƒs ÇÊÊÏÈ

115. Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.

116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)

Dengan pengembangan pola pikir naqliyyah dan berfikir aqliyyah dengan landasan ketauhidan ini, diharapkan dapat melahirkan sains baru yang terlepas dari dikotomis, dan memilki nilai-nilai pengembangan, sbb :

1. Percaya Pada wahyu.

2. Sains adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial.

3. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid.

4. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial.

5. Pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap Oleh hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral.

6. Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.

7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang.

8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilai-nilai.

9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik.

10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral.

11. Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya

1. interdependensi antara keduanya.

12. Orientasi nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat.

13. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaanNya: manusia, hutan dan lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya, harus didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah usaha golongan tertentu.

14. Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuang- buang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral.

15. Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains. Keduanya semestinya diperbolehkan (halal), yakni, dalam batas-batas [18]

Demokrasi Pendidikan

Kehidupan demokrasi dalam bidang pendidikan merupakan tindakan menghargai keberagaman potensi individu yang berbeda dalam kebersamaan. Dengan demikian segala bentuk penyamarataan individu dalam satu uniformitas dan pengingkaran terhadap keunikan sifat individu bertentangan dengan salah satu prinsip demokrasi, hal ini selaras dengan bunyi pernyataan Undang-Undang N0. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu: “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Dari hak-hak warga negara dalam mengikuti pendidikan tersebut tersirat adanya dua hal penting yaitu: pertama, pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan dalam batas tertentu dan dengan dibarengi adanya peluang untuk memilih satuan pendidikan sesuai dengan karakteristiknya.

Tapi perlu digaris bawahi bahwa demokratisasi pendidikan tidak hanya sekedar prosedur, tetapi juga nilai-nilai pengakuan dalam kehormatan dan martabat manusiayang diharapkan mampu mendorong munculnya individu yang kreatif, kritis, dan produktif tanpa harus mengorbankan martabat dan dirinya.

E. Khatimah

Ralitas kita hari ini sesungguhnya merupakan buah dari benih-benih pengembangan paradigma yang telah kita tanam bertahun-tahun yang lalu, dan kehidupan sekarang tidak bisa dipisahkan dari proses globalisasi dengan segala implikasinya.

Karenanya untuk membangun order generasi baru yang punya kemampuan mengembangkan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan menata kehidupan yang dapat berintegrasi secara kultural dengan sistem internasional, yang ditandai dengan kinerja institusi di dalam dan keluar harus rasional, dinamis dan kompetitif, serta moralitas yang tinggi, maka sudah seharusnya dilakukan re orientasi paradigma mulai paradima berfikir, paradigma studi, paradigma pendidikan serta sosial.

DAFTAR BACAAN

Al Gazali, Al Iqtishad Fil Al I'tiqad, Maktabah Syubeikh, Kairo, tt

AL Gazali, Fadhailul Anam min Rasail Hujjah al Islam, Tunisia, tt

Ani M.Hasan, ; Profesionalisme Di Abad Pengetahuan , Jan 08, 2007 at 08:03 AM

Antonius Wiwan Koban; Kekerasan Struktural oleh Negara di Bidang Pendidikan ; http://www.sinarharapan.co.id/berita/0506/30/opi01.html

http://en.wikipedia.org/wiki/Chaos_theory

http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi

http://www.ditpertais.netHuzni Thoyyar; Model-Model Integrasi Ilmu Dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam (Survey Literatur Terhadap Pemikiran Islam Kontemporer)

Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia : Pertautan Pengetahuan dan kepentingan, Kanisius, Yogjakarta, 1992

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999

Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, Kairo, 1994

Murad Wahbah, et.All., Al Qamus Al Falsafi, Kairo, 1966

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan kemoderenan, Paramadina, Jakarta,

Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas , Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2005 , Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta

Pusat Kurikulkum Balitbang Depdiknas; Makalah Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);2006

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional



[1] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999, halaman 273-274

[2] Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia : Pertautan Pengetahuan dan kepentingan, Kanisius, Yogjakarta, 1992, halaman142

[3] Mastuhu, op cit , halaman 274 - 276

[4] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan kemoderenan, Paramadina, Jakarta, halaman 450

[5] Dra. Ani M.Hasan,M.Pd ; Profesionalisme Di Abad Pengetahuan , Jan 08, 2007 at 08:03 AM

[6] Dra. Ani M.Hasan,M.Pd ; ibid

[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi

[8] Antonius Wiwan Koban; Kekerasan Struktural oleh Negara di Bidang Pendidikan ; http://www.sinarharapan.co.id/berita/0506/30/opi01.html

[9] http://en.wikipedia.org/wiki/Chaos_theory

[10] Lihat : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

[11] ibid

[12] Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Balitbang - Depdiknas , Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 19 Tahun 2005 , Tentang Standar Nasional Pendidikan, Jakarta, halaman 3

[13] Pusat Kurikulkum Balitbang Depdiknas; Makalah Sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP); 2006, Halaman 8

[14] AL Gazali (terjemahan Dr.Nuruddin Al Ali), Fadhailul Anam min Rasail Hujjah al Islam, Tunisia, halaman 49.

[15] Muhammad Abduh, Risalatut Tauhid, Kairo, 1994, halaman 39-50.

[16] Al Gazali, Al Iqtishad Fil Al I’tiqad, Maktabah Syubeikh, Kairo, tt, halaman 135

[17] Dr.Murad Wahbah, et.All., Al Qamus Al Falsafi, Kairo, 1966, halaman 222

[18] http://www.ditpertais.net Huzni Thoyyar; Model-Model Integrasi Ilmu Dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam (Survey Literatur Terhadap Pemikiran Islam Kontemporer)

Tidak ada komentar: